7. Garin
Semoga dia lebih telat. Semoga dia lebih telat. Gemina lari terpontang-panting. Sudah telat bangun, air di kamar mandinya tidak mengalir pula, jadi harus antre di kamar mandi umum. Lalu terjebak macet, sekarang, lift pun terlalu pelan membawanya ke lantai tiga. Ia masuk ke kafe, mengedarkan pandangan. Meja-meja kosong. Ia nyaris bersorak tapi matanya menangkap sosok IgGy di dekat jendela.
Gemina mengembuskan napas dan mendekat. "Hai, IgGy—"
Pemuda itu mengangkat tangan kiri tanpa berhenti menulis. Merasa bersalah, Gemina pun berdiri diam. Di meja, dua cangkir kopi tinggal ampas. Oke. IgGy sudah menunggu lama. Sekarang tidak ingin diganggu. Mungkin perlu konsentrasi untuk menangkap ide. Semenit, dua menit, Gemina mulai jengkel. "Garin ...."
IgGy mengangkat wajah. "Oh, hai, Gemi. Apa kabar? Silakan duduk."
Tadi tak acuh kayak bos killer, sekarang menyapa seperti baru melihatnya. Maksudnya apa? Dan tiba-tiba saja senyum pemuda itu mengembang, dekik di pipinya begitu dalam. Gemina terkesima. Lalu tersadar. Buru-buru duduk di depan IgGy. "IgGy, maaf, aku terlambat."
"Satu jam." IgGy menukas ketus. "Untung klienmu sabar."
"Eh?" Kening Gemina berkerut. "Artist-mu ini sebelumnya super sabar menunggu klien yang terlambat memenuhi janji sampai tiga minggu."
"Itu karena aku menunggu penulisnya pulang dari luar negeri dulu agar bisa menambahkan pesan khusus buatmu. Tidak sekadar tanda tangan." IgGy menjawab dingin.
"Oh ... wah!" Kekesalan Gemina menguap begitu saja. "Kamu kenal dekat Radmila? Dia seperti apa? Aku pengin ketemu. Tapi tanda tangan dan pesannya juga belum kulihat. Bukunya masih di Mbak Zara. Terima kasih, Garin."
Sambil menelengkan kepala, IgGy tersenyum. "Bukan masalah. Oh ya, mau makan? Minum?"
"Black coffee saja. Terima kasih."
IgGy bersiul pelan. "Aku juga."
Gemina mengamati cowok itu berbicara dengan pelayan. Mendadak sadar sikap IgGy berubah-ubah seolah mewakili dua kepribadian, IgGy dan Garin. Lewat chat semalam, kesannya bercanda. Tapi berhadapan langsung begini, perubahan itu begitu nyata. Itukah sebabnya ia harus konsisten menggunakan salah satu nama saja? Lalu, kepribadian aslinya yang mana?
"Ada yang ingin kamu tanyakan." IgGy sedang menatapnya lekat.
Gemina mengerjap. Kata-kata meluncur begitu saja. "Ya. Ignazio Garin Yudistra, apa kamu serius punya kepribadian ganda? Maksudku, kepribadian ganda yang resmi menurut psikolog gitu."
IgGy meletakkan lengannya terlipat di meja. Mencondongkan badan ke depan dan berbisik, "Gemina Inesita, kamu serius tanya apa aku punya sertifikat masalah mental?"
Ups. Mati aku. Gemina merutuk dalam hati. Implikasi itu tidak terpikirkan olehnya. Sambil berusaha tetap tenang, Gemina meletakkan tangan juga di meja, lalu mendekatkan kepala, balas berbisik, "Ya. Karena aku harus yakin, kesepakatan komisi yang kita buat sekarang diketahui dan disetujui oleh semua kepribadian kamu."
Mata IgGy melebar. Mungkin jawabannya di luar dugaan. Karena jelas cowok itu terenyak di kursi. Mengejutkan pelayan yang membawa kopi.
Gemina mendesah. Kalaupun IgGy membatalkan komisi gara-gara itu, ya sudahlah. Ia meraih kopinya, mencari kehangatan. AC disetel terlalu rendah .... Ah, akui saja Gemi, kamu terintimidasi. Ia menghela napas lagi. "Thanks for the coffee, Garin. Atau siapa pun kamu saat ini."
Bibir IgGy berkedut seperti menahan tawa. Berhasil. Wajahnya kaku ketika berkata, "Imajinasimu liar, Gemi. Sejak semalam, aku hanya mengikuti permainanmu. Ya ampun, kamu benar-benar percaya."
"Oh." Gemina kehilangan kata. Lega luar biasa. Ia tersenyum lebar.
Dibalas IgGy dengan senyum tipis berlekuk di kedua pipi. Aah, seharusnya Eliyaan ada di sini.
"Jadi, bisa kita singkirkan segala macam omong kosong tentang kepribadian ganda ini?"
"Oke," sahut Gemina, dan melanjutkan dalam hati, tapi mulai sekarang aku akan konsisten memanggilmu Garin, kalau itu bikin kamu lebih mudah dihadapi.
IgGy mengambil amplop dari ranselnya. "Ini foto-foto RaKa. Semuanya candid. RaKa paling anti difoto."
Gemina mengeluarkan lima lembar foto berukuran kartu pos dari amplop. Anak yang sama, usia 9 tahun. Dua tampak samping, satu out of focus, dua lagi nyaris closeup, tajam, tapi ekspresinya marah dan kaget. Ia menyiapkan buku sketsa dan sekotak pensil. Mulai corat-coret. Mencoba menangkap karakter wajah RaKa apa adanya. Closeup. Bentuk wajah bulat, pipi tembem, tapi dengan senyum yang diambilnya dari foto hadap samping.
Tiba-tiba Gemina merasakan perutnya tegang dengan antisipasi. Menggambar seseorang pada usia yang tidak pernah dicapainya .... Apa Juno pernah mendapatkan order seperti ini?
Hidungnya tiba-tiba menghidu wangi segar cologne. Bayangan kepala IgGy jatuh pada bidang gambarnya. Cowok itu sudah bangkit dan membungkuk di atas meja. Terlalu dekat. Kalau Loka atau Bisma, sudah ia dorong jidatnya keras-keras. Penonton live drawing seperti ini paling dekat berjarak satu meter. Tapi IgGy .... Krek! Bunyi pensil patah itu sebetulnya halus. Didengarnya IgGy terkesiap. Kembali duduk.
Gemina mengangkat muka, memandang ke seberang. IgGy menatap lekat sketsa RaKa. Ekspresinya seperti baru melihat seseorang bangkit dari kubur. Ah, ini lebay, pikir Gemina. Tidak pernah ada konfirmasi dari IgGy untuk dugaannya bahwa RaKa sudah tiada.
"Garin, yakin ini mau dilanjutkan?"
IgGy mengangguk. "Walaupun masih sketsa kasar, jelas ini RaKa 9 tahun. Aku ingin lihat yang 12 tahun. Sekarang. Maukah kamu buat sketsanya sekarang?"
"Ceritakan tentang RaKa dulu. Sedikit saja." Gemina membuka halaman baru. Memasukkan 2B yang patah ke dalam kotaknya dan mengambil 4B. Awas saja kalau IgGy membuatnya grogi sampai mematahkan pensil lagi. Sungguh pemborosan. Tiba-tiba disadarinya, IgGy belum juga berbicara. "Garin?"
IgGy mendesah. Bersandar. Memperbaiki posisi duduk. Menarik kursi maju. Diam lagi.
Seketika Gemina paham. Ia sendiri perlu waktu tiga tahun untuk bisa berbicara tentang Ambu sepeninggalnya. Tapi tanpa gambaran sedikit pun tentang sifat RaKa, ia akan sulit membuat ekspresinya. "Aku tiru ekspresi usia 9 saja?"
"Tidak." IgGy menggeleng. Suaranya serak. "Aku enggak perlu RaKa 9 tahun."
"Baiklah." Gemina pun menunggu.
IgGy tidak juga bersuara. Sikap tubuhnya tegang.
Gemina membuat lingkaran kepala. "Adikku, Panji Aryasaka, kayak jerawat matang di ujung hidung. Caper, konyol, bikin malu. Paling suka memanggil aku, Sit, dari Inesita. Dan aku memanggilnya Panci, terjemahan Pan. Enggak ada yang mengalah panggil nama yang benar. Mendiang Ambu sampai bikin aturan. Potong uang saku seribu rupiah tiap kali kami menggunakan panggilan ngawur itu. Kamu tahu berapa banyak Ambu dapat dalam sebulan?" Gemina mengangkat muka, mendapati wajah cowok itu sudah lebih santai, bahkan senyum mulai membayang. "Cukup untuk makan-makan sekeluarga, merayakan ultah Panji ke-13!"
Perayaan terakhir bersama Ambu. Gemina berusia 16 tahun ketika jiwa Ambu direnggut begitu saja oleh pengemudi bus mabuk. Sudah empat tahun berlalu, sakitnya tidak berkurang sampai sekarang. Mungkin bahkan tidak akan pernah berkurang, kalau melihat cara IgGy memandangi sketsa RaKa. Jika dugaannya benar, IgGy kehilangan RaKa belasan tahun lalu.
"Selesai!" Gemina menyerahkan sketsanya pada IgGy. "Itu tampang Panji sewaktu ketahuan menyelinap ke dapur untuk mencomot kue jatah Kak Citra."
IgGy terbelalak, tawanya meledak.
Maaf, Panci, I owe you one, Gemina membatin. Ekspresimu memang lucu menggemaskan dengan hidung dan mulut berlepotan kue.
"Adikmu bandel, tapi kamu menyayanginya. Dan itu terpancar pada ekspresi Panji. Gambarmu memaksa aku menyukai Panji dan melupakan kenakalannya." IgGy menganalisis. Lalu meletakkan kembali buku sketsa di meja.
Gemina mengangguk. "Gambar akan lebih hidup kalau aku tahu hubungan emosional klien dengan objek. Foto Raka ini hanya patokan untuk yang tampak saja. Tanpa model untuk usia 12 tahun, aku akan banyak mengira-ngira. Misalnya, pipi berkurang lemaknya, dagu jadi terlihat lebih lancip, hidung lebih panjang dan menonjol. Perubahan juga akan terjadi pada alis, mata, dan jidatnya. Di usia praremaja, mungkin sudah mulai muncul jakun, dan bahu lebih bidang. Semuanya standar. Rasanya kurang berkarakter. Itu sebabnya aku perlu tahu apa yang kamu harapkan, dan bagaimana RaKa dalam pandanganmu."
"Aku mengerti." IgGy tampak berpikir, lalu tiba-tiba bertanya. "Bagaimana dengan orang yang tidak disukai? Seperti apa kalau kamu bikin sketsanya?"
Hmm ... permintaan tak terduga tapi sangat masuk akal untuk pembanding. Gemina garuk-garuk kepala. Wajah Tante Vira lah yang melintas. Pensilnya pun bergerak. Kamar bocor. Kamera yang hilang. Sindiran tanpa perasaan. Kamar mandi tanpa air. Yang terakhir, Gemina curiga, bukan kejadian kebetulan. Mengingat kamar Mbak Hanum juga sering mati listrik sendirian, bertepatan dengan pembayaran sewa kamar yang tertunda! Dalam kasusnya, bukan tunggakan lagi yang jadi masalah. Mungkin buntut ketegangan soal kamera itu. Susah untuk tidak berprasangka dengan Tante Vira.
"Wow!" IgGy sudah maju lagi. "Ursula the Sea Witch tanpa makeup. Siapa dia?"
Gemina meringis. Awalnya ragu. Bagaimanapun Tante Vira adalah adik Ambu. Tapi justru karena adik Ambu maka sikapnya tidak bisa diterima. "Keluarga dekat, merangkap tante kosku."
IgGy mengangguk. "Kadang, keluarga sendiri lebih keterlaluan, ya? Membuat kita merasa bersalah membencinya. Bahkan berpikir, jangan-jangan kita sendiri yang salah."
Gemina mengiyakan, bukan karena tepat untuk kasusnya dengan Tante Vira. Tapi karena IgGy sepertinya mulai berbicara tentang diri sendiri.
"Dia adikku, selisih usia dua tahun. Dia genius, tahu banyak hal. Terkesan lebih tua dari aku. Dengan RaKa, kamu enggak pernah tahu apakah dia memuji atau menjatuhkanmu; membantu atau malah merusak. Beberapa menit saja bersama RaKa, kamu bisa marah, tertawa, sedih, dan takut. Dan pada akhirnya, kamu enggak pernah tahu juga apakah kamu sayang atau benci kepadanya. RaKa meninggal dunia di usia 11 tahun, 7 bulan, 3 hari. Semua bilangan prima. RaKa mencintai bilangan prima."
Untuk beberapa saat setelah IgGy berbicara, Gemina masih tertegun. Ia tidak yakin apakah air mukanya merespons kata-kata IgGy dengan tepat. Senyum IgGy lenyap secepat munculnya. Sorot matanya melembut tapi detik berikutnya, cowok itu menggertakkan gigi. Kalau tampang IgGy sekarang digambar, pasti cocok untuk ilustrasi cerita misteri. RaKa sendiri, entah kenapa, mengingatkannya pada potret kuno mencekam di museum.
"Harusnya sudah kebayang," kata IgGy, kembali kaku.
Gemina menelan lagi pertanyaan yang nyaris terlontar: Apa yang terjadi pada RaKa? Untuk siapa gambar ini akan dihadiahkan? Apakah si penerima punya kesan yang sama tentang RaKa? Bagaimana reaksinya nanti? Alih-alih, ia berkata, "Aku coba dulu." Lalu ia mulai membuat sketsa kasar. Beberapa kali berhenti karena grogi. IgGy terlalu dekat, waspada mengawasi, bukan menikmati live drawing. Gemina harus mengingatkan diri sendiri untuk fokus. Sepuluh menit kemudian, outline kasar sudah terbentuk. Diserahkannya kepada IgGy.
IgGy memutar-mutar buku sketsanya untuk mendapatkan sudut pandang yang tepat. Reaksi yang kurang bagus. "Teruskan saja dulu."
Gemina menggeleng. Ganti halaman baru. Mulai lagi.
IgGy menatap hasilnya dengan pandangan kosong. Aah.
"Garin, boleh aku minta tolong? Pesankan aku jus stroberi tanpa susu, tanpa gula." Gemina mengusap keringat. "Pergi ke sana, awasi. Pelayannya suka otomatis memasukkan gula dan susu."
Dengan patuh, pemuda itu beranjak ke counter kafe. Good boy. Gemina mengembuskan napas lega. Memanfaatkan waktu untuk berkonsentrasi.
Ketika semua fitur wajah pada sketsanya sudah lengkap, IgGy masih menunggu di counter. Gemina melanjutkan pekerjaannya. Menebalkan garis, mengarsir. RaKa terlihat lebih berisi, tapi ekspresinya masih datar. IgGy meminta pewarnaan dengan cat air, pasti karena belum tahu keajaiban pensil menghidupkan mata. Akan ia tunjukkan. Dan begitu saja Gemina terserap menggarap mata. Berganti-ganti menggunakan 4B dan 6B.
Belum selesai. Tapi mata itu sudah menatapnya, mengirimkan sensasi laba-laba merayapi punggung. Gemina menelan ludah. Semakin haus. IgGy lama benar!
Di counter, IgGy sedang berbicara dengan seorang perempuan yang baru datang. IgGy menunjuk ke arah mejanya. Dan perempuan itu berjalan mendekat. Masih muda. Mungkin seumuran IgGy. Anggun. Cantik. Tapi Gemina berani bertaruh, badannya lebih tinggi dari gadis itu.
"Hai, aku Oliva." Tangannya terulur. Rambut panjangnya tergerai ke depan.
Gemina berdiri menyambut. Siapa cewek ini, apanya IgGy? Dan benar, ia lebih tinggi.
Tiba-tiba Oliva terkesiap saat matanya menemukan RaKa. "Gemina .... Itu gambarmu?" Oliva seperti ingin menyentuh sketsa RaKa, tapi menarik lagi tangannya.
"Ya—"
"Apa kata IgGy?"
"Dia belum lihat yang ini."
"Oh. Syukurlah. Cepat sembunyikan. Jangan sampai IgGy tahu."
"Loh? Kenapa?"
"Tolong, batalkan saja komisi ini. Bilang saja kamu enggak sanggup." Oliva berbalik untuk melihat IgGy. Dua gelas jus sudah tersedia. Tapi cowok itu sedang sibuk menelepon. "Kamu enggak tahu akibatnya kalau gambar ini jadi dan dimanfaatkan IgGy."
Kening Gemina berkerut. "Tapi aku sudah janji—"
"Aku tahu. IgGy sudah bilang. Kupikir dia main-main. Kupikir juga, gambarmu tidak akan seperti itu ...." Oliva memandang resah antara IgGy dan RaKa.
"Seperti apa? Dimanfaatkan untuk apa?" tuntut Gemina.
"Aku enggak bisa bilang. Ini urusan keluarga," sahut Oliva. Ketika Gemina hanya menatapnya, Oliva melanjutkan, "Aku tunangan IgGy."
Ah ya, pantaslah. "Tapi Garin pasti curiga kalau aku tiba-tiba batalin komisi," kata Gemina, melihat IgGy sudah selesai menelepon.
"Garin?" Alis Oliva terangkat. "Dia ngebolehin kamu panggil Garin?"
"Eh, ya." Ada kecemburuan, pikir Gemina, tidak enak hati mendengar nadanya.
"Itu artinya kamu sudah dianggap teman dekat. Lebih mudah lagi aku meminta. Demi kebaikan Garin, batalkan komisi itu."
Cowok yang dibicarakan tengah membawa sendiri minuman pesanannya. Berjalan hati-hati menuju meja.
Gemina melepaskan sketsa RaKa dari buku, menyelipkannya di dalam map. "Enggak bisa kuputuskan sekarang. Tapi ini kusimpan dulu sampai kamu beri aku alasan masuk akal."
"Baik. Kita lihat nanti situasinya." Oliva mengangguk.
IgGy meletakkan nampan di meja. Dua gelas jus stroberi.
"Yang mana punyamu?" tanya Oliva pada IgGy.
"Sama saja."
Oliva meminum salah satu. Ekspresinya berharga sekali saat ia berteriak, "Assaaam! Kenapa sih selalu enggak pakai gula?"
Gemina menyedot jusnya. Segaaar. IgGy tersenyum.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro