Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Merupa Rasa

Gemina memekik dan terjaga. Tidak, ia tidak terbakar. Tidak ada yang menindih kepalanya pula. Hanya mimpi, walau rasa panas dan sakitnya nyata. Dadanya bergemuruh. Sekujur tubuhnya basah. Berat untuk bergerak memperbaiki posisi. Aah, sudah berapa lama ia tidur? Di luar masih terang. Ia menengok jam tangan, pukul 15.45. Belum satu jam sejak Oliva meninggalkannya. Dan keadaannya belum membaik. Tidak boleh keterusan sakit, pikirnya. Ia harus sudah sembuh saat IgGy pulang Senin nanti. Masih ada dua hari lagi. Pasti sudah sembuh.

Garin ....

Gemina memejamkan mata. Merasakan desir lembut di dada saat menyebutkan nama itu. Damai sekaligus bergairah membayangkan berada di dekatnya. Sesuatu yang baru kali ini ia rasakan. Tapi bagaimana ia bisa meyakinkan Oliva? Kosa katanya tentang cinta sangat terbatas, bahkan terdengar klise seperti dicomot dari novel-novel romansa saja. Oliva tidak akan percaya kalau begini.

Random IgGy. Ia harus membacanya dulu. Matanya bergerak ke sisi kiri tempat tidur, buku catatan yang ditumpuk Oliva sudah rubuh terserak. Melihat seprai dan selimut di sekitarnya, Gemina sadar, lasak sekali ia tidur. Mukanya semakin terasa panas. Jengah. Ia akan benahi sebelum IgGy datang, tentu saja. Akan ia kembalikan keadaan paviliun seperti semula, seakan tidak pernah tersentuh olehnya.

Ia menggeser posisi berbaringnya ke dekat buku catatan. Mulai berburu random di antara halaman-halaman kosong.

Nyeri dan ketidaknyamanan pribadi langsung memudar ke latar belakang, terlupakan, saat mata dan hatinya terserap gaya menulis IgGy yang familiar. Dengan segera ia bisa membedakan catatan harian dari hal-hal lainnya. IgGy menyajikan kepingan masa lalunya melalui dialog-dialog murni, yang anehnya mengaduk emosinya dan memberitahu banyak melebihi deskripsi dan narasi.

Seperti waktu membaca Trilogi Runako, karakter-karakter dari masa kecil IgGy pun mewujud dalam benaknya.

Garin, 13 tahun, anak lelaki kikuk, peragu, dianggap lemah, yang terperangkap dalam perasaan cinta-benci yang kuat terhadap Algis dan Mami. Garin telah diperlakukan sewenang-wenang, tidak secara fisik tapi secara emosional. Membuat Gemina ingin berada di sini sekian tahun lalu untuk memeluk Garin. Membelanya. Membawanya pergi.

Algis, 11 tahun. Gemina tidak punya kata lain yang tepat untuknya kecuali sakit. Sakit dalam segala makna dan konotasinya.

Dan sosok Mami. Gemina membayangkan wajah Radmila yang sekarang. Seorang ibu yang seharusnya bersikap adil pada kedua putranya. Apa yang dipikirkan Radmila waktu itu? Bahwa ia berhak membagi tanggung jawab mengurus Algis dengan anak sulungnya? Kalaupun ada justifikasi untuk itu, apakah lantas Garin tidak boleh menikmati masa kecilnya? Seolah egois sekali kalau Garin bahagia sementara adiknya sakit. Lalu, kenapa setelah Algis tiada, siksaan emosinya tidak berakhir juga? Bagaimana Garin sampai merasa tidak diinginkan maminya? Bagaimana Garin sampai merasa maminya lebih suka ia yang mati ketimbang Algis? Apa yang dikatakan Radmila kepada Garin? Lebih tepat lagi, apa yang tidak pernah dikatakan Radmila yang seharusnya Garin dengar?

Gemina merasa geram. Ambu berada di sisinya selama 16 tahun saja. Tapi Gemina telah mendengar semua hal yang biasa diucapkan seorang ibu untuk membesarkan hati anaknya. Hanya ada kenangan manis sepeninggalnya. IgGy ... Garin, dalam 25 tahun ini, apa yang sudah didapatnya dari Radmila? Terakhir bahkan kemarahan melalui telepon untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.

Tangis Gemina pecah. Tak ingin berhenti. Air matanya tidak cukup mewakili luka dan duka yang dirasa Garin, baik yang tertuang dalam random maupun yang terluputkan. Air matanya tidak cukup pula mewakili perasaan kasihnya sekarang. Ia tidak bisa memperbaiki masa lalu. Tapi ia bisa memberinya kebahagiaan mulai saat ini. Ia ingin melakukannya. Ia yakin dengan perasaannya. Menggelembung di dada begitu besar sampai sulit ia ungkapkan.

Bagaimana ia meyakinkan Oliva?

Kata-kata bukan kekuatannya. Seni! Ya, apa yang tidak bisa disampaikan dengan kata, bisa ia sampaikan melalui rupa. Gemina duduk. Menyingkirkan bantal dan selimut. Ia turun untuk mengambil ranselnya di sofa. Mengeluarkan semua perlengkapan seninya. Buku sketsanya yang terbawa berukuran A4. Tidak masalah. Ia menemukan perekat di meja kerja IgGy yang memberinya ide lebih lanjut.

Ia berdiri di tengah ruangan, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sana, dinding pantri cukup luas dan leluasa! Ia merobek 16 lembar dari buku sketsanya dan menempelkannya di dinding membentuk panel rapat 4x4. Kanvasnya sudah tersedia kini. Gemina menyiapkan cat akrilik. IgGy suka vintage, nuansa cokelat. Ia suka warna-warna pastel lembut. Dua palet itu ia pakai.

Selama dua jam berikutnya, Gemina melukiskan Garin usia 13 tahun bersama seorang anak perempuan berusia 8 tahun. Dirinya. Ia memastikan tahi lalat di leher Gemina kecil terlihat jelas, selain bentuk muka dan rambutnya. Kedua anak itu sedang bermain di pantai, membangun istana pasir. Nuansa cokelat mendominasi lingkungan pantai, juga kulit mereka. Sementara langit, laut, baju, ember dan sekop plastik menggunakan warna pastel. Gemina menghabiskan banyak waktu untuk detail wajah. Garin, dengan senyum berlesung pipit sempurna, membungkuk memandang Gemina yang mendongak menatapnya. Kata cinta tak perlu dituliskan saat ekspresi bahagia meluap-luap dari mata keduanya.

Gemina melangkah mundur untuk memeriksa hasilnya dari jarak tiga meteran. Ia puas dan percaya diri. Tapi kakinya tiba-tiba goyah. Senja baru turun di luar. Tapi ruangan mendadak redup meski lampu dari tadi menyala. Kepalanya terasa ringan. Dan kegelapan seperti tirai yang perlahan turun melingkupinya.

Seseorang membangunkannya. Tapi kabut mengaburkan pandangan. Ia mengerjap, yakin yang dilihatnya adalah wajah IgGy. Dekat di depan muka. Gemina tersenyum, ingin meminta maaf telah memberantakkan tempat tidur. Tapi kata-kata sulit terbentuk.

"Gemi! Ya, Tuhan .... Badanmu panas sekali. Sudah berapa lama di bawah sini?"

Ia tersenyum lagi. Hanya mengangkat jemari untuk menyentuh pipi IgGy yang basah, itu pun sekejap, tangannya sudah terkulai. Ia merasa badannya terangkat. Kembali ke tempat tidur yang berantakan. Lalu tidak bisa lagi ia mengikuti apa yang terjadi di sekelilingnya. Hanya IgGy yang hilang dan muncul di depannya. Tangan kukuh yang menyangga lehernya. Air minum yang disuapkan ke bibirnya. Kain basah yang diletakkan di dahinya. Dan tangan itu lagi yang menggenggam jemarinya.

Gemina terhanyut lagi untuk dibangunkan oleh suara asing yang banyak bertanya. IgGy memperkenalkan orang itu sebagai dokter Arif yang dipanggil untuk memeriksanya. Apa yang dirasa? Di mana yang sakit? Sekeliling kepalanya diraba dan ditekan-tekan. Gemina menjawab sebisanya.

"Tidak ada benjol atau memar. Mungkin jatuhnya tidak dari posisi berdiri."

"Syukurlah. Aku menemukannya pingsan di karpet. Entah berapa lama."

"Gemi, jam berapa terakhir yang kamu ingat?" dr. Arif menepuk kakinya yang tertutup selimut.

"Hari Sabtu, sekitar 17.45," sahut Gemina serak. "Sekarang Senin?"

IgGy tertawa. "Masih Sabtu kok. Aku pulang lebih awal. Dan menemukanmu jam 18.00 tadi. Berarti sekitar 15 menit kamu di lantai. Oh, Gemi, kamu bikin aku takut."

"Jangan khawatir. Dia enggak apa-apa. Tekanan darahnya saja rendah. Istirahat cukup, makan teratur, minum obat, pasti pulih satu atau dua hari ini," kata dr. Arif.

Gemina mengangguk dan memejamkan mata lagi. Mendengar IgGy bercakap-cakap dengan dokter sambil mengantarkannya ke pintu. Lalu IgGy kembali ke dekatnya. Duduk dalam diam. Sampai Mak Asih datang membawakan makanan. Gemina merasa lebih baik setelah ia disuapi bubur dan diberi obat. Ia sempat bilang mau makan sendiri, tapi hanya ditertawakan IgGy.

"Aku membuat berantakan paviliun," kata Gemina dengan jelas kali ini.

"Astaga, itu lagi yang kamu bilang. Enggak penting, Gemi. Kalau kamu sudah enakan untuk ngobrol, ceritakan saja apa yang terjadi." IgGy membantunya duduk bersandar. Lalu menarik kursi ke depannya. Siap mendengarkan, dengan tatapan prihatin.

Gemina menelan ludah. Wajah Garin 13 tahun malah membayang. Matanya jadi terasa panas. Apakah IgGy menyadari koleksi buku catatannya ada di atas kasur? Eh, ke mana buku-buku itu? IgGy menangkap pandangannya dan mendesah. "Sudah aku simpan lagi. Oliva sudah bilang, dia minta kamu membacanya. Aku jadi khawatir. Itu sebabnya aku buru-buru pulang. Mami sudah bikin kamu sedih, malah ditambah-tambah catatan enggak jelas itu. Bayangkan, aku sampai di sini dan melihat kamu di lantai."

"Garin ...." Oh, ingin sekali Gemina menjangkau wajah di depannya, tapi ia menahan diri. Malu. Khawatir 'salah paham' lagi. "Terima kasih sudah membolehkan aku membaca random-mu. Aku sakit bukan karena itu, juga bukan karena Radmila. Murni penyakit anak kos."

IgGy tersenyum akhirnya.

"Dan maafkan aku. Artwork-ku lagi-lagi membuat Radmila marah. Aku membuatnya tanpa sepengetahuanmu. Kamu kena getahnya."

"Ini?" IgGy meraih buku di nakas. Gemina terbelalak menyadari buku misinya ada di tangan IgGy. "Aku mengambilnya dari kantor Mami. Mami sendiri pergi sama Sarah dari siang, kata Mak Asih." Tiba-tiba IgGy menepukkan buku itu ke kepala Gemina pelan.

Gemina mengaduh kaget. "Eh, kenapa?"

"Karena kamu pakai standar ganda. Kamu kirim komik Runako manga untukku. Bagus sih. Tapi dibandingan ini jadi enggak ada apa-apanya. Detail dan halus banget. Entah berapa banyak waktu yang kamu habiskan untuk ini. Dan kamu bikin untuk Radmila. Aku cemburu. Tapi aku maafkan, karena komik ini berhasil mengundang reaksi Radmila." IgGy terkekeh. "Pasti karena penggambaran perempuan bernama Elisia. Mother issue selalu jadi kelemahan Radmila, dianggap serangan pribadi. Dan sebagai bonus, kamu tambah sketsa Orline pula."

Gemina melongo. Masih bingung dengan sikap Radmila. Tapi IgGy menolak membicarakan maminya lebih jauh. Pemuda itu mengalihkan perhatian pada lukisannya di dinding pantri. Ia sudah lihat sekilas tadi, katanya, dan sekarang setelah hatinya lega, lukisan itu memanggilnya. IgGy berdiri, mengamati dari jauh, lalu dari dekat. Menggeleng dan mendesah. Membuat hati Gemina kebat-kebit cemas.

Saat kembali, IgGy duduk di dipan, Gemina bergeser sedikit memberinya tempat. IgGy memutar badan menghadapnya, dengan pipi berkilat oleh air mata. "Gemi ...."

Gemina sudah mengangkat tangan, dan IgGy meraih jemarinya, menekannya di pipi. Sesaat kemudian IgGy rubuh ke pangkuannya, membawa tangannya, menjadikannya alas untuk menangis tanpa suara. Hanya guncangan bahu yang menunjukkan ia sesenggukan. Dengan tangannya yang bebas, Gemina membelai kepala IgGy. Saat ini, dia lah sang penjaga, dan IgGy adalah Garin, 13 tahun, yang sudah bertahun menahan tangis.



(bersambung)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro