Juliana; I can hear it
Aku terpaku.
Terdiam sedetik, lantas detik berikutnya tiduran di atas meja.
Satu hal yang kusadari setelah sekolah beberapa hari, pemuda aneh yang senang tidur itu selalu menatapku. Tidak peduli berapa waktu berlalu, bahkan jam pelajaran berganti. Aku tidak mau peduli, aku sudah cukup lelah hanya memperhatikan Mom.
"Hey, kau."
Aku bisa mendengar suaranya, aku pura-pura tidak mendengar. Aku tidak mau. Kubenamkan wajahku pada lipatan tangan, membiarkan dia berlalu, melupakan memanggilku lantas pergi. Kondisi Mom yang kemarin baik-baik saja tidak lebih buruk membuatku merasa asing.
Mom tidak baik-baik saja.
Aku tahu itu, aku tak pernah salah.
Yang tidak kuperkirakan dia duduk di depanku. Menatapku yang berbaring, dia menyingkap rambutku, membuat mata kami bertemu. Aku mendelik, menepis tangannya membuatku kesal. "Juliana," panggilnya menarik sudut bibir. Kudorong wajahnya menjauh.
"Apa?"
Akhirnya aku menanggapi, ekspresiku jengkel mengerutkan dahi berkali-kali. Dia tergelak, kemudian melirik ke arah jendela menyampaikan maksud. "Tempo hari aku melihatmu digendong ayahmu. Apa kau tidak merasa risih?"
Dia berhasil menarik perhatianku, aku menatapnya datar kali ini lebih lama. "Kau menguntitku?"
"Tidak—mungkin. Aku tidak sengaja melihatnya."
"Aku akan melaporkanmu."
"Jangan sinting."
"Aku memang sinting."
Pria itu tertawa lagi, tawa menyebalkan membuatku ingin menaikkan tinju. Aku serius, aku ingin melaporkan bocah aneh ini. Dia menunduk, kini wajah kami bertemu. Kualihkan pandangan, tapi deru napasnya menyentuh kepalaku.
"Kau tahu bukan kalau kita bicara terlalu kaku sekarang?"
"Aku selalu begini."
Aku menaikkan bahu, berusaha membuat pewajaran. Barangkali anak ini hanya penasaran, jadi lebih baik aku tidak berurusan lebih jauh. Itu menyebalkan, matanya berbinar-binar dengan sorot main-main, ganjil, juga ... penasaran "Aku tertarik padamu," tukasnya.
"Aku tahu."
"Lalu kau baik-baik saja?"
"Aku tidak peduli."
Lagi-lagi dia tertawa, aku menaikkan alis tidak mengerti. Mendorong kursinya agar jatuh—walau tidak dia bangkit kemudian melirikku. Tatapannya hidup, penuh cahaya, walau letih dan mengantuk itu membuatku sempat menatap lama, kemudian membuang wajah.
"Sepertinya aku mulai menyukaimu."
Orang sinting.
Aku merapikan rambutku lantas berdecak, tak ingin bicara lagi. Dia bisa mengerti, tak memaksaku bicara beralih pergi. Akan tetapi, belum lama dari itu dia berbisik, tepat di telingaku. "Ngomong-ngomong ada rumor tentangmu, aku tidak tahu. Tapi, itu adalah hal buruk."
Aku menangkap ucapan itu, terkekeh kecil mengangkat bahu. Aku sudah menduga itu, Mom sudah mengatakannya berkali-kali. Aku mengabaikannya, tidak membuat sedikitpun kesempatan hingga dia menyerah. Sebelum beranjak pergi dia bicara lagi. "Dan lain kali bukan kau. Tapi, panggil aku Lyon."
Satu tangannya menyentuh rambut, mengacak-acak rambut. Aku terkejut melotot ke arahnya. Dia hanya menyeringai lebar, main-main, lantas pergi. Jujur saja, aku sempat tercekat sebelum kali ini benar-benar melayangkan tinju padanya.
.
.
.
"Tahu gak sih? Juliana itu ya, dia anak haram."
"Hah? Maksud?"
"Ck, aku asalnya gak percaya juga. Cuman kemarin, aku dapat berita dari ayah. Kamu tahu sendiri ayah aku punya kantor untuk mencari berita panas. Dan itu—si Juliana. Wajahnya persis sama Frans Priyambada!"
"Gila! Maksud kamu ... Frans Priyambada yang jadi Direktur Perusahaan Televisi? Itu gak waras! Sumpah!"
"Kan? Coba bandingin, wajah mereka mirip. Jadi ... Ibu si Juliana itu jalang?"
"Hus!"
Aku sekarang mengerti apa yang dikatakan Lyon tadi. Aku bisa mendengar mereka, tak ayal rasa muak melandaku. Aku tak masalah dikatai seperti itu, tapi mereka menyebut Mom jalang.
Aku mengetatkan rahang, ini di tengah kantin dan semua orang mendengar percakapan mereka. Andrea yang memulai_memanas-manasi hingga berita itu menyebar.
Ketika mereka menyadari keberadaanku, Andrea dan komplotannya membisu. Terkejut, takut-takut, tapi kemunafikan itu jelas terlihat, mereka ingin berita lebih panas, gosip-gosip.
"Ah, Juliana. Aku gak ...."
Aku terdiam, menatap mereka lekat-lekat tidak menanggapi berlalu pergi. Tak perlu kudengar lebih banyak, ini akan menjadi berita besar, heboh di mana-mana. Itu alasan dulu Mom menjagaku di pulau, menyelamatkanku dari orang seperti mereka. Aku mengerti pada titik ini.
Aku tidak ingin terlalu peduli, pandangan orang lain tak penting bagiku. Kakiku melangkah, menuju jalur-jalur kecil, tempat-tempat di pelosok sekolah. Angin membawa rambut pendekku bergoyang pelan, lantas tertiup melambai-lambai lembut.
Aku melihat sekeliling, banyak orang, kebanyakan mereka bersama teman mereka atau orang lain. Hanya dia yang berjalan sendiri. Aku terus mengikuti jalur sepi, sendirian, sebelum menemukan satu pemuda di lapangan basket berlatih sendiri. Lapangan itu sepi, sunyi, hening. Hanya suara bola memantul terdengar. Nyaman. Ketika pemain itu berhenti, mata kami bertemu.
Aku sedikit berkedip, bertatapan sebentar, seakan ada tarikan magnet aku akhirnya mulai masuk ke tribun dan duduk di pinggir lapangan. Tak kuduga aku tertarik, kesepian yang hening seolah menjadi obat, membuatku lega, tak mendengar bisik-bisik orang. Aku tak pernah suka.
Aku sendirian menonton pemain dengan kaos olahraga bertuliskan angka sembilan bermain, berlatih, melempar bola pada ring. Keringat mengucur dari pori-porinya, menetes ke lantai sementara terus berlatih keras. Aku ingin melihat ini hingga akhir. Entah. Tidak ada alasan, mungkin karena suasana nyaman. Menonton dalam kesepian.
Aku tidak mengatakan apa pun, bahkan hingga setengah jam terus terdiam, asik menonton sampai pemain itu selesai berlatih. Terlihat jelas dia tahu ada aku ada di sana—itu alasan dia mendekat, tampaknya setelah selesai dia dengan keringat membasahi tubuh mendekatiku, bau keringat bercampur dengan parfum mahal menyengat hidung, aku bangkit ingin pergi. "Kamu ngapain nonton di sini?"
"Apakah tidak boleh?"
Dia membeku—terkejut mungkin dengan jawabanku yang baku, kaku dan formal. Dari dekat kusadari, wajahnya sekilas mirip dengan Lyon, kupandangi lapangan, kemudian dia mulai bicara, "Apa lapangan ini milikmu?"
Dia menggaruk rambutnya, kebingungan, seolah ingin menjawab tapi segan. Aku menunggu, menanti dia menyampaikan pikirannya, sedikit terima kasih tidak masalah. Setidaknya karena dia aku sedikit lupa, tidak mengingat hal-hal sampah.
"Nggak, sih. Tapi kamu gak bosen apa nonton orang yang kamu gak kenal? Cowok. Sendirian lagi."
Aku menggeleng. Tidak menjawab, dia tidak mau aku berada di mari, itu jawaban yang jelas. Sayang sekali. "Kalau kau tidak ingin aku ada di sini, tinggal katakan saja. Aku hanya tertarik karena tempat ini sepi dan nyaman."
Aku akhirnya benar-benar pergi, mendengar rumor yang menyebar di antara siswa. Mengatai aku anak haram dan sebagainya, mungkin yang kubutuhkan tempat sunyi, yang membuatku merasa aman. Kupusatkan perhatian pada langkah kaki, tak mengira pemain basket tadi mengejar, berseru di belakang.
"Nggak! Bukan itu maksud aku!"
Aku menaikkan sebelah alis, berbalik mendapati dia tersengal-sengal, mengelap keringat. Kepanikan itu terlihat jelas, salah tingkah, aku ingin tertawa melihat kecemasan tidak berguna. Menyedihkan sekaligus menggelikan. Aku menutup mulut.
"Baiklah, besok aku akan kembali. Sebentar lagi bel."
"A ... ah, iya."
Aku masih tersenyum kecil, meninggalkan lapangan, mengingat wajah bodoh itu di kepala. Itu bisa jadi sedikit hiburan, di tengah bisik-bisik mereka setidaknya aku bisa lebih tenang. Walau rumor akan mencapai permukaan, lebih baik aku tidak terpaku. Beralih mengerjakan hal-hal berguna, mengalihkan pikiran, tidak membuat diriku seperti Mom.
Menderita sendiri karena pikirannya, harapannya, juga cintanya yang semu.
Bersambung ...
17 Mei 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro