Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Runako


Gemina melakukan kesalahan besar sepulang kuliah Jumat sore. Ia membuka Runako, dengan niat sekadar skimming sambil menunggu giliran kamar mandi. Yang terjadi: ia tidak jadi mandi; tidak mencicil tugas-tugas untuk minggu depan; tidak keluar untuk membeli makan malam; dan baru tidur dini hari. Runako buku kesatu telah menjeratnya. Dan ia tak bisa lepas darinya.

Benar-benar a page-turner. Gemina memberinya bintang lima, untuk karakter yang kuat, gaya bahasa yang segar, dan plot yang cepat. Ya, nuansanya gelap. Tentu saja. Siapa pun yang terperangkap di dalam kepala orang lain, tidak akan memandang dunianya cerah ceria. Runako adalah kemarahan dan rasa frustrasi. Tapi Runako juga kegigihan dan kreativitas. Protagonis yang tidak sempurna, bahkan sering penuh tipu daya dan jahat dalam upayanya membebaskan diri.

Antagonisnya tidak bernama. Hanya ada petunjuk, bahwa seperti Runako, ia lelaki berusia 15 tahun. Karakternya seperti remaja kebanyakan. Tidak menonjol dalam segala hal. Bahkan dianggap lemah. Sering menatap cermin, mempertanyakan siapa dirinya, apa tujuannya. Meski demikian, ada rekaman kuat di memorinya bahwa ia harus menahan Runako di dalam kepalanya dengan segala cara.

Gemina paling suka dialog Runako yang sarkastik dengan si Pemilik Kepala yang hemat kata. Kadang lucu, kadang menyedihkan. Sulit pula baginya untuk memihak. Ia memahami Runako, tetapi ia juga mendukung si Pemilik Kepala.

Buku kesatu diakhiri dengan adegan cliffhanger. Runako hampir berhasil membebaskan diri, tapi si Pemilik Kepala mencegahnya dengan bertindak ekstrem: mencederai diri sendiri hingga koma. Runako kembali terperangkap, dan kali ini jiwanya terancam jika si Pemilik Kepala tidak bisa bangun lagi.

"Tidak. Tidaaaaak. Aaah... ini sungguh menyiksa."

Sabtu pagi, Gemina terbangun menyadari buku kedua dan ketiga masih dipegang Mbak Zara yang katanya baru akan datang ke sini siang. Ia berguling masuk ke dalam selimut. Memeluk Runako.

IgGy sangat beralasan untuk memaksa ia membaca novelnya. Sangat beralasan untuk marah karena bukunya mendapat perlakuan buruk di toko. Tidak terlihat berarti tidak dibeli. Tidak dibeli, tidak dibaca, berarti tidak ada review, tidak ada rekomendasi dari mulut ke mulut, dan berarti tidak ada orang yang sengaja datang ke toko buku untuk mencarinya. Pada akhirnya buku diretur ke penerbit. Masuk gudang. Untuk suatu saat diobral dengan harga yang pasti menyakitkan hati penulis. Buku kedua dan ketiga terbit pun, dengan perlakuan seperti itu, tidak akan membantu. Trilogi yang tidak lengkap sulit menarik minat pembeli. Tamat riwayatnya.

Gemina bangun untuk mengambil laptop dan mulai googling dengan kata kunci IgGy, Ignazio Garin Yudistra, dan Runako pada tab terpisah. Hasilnya masing-masing tidak signifikan. Itu pun hanya serangkaian entri dari penerbit dan fanpage-nya di facebook. Tidak seperti kalau ia memasukkan kata kunci Algis dan Radmila. Update fanpage Algis bahkan baru dilakukan beberapa menit lalu. Tanggapan pembaca begitu ramai berupa review, fan-art, fan-fiction, foto, meme, dan lain-lain. Gemina sendiri pernah mengirimkan fan-art  Algis waktu akun facebook-nya masih aktif.

Dengan senang hati ia juga akan membuat fan-art untuk Runako. Sebelum itu, ia akan mengirimkan pesan untuk menghibur IgGy di akhir pekan. Menurut WA, IgGy online terakhir kemarin pukul 11:15, saat berkomunikasi dengannya. Tidak masalah. Gemina meninggalkan pesan.

"Hai IgGy. Runako #1 keren. You're genius. Tidak sabar pengin baca lanjutannya. Oh ya, aku sudah kirim file iklan Runako yang high resolution ke emailmu. Thanks."

Pesannya masuk, tapi IgGy tidak online.

Kesalahan berikutnya yang dilakukan Gemina adalah memilih menulis review saat itu juga. Sambil sesekali memeriksa WA-nya. Merangkai kata bukan kekuatannya. Satu jam berlalu ia hanya menghasilkan beberapa kalimat. Itu pun kutipan.


"Aku tidak takut menyatakan pikiran. Kalau orang lain jadi berubah pandangan tentang aku gara-gara itu, biarlah. Itu tandanya mereka sudah keliru melihat aku sejak awal." (Runako kepada si Pemilik Kepala, hlm.354)


IgGy belum membaca pesannya. Perlukah ia mengirim ulang lewat SMS? Tunggu dulu deh. WA atau SMS sama saja kalau memang IgGy tidak memegang ponselnya. Gemina melanjutkan menulis hingga Mbak Zara datang membawakan titipan IgGy. Runako kedua dan ketiga bertandatangan IgGy. Untuk Gemi, tulisnya, tanpa pesan lain.

"Eh, mana Algis? Harusnya sembilan buku, Mbak."

Mbak Zara menggeleng. "IgGy cuma kasih itu, kok."

Kening Gemina berkerut. Tapi bisa jadi IgGy tidak tega membebani Mbak Zara dengan terlalu banyak buku. Mungkin Algis akan diserahkannya Selasa nanti seperti janji semula. Ya, masuk akal. Gemina pun menyelesaikan review buku pertama, mengirimkannya lewat email, kemudian melarutkan diri membaca buku kedua. Berhenti sebentar hanya untuk mandi, keluar makan siang, pulang membawa camilan, lalu kembali ke kamar untuk membaca lagi.

Runako menetap di kepalanya bahkan ketika ia menemani Elyaan menemui Tante Vira. Gemina sadar, dari mana, atau tepatnya, dari siapa ia mendapatkan keberanian untuk berbicara blak-blakan kepada Tante Vira. Rasanya puas melihat Tante Vira terkejut, dan akhirnya setuju dengan rencana mereka. Elyaan pindah besok. Gemina akan mengambil alih kamarnya nanti setelah ia menerima transfer dari Abah untuk membayar tunggakan. Ia masih sempat mendengar Tante Vira menggerutu tentang perlunya memasukkan pasal larangan alih kamar dalam kontrak.

Minggu pagi, Gemina membuat sketsa IgGy untuk Elyaan sebagai hadiah pindahan. Bukan perpisahan, karena mereka mudah bertemu. Elyaan memeluk sketsa itu sambil menjerit-jerit heboh. Gemina tertawa. Elyaan melakukan selfie dengan sketsa dan buku-buku Runako. Lalu menarik Gemina bergabung. "Aku share ke WA Kak Gemi. Tapi jangan share ke IgGy dulu ya sampai aku tuntas baca bukunya," katanya.

Gemina mengacungkan jempol. Sepeninggal Elyaan, ia menengok WA IgGy. Masih belum online. Saatnya SMS.


"IgGy, aku berhasil ajak teman baca bukumu. Buku bagus harus direkomendasikan. Jangan putus asa, oke?"


Apa benar IgGy putus asa? Sok tahu. Sok akrab. Gemina menghapus kalimat terakhir. Menggantinya dengan, jangan lupa bawa Algis Selasa, tempat dan waktu yang sama. Kirim.

Sekarang waktunya membaca buku ketiga. Eh, bagaimana dengan tugas Ilustrasi Dasar dan Tipografi Dasar untuk Senin besok? Hati kecilnya mengingatkan.

Aku hanya akan membaca sampai sore, masih cukup waktu untuk menyelesaikan tugas.

Berarti bekerja dengan waktu mepet, hasilnya pasti bukan yang terbaik.

Mungkin. Tapi lebih dari cukup. Sesekali aku ingin menikmati hari libur.

Yakin lebih dari cukup? Mudah sekali untuk jatuh ke ala kadarnya. Asal menyetorkan tugas.

Shut up. I know what I am doing. Now, let me read in peace.

Tak ada lagi yang mengusiknya. Ia berkejaran dengan Runako. Ingin segera mengetahui akhir kisahnya tapi juga ingin menikmati setiap kalimat pelan-pelan. Baru kali ini ia membaca novel dengan genre yang tidak definitif. IgGy seperti menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk menginterpretasikan kisah Runako sebagai fantasi atau realistik. Setting lokasi di kepala itu yang membuat fantasi dan realitas bisa terjadi bersamaan atau tidak dua-duanya. Mind-bending atau mind-twisting, istilahnya, dan memang menyerempet ke psychological thriller.

Tengah malam terlewatkan. Tanggung, selesaikan saja. Ia mendapat firasat, trilogi ini akan berakhir tanpa simpul. Asalkan logis, ia akan menerimanya. Namun beberapa lembar sebelum tamat, ia tersandung kalimat-kalimat si Pemilik Kepala kepada Runako.


"Satu langkah membawamu ke posisi berbeda. Satu keputusan impulsif mengundang konsekuensi tak terduga." (Buku ketiga, hlm. 519.)


Gemina tertegun. Kesalahan demi kesalahan telah ia lakukan dengan sadar. Alih-alih berhenti dan memperbaiki, ia melakukannya lagi. Dan konsekuensinya mulai muncul saat ia meletakkan Runako untuk kembali ke dunia nyata.

Dua tugas untuk Senin tidak sesederhana perkiraannya. Benar, dengan waktu mepet, ia bahkan hanya mampu mengerjakan satu. Asalan pula. Lalu terburu-buru berangkat kuliah. Terlambat masuk, tentu saja. Empat mata kuliah kemudian dilaluinya dengan nge-zombie terburuk sepanjang sejarah. Dan ketika ia pulang ke tempat kos sambil menyeret badan setengah tidur, ada yang aneh di kamarnya. Begitu rapi, padahal tadi pagi ia tinggalkan dalam keadaan berantakan.

Misteri yang langsung terpecahkan dengan deklarasi Tante Vira. Tante Vira membereskan kamarnya — berterima kasihlah, Gemi — karena ada calon penyewa datang untuk meninjau. Langsung cocok dan akan pindah besok — kamu Selasa kan tidak ada kuliah? Pindahlah ke kamar Ely

"Tante pindahkan ke mana baju-bajuku yang di kasur?"

"Ke lemari tentu saja. Anak perempuan kok acak-acakan begitu—"

Gemina terbelalak. Lemari selalu dikuncinya, karena di situ ia menyimpan semua perangkat berharganya kalau tidak perlu dibawa ke kampus. "Tante punya kunci cadangan?"

"Kunci kamar iya. Makanya aku bisa masuk. Tapi kunci lemari cuma satu, yang kamu pegang. Untung saja lemari enggak kamu kunci, jadi—"

Gemina melompat dan membuka lemari. Di rak atas, ya, ada baju-baju yang dimasukkan Tante Vira. Di bawah: pen tablet ada, scanner-printer ada, kamera ... mana kamera? Matanya menyapu kamar, tak ada. Di ranselnya hanya ada laptop, ia tidak membawa-bawa kamera.

"Tante tahu apa isi lemariku bagian bawah?" Gemina menatap Tante Vira. Suaranya segenting karet gelang ditarik maksimal.

Tante Vira menggeleng sambil cemberut. "Aku membereskan baju-bajumu bukan mau mengintip barang-barang kamu."

"Tante, kameraku di rak bawah hilang. Tante pernah meninggalkan orang yang lihat-lihat kamar itu sendirian di sini?"

"Eh .... dia batuk-batuk terus dan minta minum. Jadi—"

"TANTE, ITU KAMERA SEMBILAN JUTA RUPIAH!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro