Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Trimatra


"Apa lagi yang bisa aku lakukan?"

Loka meletakkan nampan berisi tiga mug kopi di meja, jauh dari area kerja. Aroma kopi menyapa hidung Gemina. Ia menghirupnya dalam-dalam. Tapi tanggung, sketsanya sedikit lagi selesai, ditunggu Bisma. Sahabatnya itu fokus mewarnai Algis di laptopnya. Sambil sesekali menyingkap rambut gondrongnya yang luruh ke depan mata.

"Loka, kamu rapikan saja background Algis10-Final. Gemi pasti menggambarnya sambil merem. File-nya dikasih nama baru ya," kata Bisma tanpa menoleh.

Loka duduk di meja belajar, menghadapi komputernya sendiri. "Oke. Aku copy dan save as ... nama file-nya jadi Algis-final-biar-Gemina-buruan-married ya?" Loka cekikikan sendiri.

Gemina pura-pura tidak mendengar daripada salah tingkah akibat ledekan Loka. Tangannya menggerakkan stylus di atas tablet, matanya menatap layar. Satu lagi, pikirnya. Malam ini harusnya bisa tuntas semua. Sudah lima hari ini mereka bersama-sama menggarap dua belas ilustrasi Algis. Gemina membuat sketsa adegan-adegan yang diinginkan Radmila. Loka merapikan garis-garisnya. Lalu Bisma memberikan shading, meniru gaya pewarnaan Gemina sebelumnya. Mata awam Radmila tidak akan melihat bedanya.

Ini ide Bisma. Didukung Loka. Menurut mereka, Gemina harus segera diselamatkan dari Radmila. Sebelum dinner besok, semua pekerjaan harus sudah beres. Jadi, apa pun yang terjadi, Gemina tidak punya tanggungan dan bisa membuat keputusan obyektif. Tapi karena tidak mungkin menyelesaikan 12 ilustrasi sendirian dalam waktu sesingkat itu, Bisma dan Loka turun tangan. Di antara jam kuliah, mereka mengerjakannya di studio. Dilanjutkan di kamar Loka yang luas. Sering sampai dini hari.

Beberapa kali IgGy menelepon, ingin datang untuk membantu, tapi Gemi melarangnya. Pada kali terakhir cowok itu menelepon, Loka membajak ponsel Gemi untuk mengomeli. "Enggak tahu ya kekasihmu lagi berjibaku di sini demi kamu? Yang di sini juga kangen, tapi bisa bersabar dan realistis. Kalau kamu menelepon sehari tiga kali kayak minum obat, Gemi enggak konsen. Algis jadi mirip kamu. So, mundur dikit. Puasa dulu, oke?"

Gemina membelalak. Berusaha merebut ponselnya, tapi Loka naik ke sofa untuk menghindar. Untung saja IgGy tidak marah, dan mengganti mode komunikasi dengan pesan saja sehari sekali, sekedar menanyakan kabar.

"Gemi, kamu yakin besok malam enggak perlu aku dampingi?" Loka melongok dari balik monitor. "IgGy kan bisa mengundang keluargamu, tapi aku yang datang mewakili."

Gemina tertawa. "Kamu lupa, yang punya acara bukan Garin, tapi Radmila, dan aku diundang karena aku bekerja untuknya."

"Tenang, Loka. Percayakan Gemi sama IgGy." Bisma menyambung. "Aku juga percaya Ollie."

Nama panggilan Oliva dan nada lembut Bisma membuat Loka memandang Gemina penuh arti. "Love is in the air ...." Loka bernyanyi sumbang. Muka Bisma langsung memerah, tangannya meraih bantal kursi untuk dilempar ke arah Loka. Gemina geleng-geleng. Sepertinya ada perkembangan baru. Bisma pasti akan bercerita pada saatnya. Jadi ia membiarkan momen itu lewat. Apalagi Loka kembali ke topik dinner. "Gemi, kamu harus tampil memukau. Bukan buat IgGy. Eh, buat IgGy juga sih. Biar Radmila lihat sendiri gimana IgGy terpikat. Tapi maksudku, kamu harus membuat Radmila terkesan juga. Kamu tunjukkan sisi lain. Bukan mahasiswa unyu tukang gambar yang biasa dia suruh-suruh. Kamu perempuan hebat, IgGy beruntung banget dapetin kamu. Begitu."

Kali ini Loka berhasil membuat Gemi tersengat. Ya ampun, ia sama sekali tidak mengaitkan dinner istimewa dengan tampilan beda. Ia kira cukup celana panjang dan kemeja, sopan dan rapi, seperti biasanya kalau bertemu Radmila. Apa pula yang dimaksud Loka dengan memukau? Gaun pesta atau ada kostum khusus untuk makan malam bersama mantan klien yang calon mertua?

Gemina mengerang dan membenturkan jidatnya ke meja. Membayangkan harus membeli dan memakai gaun berikut high heel saja sudah bikin ngeri. "Haruskah?" protesnya, tapi ia mengakui Loka benar. Bagaimanapun, ia harus memberikan kesan yang baik mengingat ketegangan di antara mereka. Bahkan sedikit kejutan, pikir Gemina, seperti yang Loka sarankan. "Loka, aku selesaikan sketsa terakhir ini dulu. Lalu antarkan aku ke factory outlet, cari rok."

"Sebelum kamu buang uang untuk beli baju yang nantinya enggak kepakai lagi, ada baiknya tanya Ollie. Dia pasti tahu selera Radmila. Biar dia kasih kamu referensi dulu. Bentar aku telepon Ollie, ya." Bisma meraih ponselnya dan keluar dari kamar, diikuti pandangan Loka.

"Bisma serius kayaknya." Loka berbisik. "Aku enggak nyangka. Tapi kalau mereka jadian, bagus banget. Oliva jauh lebih baik ketimbang gebetan terakhirnya itu. Berarti juga kamu enggak perlu waswas IgGy bakal balikan sama dia."

Semoga, pikir Gemina. Tapi yang membuatnya lebih gembira kalau mereka jadian adalah fakta bahwa Oliva mendapatkan cowok yang baik. Bisma, meskipun lebih muda dari Oliva, bisa diandalkan dan setia. Gadis itu layak mendapatkan kebahagiaan setelah sekian lama berkorban menjaga IgGy.

Tanpa Oliva, entah bagaimana Garin-13-tahunnya. Gemina ingin berterima kasih karena itu, tapi sejauh ini belum ada kesempatan yang pas. Bagaimanapun status mantan tunangan membuat hubungan mereka kaku. Oliva cenderung menghindar.

Akan tetapi dinner istimewa mengubah situasi itu. Tumbuh keakraban tersendiri di antara mereka saat Oliva mengirim foto-foto fashion langsung ke ponselnya, lalu berlanjut chatting untuk membantu Gemina memilih baju di FO. Gemina pun tidak sulit menemukan rok yang cocok dan nyaman. Ambil warna peach, kata Oliva. Radmila suka warna itu tapi merasa tidak pantas memakainya sendiri karena jadi tampak pucat seperti sakit. Efek warna itu pada Gemina beda, jadi terlihat elegan berkelas. Sepatu tidak harus high heel. Loka meminjamkan sepatu sandal wedge tiga senti yang pas di kaki Gemina. Do something with your hair, kata Oliva lagi, jangan digerai asalan. Loka pun menata rambut Gemina menjadi gelungan cantik dengan tusuk konde sewarna roknya. Soal makeup, Gemina berkeras hanya memakai bedak dan lips gloss, seperti sehari-hari. Tidak ingin terlihat berlebihan. Oliva pun membiarkan.

Sempurna. IgGy yang datang menjemput pun terpana. Loka menggaplok punggung cowok itu dan membuatnya sadar. Gemina tersipu. Dadanya yang sesak oleh kecemasan seketika plong. Mata berat akibat kurang tidur pun tidak dirasakannya lagi. Gemina tidak menolak saat IgGy menggandengnya masuk ke rumah utama. Ia memerlukan pegangan secara harfiah. Sepertinya IgGy pun membutuhkan penopang. Terbukti cowok itu tetap memegangi tangan kirinya saat Gemina menyalami Radmila.

Jadi, wanita itu melihat segalanya. Demonstrasi kedekatan mereka. Pandangan penuh cinta saat IgGy menarikkan kursi untuknya. Juga penampilannya. Radmila berkata, "Gemi, kamu membuatku pangling."

Gemina menganggapnya sebagai pujian. Sekaligus membuatnya sadar, Radmila juga punya sisi manusiawi. Trimatra atau tiga dimensi, dengan kedalaman yang sering dikaburkan oleh prasangka dan kesalahpahaman.

Oliva datang, dan meskipun tadi Gemina sudah mengirimkan fotonya sebelum berangkat, gadis itu masih tampak terkesan. "Gemi, kamu cantik banget."

Gemina merasakan remasan di bahu. Ia menoleh dan mendapati senyum IgGy dan kebanggan yang tidak ditutup-tutupi.

"Tante Mila, salam dari Papa. Maafkan Papa tidak bisa datang, karena mendadak harus ke Jakarta menjenguk adiknya. Om Dwi masuk rumah sakit kemarin."

Radmila mengangguk kaku. "Ya, aku sudah ditelepon."

"Maaf juga kalau aku bawa teman enggak bilang-bilang. Dia menunggu di depan. Boleh ya aku ajak masuk, mau aku kenalin ke Tante."

Kening Radmila berkerut. Tapi Oliva seperti tidak menyadari reaksinya, langsung keluar lagi. Sebentar kemudian ia kembali mengandeng cowok jangkung yang berjalan malu-malu. Gemina tercengang. Ia sudah menduga Bisma-lah yang dibicarakan Oliva. Tapi rambut yang sudah dipangkas rapi itu .... Demi apa? Kalau Loka ada di sini, pasti langsung tersedak. Rambut gondrong kebanggaan Bisma, yang suka diikat asalan walau sebetulnya cocok untuk iklan sampo saking halusnya, kini sudah tidak ada lagi. Pangling tentu saja. Tapi Gemina harus mengakui Bisma lebih tampan dengan rambut pendek begitu.

Makan malam terasa akrab. Mereka mengobrol dan bercanda. Berempat, karena Radmila tidak terlalu terlibat. Berjarak. Gemina diam-diam merasa terenyuh. Ikut merasakan ketidaknyamanan Radmila. Itu sebabnya ia mencoba mengajaknya bicara. Tentang dunia buku dan kepenulisan yang ia tahu bakal diminati Radmila. Tapi wanita itu menanggapi seperlunya. Gemina tidak putus asa. Menggamit rusuk IgGy diam-diam. IgGy mengangguk mengerti, mencoba juga walau terasa kaku, dan akhirnya cowok itu angkat bahu.

Selesai makan malam, Radmila mengucapkan terima kasih, dan minta maaf karena harus mengakhiri acara lebih awal. Terlalu lelah setelah mengejar deadline, katanya. Tapi ia meminta Oliva tinggal dulu untuk bicara empat mata. IgGy pun mengajak Gemina dan Bisma ke paviliun.

Tak lama kemudian, Oliva menyusul dengan senyum terkembang. Isyarat yang cukup untuk menunjukkan kemenangan.

Bisma menengok arloji. "Belum terlalu malam. Mau double date? Nonton?" tanyanya. Disambut anggukan antusias Oliva, yang mengedarkan pandangan, berbinar-binar. Gemina lagi-lagi mengakui Bisma benar, kecantikan Oliva tidak akan pernah bisa ia tandingi.

"Gimana, Gemi?" IgGy memandangnya serius. Lalu tertawa. "Sepertinya Gemi bakal tertidur begitu masuk mobil."

"Ya, dia nyaris enggak tidur dua malam terakhir," kata Bisma. "Tadi pagi ketangkap basah tidur berdiri sandaran di dinding waktu antre kamar mandi—"

Gemina terlambat menutup mulut sahabatnya. Bisma tergelak.

"Kamu perlu istirahat." IgGy menepuk-nepuk kepalanya. Lalu berkata kepada Oliva, "Kalian pergi saja. Aku antar Gemi pulang."

Hanya beberapa saat setelah Oliva dan Bisma pergi, pintu rumah utama terbuka. Radmila keluar dan membelok ke arah paviliun, masih dengan gaun yang sama. IgGy berdiri. Sikap tubuhnya tegang. Gemina ingat kata-kata Oliva, Radmila tidak pernah menginjakkan kaki di paviliun. Entah kenapa, Gemina tidak pernah bertanya.

Gemina mendekat, mengambil tangan IgGy, yang langsung menggenggamnya. Hadapi bersama apa pun yang terjadi.

Radmila tiba-tiba berhenti di depan undakan. Seperti ada yang menahannya. IgGy tidak mempersilakan ibunya naik. Gemina menelan ludah, malu sendiri, pernah mengira masalah di antara ibu dan anak bisa selesai dengan karya seninya. Ia tidak tahu apa-apa.

"Ignazio, kamu sudah kehilangan Oliva sepenuhnya. Sayang sekali, tapi aku tidak bisa memaksanya kembali. Gemi, kamu menang, Ignazio tidak berubah pikiran. Aku akan berikan restuku dengan satu syarat untukmu."

"Syarat untuk Gemi berarti untukku juga! Kapan Mami mau merestui apa pun keputusanku dengan ikhlas?" IgGy berkata. Terdengar lelah. Wajahnya sekaku arca Ganesha di gerbang kampus. "Lihat saja, Mami tetap tidak mau menginjak paviliun yang dibangun dengan restu bersayarat Mami. Jadi apa gunanya?"

"Bisakah soal itu tidak dibicarakan di depan orang lain?" Radmila menoleh sekilas pada Gemina.

"Gemi bukan orang lain. Dia calon istriku. Dengan ataupun tanpa restu Mami, aku akan menikahinya. Gemi berhak mendengar semua masalah di keluarga ini."

"Baik, sekalian saja dibuka agar Gemi juga mengerti." Radmila mendesah. Lalu tiba-tiba naik ke undakan, berhenti di anak tangga ketiga. "Gemi, dengarkan. Aku tidak suka Ignazio menghamburkan warisan papinya untuk membangun paviliun. Ia bisa memanfaatkannya untuk modal usaha atau apa saja yang lebih jelas. Ignazio bisa tinggal bersamaku sebagaimana layaknya keluarga. Tapi tidak. Ignazio berkeras. Ia enggan tinggal seatap dengan ibunya sendiri. Paviliun ini jadi simbol jarak yang menyakiti hatiku. Bagaimana aku bisa menapakkan kaki ke sini?"

Gemina merasakan matanya panas. Tidak bisa menjawab. Ia berusaha memahami, tapi kata-kata Radmila terasa janggal buatnya. IgGy tentu punya alasan kuat untuk hidup terpisah. Masih untung hanya di paviliun yang jaraknya sepelemparan batu. IgGy masih suka bolak-balik ke rumah utama. Kalau tidak mau berjarak, bukannya Radmila bisa berkunjung ke paviliun? Egonya melarang? Aah, entahlah .... Siapa yang tahu cara berpikir Radmila? Trimatra dengan kedalaman berliku dan tak terukur.

IgGy mempererat genggamannya pada tangan Gemina. "Gemi, Mami merestui pembangunan paviliun dengan syarat aku harus sering menginap di rumah utama. Aku setuju. Mami bisa memanggilku kapan saja. Tapi begitulah, Mami sendiri sibuk luar biasa sampai tidak sadar kalaupun aku menginap di sana. Lalu buat apa? Kupikir, Mami hanya membenci apa pun dari Papi."

"Kamu selalu berprasangka," kata Radmila. Naik lagi sampai selantai dengan mereka.

"Dan Mami selalu membuat semuanya jadi rumit," kata IgGy, kesal.

Keduanya saling tatap dengan marah. Gemina memandang keduanya berganti-ganti. Dan tiba-tiba saja semuanya jadi masuk akal. Radmila sudah kehilangan Algis, pasti tidak mau kehilangan IgGy juga. Di balik kerumitan sikapnya, wanita itu ingin meraih IgGy kembali. Sayangnya, tindakan-tindakan Radmila malah semakin menjauhkan mereka. Karena IgGy punya trauma dan sudah kehilangan kepercayaan padanya.

"Garin, mami kamu enggak mau kehilangan kamu," kata Gemina halus. Suaranya menghentikan adu tatap itu.

Radmila menoleh kepadanya dengan ekspresi tak terbaca. IgGy bergerak gelisah.

Gemina sadar, sudah terlalu banyak parut luka dalam hubungan ibu anak ini. Urusan paviliun hanya satu dari sekian banyak masalah yang sudah kedaluawarsa, dianggap selesai tapi masih menggerogoti dari dalam.

Ia pun memberanikan diri maju untuk menyentuh tangan Radmila. "Ibu akan merestui kami dengan satu syarat untuk aku lakukan. Apa syaratnya?" Lalu Gemina menahan napas.



(bersambung)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro