5. Janji
Dicermatinya hasil sapuan kuas. Cokelatnya kusam, kurang pas untuk kulit anak Indonesia. Beginilah kalau cat air murahan. Gemina menyemburkan napas kesal. Ia harus berhemat banyak agar bisa membeli kamera baru. Aah, sepertinya semua yang ia lakukan untuk mengalihkan pikiran dari kamera yang hilang, ujung-ujungnya membuat ia teringat lagi pada kamera yang hilang. Padahal sudah dua minggu berlalu.
Kata-kata yang disemburkannya pada Tante Vira waktu itu seharusnya sudah cukup. Tante keterlaluan. Bukannya mengakui keteledoran sendiri, Tante menyalahkannya karena tidak mengunci lemari. Sebelumnya juga pernah kok. Asal pintu kamar terkunci, aman.
Saking marahnya, Gemina berdiri di depan Tante. Menjulang. Tidak bermaksud mengintimidasi dengan tinggi badannya. Tapi yang terjadi seperti itu. Tante yang bertubuh gemuk pendek mengkeret, walau kemudian mengomelinya lagi.
Dan Gemina meledak. "Tante ini apaku? Ibu kos atau bibiku? Enggak bisa seenaknya, jadi ibu kos yang menganggap semuanya bisnis, tapi giliran butuh bantuanku, mendadak jadi bibi. Pilih salah satu sekarang. Kalau jadi bibiku dan bersikap sebagaimana bibi yang baik, aku akan melupakan kamera yang hilang. Tapi kalau jadi ibu kos yang selalu cari untung, Tante harus ganti kameraku. Karena Tante sudah melanggar privasi dan memasukkan pencuri ke dalam kamarku. Ganti kameraku dipotong sewa kamar."
Tante Vira hanya memandangnya terbelalak. Lalu air matanya menggenang. Dan sedetik kemudian, lari meninggalkannya.
Sampai hari ini, Tante Vira mendiamkannya. Buru-buru menghindar kalau melihatnya datang. Mbak Zara dan adiknya, Nesia, dijadikan perantara untuk menyampaikan tagihan. Masih bisa menagih, saudara-saudara ... siapa yang tidak kesal? Mbak Zara cukup waras untuk meminta maaf atas nama ibunya, lalu menawarkan tabungan pribadi untuk membantu. Gemina menolak. Masalahnya kan bukan dengan Mbak Zara. Harusnya Mbak Zara berikan saja uang itu kepada ibunya. Lalu Tante Vira menggunakannya untuk mengganti kamera. Tapi pemikiran itu hanya terlintas di kepala. Ia tidak tega menyakiti perasaan Mbak Zara.
Gemina sudah pindah ke kamar bekas Elyaan. Kamar lamanya bocor semakin parah. Dan calon penyewa yang dicurigai sebagai pencuri pun tidak pernah datang lagi. Sudah jelas kan, orang itu pelakunya?
Abah beberapa kali menelepon. Ikhlaskan saja kamera yang hilang, katanya. Insya Allah akan ada ganti yang lebih baik nanti. Gemina mengiyakan saja. Tidak tega juga bercerita bahwa akhir-akhir ini, ia menerima semua komisi yang ditawarkan. Tidur menjadi kemewahan. Dan Gemina tidak ingin bermewah-mewah sampai ia bisa membeli kamera baru. Sementara ini, kalau perlu, ia meminjam kamera Loka atau Bisma.
"Dipandangi begitu terus, kerjaan bisa selesai, ya?" Loka menepuk meja, mengagetkan Gemina.
"Pakai lagi saja cokelat punyaku." Bisma mendorong kotak cat airnya.
Gemina melirik beragam cokelat di sana dan menghela napas. Bisma bukan mahasiswa serbapunya seperti Loka. Tawaran Loka sekalipun tidak selalu ia terima. "Terima kasih. Aku mau bikin anak ini membawa payung merah saja. Matahari terik membiaskan warna payung ke kulitnya."
"Andaikan aku punya separuh saja bakat dan kecerdasanmu!" Loka membenturkan jidat di meja. "Cat air bukan kekuatanku."
"Sekarang cat air. Kemarin tinta. Kemarinnya lagi pensil warna." Bisma mengomel. "Jadi, apa kekuatanmu? Bagaimana kamu bisa masuk DKV sebetulnya?"
Keduanya berdebat lagi. Gemina tertawa. So sweet. Percayakan saja pada Bismaloka untuk mengembalikan suasana hatinya. Loka dengan rambut panjang dikucir asal-asalan. Bisma dengan rambut gondrong dikucir asal-asalan. "Kalian itu cute couple, tahu? Yakin nih, masih mau membuktikan bahwa persahabatan cewek-cowok itu enggak mustahil?"
Loka dan Bisma saling pandang dan mengangguk kuat-kuat.
"Oke. Tapi kalau kalian berubah pikiran, enggak apa-apa kok."
Keduanya menggeleng. Gemina tersenyum. "Sudah biasa loh, bersahabat dari kecil, berakhir di pelaminan. Aku merestui kalian, Bismaloka."
"GEMI!" Dua pasang tangan terulur dari seberang meja untuk mencekiknya.
Gemina cepat menghindar dan tergelak.
Bisma menutup mukanya yang merah padam. Loka mengomel-ngomel tak jelas. "Tunggu sampai aku dapat ide untuk membalas kamu."
Gemina masih cekikikan. "Peace."
Untuk beberapa menit mereka melanjutkan pekerjaan masing-masing. Tugas membuat ilustrasi cerita anak kali ini disertai peringatan tegas dari Bu Herlina. Tidak boleh fan-art. Diam-diam Gemina merindukan Algis. Tiga kali Selasa ia tidak sempat ke toko buku. Seri terakhir belum selesai dibaca. Sementara tujuh buku yang dijanjikan IgGy belum juga ia terima.
Pesan WA-nya tidak dibaca IgGy sampai sekarang. SMS tidak dibalas. Telepon tidak diangkat. Muncul di toko buku? Boro-boro. Demikian laporan Mbak Zara. Gemina sudah menganggap IgGy membohonginya. Karena kalau dipikir-pikir, mana mungkin IgGy memberinya satu set Algis bertanda tangan Radmila? Kalaupun IgGy punya, itu kan koleksi berharga. Masa ditukar review?
Naif. Naif. Naif. Gemina merutuk diri sendiri.
"Jangan-jangan cowok itu bukan IgGy yang sebenarnya. Dan tiga buku Runako di kamarku juga tidak nyata." Ia menyuarakan pikiran tiba-tiba, dan mendapat pandangan heran kedua sahabatnya.
"Hoho, belum move on rupanya." Loka meleletkan lidah.
"Kamu terlalu imajinatif. Banyak alasan logis untuk menghilangnya IgGy."
"Ya, seperti diculik alien? Apa susahnya sih menjawab pesanku? Rasanya aku sudah kayak debt collector."
"Jadi, desain iklanmu yang dikagumi Juno itu cuma dibayar Trilogi Runako. Dan review-mu belum dibayar sama sekali." Loka mengerutkan hidung. "Yang aku enggak ngerti, kamu marah sama IgGy, tapi semakin ngefans sama Runako? Fan-art, doodle, komik, bahkan review buku kedua dan ketiga. Tugas terbaru malah pakai Runako lagi sebagai objek."
Gemina mendesah. Ya, entah kenapa setiap ada waktu luang sebentar pun, ia gunakan untuk membuat artwork Runako. Bahkan sambil bekerja di studio Juno. Juno memergokinya membuat sketsa saat menunggu rendering. Ajaibnya, ia malah mendapat dorongan. Kata Juno, fan-art selain meningkatkan skill, juga jelas menunjukkan perbedaan hasil kerja yang melibatkan hati dengan yang sekadar bisnis. Tapi, kalau sudah berkomitmen menerima komisi, ia harus efisien bekerja agar tidak mengecewakan klien. Aye, aye, Kak Juno!
"Kamu akan semakin susah move on dari IgGy." Loka mengomel lagi. "Padahal kenal juga enggak."
"Masih bagus IgGy belum mempublikasikan iklan dan review-mu. Artinya, dia sadar tidak bisa menggunakan karya kamu seenaknya." Bisma masih dapat menunjukkan sisi positif. "Tunggu saja, mungkin dia cuma terlalu sibuk."
Gemina mencuci kuas di dalam gelas bekas air mineral. "Wow, membela IgGy. Resmi jadi penggemar, ya, Bis? IgGy harus tahu, kamu baca Trilogi Runako dua hari! Lebih cepat dari aku."
"Kalian bikin aku penasaran. Baca review Gemi seperti minum air laut, malah tambah haus. Tapi aku enggak bakal sempat baca novel sampai wisuda nanti. Jadi, bagaimana akhir cerita Runako?" Loka memandang mereka berganti-ganti.
Gemina tergelak. "Serius mau spoiler?"
Loka mengangguk.
"Menurutku, perlu buku keempat." Bisma menyahut. "Memang trilogi bisa dianggap selesai. Runako dan si Pemilik Kepala berkompromi, meredam ego masing-masing, sharing satu badan dengan damai. Karena Runako akan mati kalau keluar, dan si Pemilik Kepala bisa gila kalau kehilangan Runako sebagai memori penunjangnya."
"Aku setuju. Buku keempat," sambung Gemina. "Mereka harus memperoleh kembali separuh memori masing-masing. Si Pemilik Kepala yakin, di memorinya yang hilang ada penjelasan kenapa Runako sampai tertahan di kepalanya. Dan Runako yakin, kisah hidupnya sebagai anak lelaki normal ada di separuh memorinya yang hilang."
Loka bersiul. "Aku ingin tahu dari mana IgGy dapat ide itu. Rumit. Genius."
Gemina mengangguk. Entah kenapa ia merasa bangga. Seolah Runako adalah karakter miliknya. "Kalau IgGy muncul, aku akan tanya rencananya. Kalau dia enggak niat nulis buku keempat, biar aku lanjutkan saja komik versiku habis UAS nanti."
"Sekalian saja semuanya kamu adaptasi jadi novel grafis. Biar aku ringan bacanya," kata Loka tertawa. "Eh, hape siapa itu yang bunyi? Gemi?"
Gemina merogoh ransel dan mengeluarkan ponsel. IgGy. Ia menghadapkan layar pada kedua sahabatnya. Bisma mengacungkan jempol dan menyeletuk berbarengan dengan Loka, "Panjang umur, dia!"
"Halo."
"Gemi, aku tunggu di kafe toko buku. Seri Algis aku bawa, kamu boleh ambil sekarang. Sekalian aku perlu bicarakan sesuatu denganmu."
Gemina terbelalak. Kesal, ia memutuskan hubungan. Meletakkan ponsel di meja dan mengomelinya. "Enak saja main perintah. Boro-boro mengantarkan buku-buku itu ke sini seperti sepatutnya orang yang sudah melanggar janji. Paling enggak, tanya dulu kek, apa aku ada waktu. Enggak sopan!"
Bisma tertawa. "Harusnya jangan putusin hubungan, biar IgGy dengar."
"Kamu takut sama dia?" Loka mengedipkan mata.
Gemina cemberut. Tapi sahabat-sahabatnya benar. Kenapa pula ia mengomeli benda mati? "Tunggu saja, kalau dia berani telepon lagi, aku-"
Dan IgGy menghubunginya lagi. Bisma dan Loka memperhatikan dengan tegang. Gemina menerima telepon dan menyalakan speakerphone.
"Maaf, tadi putus, entah kenapa," kata IgGy.
"Aku sengaja putusin."
"Eh?"
"Aku enggak suka disuruh-suruh kayak tadi. Aku ada kuliah satu jam lagi. Enggak mungkin ke toko buku sekarang. Titipkan saja pada Mbak Zara seperti yang seharusnya kamu lakukan dari dulu. Tahu enggak, aku sampai berburuk sangka karena kamu menghilang. Semua pesanku enggak kamu balas. Kupikir, kamu ingkar janji. Tapi karena kamu sudah kontak aku sekarang, aku anggap masalah selesai. Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?"
Sesaat tidak ada suara di seberang. Gemina memandang Loka dan Bisma sambil menyeringai. Mereka mengacungkan jempol dan bersorak tanpa suara.
Lalu terdengar tawa kecil, singkat. "Ya, aku salah. Maaf. Aku titipkan buku-buku ini pada Mbak Zara."
"Bagaimana aku percaya-"
"Gemi, ini aku." Suara Mbak Zara dari ponsel IgGy. "Tujuh buku seri Algis sudah kupegang sekarang."
"Lengkap dengan tanda tangan?"
"Ya. Ada pesan-pesan khusus buat kamu juga dari Radmila."
"Wow!" Gemina tidak menyangka sejauh itu. Ini membuatnya tidak sabar untuk menimang buku. "Mbak, hari ini pulang ke rumah Tante, kan?"
Tapi ponsel sudah beralih lagi pada IgGy. "Kamu percaya sekarang?"
"Ya. Terima kasih. Kamu boleh publikasikan iklan dan review-ku sekarang. Semoga membantu mengangkat penjualan."
IgGy mendengkus. "Aku tidak berharap banyak soal itu. Kalaupun iklan dan review kamu bikin orang mencari Runako, masih ada kesulitan menemukannya di toko buku."
"Tapi orang sudah tahu ada Runako." Gemina membantahnya. "Itu lebih baik ketimbang tidak tahu. Kalau banyak orang menanyakan buku itu, masa sih toko buku mengabaikannya?"
"Entahlah." Nada IgGy masih pesimis.
"Oh, ayolah. Semangat dikit kenapa, sih? Runako buku bagus. Kamu harus lebih fight. Sebarkan iklan dan review-ku di semua jejaring medsos kamu. Itu dulu deh. Hasilnya kita lihat nanti."
"Ya, itu akan kulakukan. Tapi aku juga mau pakai cara lain untuk mendukung promosi." Suara IgGy sedikit lebih bergairah. "Aku perlu bantuanmu lagi. Aku sudah lihat sketsa komik Runako yang kamu upload di DevianArt. Banyak sekali tanggapan positif untuk postinganmu. Visual memang lebih menarik perhatian. Jadi, aku mau minta kamu adaptasi beberapa adegan Runako jadi komik. Tolong, kirimkan penawaran harganya ke emailku. Aku perlu cepat."
Wow .... Gemina mengatakan itu tanpa suara sambil nyengir melihat Loka dan Bisma mengadu telapak tangan.
"Oke. Kamu mau berapa panel per halaman, full color atau BW, full background atau hanya karakternya, style-nya realistis atau manga, adegannya yang mana saja?"
"Bikin saja semua alternatif tawaran. Adegannya kamu yang pilih. Aku suka sketsa komik itu. Tapi lebih bagus kalau ada sampel lain."
"Baik. Sebelum aku bikin penawaran, lalu kamu terkaget-kaget mengira aku memeras kamu, perlu aku kasih ancar-ancar, ya. Sketsa komik itu, kalau sudah jadi full color dan full background, fee-nya bisa mencapai enam digit per halaman."
"Enggak masalah. Aku menghargai karya seni, kok."
"Bagus. Aku akan kirim penawaran dan sampelnya ke emailmu nanti malam." Gemina tersenyum lebar setelah IgGy memutuskan hubungan. Ini sungguh di luar dugaan. Sering, orang minta dibuatkan ini itu, lalu mundur teratur setelah diberitahu fee-nya. Mending kalau cuma batal. Biasanya masih berbuntut komentar: Oh, bayar, ya? Saya kira gratis. Kok mahal sih. Kan cuma menggambar begitu saja. Gemina hanya tertawa sambil berharap petir menggelegar mewakilinya. Kalau mau gratis, carilah ilustrator atau komikus yang sedang ingin beramal. Kalau memang gampang, bikin saja sendiri.
"Gemi, bikin 10 halaman, kamu bisa beli kamera lagi." Loka memekik.
"Sepuluh halaman, bisakah dua minggu selesai? Ingat loh, akhir bulan banyak deadline project UAS," kata Bisma. "Belum lagi komisi yang masih kamu kerjakan buat Kak Juno ...."
Senyum Gemina langsung pudar.
Loka memukul bahu Bisma. "Kenapa sih enggak membiarkan Gemi senang dan penuh harapan sebentar saja?"
Bisma membela diri, dan mereka adu argumentasi lagi.
Gemina tersenyum kecut. Bisma benar. Ia harus realistis. Sekilas saja, ia tahu benar, piringnya nyaris penuh sekarang ini. Tidak mudah menyelipkan satu dua halaman untuk IgGy sampai akhir bulan nanti.
"Aku bisa bantu inking kalau perlu. Cuma itu!" Bisma memahaminya.
"Aku bagian hore-hore saja," kata Loka buru-buru. "Belikan kalian kopi."
Gemina tertawa. Pada akhirnya Bisma dan Loka akan membantunya lebih dari itu. Karena keduanya juga tahu, ia akan melakukan hal yang sama untuk mereka. "Jangan khawatir. Aku ambil semampuku saja. Sejujurnya, aku cuma penasaran dengan IgGy-"
"Oh, my God!" Loka menukas secara mengejutkan. Tangannya mengguncang bahu Bisma. "Apakah ini pertanda sesuatu? Bukankah dengan serah terima seri Algis, berarti Gemi dan IgGy masing-masing bisa move on, bye-bye, bubar jalan?"
"Harusnya." Bisma meringis. "Tapi alam semesta selalu punya trik ajaib, memberi titik-titik yang bisa disambungkan-"
"Untuk membentuk sesuatu!" Loka memekik. "Connect the dots, Gemi!"
Gemina melongo, berusaha mencerna maksud kedua sahabatnya. Ketika ia sadar, tawanya pun meledak. "Oke, skor satu sama. Kalian kompak sekali kalau sudah urusan balas dendam."
"Bisma, lihat Gemi blushing."
"And the ship is sailing away! GemiGy, IgGemi, atau IGYGI?"
Bukan semuanya. Kayak enggak ada cowok lain saja.
(bersambung)
__________________
Dear pembaca,
Sejauh ini, masih enjoy baca dan mudah mencerna kan?
Dunia DKV memang dunia baru bagi kebanyakan orang, tapi tiap istilah semoga masih bisa dipahami dalam konteksnya.
Dan karena ini young adult, cerita usia 18-an ke atas, bahasanya mungkin enggak "slengean" kayak teen-fiction. Bilang aja kalau ada yang enggak dimengerti, nanti aku jelaskan. Sekalian buat masukan saat editing sebelum terbit.
Terima kasih banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro