Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Amelie; you guys deserve to die

Terpikir di benakku tentang putriku, putriku yang berharga—tak terelakkan perasaanku berantakan, buruk dan kacau. Aku tak berhenti menggigit ujung jari hingga berdarah, mondar-mandir di depan jendela, sungguh gelisah bukan kepalang. Aku telah menghubungi Bryan dan aku yakin jika dia sudah bergerak cepat, aku mendapat firasat buruk, An tidak pergi begitu saja, sesuatu terjadi.

Ada sesuatu yang terbayang di kepalaku, berbagai spekulasi, siapa yang mungkin menjadi tersangka. Aku menerka-nerka, apa motif mereka, apa yang mereka inginkan, jelas mereka berurusan dengan orang yang salah.

Ring, ring, ring.

Kesadaranku mendadak kembali, aku menatap ponselku yang berdering, bergetar di atas meja. Segera saja kulihat siapa yang menelepon, tertera di sana bertuliskan 'Pak Tua Espargaro'—Kakek dari An, juga ayah Bryan. "Halo, Tuan," jawabku formal. Sedari awal aku tak pernah berbicara santai atau tidak sopan, hubungan kami seperti kolega yang bersahabat baik, rekan—tak seperti keluarga.

"Kudengar An hilang." Aku termenung, tak langsung menjawab. Kabar tersebar cepat sekali, mungkin Tuan memasang mata-mata di keluarga kami hingga berita itu sampai. "Benar." Aku mengangguk sebagai respons, menarik napas dalam-dalam aku melanjutkan, "Saya sudah menghubungi Bryan. Pencarian sedang berlangsung."

"Astaga ...."

Aku bisa mendengar gumaman dari Tuan. Beliau terdengar gelisah, aku bisa mendengar beliau memanggil orang dan memintanya mencari An. "Kami akan segera menemukannya," kataku bermaksud membuat Tuan tenang. Beliau mendengkus, tak yakin. Aku pun sejujurnya ragu dengan perkataanku sendiri.

"Amelie, dengar."

"Ya?"

"Aku memiliki banyak musuh, hal ini bisa saja terjadi," ujarnya. Suaranya yang serak melembut, aku tahu beliau selalu perhatian, sama dengan Bryan. Beliau terbatuk beberapa kali sebelum melanjutkan, "Kau harus percaya An baik-baik saja. Dia anak yang kuat, lebih dari keparat itu." Aku mengangguk kecil, keparat yang dimaksud adalah Bryan, hubungan mereka memang tak baik.

"Saya mengerti." Bukan tak pernah terpikir hal ini akan terjadi, tentu aku sadar betul bahwa Keluarga Espargaro memiliki kekuasaan yang membuat orang iri. Hanya saja mengetahui putriku hilang bukanlah berita baik dan aku tidak senang berlarut-larut dengan perasaan tidak nyaman. Cengkeramanku pada ponsel semakin kuat, napasku berembus kasar.

"Aku akan membantu pencarian. Kau juga jangan pergi tanpa penjagaan, kondisi saat ini berbahaya." Lagi-lagi aku mengangguk, walau tahu beliau tak dapat melihatnya. "Aku tutup dulu, aku harap masalah ini segera teratasi."

"Terima kasih," jawabku sebagai balasan. Tuan tertawa kecil, jika dia ada di depanku—terbayang beliau akan mengusap pundakku, beliau tak mengatakan secara langsung, tetapi tindakannya lebih berarti dari kata-kata. "Sama-sama."

Telepon ditutup, aku menatap langit yang gelap dari jendela. Musim kemarau yang panas sudah berakhir, gerimis mulai turun dan membasahi tanah, tumbuhan, segala sesuatu di luar sana.

Aku memejamkan mata, berpikir kemungkinan siapa yang bisa menjadi tersangka, dengan cepat aku menangkap satu nama. "Callington," bisikku. Keluarga di mana aku berasal, kami memiliki banyak permasalahan dan terakhir hubungan kami semakin buruk. Dan jelas mereka ingin mengambil An dariku, membawaku kembali, tanganku terkepal, mataku menatap tajam jendela yang memantulkan diriku di sana.

"An, Mom akan menemukanmu."

Tanpa pikir panjang, emosiku yang bergejolak mulai menguasai diri.

Putriku. Aku harus mendapatkan putriku kembali.

...

Ketika aku memandang sebuah rumah putih perasaanku langsung memburuk. Rumah itu menjulang tinggi tiga lantai yang memiliki arsitektur Belanda. Pagar hitam setinggi lima meter dengan kebun kecil juga air mancur menyambut siapa saja yang datang. Nostalgia segera menyergap, kenangan-kenangan buruk masa kecil menghantuiku. Aku hendak mundur, seolah kecemasan melahapku hidup-hidup, tetapi tidak, aku di sini bukan untuk itu.

"Katakan pada Nyonya Callington, Amelie Espargaro hendak berkunjung." Aku berdiri tegak, tak goyah barang sedetik. Penjaga yang berada di sana cepat-cepat mengangguk dan pergi menuju tuan rumah. Entah kenapa di dalam diriku aku merasa kembali pulang. Ke tempat buruk di mana masa kecil kuhabiskan, bertahun-tahun hingga aku kabur dan pergi dari rumah sialan ini.

Walau begitu aku sudah tak takut lagi, seperti kataku—sekarang aku bebas. "Nyonya sudah menunggu." Aku mengangguk, suara deret pagar terdengar, pintu masuk terbuka. Aku mengangkat wajah tinggi-tinggi, membusungkan dada berjalan tegap. Dua penjaga di sampingku mengawasi, tidak sekalipun mengalihkan pandangan.

"Amelie ...." Nyonya Callington, aku bahkan tak mau menyebutnya ibu, aku berdiri di depan pintu, matanya menyorot benci. Mungkin karena sikapku sebelumnya, ya, aku sadar aku telah lancang. Dia bahkan tak repot-repot mempersilakan aku masuk, aku berdiri di depan pintu berdiri tegap—tak goyah barang sedetik.

"Katakan, di mana putriku."

Dahi Nyonya Callington mengerut, dia bersedekap lantas terkekeh. "Kau ke sini hanya karena itu?" Aku mengepalkan tangan, kepalaku terangkat menatap nyalang. "Hanya?" Tak dapat kudeskripsikan rasa benciku yang tak kalah besar, kami saling menyudutkan, menjatuhkan.

Nyonya Callington mendecih. "Kupikir kau di sini untuk meminta maaf. Lihat perbuatanmu! Mempermalukan ibu dan ayahmu di hadapan semua orang? Sekarang kau datang menanyakan anak haram yang kau bangga-banggakan itu? Di mana rasa malumu, huh?" Aku sudah tidak tahan, tanganku terangkat hendak menampar, tetapi Tuan Callington dengan kepala yang diperban hadir, menahan lenganku dan mencengkeramnya kasar.

"Amelie! Kau sudah menjadi anak yang buruk dan sekarang menyebabkan banyak kekacauan!"

Ini semua karena kalian. Aku menarik lenganku, jika mereka mengatakan bahwa aku seperti ini karena sikapku yang buruk, mereka perlu berkaca—semua yang kulalui berasal dari mereka. Benci, benci, dan benci. Aku benci mereka. "Kau bukan lagi bagian dari Callington," desis Nyonya Callington.

Aku menarik napas, kembali mengangkat kepalaku. Ingat, Amelie. Kau di sini untuk mencari An. "Kembalikan putriku," desahku. Aku menyentuh pergelangan tanganku yang habis dicengkeram oleh Tuan Callington, rasa-rasanya sakit sekali, bahkan mungkin meninggalkan lebam. Tidak seperti di masa lalu jika salah aku akan menunduk, meminta maaf, terlebih ketika pukulan melayang maka aku akan merengek penuh tangis. Akan tetapi sekarang tidak lagi. Amelie kecil sudah mati.

"Kami tidak tahu," jawab Tuan Callington singkat.

Tatapan mereka berubah, sadar bahwa aku bukan Amelie yang mereka ingat. Aku tertawa, melangkah mendekat dengan seringai tipis. "Jangan buat aku mengulangnya," gertakku sembari memiringkan kepala. Aku dapat merasakan atmosfer terasa berat. "Kembalikan putriku."

Kekerasan, paham patriarki, pemberdayaan. Aku telah menjadi anak yang paling menderita di dunia selama 18 tahun pertama dalam hidupku. Mereka memaksaku menjadi Callington sejati—seorang perawan suci, wanita terbaik tanpa cela, calon ibu dan istri setia, seorang wanita yang terjebak dalam patriarki ketat. Bahan aku tak bisa belajar pelajaran umum dan hanya diizinkan melukis, sebagaimana wanita yang harus duduk cantik seperti pajangan. Mereka tak pernah mau hal-hal cacat, kesalahan sedikit pun, mereka akan langsung menyingkirkannya.

Aku muak, muak dan muak.

Dor!

Suara tembakan terdengar nyaring, aku tersentak di tempat, darah terciprat mengenai wajahku. Aku bisa melihat kepala Tuan Callington yang tertembak, tengkoraknya pecah dengan darah menetes dari kepala, tubuhnya limbung bergerak jatuh ke belakang.

"AAAHHHH!" Nyonya Callington berteriak, aku tercenung di tempat. Hingga dari belakang satu tembakan kembali melesat. Menembak dada Nyonya Callington, membuat wanita tua itu tergeletak di lantai, tembakan kembali susul menyusul, menembak orang-orang di dalam rumah, sungguh sebuah pembantaian.

"Sayang ...," bisik seseorang memelukku dari belakang. Tangannya yang kasar menutup mataku. Tubuhku yang menegang mulai rileks, aku menyentuh lengannya. "Tidak ada yang bisa dilihat. Tutup saja matamu." Bryan. Aku tahu suara ini adalah milik suamiku. "Apa aku mengagetkanmu, Sayang?" tanyanya dengan suara rendah, terdengar khawatir.

Tidak. Aku ingin mengatakannya, tetapi mulutku tersumpal. Sesuatu yang kerdil berada di dalam diriku, apakah ini simpati? Aku bertanya pada diriku sendiri, tanganku gemetar karena emosi yang berserakan menerpaku. Aku menggenggam tangannya, dia bergumam, "Maaf aku terlambat."

Semua memori tentang mereka berhamburan, kejahatan mereka, semua sikap buruk juga paksaan. Di antara rasa benci yang mendalam anehnya aku merasa lega. Aku tersenyum kecil. "Mereka memang pantas mati," ujarku. Bryan menurunkan tangannya yang menutup mataku dan menciumku, kali ini ciuman yang dalam. Aku membalasnya, air mata menetes dari kelopak mataku. "Mereka pantas mati, benar, mereka pantas," parauku mengulang kata yang sama, meyakinkan diriku sendiri.

Bersambung ....

10 Juni 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro