Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Juliana; i don't trust you

"Lyon?" Aku menatap tak percaya, mataku berkedip beberapa kali, segera setelah tersadar aku mengacungkan tangan kananku yang memegang gunting. Aku bersiaga sepenuhnya, hendak menyerang jikalau dia berani melakukan sesuatu.

"Bagaimana kau bisa sampai sini?" Dia tampak tak terganggu dengan diriku yang berlumuran darah dan memegang senjata. Lyon adalah temanku—tidak lebih seperti kenalanku dari sekolah. Dia biasa dengan penampilan berantakan, rambutnya acak-acakan, dia memiliki kantung mata yang terlihat jelas, berpakaian kaos dan celana pendek. "Tidak seharusnya kau di sini," katanya sembari memiringkan kepala.

Tok, tok, tok!

Suara ketukan pintu terdengar, pintu bergetar diiringi seruan dari luar. "Tuan Lyon, apakah Anda melihat seorang gadis?" Lyon meletakkan satu jari di bibir, memintaku agar tetap diam, kuturuti perintahnya berusaha bungkam. Akan tetapi aku masih siaga, tak mengendurkan kewaspadaanku baran sedetik.

"Tidak ... aku tidak melihatnya," jawabnya, "aku di kamar sedari tadi, aku pun mengunci pintu, tidak ada yang bisa masuk."

"Baiklah, terima kasih, Tuan muda."

Suara derap kaki mulai menjauh, aku bernapas lega. Tubuhku merosot jatuh ke lantai. Aku mulai merasakan rasa sakit yang amat di telapak tangan kiriku. Lukanya semakin lebar, aku meringis, menatap darah yang mulai mengering. Lyon yang melihat kondisiku berjongkok, dia meletakkan satu jarinya di daguku, dan mengangkat wajahku untuk menatapnya.

"Jika kau bertindak macam-macam aku tidak akan segan menusukmu." Aku menodongkan gunting berlumuran darah di lehernya. Aku pikir dia akan takut, ciut dan mundur berpikir aku gadis gila. Namun, tidak, dia malah terkekeh kini menarik tangan kananku keras-keras, mencengkeramnya hingga membuatku menjatuhkan gunting dari genggaman. Mataku melebar, aku mundur hingga tubuhku menyentuh pintu. Dia mengangkat tangan, kukira dia akan memukulku tetapi yang dia lakukan adalah menepuk kepalaku kecil.

"Aku penasaran bagaimana rasanya mengelus kepalamu, seperti orang yang kau panggil dad. Ternyata begini rasanya, kau terlihat seperti anak-anak."

Aku termangu, tidak berkata-kata, dasar pria sinting! Selanjutnya aku meninju perut Lyon. Dia bergerak mundur, memegangi perut tampak kesakitan. Dia mengerutkan kening, sebelum tertawa terbahak-bahak. "Ini pertama kalinya aku ditinju seorang gadis," kelakarnya. Bahkan dia sampai menumpahkan air mata. Aku sungguh tak tahu apa maksudnya. Sekali lagi aku meringis, tanpa sengaja aku meremas tangan kiriku, terlihat luka menganga lebar.

"Aku bisa melihat, tanganmu terluka. Biar aku obati." Dia bangkit dari lantai, melirikku mengedipkan sebelah mata genit. Aku jijik melihatnya, mungkin aku bisa muntah kapan saja. Aku menunggu di sana, menatap furnitur kamar yang Lyon tempati.

Hampir semua benda dan ruangan serba biru—biru muda yang kekanakan, aku tak tahu Lyon memiliki selera seperti itu. Ruangan itu cukup besar, terdapat kasur dengan ukuran queen bed, lampu kuning yang menghiasi meja belajar berwarna putih, dengan langit-langit kamar berwarna putih yang terdapat tempelan bintang, kutebak itu dapat bersinar-sinar dalam kegelapan.

"Juliana," panggilnya. Aku menoleh ke sumber suara, di tangannya terdapat sapu tangan dan air dalam gayung. Dia berjongkok, kali ini sedikit memberi jarak, kupikir itu karena aku meninjunya, ya, aku tidak menyesali hal itu. "Ahhh ...." Aku meringis, merasakan sapu tangan yang asah dengan air hangat menyapu lukaku.

"Tahan, ini memang akan menyakitkan." Aku tidak percaya memberikan peluang padanya untuk membantuku, seorang pria genit yang aneh dan menyebalkan. Kuakui dia anak yang baik, tetapi aku tetap tak mau menerima fakta bahwa aku menerimanya dengan mudah, aku terdesak. Aku menggigit bibirku menahan nyeri, memejamkan mataku bahkan mengatur napas. Dia mengobati lukaku dengan lembut, bahkan sangat halus. "Aku akan menuangkan alkohol." Dia berdiri sekali lagi, mengambil kotak obat. Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan hal ini, hingga aku teringat sebelumnya Fahri juga mengobati lukaku, di tempat yang sama, persis.

"Kenapa kau menolongku?" tanyaku mengalihkan pikiran, aku tidak mau memikirkan tentang bajingan itu. Dia masih membalut lukaku, bersenandung kecil hingga lukaku selesai dibalut perban. "Kau seharusnya mengucapkan terima kasih." Aku mengerlingkan mata, mendengus. "Terima kasih," timpalku sekenanya.

"Kau harus mengucapkannya dengan benar."

"TE. RI. MA. KA. SIH."

Lyon terkekeh, kembali menepuk-nepuk kepalaku—seperti seorang ayah yang membanggakan putrinya. Aku menepis tangan Lyon, melotot. Aku bukan siapa-siapa bagi pria genit itu. Aku hanya seorang korban yang tersesat dan minta ditemukan.

"Oh, ngomong-ngomong soal pertanyaanmu. Aku akan menjawabnya." Dia memberi jeda sejenak, aku menatapnya tak berpaling. Jika dia ingin memanfaatkanku, menggunakanku, atau transaksi maka apa pun akan kupenuhi. Mom selalu mengatakan padaku bahwa seseorang berbuat baik pasti karena ada alasannya. Aku sudah bersiap, asalkan bukan permintaan aneh-aneh akan kuturuti.

"Karena aku naksir padamu."

Rahangku jatuh, mulutku ternganga sembari mataku menatap skeptis. "Naksir," beoku tidak percaya. Dia mengedikan bahu, duduk di atas kasur bersikap seenaknya. Aku ingin menghajar wajah itu, sungguh menyebalkan! "Terserah padamu mau percaya atau tidak."

Aku bangkit dari duduk. Kemudian menatap cermin yang menggantung di sisi kasur. Penampilanku kacau, seragamku kotor karena tanah, darah yang menyebar, hingga wajahku yang kusam, aku berantakan. Dia tampaknya menyadari apa yang kupikirkan, dia menekuk lutut di atas kasur menatapku lamat-lamat. "Kau tahu? Karena aku naksir padamu aku menolongmu, jika orang lain, aku sudah menendangnya ke luar. Jadi mengapa kau di sini?"

Aku menghembuskan napas lelah, menimbang-nimbang apakah aku bisa memberitahunya atau tidak. Sempat terpikir bagiku untuk meminta bantuannya untuk kabur, tetapi tak jadi, aku tak bisa mempercayai siapa pun. Jadi kukatakan saja garis besarnya. "Aku diculik."

"Aku tahu."

Aku terhenyak, mataku membola menatap gamang. "Kau tahu? Tapi, tak menghentikannya?" tampikku emosi, tanganku mencengkeram kerah Lyon. Dia menyeringai, membawa helaian rambutku di tangannya. "Kau agresif juga."

"Jangan bercanda!" bentakku. Emosiku tersirat jelas, aku sudah menduga ada yang tidak beres dengan otak bajingan genit ini semenjak dia menyatakan perasaan. Dia bukan orang sehat, dia sakit seperti Mom. Otaknya agak lain.

"Kau bukan yang pertama Juliana."

Aku mengendurkan genggaman tanganku. "Jadi ada yang diculik seperti aku?" Sebagai jawaban Lyon mengangguk, aku melepaskan tanganku dari kerahnya. Dia menepuk kasur di samping—memintaku duduk, aku tak menuruti keinginannya. Aku sadar dia orang yang berbahaya.

Dia mendesah, kini menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. "Karena itu aku tanya mengapa kau di sini? Apa kau memiliki masalah?" tanyanya sekali lagi. Aku menunduk, memikirkan alasanku diculik. Mungkin saja musuh kakek memanfaatkan kesempatan, lawan perusahaan Fahri, bahkan orang yang mengincar harta.

"Mungkin karena keluargaku ...," lirihku.

Lyon mengangkat wajahnya menatapku dengan kepala dimiringkan. "Yang mana?"

Aku mengangkat sebelah alis, tidak mengerti. "Apa maksudmu?" Dahiku mengerut, kenapa dia harus bertanya keluarga yang mana? Hingga aku menyadari bahwa aku berada dalam naungan tiga keluarga. Espargaro, Priyambada, dan Callington.

"Keluarga Priyambaan dan Callington sudah musnah." Aku terkejut bukan main. Dia menatapku dengan ekspresi bosan sesekali menguap dan mengucek mata—seolah dia mengantuk. "Keluarga mereka sudah tidak ada. Mereka musnah, yang satu karena kebakaran yang lain karena perampokan," lanjutnya. Kemudian dia terduduk, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bukankah ini kebetulan sekali? Dan kau di sini. Tiga keluarga memiliki nasib sial yang sama."

Aku terus mengulang perkataannya di benakku. Secara mengerikan aku tersadar, aku menggenggam tangan Lyon menatap penuh keseriusan. "Kau harus membantuku," desakku kemudian menarik tangannya agar bangkit. Aku tahu Dad dan Mom akan melakukan sesuatu yang lebih buruk jika saja aku tak ditemukan, bahkan Kakek akan memfasilitasi mereka untuk menemukanku. Aku menggeleng. "Aku harus keluar dari sini sebelum korban jiwa bertambah."

Aku tak mempercayainya, tetapi ini menyangkut keselamatan orang-orang, mereka bisa mati kapan saja di bawah pengawasan Keluarga Espargaro. Lyon, terlihat tak acuh, mengangkat bahu sembari mendesah panjang. "Pertama-tama kau harus ganti pakaianmu dan mandi. Kau tercium busuk."

Aku mendengus. "Orang-orang akan mati."

"Dan kau memiliki aroma busuk yang kuat hingga membuat mereka mati," ejeknya.

Kali ini aku benar-benar menghajarnya, jengkel bukan main. Mungkin aku tak percaya pada Lyon, tetapi aku membutuhkan pertolongannya. 

Bersambung ....

20 Juni 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro