8. Out of Balance
Gemina ingat kata-kata Pak Johanes, dosennya di semester pertama dulu. Kehidupan adalah seni. Seni itu keseimbangan. Jadi, kehidupan itu keseimbangan. Dalam seni, ada tiga macam keseimbangan: simetris, asimetris, dan radial. Dalam kanvas kehidupan, posisi individu juga demikian terhadap lingkungannya. Simetris, saat manusia dapat becermin pada manusia lain. Asimetris, saat manusia melihat ketimpangan. Atau radial, saat ia menyadari diri sebagai bagian dari semesta dengan satu titik pusat: Sang Pencipta.
Sampai pusing ia memikirkan kaitan prinsip seni dengan pemaknaannya dalam hidup, apalagi penerapan praktisnya. Ia sempat menganggap Pak Johanes hanya sedang jatuh cinta pada kata-kata ruwet ala motivator populer.
Setidaknya, Gemina mengerti bahwa keseimbangan diperlukan untuk stabilitas. Contohnya bisa sederhana. Makan dengan nutrisi seimbang. Istirahat dan bekerja seimbang. Tidak berlebihan dalam beraksi dan bereaksi. Tapi, teori selalu lebih mudah ketimbang praktiknya.
Pertama, boro-boro nutrisi seimbang, Gemina malah lupa makan setelah bertemu dengan IgGy. Ia pulang tanpa mampir ke warung makan dan malas keluar lagi setelah nyaman di kamar. Ada sebungkus biskuit untuk sekadar mengisi sudut lambung.
Kedua, ia bekerja tanpa jeda hingga dini hari. Meskipun Oliva memintanya menolak komisi RaKa, Gemina merasa harus tetap memegang janjinya pada IgGy. Ia menyelesaikan gambar RaKa dengan pensil, bahkan membuat satu lagi dengan cat air. Gemina sangat puas dengan hasilnya dan tak sabar ingin menunjukkannya pada IgGy. Tapi ia memberi Oliva kesempatan untuk menjelaskan alasannya hari ini. Kalau gadis itu tidak meneleponnya, ia akan menelepon IgGy untuk melanjutkan transaksi.
Ketiga, beberapa peristiwa yang terjadi kemudian membuatnya sangat emosional dan bereaksi impulsif.
Gemina baru tidur beberapa menit selepas subuh ketika Panji meneleponnya. Suara adiknya tegang, mengusir kantuk Gemina jauh-jauh.
"Ada apa? Kamu di mana sekarang? Kedengaran ramai."
"Di rumah. Abah mau dibawa ke rumah sakit. Banyak tetangga di sini."
"Apa? Abah kenapa?"
"Kemarin siang, Abah naik motor dan jatuh. Sepertinya diserempet mobil, tapi Abah bilang enggak apa-apa, enggak ada luka serius. Aku dan Kak Citra dilarang kasih tahu Kak Gemi, karena Kak Gemi pasti sibuk. Tapi tadi Abah pingsan. Sekarang sih sudah sadar, sudah diperiksa dokter Thomas. Dan disarankan ke rumah sakit. Ini mau diantar sama Pak RT."
Gemina memekik. "Aku pulang saja kalau begitu."
"Jangan. Abah nanti malah kepikiran kalau Kak Gemi bolos kuliah. Aku kabari saja nanti hasilnya, ya. Aku terpaksa telepon karena Abah baru bilang, waktu kecelakaan itu, tasnya hilang. Di dalamnya ada uang yang Abah ambil dari ATM buat bayar SPP dan field trip-ku. Rekening Abah kosong sekarang. Uang Kak Citra dicadangkan buat rumah sakit .... Entah cukup apa enggak. Kalau Kak Gemi punya .... Tapi kalau enggak ada, enggak apa-apa kok, aku enggak usah ikut field trip."
Gemina menelan ludah. "Berapa yang kamu perlukan?"
Panji menyebutkan jumlahnya. Gemina mengingat-ingat saldo terakhir rekeningnya. Ada pemasukan dari beberapa komisi yang ia kumpulkan untuk membeli kamera. Masih kurang banyak untuk kamera, tetapi bisa menutupi keperluan Panji. Sisanya akan dicukup-cukupkan untuk makan dan transportasinya sendiri beberapa hari ke depan. Sampai ada pemasukan lagi. "Aku transfer sekarang."
"Terima kasih, Kak. Maaf ya bikin repot."
"Pan!"
"Ya, Kak?"
"Kamu sehat, kan?" Gemina tak urung tertawa kecil. Sejak kapan Panji jadi suka basa-basi begitu? Didengarnya Panji terkekeh. Getir. "Jaga Abah baik-baik ya. Kabari terus perkembangannya."
"Tentu. Jangan khawatir, mestinya sih Abah enggak perlu rawat inap. Nanti aku bujuk Abah untuk telepon Kak Gemi, ya. Aku pergi dulu."
Gemina meletakkan ponselnya sambil mendesah berat. Mungkin secara fisik, dan yang terlihat dari luar, Abah baik-baik saja saat ini. Tapi pingsan susulan itu membuatnya takut. Luka dalam kah atau sesuatu yang lain? Abah sudah 60 tahun, selama ini jarang sakit. Hanya setelah ia kuliah, Abah harus bekerja lebih keras. Beternak ayam pedaging dengan skala kecil tidak mencukupi lagi, Abah pun menjadi agen penjual makanan ternak dan pupuk. Sayangnya Abah tidak tegaan, banyak petani dan peternak berutang padanya.
Kak Citra membantu sedikit-sedikit. Sebagai guru SD setempat, Kak Citra tidak berlimpah juga. Tapi Gemina sangat bersyukur, ada Kak Citra di rumah, Abah lebih terurus. Ia tahu kakaknya berkorban banyak, agar Gemina dan Panji bisa lebih jauh melangkah. Tunggulah, empat semester lagi saja, pikir Gemina. Begitu selesai, ia akan mencari pekerjaan dengan penghasilan besar dan mengambil alih peran sebagai tulang punggung keluarga.
Untuk saat ini, keseimbangannya terkesan asimetris. Lebih berat pada tugas dan pekerjaan. Tapi Gemina percaya langkahnya benar saat memandangi dua gambar RaKa yang diberdirikan di atas meja.
Andai saja komisi ini jadi, mana yang akan dipilih IgGy, sketsa pensil atau cat air? Sama-sama memberikan efek mencekam, karena mata anak itu menyorotkan kecerdasan namun penuh tuntutan dan ketidakpuasan. Sementara bibirnya menyunggingkan senyum sinis meremehkan. Bedanya, pada sketsa pensil, Gemina memberi latar gelap sehingga RaKa seperti baru muncul di tempat terang, dengan posisi simetris di tengah halaman A3. Sedangkan pada lukisan cat air, ia memberi bayangan wajah lebih gelap yang mengesankan RaKa pelan-pelan menghilang, ke tepi halaman. Posisi asimetris dengan latar taman bermain yang ceria.
Ia sengaja membeli cat air yang cukup mahal untuk itu, sekalipun ada risiko komisi batal mengikuti kemauan Oliva. Daripada menyesal menyerahkan karya yang tidak optimal kepada IgGy, lebih baik menyesal telah bekerja all-out tapi batal. Sama-sama menyesal.
Gemina menyemburkan napas. Memeriksa ponsel, memastikan tidak mati karena kehabisan baterai atau suaranya terbisukan. Oliva belum juga menghubungi. Ada apa dengan orang-orang itu? Begitu mudahnya mengatakan akan kontak segera lalu menghilang. Seolah tidak butuh, dan Gemina lah yang harus mengejar-ngejar. Tapi Oliva tidak memberikan nomornya. Gemina juga merasa gengsi untuk meminta kemarin. Urusannya hanya dengan IgGy.
Kita lihat. Apakah kamu akan menjadi rezekiku, RaKa.
Gemina kemudian melakukan transfer melalui phone banking dan mengirimkan pesan kepada Panji. Pukul 6.30, waktunya bersiap untuk kuliah pagi. Ia membuka kran air di kamar mandi dan memandang tidak percaya. Tante berulah lagi. Menutup saluran air ke kamarnya. Apa masalahnya sekarang? Kemarin, setelah diprotes, Tante berkilah. Tidak dimatikan kok, hanya memang debet air berkurang karena semua kran menyala di pagi hari. Tante juga menyalahkannya karena tidak menampung air di malam hari. Yang benar saja. Harus sedia berapa ember di kamar mandi sempit itu? Bagaimana kalau semalaman ia berada di luar?
Gemina mengentakkan kaki dan menelepon Tante. Oh ya, lebih baik lewat telepon. "Tante, air mati lagi!" semburnya.
"Kak Gemi, Mama sedang di kamar mandi. Tapi katanya, Kak Gemi belum bayar air dan listrik bulan ini. Sudah telat dua minggu." Nesia yang menjawab.
"Astaga! Bukannya biaya air dan listrik sudah termasuk dalam sewa kamar?"
Terdengar Nesia berteriak menyampaikan kata-katanya kepada Tante. Jawaban ibunya tidak terdengar. Tapi Nesia kemudian berkata, "Mulai bulan ini enggak gitu aturannya. Karena tarif air dan listrik sudah naik. Begitu kata Mama, Kak."
"Kenapa mendadak begini? Ini enggak adil. Jadi sebetulnya air enggak ngalir akibat debet air kurang atau sengaja dimatikan karena pembayaran menunggak?" Gemina menggertakkan gigi. Suaranya sedingin air sisa di ember yang tidak cukup untuk sekadar cuci muka sekalipun.
Nesia meneriakkan lagi pertanyaannya. "Dua-duanya, Kak."
Gemina memutar bola mata. "Nesia, bilang ke Tante, nyalakan air sekarang, atau aku akan menuntutnya untuk ganti kameraku."
"Kak Gemi jangan marah ke aku ya." Nesia tiba-tiba terisak. "Mama bilang, Kak Gemi bayar dulu, karena uangnya aku perlukan sekarang untuk bayar kegiatan sekolah."
"Apa? Nesia ...." Gemina kehilangan kata-kata. Ia memutuskan hubungan dan memekik. Kalau Tante ingin perang, ia akan beri perang. Tapi jangan bersembunyi di balik anak kecil. Dengan langkah mengentak, Gemi menuju rumah induk. Menggedor pintunya. Tidak ada yang membukakan. Gemina mencoba menelepon lagi, tapi Nesia tidak mengangkatnya.
"Nesia! Buka! Aku mau bicara sama Tante!" Gemina berteriak sambil mengetuk-ngetuk jendela keras-keras.
Beberapa kepala menyembul dari kamar-kamar kos karena kehebohannya. Tapi Gemina tidak peduli. Semua juga sudah maklum. Bahkan mungkin diam-diam mereka merasa diwakili olehnya. Dan ia menjadi lebih bersemangat memanggil dan menggedor pintu. Beberapa saat kemudian, Nesia muncul dan membukakan pintu. Tidak berseragam. Pipinya basah.
"Kamu enggak siap-siap sekolah?"
Anak itu menggeleng. Menggigit bibir. "Hari ini ada kegiatan wisata buku. Mama tidak mau kasih uang. Buat apa ikut kalau tidak bisa beli buku?"
Perasaan Gemina terpecah saat itu juga. Kemarahannya pada Tante Vira berlipat ganda. Tapi baru kali ini ia benar-benar tidak berdaya. Tante bukan jenis orang yang mementingkan belanja buku, ajaib juga putri sulungnya punya passion bekerja di toko buku. Sekarang, gadis SMP yang masih polos ini dijadikan senjata untuk memenangi perang dengannya. Gemina menghela napas kalah. Untuk sekali ini.
"Sana siap-siap ke sekolah. Habis itu ke kamarku. Ambil uang. Tapi tolong buka saluran air ke kamarku."
Nesia menggangguk. Wajahnya memerah. "Maaf, Kak."
Gemina kembali ke kamar, tanpa kata. Mandi dan bersiap pergi ke kampus dengan satu pemikiran yang semakin kuat setiap detiknya. Aku harus pindah kos.
Di kelas, ia tidak mampu berkonsentrasi. Panji mengirim kabar, kadar gula dalam darah Abah rendah sekali. Hipoglikemia. Bisa jadi gejala awal diabetes atau hanya karena pola makan Abah yang tidak teratur. Dokter masih melakukan pemeriksaan menyeluruh. Abah mungkin harus dirawat satu atau dua hari untuk mendapatkan infus nutrisi.
Gemina bersandar lemas. Baru terasa perutnya juga merintih perih. Tangannya berkeringat dingin. Entah karena lapar atau akibat emosinya semakin kacau. Tak ada gunanya duduk di sini. Gemina segera meminta izin kepada dosen untuk keluar dari kelas dengan alasan tidak enak badan. Loka dan Bisma yang duduk di belakang memandanginya heran. Gemina hanya mengangguk dan berlalu. Untuk pertama kalinya, Gemina tidak mengikuti kuliah dengan alasan aneh begini.
Ia pergi ke kafetaria, memesan bubur ayam dan teh tawar. Dompetnya nyaris kosong. Abah perlu biaya. Oliva belum juga menelepon. Gemina memencet nomor IgGy.
"Garin ...."
"Hai, Gemi. Ada progress?" Suara IgGy lembut penuh harap.
Gemina langsung merasa mendapatkan dorongan. This is the right thing to do, professionally. "Sudah selesai kok. Aku bikin dua versi, sketsa pensil dan cat air. Kamu lihat saja dulu dan pilih salah satunya."
"Dua-duanya saja. Aku bayar semuanya."
"Eh, enggak usah. Aku sengaja menyediakan alternatif agar klien puas."
"Lalu RaKa satu lagi buat apa? Kamu enggak akan memasangnya di dinding kamar, kan? Daripada tersia-sia, aku beli saja. Lagian, aku pasti enggak bisa memilih."
Gemina tersenyum. "Oke. Cuma ada satu masalah."
"Oh. Apa?"
"Belum kukasih pigura. Aku enggak punya duit."
Terdengar tawa halus IgGy. "Enggak masalah. Kamu ada di mana? Bebas?"
"Ya. Di kampus. Ada kuliah sebetulnya. Tapi sudah izin."
"Khusus untuk ini? Kamu benar-benar memanjakan klien."
"Jangan geer. Aku mau bereskan urusan denganmu lalu pulang kampung. Abahku sakit."
"Oh, sorry to hear that. Jadi, aku jemput ya?"
"Enggak usah. Kamu ke toko pigura langganan anak-anak DKV saja. Halus garapannya dan cepat." Gemina menyebutkan alamat. "Dari sini setengah jam. Sampai ketemu di sana."
Di angkot, Gemina mengirim pesan kepada Loka dan Bisma. Pamit tidak masuk kuliah besok dan lusa, tolong mintakan izin, catatkan tugas, dan jangan bertengkar. Jangan khawatir, hanya ingin memastikan kondisi Abah. Bisa sambil belajar di perjalanan. Senin pagi sudah kuliah lagi.
Kalau bisa menjawab, sahabat-sahabatnya pasti akan menyebutnya impulsif. Saat ini akal sehatnya memang sedang macet. Bertemu Abah, Kak Citra, dan Panji, akan mengembalikan pikirannya pada jalur yang benar. Layak ditukar dengan dua hari absen.
Gemina sampai di toko pigura hampir bersamaan dengan mobil IgGy memasuki parkiran. Cowok itu datang sendiri. Gemina baru terpikirkan kemungkinan IgGy mengajak Oliva. Entah apa jadinya kalau begitu.
"Enggak ajak tunanganmu?" Itu kalimat yang langsung diucapkannya begitu IgGy turun. Gemina sampai menutup mulutnya, kaget sendiri. Benar-benar kacau kepalanya.
IgGy tertawa. Dekik yang dalam tampak di kedua pipi. Gemina sampai merasa iri, kenapa lesung pipit seindah itu buat lelaki, ya Tuhan?
"Memangnya kalau sudah bertunangan harus selalu jalan bareng?" sahut cowok itu. "Banyak waktu untuk itu setelah nikah. Benar enggak?"
Gemina hanya meringis. Sudah, jangan bicarakan Oliva lagi. Hanya menimbulkan perasaan tidak nyaman saja. Tapi bukan salahnya, kan?
Melihat dua bahu Gemina terbebani ransel dan tas album gambar yang lebar, IgGy membukakan pintu toko untuknya. Dan mereka tertegun sesaat. Sepagi itu pengunjung sudah ramai. Menunggu antrean pelayanan, Gemina mengajak IgGy ke meja di sudut ruang duduk untuk menunjukkan RaKa.
Ekspresi IgGy benar-benar berharga untuk diamati. Cowok itu beralih cepat dari gambar pensil ke cat air, bolak-balik. Lalu menatap sat demi satu berlama-lama. Bibir mengatup rapat. Mata memandang rindu, atau jeri? Gemina sampai menelengkan kepala. Seperti yang pernah IgGy bilang, beberapa menit saja bersama RaKa, kamu bisa marah, tertawa, sedih, dan takut. Sekarang, ditambah terharu? Mata IgGy tergenang dan buru-buru dihapusnya.
Gemina merasa bangga, tentu saja. Karyanya berhasil memancing emosi. Itu tanda keberhasilan. Tanpa harus diucapkan secara eksplisit oleh kliennya.
"Kalau boleh tahu, untuk siapa RaKa dihadiahkan?"
"Eh?" IgGy seperti baru tersadar. Mendongak memandangnya. "Untuk Mami. RaKa selalu hidup di kepala dan hatinya. Tak ada ruang lagi buat yang lain-lain. Kukira, dengan memberinya gambar sehidup ini, Mami akan sadar dan membiarkan RaKa berisitrahat dalam damai. Kita akan lihat keajaiban karya senimu, Gemi."
Suara IgGy lembut namun Gemina merasa teriris. Di belakang kepalanya, bisikan khawatir Oliva terngiang. Kamu enggak tahu akibatnya kalau gambar ini jadi dan dimanfaatkan IgGy.
Gemi menghela napas dalam-dalam. Sudah terlambat untuk bertanya dan mempertimbangkan apa akibatnya, bukan?
Art is balance. Ada aksi ada reaksi. Ada sebab ada akibat. Ada keputusan impulsif ada konsekuensi. Gemina menelan ludah.
(bersambung)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro