The Wild Swan : Vié Antares III
Lagi-lagi semesta menipunya.
Mereka pernah janjikan hidup bahagia, dulu sekali. Namun layaknya mendung di siang hari, semuanya menjadi gelap dalam sekejap. Tidak ada lagi tawa bersama cahaya matahari pagi melainkan tangisan sunyi sepanjang malam yang dingin. Semenjak kepergian ibunya, dunia seakan ikut menjauh, mungkin lebih tepatnya, Ares yang sengaja menutup pintu dan menarik dirinya ke sisi yang tak terjamah. Lelaki itu hanya berkutat dengan buku-bukunya, pagi sampai malam--terus begitu sampai muak. Tidak ada yang keluar masuk ruangannya selain pelayan yang membujuknya untuk makan. Tidak sampai suatu ketika Sang Raja datang untuk menyampaikan kabar yang cukup menyulut sumbu di hatinya.
Ketika kerajaan kembali ramai dan bercahaya, ia tinggal bersama kubangan luka yang tercipta. Layaknya manekin, Ares hanya berdiam diri di sudut ballroom yang luput dari perhatian seluruh tamu undangan, meskipun banyak putri bangsawan yang rela merendahkan dirinya untuk sekadar berbincang dengan Sang Pangeran, semua wanita malang itu selalu ditolak mentah-mentah dengan alasan tak berdasar. Tak terhitung sudah berapa gelas anggur yang ia tenggak habis, kalau bisa sampai tak sadarkan diri. Opsi terakhir pun kedenarannya tidak begitu buruk untuk dicoba.
Namun di sisa kesadarannya, Ares tahu ada suatu hal yang mengganjal. Wanita itu, ibu tirinya terus menerus menatapnya dari kejauhan, seolah-olah tengah mengintai mangsanya. Tidak ingin membalas perhatiannya, Ares berpura-pura tidak peduli, walaupun secara tidak langsung itu sangat mengganggu.
Lantunan musik klasik yang dimainkan seolah menjadi elegi tanpa ujung bagi Ares. Entah kenapa, ia merasa hanya dirinya yang berduka di sini, di antara kubangan manusia yang penuhi lantai dansa, menari sampai mabuk. Baginya, tetap berada di bawah cahaya saat itu lebih gelap dari titik tergelap malam sekalipun, ingin segera pergi dari sana dan mengurung diri. Namun netra yang terus menatapnya dari altar sana seakan ingin mengulitinya hidup-hidup jika ia mundur barang selangkah.
Ares tau wanita yang dibawa ayahnya bukan seorang gadis desa biasa. Firasatnya tidak baik. Ia tidak suka dengan istri baru Raja.
Persetan dengan tatapan nanar itu. Sang Pangeran akhirnya meninggalkan ballroom tanpa menghiraukan mata-mata yang memperhatikannya. Berjalan lurus membelah kerumunan manusia sampai memasuki koridor sepi yang membawanya masuk ke sisi terdalam istana.
***
Tok, tok, tok
Pintu kamarnya diketuk berulang kali, mereka memang tidak pernah bisa membiarkan siapapun damai sebentar saja. Mengembuskan napas setengah jengah, lantas Ares menyahut,
"Siapa?"
"Ini saya Lami, Tuan." jawab seorang pelayan istana dari balik pintu.
"Masuk." Ares meletakan buku yang tengah dibaca, menoleh ke arah pintu, memastikan jika Lami yang membawakannya kudapan malam. Namun rupanya gadis itu tidak sendiri, ia datang bersama Veronica. Ibu barunya.
"Terima kasih, kau bisa pergi." ucapnya selepas Lami selesai dengan pekerjaannya. Sedangkan Veronica tetap bergeming di tempatnya berdiri, memperhatikan Ares yang tersenyum kecil dan tidak mengacuhkan keberadaannya.
"Yakin tidak salah kamar --Ibu?" Agak aneh melihat Veronica mendatanginya di malam pernikahan, ia kira mereka masih mengadakan pesta di bawah. Ares berusaha mengendalikan diri untuk tidak terlalu berprasangka buruk. Setidaknya ia percaya pada ayahnya, lagi pula Ares juga tidak berniat membencinya.
Veronica tersenyum sekilas, berjalan mendekati rak buku besar di hadapannya. Berdecak kagum dengan interior kamar sang pangeran yang dibuat semewah mungkin dengan nuansa hijau tua yang mendominasi. "Aku hanya ingin menyapa putraku, tidakkah kita perlu membangun hubungan yang baik?"
"Ya ... tentu saja." tidak ingin menghilangkan rasa sopannya, tapi teh kamomil Lami lebih enak daripada ocehan kosong sang ibu tiri.
"Kurasa kita mempunyai selera yang sama." Wanita itu menempati kursi kosong yang membelakangi jendela. Menjadikannya pusat perhatian si pangeran.
"Maksudnya?"
"Buku-buku itu. Memangnya berapa umurmu? Bacaanmu tua sekali. Aku pernah membaca beberapa karya penulis dari Negeri Selatan, seperti yang ada disini."
"Benarkah?" Berbanding terbalik dengan ucapannya, penuturan Veronica semakin membuatnya curiga. Apalagi kenyataan bahwa tidak ada gadis desa yang mempelajari buku-buku kuno khususnya yang ditulis dengan bahasa asing. Veronica jelas bukan berasal dari desa, dia bukanlah orang biasa.
"Omong-omong, bagaimana pendapatmu?"
"Apanya?"
"Ah, aku kecewa dengan pelayanmu. Gadis itu tidak memberitahumu kalau aku yang membuat kue keringnya. Akan kupecat dia nanti."
"Aku mengantuk." Ares bangkit dari duduknya, "Ibu juga harus kembali, Ayah akan mencarimu. Dan satu lagi, tidak ada yang berhak memecat pelayanku selain diriku sendiri. Lebih dari seorang pesuruh, Lami sudah menjadi temanku sejak kecil. Mereka semua lebih lama mengenalku daripada Ibu."
"Baiklah, kau harus istirahat. Aku akan pergi. Selamat malam ... angsa kecil."
Untuk beberapa alasan yang tidak bisa dijabarkan secara rinci, Ares tidak menyukai Veronica. Selain kesan pertama yang kurang baik, kedatangan wanita yang mengambil peran sebagai ibu barunya seakan terlalu cepat dan menciptakan kejanggalan di tengah duka keluarga kerajaan yang baru saja berduka. Entah apa yang ada dalam benak Sang Raja, tetapi Ares ingin menentangnya untuk yang satu ini. Namun semua percuma jika Raja tidak melibatkan pendapat maupun suara putranya dalam meminang wanita pilihannya. Ares benar-benar tidak memiliki kuasa. Lagi pun, Ares tidak ingin kekuasaan seperti yang ayahnya miliki. Jika bukan karena ialah satu satunya pewaris tahta, mungkin Ares lebih memilih menghabiskan sisa hidupnya untuk seni, hal yang selama ini selalu ditentang ayahnya.
Malam bergulir begitu cepat ketika ia menyadari waktu hampir menginjak tengah malam, namun ia tak kunjung menemukan posisi berbaring yang nyaman. Udara terlalu panas, padahal sudah memasuki pertengahan musim gugur. Lantas ia membiarkan jendelanya terbuka setidaknya untuk malam ini.
...
Keesokan harinya, yang ia dengar bukanlah suara pelayan yang biasa membangunkannya, melainkan teriakan yang disusul suara panik lainnya yang menyuarakan hal sama,
"Pangeran hilang! Pangeran hilang!"
Apa yang mereka bicarakan, pikirnya setengah sadar. Karena Ares mengira ia masih berada dalam mimpinya, ia memilih tidak menghiraukan teriakan mengganggu itu dan kembali terlelap sampai Lami membangunkannya seperti hari-hari kemarin.
Namun alih-alih kembali tenang, suasana menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Para pelayan tidak bisa menemukan Ares dimanapun, namun ketika salah satu dari mereka menyingkap selimut, yang mereka lihat bukanlah Ares tetapi seekor angsa hitam yang tertidur di atas ranjang Sang Pangeran.
Ketika yang lain menemukan jendela yang terbuka, mereka mengira karena itulah angsa liar dapat masuk, sebab memang terdapat danau di belakang istana. Tidak ada tanda-tanda penculik ataupun perampok, ruangan itu masih dalam keadaan rapi tak tersentuh. Dengan cepat seluruh penjaga dikerahkan untuk mencari Pangeran Ares yang sebenarnya telah berubah menjadi angsa hitam. Tidak ada yang tahu jika sedari tadi Ares tak kalah paniknya berteriak saat menyadari semua ini.
Kebingungan serta rasa cemas menyelimuti seluruh kerajaan mengetahui hilangnya Sang Pangeran, tak terkecuali para pelayan pribadi Ares yang juga merasa kehilangan. Namun semua tetap bersikap normal seolah tak terjadi apa-apa. Dua hari berlalu namun mereka tak kunjung mendapat kabar baik mengenai Ares. Seakan hilang ditelan bumi, tidak ada satupun jejak yang tertinggal. Hanya itu yang mereka tahu, kecuali satu orang, yang kini tengah bersuka cita atas kesuksesannya menyingkirkan satu anggota kerajaan, sibuk menjalani perannya sebagai ibu yang cemas karena putranya menghilang. Siapa lagi jika bukan Veronica.
"Rajaku, Antares. Aku yakin putramu itu orang yang tangguh, aku yakin Ares masih hidup."
"Tapi kita tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang, bagaimana aku bisa seyakin itu?"
"Iya aku mengerti, sangat mengerti. Tapi kau juga harus memperhatikan dirimu. Ares tidak akan suka jika Ayahnya sampai jatuh sakit. Dua hari ini hidupmu tidak benar, kau melewatkan makan, tidak pula tidur. Bagaimana caramu mencari Ares jika seperti ini?" bujuknya pada Antares. Walaupun dirinya bosan melihat tingkah suaminya yang frustasi, ini kesempatannya melakuan pencitraan di depan Raja yang tak lain tujuannya adalah untuk membangun kepercayaan Antares terhadap dirinya.
Veronica juga tidak sepenuhnya salah, nyatanya Ares baik-baik saja. Disaat semua orang ribut, Lami yang sejatinya juga seorang penyayang hewan tidak bisa membiarkan seekor angsa linglung yang terus berkeliaran di sekitar paviliun belakang, berteriak-teriak entah kepada siapa. Gadis itu memberikannya makanan dan tempat untuknya beristirahat. Tapi bukannya menjinak, si angsa hitam menjadi semakin agresif. Tiap kali Lami mendatanginya, ia langsung menggigit dan menarik-narik rok si gadis.
"Hei hentikan! Hentikan! Aku sudah memberimu makan, kenapa galak sekali, sih?" Lantas angsa itu berhenti menarik roknya, Lami kemudian berjongkok guna menamakan tingginya dengan si angsa agar ia bisa tenang dan tidak merasa terancam. Tangan kasarnya terulur mengelus kepala si angsa hingga.
"Tunggu ... ini tahi lalat ya, namanya?" tanyanya sambil menunjuk ujung paruh si angsa, "Mirip seperti Pangeran, dia juga punya satu di ujung hidungnya. Lucu sekali."
Tiba-tiba muncul asap tebal berwara putih yang berpusat di satu titik, membentuk pusaran seperti tornado kecil lalu memudar seiring timbulnya presensi lain di balik asap itu. Seorang wanita dengan gaun birunya yang melayang di udara, tersenyum kepada Lami yang tak juga menutup mulutnya saking tak dapat berkata-kata.
"Halo gadis muda." sapanya seraya melambaikan tangan lalu beralih memandang angsa hitam di sebelahnya, "Halo juga Yang Mulia."
"Ha? Apa-- siapa kau? Yang Mulia siapa?"
"Tenang ... tenang .... Kamu belum tahu ya? Ck, si nenek itu rupanya membuat kekacauan lagi. Iya, angsa hitam ini, dialah Pangeran Antares III. Si Tampan yang membuat heboh satu negeri. Nenek itu --maksudku Veronica, dia telah mengubahnya menjadi angsa yang sekarang ada di sebelahmu. Sungguh merepotkan."
"Lalu apa Pangeran bisa kembali jadi manusia?"
"Bisa dong. Itu tujuannya aku di sini, kan?"
"Bagaimana caranya?"
"To the point sekali, ya. Aku suka."
"Apa kita bisa cepat?"
"Oh oke, oke, aku serius. Kamu hanya harus menenun satu mantel dari daun jelatang. Jangan sampai lewat fajar kelima atau pangeran akan menjadi angsa selama-lamanya. Jadi, kamu harus cepat Lami. Semoga beruntung."
"T-tapi, tunggu! Jangan dulu pergi!"
"Sampai jumpa manis ...."
Wanita itu perlahan menghilang tanpa mengatakan apapun lagi. Lami yang tidak begitu ambil pusing, cepat-cepat pergi ke kebun untuk mengumpulkan daun jelatang sebanyak-banyaknya, tidak peduli tangannya yang lecet dan memerah gatal akibat daun jelatang. Si angsa yang melihat itu pun mengibas-ngibaskan sayapnya untuk menyejukkan tangan Lami agar tidak semakin meradang.
Si angsa juga tak lelah mengikutinya yang terus berlari. Meskipun dia sendiri tidak yakin, bantuan apa yang bisa berikan, mungkin ia bisa menemaninya agar gadis itu tidak bekerja sendiri. Lami mulai mengerjakan mantelnya malam itu juga, bahkan sampai hari berganti. Berkali kali jarinya tertusuk jarum karena matanya yang tak kuat menahan kantuk, namun ia tidak juga menghentikan pekerjaannya.
"Lami!"
"Ya Ibu. Aku disini."
"Apa yang kamu lakukan disini? Semua orang bekerja, dan menurutmu apa yang kamu kerjakan?" ujar ibunya marah karena Lami tidak ada untuk membantunya bekerja.
"Tapi Ibu ... aku--"
"Sejak kapan kamu menenun? Itu bukan tugasmu. Sekarang keluar, bantu Ibu. Tidak ada tapi." ucapnya final sebelum meninggalkan gudang tempat Lami membuat mantel.
"Pangeran lebih baik tunggu di sini dulu ya, selesai bekerja aku akan langsung kemari. Oke?"
Lami benar-benar kehilangan tenaga. Sore harinya ia kembali ke gudang, namun ia tersenyum saat melihat angsa hitam itu masih berada di gudang. Ia berharap akan mendapat cuti setelah semua masalah ini selesai. Jadi Lami meneruskan tenunannya yang tinggal setengah itu dengan susah payah. Sisa waktunya hanya malam ini.
Mantelnya selesai tepat sebelum kokok ayam terdengar menyambut datangnya fajar, Lami menggendong sang angsa ke atas pangkuannya. Lantas dipakaikannya mantel itu pada si angsa, namun tidak terjadi apa-apa. Lami mendadak menjadi cemas dan takut. Bahkan sampai bias cahaya oranye mulai terlihat di ufuk timur, pangeran tak kunjung kembali ke wujud asalnya.
Lami menangis menyadari dirinya gagal, ia terus menyalahkan dirinya atas apa yang menimpa sang pangeran.
"Maafkan aku, seharusnya aku bekerja lebih keras lagi. Aku gagal, aku gagal. Maafkan aku." Tangisnya seraya memeluk angsa hitam itu, Lami tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ares benar-benar menghilang, tidak bisa kembali lagi. Dan semua ini salahnya.
Ditengah tangisannya, ia merasakan sebuah tangan yang mengelus punggungnya, membuatnya mengangkat wajah untuk melihat siapa pemilik tangan itu. Namun alangkah terkejutnya ketika matanya bertemu dengan sosok yang paling diharapkan. Itu benar Ares, dengan senyumnya yang selalu ramah bersama ucapan terima kasih penutup hari. Aresnya kembali. Nona gaun biru itu tidak membohonginya, pekerjaannya tidak sia-sia, apa yang ia lakukan bukanlah suatu kegagalan yang perlu disesali dan ditangisi.
"Terima kasih." ucap Ares seraya menghapus jejak air mata di pipi Lami, "Kamu tidak perlu menangis. Kamu berhasil. Terima kasih sudah menyelamatkanku."
"Ini benar ... Pangeran? Aku tidak bermimpi?"
Ares tertawa mendengar itu, "Bagaimana bisa kamu bermimpi, sedangkan kamu sendiri tidak tidur sejak kemarin."
"Jadi, apa yang akan Pangeran lakukan setelah ini? Seisi kastil pasti terkejut karena Pangeran muncul tiba-tiba."
"Aku sudah memikirkan satu rencana yang memang akan membuat seisi kastil terkejut, bahkan satu negeri. Aku yakin."
Malam ini akan menjadi akhir bagi Veronica, kemungkinan terburuk bisa saja wanita itu diusir keluar dari istana, atau bahkan yang lebih buruknya lagi hukuman pancung. Karena penyihir tidak diperbolehkan ada di negeri ini. Lami berhasil masuk ke kamar Ares dan mengambil toples kue kering buatan Veronica yang masih tersimpan di sana, sesuai perintah Ares. Rencana mereka berjalan lancar sampai tiba waktu eksekusi. Lami menawarkan tukar sif dengan pelayan pribadi raja agar ia dapat bertemu langsung dengan Raja Antares juga Veronica. Ares mengikutinya mempersiapkan makan malam, jadi saat semuanya belum tiba di meja, Ares sudah ada di sana dengan angkuhnya. Menunggu reaksi anggota kerajaan yang lain, khususnya Veronica.
Dan benar saja, saat melihat keberadaan Ares, Veronica seketika memucat layaknya bertemu mayat hidup. Mendadak tidak tahu akan menanggapi keterkejutannya dengan cara apa, takut atau senang. Semuanya berantakan dan saat ia menyadarinya hidupnya akan segera berakhir ditangan Sang Pangeran. Jika saja Ares bukanlah karakter baik di cerita ini, senyuman pongah itu akan terlihat sangat mengerikan. Jika saja bisa membunuh, maka Veronica sudah jatuh sekarat. Berbanding terbalik dengan Sang Raja yang tak hentinya meneteskan air mata saking bahagia dan tidak percaya bahwa Ares telah kembali tanpa kurang suatu apapun. Antares nyaris memeluk putra semata wayangnya sebelum sang pangeran tiba-tiba menghentikannya. Eksepsinya yang secara terang-terangan mengejek Veronica membuat Antares bingung dan bertanya apa yang telah terjadi, namun Ares tidak langsung memberitahukan semuanya.
"Kenapa Ibu? Apa Ibu tidak merindukan aku?"
"Ten-tu -tentu saja, apa yang kamu katakan, nak? Kami semua mengkhawatirkanmu. Kemana saja kamu?"
"Kenapa begitu? Ibu tidak memberitahu orang-orang kalau Ibu menyihirku jadi angsa? Kenapa tidak harimau saja agar kucabik sekalian?"
"Apa maksud dari semua ini Ares? Kenapa kamu berteriak kepada Ibumu?! Kemana sopan santunmu? Omong kosong apa yang kamu katakan?" Diluar dugaan, Antares sangat marah dan kecewa terhadap prilaku Ares. Namun Sang Pangeran tetap teguh dalam rencananya. Veronica, wanita itu tidak boleh menang.
"Maafkan aku Ayah, Ibu. Sebagai gantinya, aku ingin memberikan sesuatu untuk Ibu. Bolehkah?" Saat dirasa sudah waktunya, Lami dengan sigap memberikan toples itu pada Ares. Pun di tempatnya, Veronica semakin tidak bisa berkutik.
"Apa lagi ini Ares?" tanya Antares muak, tetapi Ares tak menghiraukannya.
"Kenapa tidak dicicipi? Ibu tidak suka?"
"Eh, tidak ...." Veronica menatap ragu kue kering yang disodorkan Ares, kemudian suaminya. Keadaan semakin membuatnya tertekan.
"Ada apa? cepatlah selesaikan semua omong kosong ini, jangan membuatku bingung!" desak Antares.
Dengan seluruh sisa keberaniannya, Veronica menggigit kecil kue kering buatannya sendiri. Berharap reaksinya tidak akan muncul. Namun takdir berkata lain. Reaksinya bahkan lebih cepat dari yang Ares alami, kulit nya mulai ditumbuhi bulu-bulu unggas berwarna hitam, tubuhnya memendek seiring hidungnya mulai berubah menjadi paruh. Veronica menangis saat wujudnya telah berubah menjadi seekor angsa dengan bulu hitam legam. Semua orang yang berada disana tidak percaya dengan apa yang mereka lihat dan mulai berbisik-bisik. Antares berkali-kali lipat amarahnya ketika tahu dirinya telah dihianati. Veronica kemudian diusir dari istana, dibuang ke tengah hutan tanpa seorangpun tahu keberadaannya selain para penjaga.
Berkat jasanya menyelamatkan Pangeran Ares, Lami diangkat menjadi kepala pelayan dan juga ia beserta keluarganya dipindahkan ke paviliun utama, tidak lagi tinggal di gudang. Namun lagi-lagi Ares membuat semua orang terkejut dengan keputusannya. Ia rasa Lami berhak mendapatkan lebih dari sekedar kenaikan jabatan dan paviliun. Ares memberanikan diri menyatakan perasaannya dengan melamar sang pelayan. Tentu saja itu merupakan keputusan yang cukup menuai kontroversi, khususnya Sang Raja yang sedikit keberatan. Namun tidak sampai disitu, Ares terus meyakinkan ayahnya serta keluarga yang lain, jika bukan karena Lami, dirinya tidak mungkin berada di sini.
Seperti pada satu hari Ares dan Lami mengadakan pertemuan keluarga tertutup, mengenai berita lamaran masih belum dipublikasi oleh pihak kerajaan. Keduanya duduk berdampingan ditengah kepala-kepala yang penuh dengan ego serta prinsip yang dijaga kuat-kuat.
"Percayakan semuanya padaku, aku bersungguh-sungguh." Sepanjang pertemuan, tangannya tak lepas menggenggam milik Lami di bawah meja.
"Kami sudah mempertimbangkan ini, Ayah akan menyetujui pernikahan kalian,"
"Tapi ... ayah juga memiliki syarat. Lami perlu mempelajari beberapa hal mengenai kerajaan sebelum kalian menikah, tidak masalah bukan?"
Keduanya saling bertatapan, meminta persetujuan dalam diam dan hanya berdasar senyuman dan anggukan. Maka dari itu kesepakatan pun diterima. Seminggu kemudian berita baik ini disebarkan ke seluruh penjuru negeri. Tanggal baik telah ditetapkan tepat setelah Lami selesai dengan pendidikannya.
Sejak pengumuman itu, setiap sore Ares selalu menjemput Lami di paviliun sekadar untuk berjalan-jalan di taman, mengobrol acak sampai matahari tenggelam, menukar beberapa memori lama saat keduanya masih gemar berburu kepik di kebun istana. Terkadang jika beruntung, mereka akan menyambut senja dengan teh dan juga roti lapis, ekstra saus milik Lami, tanpa pinggiran untuk Ares.
"Ares, kalau aku boleh bertanya, apa alasanmu melamarku? Aku sungguh tidak apa jika kau memilih putri-putri kerajaan lain, aku akan selalu menjadi teman sekaligus pelayanmu. Kurasa hanya itu, aku cukup."
"Tapi apa kamu bisa menjamin aku akan menemukan putri raja yang rela terjaga dua hari demi menenun mantel dengan tangannya yang terluka? Saat aku berubah menjadi angsa, aku sangat ketakutan. Semua orang mengusirku dan melarangku masuk ke istana, tapi kamu tidak. Bahkan saat makan malammu kurang, kamu masih menyisihkan milikmu agar aku bisa makan. Kurasa, aku sudah menemukan wanita yang tepat."
"Masalah itu ... apa aku bisa mendapat cuti? Sebelum kamu menawarkan sebuah imbalan, aku hanya menginginkan cuti untuk beberapa hari."
"Hei, kau serius? Ketika kita menikah nanti, kamu tidak akan memerlukan cuti, tau. Kamu tidak lagi bekerja sebagai pelayan istana begitupun keluargamu."
"Benarkah?"
"Tentu saja. Ayo pulang, jika kita terlambat nanti kamu dimarahi Ibumu." ucap Ares sebelum dirinya bangkit dan mengulurkan tangannya untuk digenggam.
Layaknya akhir cerita dongeng pengantar tidur lainnya, kisah Pangeran Vié Antares III dan Putri Lami berakhir bahagia. Dan untuk mengenang peristiwa itu, dibuatlah patung angsa hitam di pusat kota yang didedikasikan untuk Pangeran Ares dan juga Putri Lami.
***
The Wild Swan : Vié Antares III
The End
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro