21. Self-Doubt
.... Oliva memutuskan pertunangan kami. Ini yang terbaik buat kami berdua. Oliva mengembalikan cincin dengan pesan agar aku memberikannya pada gadis yang tepat di waktu yang tepat.
Gemi, jemarimu panjang-panjang dan berisi. Aku harus bikin cincin baru, kalau gini ....
Itu lebih dari yang ingin didengar Gemina. Meskipun pernyataan itu implisit, IgGy mengucapkannya penuh ketegasan sambil memandangnya. Mata Gemina membulat. Bukan tidak percaya, ia benar-benar tidak menduga.
IgGy tersenyum. Melepaskan tangannya. Beralih menepuk kepalanya. "Aku tahu. Ini terlalu cepat. Take your time. Aku menunggu sampai kamu siap."
Gemina menelan ludah. Bukan begitu. Eh ya, itu juga sih. Tapi .... Mendadak gelombang pasang perasaan menerjangnya. Melumpuhkan setiap sel nalar di otak. Wajahnya menjadi panas oleh rasa malu. IgGy mencintainya! Garin mencintainya! Gemina ingin berteriak. Cowok itu juga sudah tahu perasaannya sama, malah tumbuh lebih dulu. Bersambut .... Hanya soal waktu.
Tapi ... ya Tuhan ....
Gemina tertegun.
Jalannya masih panjang. Sadarkah IgGy, bakal berapa lama menunggunya?
Gemina baru 20 tahun, masih kuliah, harus selesai dulu, pengin kerja dulu untuk bisa membiayai Panji sekolah dan mempensiunkan Abah. Lalu bagaimana dengan Kak Citra yang seumuran IgGy? Punya cowok saja belum. Masa ia melangkahi kakaknya?
Sedangkan IgGy sudah 25 tahun, sudah matang, sudah siap, tapi putus dari Oliva gara-gara dia. Harus mulai dari awal lagi. Menunggu.
Lalu bagaimana perasaannya sendiri saat waktunya tiba nanti? Apakah tetap kuat seperti sekarang? Bagaimana kalau berubah? Kemungkinan itu ada kan?
Ya Tuhan. Badai pikiran dan emosi ini membuatnya kehilangan pegangan dan pijakan. Gemina gemetar dan susah payah menyembunyikannya dalam senyum semringah. Dan IgGy tampak terkesima memandangnya, membuat Gemina semakin merasa bersalah.
Ia mendorong dada IgGy. "Sudah. Daripada bikin aku baper, mending ambilkan aku minum."
IgGy tertawa halus dan beranjak ke pantry. Gemina buru-buru lari ke kamar mandi dan menguncinya. Dengan punggung disandarkan pada pintu, ia merosot duduk di lantai. Lemas.
Apa yang harus dilakukannya?
Membiarkan IgGy menunggu entah sampai kapan, sungguh egois.
Tiba-tiba saja wajah Oliva melintas di benaknya. Ia kalah dalam segala hal. IgGy keliru mengambil keputusan. Melepaskan wanita sesempurna itu untuk dirinya yang bahkan tidak bisa mengambil keputusan. Gemina membenturkan kepala ke pintu dengan jengkel.
Oliva benar kalau menganggapnya cewek labil. Ia yakin, bukan dirinya yang dimaksud Oliva sebagai gadis yang tepat saat melepaskan IgGy. Ia justru menempatkan IgGy di dalam perahu di tengah laut, terkatung-katung. Dermaga untuk berlabuhnya masih jauh, bahkan tidak meyakinkan.
IgGy membutuhkan pendamping segera. Mungkin belum terlambat untuk mengembalikannya kepada Oliva? Oh, Tidak. Membayangkannya saja membuat Gemina merasa terluka sendiri. Ia tidak akan pernah bisa menyakiti hati IgGy dengan menolaknya sekarang, setelah semua yang terjadi.
Dua titik air mata meluncur turun tanpa tanda-tanda. Gemina sendiri kaget. Buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan. Tapi semakin diusap, semakin sadar ia menangis, semakin deras air matanya mengalir.
Gemina takut, tidak bisa menjadi perempuan yang diharapkan IgGy. Tidak bisa membuatnya bahagia. Karena cinta di satu sisi, sama sekali tidak sinkron dengan logika dan praktiknya di sisi lain.
"Gemi!" Suara IgGy lembut di balik pintu. "Kamu baik-baik saja?"
"Ya. Tunggu sebentar." Gemina menjawab riang. Terlalu riang malah. Ia bangkit dan mencuci muka di wastafel. Syukurlah matanya belum merah dan sembap. Hentikan dulu memikirkan soal ini. Jelas ia tidak sanggup sendirian. Mungkin bicara dengan Loka dan Bisma akan membantu. Ya, secepatnya. Gemina menyemburkan napas. Merapikan kemeja dan rambutnya. Lalu keluar.
Untuk langsung berhadapan dengan IgGy yang menunggunya dengan tampang khawatir. "Kamu sepertinya belum fit benar. Harusnya banyak istirahat dulu, malah jadi kebawa-bawa masalahku dengan Mami."
Gemina menggeleng-geleng cepat. "Aku sudah pulih, kok. Jangan khawatir." Dan ia melangkah ke pintu keluar, menyelip di antara tubuh IgGy dan dinding. Berusaha keras tidak menyenggol IgGy.
Berhasil. Ia membuka pintu, berbalik, tersenyum. "Sebaiknya aku balik ke kamar dan lanjutin ilustrasi Algis. Dikit lagi."
"Gemi!" IgGy meraih tangannya.
Gemina membeku. Padahal telapak tangan IgGy hangat. Hangat yang dengan cepat melelehkan hatinya. Pemuda itu menahannya tapi hanya memandanginya dengan ekspresi tak tergambarkan. IgGy membutuhkannya, itu sudah jelas, dan setiap ujung sarafnya merespons dengan kerinduan yang sama. Tidak perlu waktu lama, kehangatan mulai membakarnya. Gemina sampai memancangkan kaki di lantai dan tangan satu lagi mencengkeram handel pintu, karena kalau tidak, ia akan melompat ke dalam pelukan IgGy. Ya, mata IgGy mengundangnya.
Ini tidak benar. Akal sehatnya berteriak kuat-kuat.
"Garin, kamu bilang mau memberiku waktu ...." Suaranya tersekat. "Kalau begini, aku enggak bisa berpikir. Padahal aku perlu otakku, setidaknya sampai pekerjaan dengan mami kamu beres."
IgGy mengerjap, seperti baru tersadar, dan senyumnya merekah dengan dekik yang dalam. Melepaskan tangan Gemina.
Tepat waktu, sebelum Sarah melihat mereka. Asisten Radmila itu sudah naik ke teras paviliun dengan langkah tergesa. Mengangguk pada IgGy dan berbicara pada Gemina.
"Kamu dipanggil Ibu. Di ruang kerja." Sarah tampak berusaha santai tapi tetap saja ketegangan membayangi kata-katanya.
"Untuk urusan apa?" IgGy melangkah keluar, memposisikan diri di depan Gemina menghadapi Sarah.
"Aku enggak tahu, enggak berani nanya. Mungkin soal ilustrasi."
Gemina mendorong IgGy ke samping dengan lembut. "Baik. Aku ke sana."
"Aku ikut," kata IgGy, sesaat seperti anak kecil yang takut ditinggal, kemudian kembali menunjukkan sikap melindungi. "Aku temani kamu."
Gemina tersenyum. Mempertimbangkannya sejenak. Kalau benar ini urusan kerjaan, ia harus menghadapi Radmila sendiri, tidak perlu menambah kerumitan dengan berlindung di belakang IgGy. Ia harus menunjukkan profesionalitas seorang ilustrator. Tapi ia tidak ingin menolak IgGy di depan Sarah. Jadi, "Duluan saja, Mbak. Aku nyusul sebentar lagi."
Sarah mengangguk dan meninggalkan mereka.
"Kita hadapi Mami sama-sama," kata IgGy mendahului.
"Kamu pikir aku dipanggil untuk soal kita?" Dua kata terakhir nyaris lesap. Wajah Gemina terasa panas. "Maksudku, kamu kenal baik sifatnya. Kira-kira apa yang bakal ia omongin sama aku?"
IgGy menggaruk-garuk pipi. "Mungkin soal kerjaan. Dia enggak akan menyinggung-nyinggung masalah pribadi. Tapi setelah apa yang terjadi, sangat mungkin dia bakal menekanmu. Misalnya tiba-tiba memajukan deadline, menolak sketsa, atau menambah pekerjaan baru. Pokoknya bikin kamu enggak nyaman."
Sifat Radmila dipaparkan IgGy seperti deskripsi karakter figuran di buku, datar dan berjarak. Efeknya justru mencekam. Dengan kata lain, Radmila bakal menendangmu keluar, Gemi. Pergi sebelum itu terjadi. Tapi mereka sedang membicarakan wanita yang melahirkan IgGy. Gemina menggigit bibir, berhati-hati merespons. "Agar aku mengundurkan diri? Kenapa enggak langsung PHK saja?"
"Mami enggak akan memposisikan dirinya sebagai 'bad guy'." IgGy lalu meletakkan kedua tangannya di bahu Gemina. "Tapi kamu sama sekali enggak bersalah. Jangan merendah di depannya. Aah, sebaiknya aku dampingi kamu-"
"Hmm. Kamu bisa bikin dia melunak?"
IgGy meringis. "Tepatnya, aku bakal bikin dia semakin jengkel. Itu lebih baik ketimbang aku galau sendirian di sini. Mikirin kamu di sana."
Ah, stop it, Garin! Gemina geleng-geleng. "Kupikir, kalau ini soal kerjaan, aku harus menghadap mami kamu sendiri. Kamu tunggu saja di sini. I'll be alright."
"Tapi ...." IgGy masih memprotes. Pegangannya di pundak Gemi menguat. "Aku antarkan sampai ruang kerja, deh."
Gemina mengambil tangan IgGy. Menepuk-nepuknya. "Please, beri aku kesempatan belajar berani. Biarpun degdegan sampai kakiku lemas."
IgGy memandangnya dengan kedalaman yang menarik Gemina hingga ke dasar. Ya, degdegan sampai kaki lemas bukan karena Radmila, pikir Gemina. Tapi karena kulitnya seakan terbakar oleh sentuhan IgGy. Darah di bawah kulit pun berdesir kencang di sepanjang pembuluh, memompa jantung berlebihan. Mumpung otaknya masih berfungsi normal, Gemina dengan halus melepaskan diri dari semua kontak fisik mereka. "Garin, percayalah padaku."
Kerjap kesadaran. Anggukan. Senyum menguatkan.
Gemina pun meninggalkan IgGy. Dilepaskan cowok itu seperti hendak pergi berperang saja. Ia mampir ke kamar untuk mengambil buku sketsanya. Lalu dengan langkah digagah-gagahkan, Gemina menuju ruang kerja Radmila. Pintunya tertutup rapat. Sesaat Gemina ragu. Selesaikan sekarang, tekadnya.
Ia mengetuk. Sarah membukakan pintu, menyuruhnya masuk, dan kabur. Tinggal Gemina yang berdiri antara siaga dan tegang, di hadapan Radmila yang duduk di balik meja besarnya. Wanita itu mengenakan baju resmi yang sama dengan tadi pagi, rambutnya digelung di puncak kepala. Tampak efisien terkendali. Tidak ada tanda-tanda habis melalui pertengkaran dan perdebatan dengan IgGy. Tangan kanannya yang bergelang etnis sibuk mencorat-coret kertas dengan spidol merah.
Perut Gemina terasa terpilin. Itu printout delapan gambar yang ia emailkan terakhir.
"Empat ilustrasi oke. Dua sketsa perlu perbaikan, dua lagi ganti total saja, aku enggak suka pose mereka. Sudah kuberi catatan di sini!" Radmila setengah mengempaskan tumpukan printout itu di depan Gemina.
Sikap dan bahasa tubuhnya tidak luput dari radar Gemina, tapi tekadnya kuat untuk tidak terprovokasi. Sejauh ini, dari 20 ilustrasi yang diminta, delapan sudah beres. Kurang dua belas lagi. "Baik. Aku akan kerjakan. Ada lagi, Bu?" Gemina bertanya tenang. Menyelipkan printout gambar yang penuh coretan ke dalam bukunya.
Radmila sudah menghadapi laptop dan hanya mengibaskan tangan menyuruhnya pergi.
Gemina mengangguk dan berbalik. Baru beberapa langkah menuju pintu, didengarnya Radmila berdeham.
"Sisanya bisa kamu selesaikan dalam seminggu?"
Gemina berhenti melangkah. Mengepalkan tangannya yang bebas diam-diam. Delapan ilustrasi yang sudah selesai itu, ia garap dalam tiga minggu. Sisanya adalah dua sketsa yang perlu direvisi, dan 10 lagi belum apa-apa. Total dua belas diminta selesai dalam seminggu? Are you out of your mind? Tentu saja itu cuma dalam hati. IgGy benar, Radmila sedang menekannya. Atau, tiba-tiba saja Gemina sadar, itu pasti kode bahwa ia hanya diberi waktu seminggu lagi saja untuk tinggal di sini. Masih butuh ilustrasinya tapi sudah tidak suka ilustratornya ... hmm.
Gemina membalikkan badan. Tersenyum pada Radmila. "Seminggu bisa kubereskan tiga atau empat, Bu. Sisanya bisa aku selesaikan di tempat kos nanti. Aku berencana pindah minggu depan. Cukup empat minggu aku merepotkan Ibu di sini."
Radmila mendengkus. "Kamu pikir, aku sedangkal itu? Pengin kamu pergi dari sini gara-gara apa?"
Gemina menelan ludah. Gara-gara mengacaukan kedamaian di rumah ini? Membuat IgGy melawannya? Dan puncaknya menyebabkan IgGy dan Oliva putus?
"Aku tidak suka pada orang yang turut campur dalam urusan pribadiku padahal tidak tahu apa-apa, tidak ada alasan apa-apa," lanjut Radmila karena Gemina tidak menjawab. "Kamu tidak tahu apa-apa, tapi Ignazio sudah melibatkan kamu, itu berarti kamu punya alasan."
Tapi tetap enggak suka padaku, pikir Gemina, getir. Yang keluar dari mulutnya beda lagi. Nyaris spontan. "IgGy, dia enggak suka dipanggil Ignazio ...."
Radmila mendecak kesal. "IgGy sudah mengambil keputusan. Terlalu terburu-buru. Aku yakin, dia akan menyesal dalam beberapa hari ini kalau memikirkannya baik-baik. Oliva juga. Dalam seminggu ini, kamu akan lihat, mereka akan rujuk kembali. Jadi ...."
"Jadi, saat itu, aku tidak akan nyaman lagi tinggal di sini." Gemina melanjutkan dengan suara kering. "Seminggu ...."
"Aku bisa saja memintamu pindah sekarang juga. Menghentikan pekerjaanmu dan membayarmu. Tapi Ignazio akan semakin memberontak. Bisa-bisa mengajakmu kawin lari malam ini juga untuk membuktikan diri."
Gemina menelan ludah lagi. Kawin lari? Hanya karena ingin membuktikan diri dan mengalahkan maminya? "IgGy. Bukan Ignazio!"
Radmila menggeram. "Sudah kamu pikirkan kemungkinan itu? Kamu sudah siap menikah? Ignazio sebentar lagi 26, sudah matang. Kamu tahu tanggal lahirnya, kan? Pernikahannya dengan Oliva direncanakan bersamaan dengan ulang tahunnya."
Kata-kata Radmila menusuk dada Gemina dan menetap di sana untuk membuat kerusakan lebih jauh. Ia mencengkeram buku sketsanya kuat-kuat. Telapaknya lembap oleh keringat dingin. Detak jantungnya sudah terlalu keras sampai ia khawatir terdengar Radmila dalam jarak dua meter ini.
Radmila tertawa kecil. "Aku tahu, kamu enggak berpikir sejauh itu. Jadi kuberi waktu seminggu di sini untuk mempertimbangkan lagi. Kamu bisa mundur duluan atau menunggu Ignazio meminta maaf karena sudah memanfaatkan kamu untuk melukaiku. Apa pun itu pasti bikin kamu enggak enak untuk lanjut kerja denganku. Sayang sekali. Kamu berbakat, aku suka ilustrasimu. Tapi terpaksa kulepaskan. Seminggu, kerjakan saja sebisamu."
Bibir Gemina bergetar. Kata-kata terbentuk cepat di lidahnya tapi bergumpal tidak keruan. Ia yakin kalau buka mulut sekarang yang keluar hanya teriakan marah. Jadi ia katupkan bibirnya. Matanya mengarah pada wajah Radmila. Kalau kemarahan tersorot, ia tidak bisa mencegahnya.
"Kamu bisa keluar dari ruang kerjaku sekarang sambil menangis. Mengadu pada Ignazio, yang jelas akan membelamu mati-matian. Tapi sekali lagi, sudah siapkah kamu dengan drama selanjutnya? Pikirkan kuliahmu, cita-citamu, orangtuamu."
"IgGy. Dia minta Anda memanggilnya IgGy. Permintaan sederhana, bukan?" kata Gemina pelan, lalu menarik napas dalam-dalam. Kata-kata itu seperti tambatan pikirannya agar tetap waras. "Soal aku, jangan khawatir. Aku tahu apa yang akan kulakukan. Semua yang kita bicarakan di sini, Garin tidak akan tahu dariku. Dalam seminggu ini aku akan tetap bekerja profesional. Kita lihat nanti, mungkin Anda benar, Garin sendiri yang akan berubah pikiran tentang aku. Mungkin dia kembali pada Oliva, mungkin juga tidak. Tapi Anda salah kalau mengira aku mau mundur dari Garin. Aku tahu perasaanku."
Selama Gemina berbicara, ekspresi Radmila berubah-ubah antara jengkel, terkejut, lalu tidak berdaya. Ia mengenyakkan diri di kursinya, dan mengibaskan tangan lagi.
"Kerjakan ilustrasi itu. Aku tidak terima kualitas rendah."
Gemina menyeringai. "Aku enggak pernah memberikan ilustrasi asalan. Ibu tahu sendiri."
"Ya, ya, tinggalkan aku sendiri. Kamu bikin kepalaku pusing."
Gemina mengangguk, beranjak ke pintu.
"Gemi!"
"Ya, Bu?"
"Ulang tahun Ignazio dua bulan lagi. Tanggal 18 Maret. Upacara pernikahan mereka. Aku dan Oliva sudah membuat perencanaan detail, tinggal eksekusi. Masih ada waktu untuk mengembalikan semuanya pada jalur yang benar."
Gemina menggeleng dan tersenyum, "Tapi aku percaya pada Garin. Dan Ibu membuat aku percaya lagi pada diriku sendiri."
(bersambung)
--------------------------
Yes! Go Gemi! Go Garin!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro