Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Fahri; daughter

"Jadi di mana dia?"

"Dia?"

Aku mendengkus, mengusap wajahku kasar. "Putriku," ujarku tak sabar, "aku tahu kau sudah menculiknya." Aku berdiri di depan Bagas dan anak buahnya, entah mengapa dibanding pengusaha mereka lebih terlihat sebagai tukang pukul—gangster. Setelah menyetujui rencana mereka tempo hari, aku ikut masuk dalam komplotan, aku datang ke tempat yang mereka sebut markas. Baru saja anak buah Bagas menelepon, katanya target sudah berhasil didapatkan.

"Astaga, jangan tegang begitu. Putrimu aman." Bagas tertawa, menepuk-nepuk bahuku sembari tersenyum, berusaha meyakinkan. Aku jengah, sungguh tak percaya dengan perkataannya. Jadi aku kembali mengulangi perkataanku, "Ke mana kau membawanya?"

Senyuman di wajah Bagas menghilang, dia berdehem berjalan menuju kursi, dia menyalakan pemantik dan mulai merokok. "Tepat di tempat rahasia kami ... kau tak perlu risau," jawabnya.

Aku mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa Bagas tak memberitahu lokasi Juliana diculik secara gamblang. Aku mulai kesal. "Ya, lokasinya di mana? Aku perlu tahu, aku harus memastikan putriku aman," sanggahku. Aku melirik semua orang dalam ruangan, para tukang pukul sudah siap di belakang Bagas, barangkali jika diperlukan bisa menghajar kapan saja.

"Tenang, kawan." Dia mulai mengembuskan asap rokok, asap itu berembus hingga sampai ke wajahku. Aku mengibaskan tangan, menyingkirkan asap yang datang. "Tepat di kota sebelah, dia ada di salah satu vila di bawah naungan perusahaan Lekan." Aku mendesah, memijat keningku resah. Aku merasa sesuatu yang tak benar, hal yang teramat salah.

"Antar aku ke sana. Aku ingin bertemu putriku." Aku butuh kepastian, dalam hatiku yang terdalam aku menaruh curiga. Tak pernah aku mempercayai seriap perkataan mereka. Yang kuinginkan hanyalah Juliana, putriku tercinta. Aku ingin mendekapnya, membawanya, membuatnya memanggilku Ayah.

Sungguh harapan konyol, tapi tidak ada salahnya bukan?

Bagas sempat terdiam sesaat, aku sudah memikirkan argumen dan sangkalan jika dia menolak. Namun, yang mengejutkan dia mengangguk, bahkan dia melirik ke salah satu tukang pukul untuk menyiapkan kendaraan. Aku masih berdiri di sana, hingga akhirnya mengikuti langkah Bagas yang berjalan keluar. "Mari, kita harus bergegas."

Ketika mobil mulai melaju, perasaanku bergejolak hebat. Rasa antusias, senang, dan cemas melandaku, menerpa diriku dengan berbagai spekulasi. Bagaimana caraku membujuknya agar luluh? Apa dia akan senang dengan kehadiranku? Mungkin aku harus memikirkan kegiatan yang membuat kami dekat, selayaknya ayah dan anak, atau ada cara lain agar kami dekat?

Aku merasa tidak sabar. Aku terus gelisah menatap ke luar jendela, memandang jalanan yang ramai. Seperti kata Bagas, setengah jam berlalu dan kami sampai di vila—tepat di kota sebelah. Vila itu berwarna abu-abu memiliki tiga lntai dengan kolam besar di halaman. Banyak pria bertubuh besar dengan wajah sangar menjaga vila, mereka berjalan mengelilingi tempat itu.

Juliana aman.

Ya, di sini penjagaannya ketat. Aku harap perlakuan mereka baik pada putriku. "Aku harap kalian memperlakukan putriku dengan baik," pintaku sembari melirik sekitar. Bagas di sampingku mengangguk-angguk. "Tentu. Kau tak perlu khawatir. Putrimu aman bersama kami."

Kami berjalan melewati kolam, masuk ke dalam vila, penjaga yang ada menuntun kami menuju Juliana. Aku tak dapat menahan senyum, tanganku mengepal kuat, antusias bukan main. Kami diarahkan menuju lantai dua, hingga sampai di satu kamar. Suara bising terdengar dari kamar, benda jatuh, dobrakkan pintu hingga teriakan menggema.

"Keluarkan aku kalian bajingan gila!"

Tubuhku menegang, mendapat sambutan demikian. Pintu masih ditutup rapat hingga tak ada yang bisa datang. Ah, benar. Ini benar-benar Juliana.

"Kami berusaha menghentikannya, tapi Anda bilang jangan sampai ada kekerasan," sela salah satu penjaga. Aku menggeleng, sikap Juliana memang kasar, jadi putriku itu memang tak dapat dihentikan dengan kata-kata. Bagas di sampingku memberikan kunci kamar, mempersilakan aku masuk. "Gunakan waktumu sebanyak mungkin. Aku yakin kau dapat mengatasi putrimu."

Aku menarik napas mengangguk. Penjaga saling lirik, Bagas memberikan kode untuk meninggalkan aku sendiri—memberikan waktu untukku dan Juliana berdua. Detak jantungku berdegup kencang, bersemangat. Aku mulai memutar kunci, membuka pintu dan yang terjadi selanjutnya adalah tubuhku jatuh terhempas ke lantai. Juliana menerjang, berada di atasku sembari menodongkan serpihan kaca ke leher, hendak menggores. Namun, ketika menatap wajahku dia berhenti, matanya melebar dengan mulut menganga—terkejut bukan main. "Kau ... bajingan!" Dia berseru nyaring, serpihan kaca itu hendak menyayat leherku sebelum kutahan tangannya, dan mulai menjatuhkan Juliana ke lantai. Kini posisi kami terbalik.

"Sambutan yang cukup hangat." Aku terkekeh kecil, sementara Juliana di bawahku menatap berang, menendang-nendang udara, memberontak hebat—sayang dia kalah kuat. "Lepaskan aku!" bentaknya. Aku mendesah, masih tak melepas tangannya membawa Julian ke dekapanku. Aku menahan tubuhnya yang berontak dan kembali membawanya ke dalam kamar.

Aku akui cukup terkejut melihat kondisi kamar yang Juliana tempati. Barang-barang berserakan, jendela jeruji dengan kaca yang pecah, kursi kayu yang patah. Sungguh berantakan. Aku mendorongnya masuk, mengunci pintu dan menghalangi pintu keluar.

Juliana terengah-engah, rambutnya berantakan, dia menatapku tajam. "Kau menculik putrimu sendiri? Dasar berengsek, bajingan, sampah!" umpatnya meneriakiku, dia melempar barang-barang ke arahku, sayang sekali aku dapat menghindar dengan mudah. "Aku senang kau mengakui dirimu adalah putriku.' Aku tersenyum hangat, sebagai balasan Juliana meludah ke arahku, ketika aku menatap lebih teliti aku bisa melihat tangannya yang berdarah. Aku mendesah. Itu pasti karena tangannya yang tergores pecahan kaca.

"Kau tahu ... tanganmu terluka. Biar aku obati."

"Obati? Kau? Jangan bercanda." Juliana menghela napas, menatapku skeptis. "Kau khawatir aku terluka? Tapi, tak khawatir jika aku diculik?" tanyanya mengejek, dia menyembunyikan tangannya di belakang tubuh. Kini tampaknya dia lebih tenang. "Bebaskan aku."

Aku terdiam, menatapnya lamat-lamat lantas menggeleng. "Aku tak bisa."

Juliana mengangkat sebelah alis, tertawa sumbang. "Tak bisa? Sungguh? Kau yang membawaku kemari lantas kau bilang tak bisa?! Bajingan!" hardiknya kini sudah mengepalkan tinju, pukulan itu hendak melayang mengenaiku. Aku menarik lengannya, membawa telapak tangannya yang terluka agar kulihat lebih jelas. Juliana meringis.

"Jangan keras kepala. Biar aku obati, oke?"

Juliana hendak kembali berontak, tetapi tenaganya suda habis. Aku menuntunnya duduk di atas kasur. Aku mencari kotak P3K di dalam ruangan, hingga aku menemukannya di atas lemari. Dengan canggung aku mendekat ke arah Juliana, gadis itu membuang wajah, jadi kuanggap dia setuju untuk diobati. Aku duduk di sampingnya, membawa telapak tangannya, aku menuangkan alkohol dan membasuh luka. Aku sesekal melirik ke arah Juliana dan lukanya bergantian.

"Maaf." Aku berkata pada akhirnya. Juliana membisu, di tak mengatakan apa pun. "Aku tahu ini tak adil bagimu. Tapi, ini keputusan terbaik," lirihku. Aku menatap air wajahnya, dia masih membenciku, sama seperti awal kami bertemu. Ini tak berhasil, jadi kualihkan topik sembari membalut lukanya. "Aku senang bisa bersamamu di sini."

Hening. Tidak ada jawaban.

Aku frustrasi, lebih baik Juliana mengamuk seperti tadi, dibanding diam membisu yang membuatku teringat pada El.

"Kau tahu, aku ingin kita berhubungan baik," rayuku. Aku tersenyum, selesai membalut luka di tangannya. Juliana akhirnya menoleh ke arahku, dia tampak jengkel. "Bangsat kau." Sekali lagi dia mengumpat, aku tak tersinggung, sungguh. Akan tetapi aku ingin lebih dekat dengannya. Dengan putriku. "Kenapa kau membenciku, hm? Apakah seburuk itu aku di matamu?"

Juliana terdiam beberapa saat. Hingga akhirnya dia berbisik, suaranya amat lirih dan pelan. "Kau menyakiti, Mom. Aku tak bisa memaafkan siapa pun yang menyakiti Mom."

Aku menghembuskan napas gusar. "Sekarang aku tak mau menyakitinya. Aku ingin menebus kesalahanku," belaku. Aku sungguh-sungguh akan hal itu, aku sudah memakai berbagai cara, tentu yang kuinginkan hubungan kami berjalan dengan baik.

Dia menatapku, tatapannya diliputi benci. "Kau sudah menghancurkan hidup Mom."

"Tapi, karena itu kau terlahir-"

"Lebih baik aku tak terlahir dibanding membuat Mom menderita."

Percakapan ini buntu.

Kali ini aku tak bisa berkutik. 

Bersambung ....

17 Juni 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro