3. Dari Mata ke Otak
Gemina mengembuskan napas keras-keras. Jendela kaca memantulkan bayangannya. Mengerikan. Mencerminkan dampak beberapa tugas dan komisi yang dimampatkan dalam tiga hari. Pucat, berkantung mata akibat kurang tidur, penampilan acak-acakan. Berangkat sudah terlambat karena bangun kesiangan, eh tertidur pula di angkot sampai kampus terlewat jauh. Ia harus naik angkot balik, dan konyolnya, nyaris kelewat lagi karena ketiduran lagi. So stupid.
Ia menyisir rambut pendeknya dengan jemari. Sisa waktu sedikit pun, ia harus masuk. Bukan cuma masalah absen, ia harus mendengar sendiri dosen menginstruksikan tugas berikutnya. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu. Tapi terhenti oleh tawa ramai yang pecah di dalam. Ini kelas Proses Komunikasi, kan? Apakah mendadak ada perubahan ruang? Ia menempelkan muka ke jendela. Itu ada Loka dan Bisma, berarti ruangan yang benar. Tapi sejak kapan, Pak Harun membiarkan mahasiswa tertawa-tawa?
Diketuknya pintu, yang dijawab banyak orang dari dalam menyuruhnya masuk. Satu lagi yang tidak mungkin terjadi dengan Pak Harun di depan kelas. Gemina membuka pintu, melangkah diiringi sorak suitan teman-teman, dan tertegun. Menatap dosen di depan kelas.
Sang dewa, Juno Dewangga, duduk santai di atas meja. Memandangnya dengan senyum geli. "Mau masuk atau berdiri saja di situ? Masih ada 10 menit lagi sebelum bubar."
"Oh, maaf." Gemina lari ke belakang kelas, ke bangku kosong di sebelah Loka. "Aku ketinggalan apa?"
"Sssh," sahut Loka tanpa menoleh kepadanya. Mata memandang sayu ke depan, dagu bertumpu kedua tangan. Mendesah dan bergumam, "Aah. Kenapa cowok terbaik, selalu saja sudah dimiliki orang?"
Gemina melotot. "Bis, kenapa Kak Juno di sini? Pak Harun ke mana?"
Pertanyaannya tenggelam dalam tawa sekelas yang mendadak pecah lagi. Ah, sudahlah. Kenapa harus bertanya kenapa. Nikmati saja suasana kelas yang berbeda ini meski hanya sebentar. Dua kali menjadi dosen tamu sebelum ini, Juno selalu menempatkan dirinya sebagai bagian dari mereka. T-shirt, jaket, jins, dan sepatu kets. Usia 27 tidak membuatnya terlihat lebih senior. Malah kacamata membuatnya tampak imut, begitu Loka bilang. Dan semua orang menyimak kuliahnya dengan penuh perhatian. Oke, penuh kekaguman, kalau cewek.
"Pak Harun kena stroke semalam. Katanya sih ringan, tapi harus istirahat total. Kak Juno menggantikannya untuk sementara sampai ada dosen pengganti resmi," kata Bisma. "Aku baru tahu mereka sangat dekat, padahal kayak bumi dan langit."
"Doa-doa kita dikabulkan, Gem." Loka mendesah. "Ingat, kita berdoa agar Juno lebih sering ke sini. Kita juga kepikir stroke kalau lihat Pak Harun marah-marah. Akui saja."
"Ih. Aku enggak pernah mendoakan beliau kena stroke. Paling juga mikir, apa yang salah dengan Proses Komunikasi antara kita dan beliau?" Gemina geleng-geleng prihatin. Baru kemarin ia bertemu Pak Harun dan kena damprat karena telat menyetorkan tugas. Dosen lain biasanya memberi deadline sampai pertemuan berikutnya. Cuma Pak Harun yang meminta dua hari lebih awal, alasannya agar tugas dapat dibahas di kelas.
Loka menyikut rusuknya. "Aaargh, kamu dengar itu? Patah hatiku untuk kesekian kalinya."
Kelas bergemuruh dengan tepuk tangan. Di depan, Juno menempelkan tangan di dada dan membungkuk beberapa kali. Berterima kasih atas sambutan kelas dengan berita yang dibawanya, bahwa dua hari lalu istrinya baru saja melahirkan anak pertama, lelaki.
"Pertama, waktu lihat cincin kawinnya. Hik. Kedua, waktu lihat istrinya datang menjemputnya. Hik. Dan sekarang. Lihat dia begitu bahagia dan bangga menjadi seorang ayah. Hik."
Gemina merangkulnya. "Dyah Pitaloka, barangkali sudah waktunya kamu melirik yang available dan dekat."
Bisma menoleh cepat. Gemina mengedipkan sebelah mata dan tertawa. Wajah sahabatnya langsung memerah. Tapi Loka malah membenamkan muka di meja. Kuliah sudah berakhir. Sang dewa langsung dikerubuti mahasiswa, sampai pintu terhalang kerumunan. Karena kuliah berikutnya masih dua jam lagi, Gemina bersandar santai. Mungkin bisa memejamkan mata sebentar. Kurang tidur membuat otaknya lambat bekerja.
"GEMINA INESITA!" Kerumunan di depan berseru-seru, hampir membuatnya terlompat. Teman-teman menunjuknya, dan Juno melambaikan tangan memanggilnya.
"Aku?" Gemina berdiri.
"Dan sahabatku sendiri berkhianat," kata Loka, mendorongnya keluar dari bangku. "Apa yang membuatnya tertarik sama kamu? Tanyakan deh."
Ketika Gemina sampai di depan Juno, teman-teman sudah membubarkan diri. "Ya, Kak?"
Juno menyentuh layar Macbook-nya. Monitor memperlihatkan desain iklan yang begitu akrab bagi Gemina.
"Wow," kata Gemina tanpa sadar. Itu tugas Fotografi Dasar yang disetorkannya kepada Bu Irfa dua hari lalu. Tapi tampak lebih cemerlang dan indah.
"Ya, memang wow." Juno tersenyum. "Aku dapat kiriman ini semalam dari Mbak Irfa. Katanya kamu mengerjakan tugas melampaui apa yang disuruhnya. Fotografi Dasar kan paling tentang teknik pengambilan gambar dan komposisi? Tapi kamu sudah mendesain iklan produk dengan intuisi seorang pro. Kamu mengerjakannya sendiri?"
Gemina tercengang. Kata-kata bergulir lambat di otaknya sampai Juno salah paham dan meminta maaf karena seolah meragukan karyanya. Ia cuma ingin tahu apakah Gemina bekerja sama dengan orang lain. Gemina menggeleng. "Aku malah mengira Kak Juno memberinya sentuhan akhir."
"Oh, tidak. Sama sekali tidak. Itu file asli kirimanmu ke Mbak Irfa. Dia sampai memberikan spesifikasi kamera dan laptopmu. Bukan yang terbaik bahkan untuk calon desainer. Mahasiswa lain malah bisa nangis darah menggunakan perangkat seperti itu. Itu sebabnya Mbak Irfa minta pendapatku. Dan seperti yang kubilang, kamu sudah seperti seorang pro. Dengan perangkat yang lebih mendukung, kamu bisa berkarya jauh lebih baik lagi. Kamu punya bakat natural, atau banyak membaca referensi dan berlatih. Aku yakin malah dua-duanya."
Gemina kehilangan kata-kata. Ada yang mengembang luas di dadanya, sampai nyaris meledak. Dan tiba-tiba saja ia mengerti kenapa Loka tergila-gila pada sosok ini. Senyum, gestur, sorot mata di balik kacamata, dan kata-katanya memang bisa membuat jantung tersandung-sandung dan perasaan terjungkir balik.
Juno tertawa halus.
Tawanya juga. Merdu. Mengingatkan Gemina pada genta angin bambu buatan Abah. Loka harus mendengarnya. Gemina melirik ke belakang. Kedua sahabatnya masih di sana, bertengkar sendiri.
"Berapa IPK tahun lalu?" Juno mengembalikan perhatiannya.
"Straight A." Suara Gemina seperti melalui leher yang tercekik. "Empat."
Juno bersiul. "Apa portofoliomu?"
"DeviantArt. Geminaivete," sahut Gemina. DeviantArt adalah situs layanan galeri dan portofolio untuk komunitas seniman dan pencinta seni terbesar di Internet saat ini.
Juno membuka situs itu dengan akun KesatriaBulan. Wow, baru tahu Juno punya akun pribadi di sana. Ini harta karun, pikir Gemina, akan ia cermati nanti semua isi galerinya. Selama ini, akun studio Juno yang biasa ia lihat-lihat untuk referensi. Layar Macbook menampilkan galeri Geminaivete miliknya.
Gemina langsung menutup mata dengan kedua tangan. Malu mengingat segala macam coretan, gambar, foto, desain coba-coba yang pernah diunggahnya. Ia bahkan menyebut dirinya Geminaivete, Gemina yang kurang pengalaman. Mungkin setelah ini, Juno akan meralat pujian dengan kritik pedas. Gemina bersiap.
Juno berdeham. "Kamu secara berkala membuat ulang karya lama dengan skill terbaru. Jadi jelas sekali perbaikan dan peningkatannya. Kamu pekerja keras."
Gemina menurunkan tangan. Lagi-lagi hanya bisa tersipu.
"Adakah yang akan melarangmu kuliah sambil bekerja?"
Gemina menggeleng. Menebak-nebak ke mana arah pembicaraan Juno. "Dari SD, aku sudah biasa bekerja membantu Ambu dan Abah. Sekarang pun aku menerima komisi."
"Bagus." Juno memberinya kartu nama. "Kalau kamu tertarik untuk menambah uang saku sambil belajar, hubungi aku, atau datanglah ke studioku. Kita lihat hasil kerjamu dengan dukungan peralatan terbaik."
Gemina menerima kartu dengan kedua tangan dan memegangnya terus di depan dada sampai Juno selesai membereskan perlengkapannya dan berpamitan.
Tapi baru selangkah, Juno berbalik, tertawa. "Aku suka humor provokatif di iklan Runako itu. Menggunakan jukstaposisi dengan buku pelajaran Matematika SMA yang out of focus, cerdas! Desain grafis sejatinya adalah perjalanan pesan dari mata ke otak, menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu. Anak SMA yang menjadi target iklanmu, sadar atau tidak, akan membandingkan Runako dengan pelajaran itu. Suka atau benci Matematika, tidak masalah. Karena pesan kamu secara ajaib membidik keduanya. Karena otak perlu istirahat, dan ada buku yang tepat untuk dipilih. Aku saja jadi tertarik ingin membaca Runako. Apakah memang sebagus itu?"
Gemina menyeringai. "Belum kubaca. Kak Juno kan mendesain sampulnya, masa belum baca juga?"
Juno menggeleng dengan tampang polos dan Gemina tergelak. Sampai Juno keluar dari ruangan, ia masih tersenyum-senyum. Tiba-tiba ingin mengujicoba iklannya di sekolah Elyaan. Apakah akan mampu menggerakkan anak-anak SMA itu untuk membeli sisa buku sumbangan IgGy?
"Aku cemburu," kata Loka yang mendekat sambil membawakan ransel dan ponselnya. Hanya ransel yang diserahkan. "Aku tahan hape kamu sampai kamu beri aku kunci menuju hatinya."
Gemina meleletkan lidah. "Kamu sudah setor tugas ke Bu Irfa?"
Loka menggeleng. "Aku minta perpanjangan waktu."
"Kerjakan segera. Sepertinya, Bu Irfa merangkap semacam talent-scout buat Kak Juno."
Mata sipit Loka membulat. "Bisma, kamu dengar itu? Ayo, temani aku ke perpus, kerjakan tugas."
Bisma mendengkus. Tapi menurut saja ditarik Loka keluar kelas.
"Hei, ponselku!" Gemina mengejar keduanya. Perpustakaan boleh juga untuk tidur, pikirnya. Namun beberapa misscall dan satu SMS dari Mbak Zara membuat kantuknya hilang. "Telepon aku segera. Darurat."
"Gemi...." Begitu terhubung, suara Mbak Zara terdengar kesal. "Ada IgGy di sini. Menunggu kamu di kafe di atas. Katanya sudah janjian. Bolak-balik meminta aku meneleponmu. Karena aku enggak mau kasih nomor kamu."
"Apa?"
"Kamu bisa ke sini?"
"Enggak, Mbak. Masih ada kuliah habis Jumatan nanti. Tolong berikan saja nomorku."
"Serius? Dia bikin aku ngeri. Lagian kenapa sih janjian kalau memang enggak bisa?"
Gemina tidak bisa menjawab. Ia sendiri bingung. Kapan janjian bertemu dengannya? Seingatnya, kalau bisa menyelesaikan Runako hari ini, ia diminta menghubungi IgGy lewat SMS. Dan karena itu tidak terpenuhi, ia merasa tidak perlu memberitahu IgGy. Ia berencana membaca dan membuat review malam Selasa, jadi paginya saat mereka bertemu di toko buku, IgGy bisa memberinya Algis #3. Ya, apa boleh buat, hilang kesempatannya mendapatkan satu set.
Ponselnya berbunyi. Nomor tidak dikenal. Gemina memberi isyarat kepada Loka dan Bisma untuk meninggalkannya saja. Ia sendiri mencari sudut yang tenang untuk menerima telepon.
"Hei."
"Gemina atau Gemi, bukan Hei."
Terdengar dengusan. "Mana review-nya?"
"Aku enggak sempat baca. Sudah kubilang kan aku banyak tugas. Selasa saja."
Kali ini helaan napas berat. Lalu diam.
Gemina menunggu. Beberapa detik berlalu. Mulai tidak sabar.
"Aku sudah bawa satu set Algis. Juga Runako kedua dan ketiga. Semua bertandatangan." Ada nada ketidakberdayaan dalam suara IgGy.
Sembilan buku untuk ditukar satu ulasan? Wow. Tapi giliran Gemina yang menghela napas. Di satu sisi, ia merasa bodoh telah menyia-nyiakan kesempatan ini. Di sisi lain, tiba-tiba saja Gemina merasa kasihan. Sebegitu dibutuhkan ya review-nya sampai dihargai semahal itu? Memangnya belum ada orang lain yang membuat ulasan selama ini? Bukankah IgGy bisa mencari reviewer profesional yang bisa dibayar? Yang paling mengherankan dan baru terpikirkan oleh Gemina sekarang, atas dasar apa IgGy percaya ulasannya akan menguntungkan? Bagaimana kalau ia jujur seperti yang diminta dan ternyata tidak menyukai Runako?
Dan tiba-tiba saja solusi melintas di benaknya. "Aku masih mau buku-buku itu. Aku ganti saja dengan yang lain, ya? Beri aku alamat emailmu."
"Ada di kartu nama."
"Kartumu ada di tempat kos. Atau lewat WhatsApp saja. Nomormu ini bisa WA, kan? Kita pindah ke situ." Gemina memutuskan hubungan, menyimpan nomor IgGy ke dalam kontak. Setelah itu ia membuka aplikasi WA dari laptop dan mengirimkan iklan Runako kepada IgGy. Langsung dibaca olehnya. Gemina tersenyum.
IgGy menelepon lagi. "Bagus sekali. Aku suka. Kamu membuatnya sendiri?"
Ada apa dengan para cowok? Tadi Juno, sekarang IgGy. Kenapa mereka mengira ia mendapat bantuan dari orang lain? "Aku calon desainer profesional, oke? Itu murni karyaku."
"Oke. Baik. Sembilan buku ini jadi milikmu."
Gemina bersorak dalam hati. Sekali dayung dua pulau terlampaui. Tugas kuliah menghasilkan keuntungan, bukan hanya nilai. Karyanya layak dihargai secara finansial, tentu saja. Dalam kondisi saat ini, sebetulnya ia lebih membutuhkan uang, bukan buku. Tapi Juno pernah bilang, tidak mudah menentukan harga jual karya seni. Sering, konversi karya seni ke materi melibatkan banyak faktor. Dan saat hati menjadi penentu, harga kejutanlah yang didapatkan.
"Titipkan saja buku-buku itu ke Mbak Zara."
"Oke. Lalu bagaimana dengan review-mu?"
IgGy bertanya. Wow, kemajuan.
"Masih perlu?"
"Tentu saja. Juga buku kedua dan ketiga, kalau sudah kamu terima. Tapi aku tukar dengan apa nanti?"
"Hmm ... aku pikirkan dulu," sahut Gemina. Dalam hati menambahkan, siapkan dompetmu saja, lain kali bukan hati yang berbicara.
(bersambung)
----------------------------
Dear pembaca,
Aku post beberapa bab sekaligus, sambil menyuntingnya. Buku ini sedang tahap pembuatan cover di Penerbit Mizan. And guess what, ilustratornya siapa?
Rui Kaiser yang menggarap Wynter dan Rayn dkk. Abis keceeeee banget.
Tapi enggak boleh ngintip dulu. Pamali kata orangtua. Haha.
Vomment-mu most appreciated, untuk bahan masukan saat editing dan revisi.
Terima kasih.
Salam sayang
Ary
PS.
Oh ya, ada crossover di sini. Juno diangkut dari novel Pangeran Bumi Kesatria Bulan. Sudah baca kan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro