Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Road to Chaos (part 1)

Semester 3, straight A lagi. Gemina bersyukur berhasil membuat Abah bangga dan merasa tidak sia-sia mengeluarkan biaya besar. Sekarang, delapan mata kuliah untuk Semester 4. Jadwalnya padat, Senin hingga Kamis dari pagi sampai sore. Kalaupun ada kosong, paling satu-dua jam di antara dua mata kuliah, lebih efektif dihabiskan di kampus untuk belajar atau mengerjakan tugas. Jumat hanya sampai pukul 12, untungnya.

"Aku tahu apa yang ada di kepalamu," kata Loka mengetuk jidat Gemina yang terpapar, karena rambutnya yang mulai panjang diikat ke belakang sekenanya. Gemina belum sempat potong rambut, bergabung dengan klub kuncir-asalan Bismaloka. "Pasti sedang membandingkan jadwalmu dengan IgGy. Dan sepertinya enggak terlalu beruntung."

Gemina mencebik. Tidak menjawab. Masih ada sisa libur, tapi jelas untuk bekerja. Cukuplah seminggu pertama ia membiarkan dirinya terserang demam pesona IgGy. Anggaplah masa penyesuaian tinggal di tempat baru. Masa-masa kesambet sang penunggu.

Mulai minggu kedua ini, Gemina bertekad menjauhi gangguan dan bekerja lebih sistematis. Radmila sudah menyetujui rancangan karakter Algis, ilustrasi selanjutnya mungkin akan lebih mudah. Sarah sudah mengirim kabar bahwa Runako belum disentuh Radmila. Lebih melegakan lagi, Radmila ternyata melanjutkan lawatannya ke Bangkok. Itu memberi Gemina waktu tambahan untuk misi diam-diamnya. Komik Runako versi realistik. Tersimpan aman di dalam tasnya yang ia bawa ke mana pun pergi. Komik enam halaman itu ia buat di buku terpisah, sepenuhnya manual. Sudah hampir selesai.

Untuk urusan pribadinya sendiri, Gemina merasa puas meskipun kamera belum terbeli. Uang muka dari IgGy dan Radmila tempo hari sudah ia kirimkan sebagian kepada Abah, sebagian lagi untuk biaya hidupnya. Segera, kalau ia sudah menyetorkan empat ilustrasi Algis dan tiga komik Runako secara sempurna, ia bisa membeli kamera, barangkali tepat saat kuliah Fotografi Aplikatif dimulai.

"Bis, kamu sudah normal lagi, kan?"

"Loka," Gemina melotot pada sahabatnya yang beralih mengusik Bisma.

"Enggak apa, Gem. Loka cuma gatal mau bilang, 'tuh aku bilang juga apa!'" Bisma menegakkan badan, menantang.

Loka cemberut. "Enggak kok. Kadang pelajaran keren memang perlu dialami sendiri." Dan ia mendapat jitakan keras dari Bisma. Loka membalasnya dengan tarikan rambut. Sesaat kemudian adegan saling jambak yang ditingkahi jeritan memecah ketenangan selasar student center. Untung masih libur dan sepi. Gemina menjauhkan diri dari pergulatan, bahaya kalau gambarnya tersenggol. Loka dan Bisma sama-sama melampiaskan kegeraman masing-masing, demi perdamaian selanjutnya. Jadi, ia biarkan sampai reda sendiri.

Dan akhirnya memang mereda sendiri.

"Oh ya Gemi, kamu mau pulang jam berapa? Bareng aku saja. Mau mampir ke Oliva, katanya sekitar jam segini ada di rumah. Ada barang-barang kenangan masa SMA dari Saskia buat dia."

Gemi menengok arlojinya. Senin pukul 11.30. IgGy mungkin sudah pulang dari Sumedang. Aaah. "Registrasi sudah beres. Tadinya aku mau lanjutkan meninta komik di sini. Tapi kalau kalian bubar, aku sendirian malas juga."

"Sorry, Gemi. Aku janji mengantar Wulan ke sanggar tari. Tuh, anak tambah gede tambah manja saja."

"Enggak usah ngeluh kalau tujuan kamu sekalian mampir ke studio Kak Juno." Bisma tergelak, sambil menyiapkan diri dari serangan Loka. "Hati-hati loh, studio yang dekat sanggar tari itu kan berdampingan dengan rumahnya."

Ujung hidung Loka terangkat. Mendengkus. "Lihat pintunya doang, Bis, sudah senang hatiku. Masa enggak boleh? Semester ini kecil kemungkinan Kak Juno mengajar kita soalnya."

Bisma menggeleng-geleng. Dan tiba-tiba beralih kepadanya. "Gemi, jangan sampai kamu terobsesi kayak gitu ya sama IgGy. Cukup Loka saja. Ngeri tahu! Apa cewek selalu gitu ya? Aku sama Violeta saja cukup seminggu ...."

Terdengar main-main, tapi kata-kata Bisma membuat Gemina terus berpikir sepanjang jalan menuju rumah Radmila. Setiap kali bertekad untuk profesional, fokus bekerja, ia malah menjenguk keluar jendela, pada pintu paviliun. Lalu kekosongan kembali menyergap saat IgGy pergi keluar kota. Dan sudah tahu IgGy tidak ada, ia berdebar-debar setiap kali masuk ke pekarangan lalu ke rumah. Berharap apa?

"Gemi, kita sudah sampai." Didengarnya suara Bisma. Oh, sepeda motornya sudah berhenti di depan pagar.

Gemina buru-buru turun. Bisma tersenyum menenangkan, membuat Gemina merasa semakin malu. Melepaskan helm jadi perjuangan tersendiri karena ia ingin segera masuk. IgGy pasti sudah pulang. Dan rambutnya tersangkut tali helm sampai Bisma harus menolongnya. Gemina meringis kesakitan.

"Gemi, tarik napas dalam-dalam." Bisma membantu merapikan rambutnya dengan jemari. "Kamu oke. Manis. Cerdas. Percaya diri. Berjiwa seni .... Aduh! Sejak kapan kamu main cubit? Sudah, sana masuk. Aku mau ke seberang. Sepertinya Oliva di rumah. Mobilnya ada."

Gemina mengangguk. Tentu saja. Oliva juga pasti rindu IgGy dan akan menyempatkan diri menyambut kedatangannya. Bahkan mungkin masih di paviliun. Atau IgGy main ke seberang sana. Diam-diam Gemina menggigit bibir, dan membuka pagar setelah Bisma memutar sepeda motornya ke rumah Oliva.

Jantungnya mengentak riuh saat melihat mobil IgGy diparkir di halaman. Dan Loka benar, melihat pintu paviliun yang tertutup saja, ia sudah senang bukan main. Lebih senang lagi karena menurut pengamatannya sambil berjalan lurus ke rumah, tidak ada tanda-tanda Oliva di sana. Ah, akal sehatnya mulai kacau lagi. Gemina pun sibuk menata hati sampai terlambat menyadari, saat ia hendak masuk, IgGy keluar dari rumah maminya. Gemina menjerit kecil.

IgGy mundur dan mengangkat tangan. "Wow! Kaget banget ya? Maaf. Aku sudah lihat kamu dari dalam, jadi kupikir kamu juga lihat."

Gemina geleng-geleng. Memegangi dadanya. Lalu tertawa. "Aku yang melamun," katanya berusaha santai. "Baru pulang?"

"Sejam yang lalu. Dari kampus?"

"Ya. Registrasi."

IgGy menggaruk kepala. "Jadwal baru bagaimana? Ada hari libur istimewa?"

Gemina menggeleng. "Liburnya hanya Sabtu-Minggu."

"Yaaa." IgGy memberengut kecewa. "Mungkin aku yang harus pindahkan jadwal story hunting ke Rabu-Jumat."

Sebelum Gemina mencerna kata-kata IgGy dan implikasinya, cowok itu meraih tangannya. "Makan, yuk. Aku lapar. Di rumah belum ada makanan. Kita jalan kaki saja ke perempatan. Ada gudeg Jogja yang enak. Kamu harus coba."

Dan Gemina memancangkan kaki, menarik tangannya lepas. Kemarahannya meruah cepat. Bukan karena jadwal semester ini memang penuh, tapi karena IgGy masih saja mengirimkan sinyal-sinyal menyesatkan. Berniat memindahkan jadwal agar sama dengannya, mengajaknya makan, meraih tangannya. Apa lagi namanya kalau bukan menyesatkan?

Apa maksudnya bermanis-manis pada seorang gadis lalu belakangan bilang jangan salah paham? Gemina sudah berusaha bersikap profesional, wajar kalau klien juga ia harapkan mengimbangi sikapnya. Tapi kenapa IgGy tetap menjadi IgGy yang menggoda? Atau ini sekadar Standard Operating Procedure seorang tuan rumah dan mitra kerja, dalam mendukung seniman berkarya? Jadi, kalau seniman ini benar-benar dijaga agar berkarya sempurna, misi untuk Runako tercapai. Begitukah? Sebegitu terobsesinya IgGy dengan Runako sampai bersikap demikian?

Gemina tertegun. Kalau benar begitu, pantaslah IgGy memintanya jangan salah paham. Semua dilakukannya untuk Runako. Tiba-tiba, Gemina merasa malu. Lebih-lebih saat melihat wajah di depannya tampak khawatir. Seperti tampang Panji kalau melihat kakak-kakak perempuannya marah tapi tidak mengerti kesalahannya. Gemina pun tidak tega.

"Garin, aku enggak bisa pergi membawa-bawa semua barang ini." Ia menunjuk ransel berisi laptop, tas gambar, dan bungkusan makanan yang ia beli di kantin sebelum pulang.

"Oh, kukira kenapa." IgGy menggosok mukanya sendiri, seolah mengusir ketegangan. "Simpanlah dulu. Aku tunggu."

Gemina melanjutkan langkah ke dalam, dan berhenti lagi di pintu. "Bagaimana kalau kamu ajak Oliva dulu, aku menyusul."

IgGy menggeleng. "Tadi Oliva dari sini. Katanya sedang menunggu teman datang."

"Bisma?" Gemina menebak.

"Iya. Sudah janjian. Ayolah, Gemi. Aku lapar."

Gemina tertawa dan berlari masuk.

Ujung-ujungnya, makan siang itu tidak sesederhana yang dibayangkan Gemina. Yang harusnya selesai dalam waktu paling lama satu jam, malah mulur tiga jam. Mengobrol sambil makan siang dilanjutkan ke tempat lain untuk minum kopi. IgGy sedang sangat bersemangat menceritakan penelitian di Sumedang. Orang-orang daerah yang ditemuinya. Suasana alam yang dilihatnya. Cerita-cerita yang didengarnya. Benda-benda budaya yang dicermatinya. Dan sekali lagi mengajak Gemina ke sana. Gemina lagi-lagi hanya tersenyum. IgGy pun melanjutkan, setelah Runako ada di jalur yang dirasa tepat untuk melesat, sekarang ia bisa berkonsentrasi membayar utangnya pada almarhum sang Papi.

"Kenapa dianggap utang?" tanya Gemina penasaran. IgGy sudah melibatkannya sejak awal melalui kliping itu, jadi ia tidak canggung bertanya-tanya.

IgGy hendak menjawab ketika ponselnya berbunyi. Ia meminta maaf untuk menjawab telepon dulu. Gemina memainkan mug kopi, menyibukkan diri pada ornamen hiasan di tepian keramik. Mendengar IgGy berbicara tanpa repot-repot mencari privasi. "Ya, pergilah. Enggak masalah. Aku masih bareng Gemina. Have fun." IgGy meletakkan ponsel dan tersenyum kepadanya. "Barusan dari Oliva. Ngasih tahu mau pergi sama Bisma, melacak beberapa teman SMA. Akhir-akhir ini semangat sekali dia pengin reuni. Untung ada Bisma, alumni juga rupanya. Aku sendiri enggak bisa bantu. Enggak banyak kenal dan dikenal orang waktu SMA."

Susah dipercaya! Cowok seperti IgGy kuper? Tawa Gemina menunjukkan pikirannya. IgGy menyeringai. "Serius. Malah sejak SMP aku enggak banyak gaul. Temanku cuma Ollie dari dulu."

Gemina tidak menyembunyikan rasa kagum. Awet sekali mereka. Mungkin karena saling jujur dan percaya, pikirnya. Masing-masing tahu ke mana dan dengan siapa pasangannya pergi. Mungkin begini yang namanya hubungan mapan. Tidak perlu cemburu. Hmm .... Oliva cemburu. Tapi IgGy tampak biasa-biasa saja. Ah, sudahlah Gemi. Kamu sudah pernah salah menafsirkan sikap IgGy. Jangan coba-coba lagi. Terima saja, paling nanti berakhir seperti Loka, mengagumi Juno dari jauh, kayak otaku memuja tokoh anime.

"Kamu tanya kenapa dianggap utang?" IgGy mengembalikan topik. Saat Gemina mengangguk, ia melanjutkan, "Apakah kamu sempat membaca berita tentang keluargaku di kliping?"

Gemina mengangguk lagi. IgGy tersenyum getir, bahkan lesung pipitnya pun bersembunyi. "Sampai akhir hidupnya, Papi enggak berhasil rujuk dengan Mami. Aku beranggapan, Papi layak diberi kesempatan kedua, tapi aku enggak berhasil membujuk Mami. Usahaku kurang keras. Tak disangka, Papi wafat dan meninggalkan warisan yang banyak untuk kami. Pesannya buatku, agar aku mengejar apa yang jadi passion-ku. Jangan sampai kayak Papi, banyak keinginan enggak terlaksana. Belakangan aku baru tahu, Papi belum menyelesaikan penelitian budaya di kampung halamannya di Sumedang. Dokumentasinya penting untuk pelestarian. Kupikir, aku bisa menebus kesalahanku dengan melanjutkan misinya."

Gemina mengembuskan napas, baru sadar ia menahannya karena matanya bergantung pada mimik IgGy. Dan cowok itu tiba-tiba tertawa. "Aku bikin kamu bosan, ya?"

"Enggak. Aku senang dengar cerita kamu," sahut Gemina, jujur. "Tapi kenapa ngajak aku? Kenapa bukan Oliva?" Lalu ia menyesal membawa nama itu ke tengah mereka lagi. Dan bodohnya, tentu saja jawabannya sudah jelas, ia diajak karena bisa menggambar seperti Pak Johanes. Sama sekali bukan untuk menggantikan Oliva. Oh Bumi, telan aku sekarang juga.

IgGy hanya memandangnya. Dengan senyum bermain di sudut-sudut bibir.

Gemina merutuki diri sendiri. Semakin lekat IgGy menatapnya, semakin ia resah. Dan akhirnya Gemina menutup muka rapat-rapat. Berbicara di antara jemarinya. "Aku sudah bikin malu diri sendiri. Tiap kali bicara sama kamu. Sejak awal kita ketemu. Aku cuma membuat pernyataan-pernyataan bodoh. Soal kepribadian ganda lah. Apa lah. Dan sekarang ini. Kamu sudah bilang, aku jangan salah paham. Tapi itulah yang kulakukan lagi dan lagi. So stupid! I hate myself!"

"Gemi ...."

"Garin, tolong, biarkan aku menyelamatkan mukaku. Just look away and pretend you don't see me."

"Gemi ...." IgGy membandel. Gemina malah merasakan tangan cowok itu di kepalanya. Menepuk-nepuk lembut. "Kamu lucu, Gemi. In a good way. Aku mengerti perasaanmu. Dan aku justru merasa lega. Sungguh. Sekarang, jangan khawatir lagi. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Percaya padaku."

Lalu terdengar bunyi kursi bergeser. Langkah menjauh. Gemina menurunkan tangan. IgGy tidak ada lagi di depannya. Ia mencari-cari dengan matanya dan menemukan cowok itu di depan kasir. IgGy menoleh dan melambaikan tangan. Gemina terenyak di kursi. Apa maksud kata-katanya yang aneh tadi?

Saat berjalan kembali ke rumah, Gemina lebih banyak diam dan menekuri trotoar. Ia ingin segera sampai ke kamar dan menyusup ke bawah bantal. Tidak menolak saat IgGy menggandengnya untuk menyeberang jalan. Seorang kakak, seorang penjaga, seorang klien yang terobsesi. Sudah jelas, jangan salah paham lagi. Percaya saja pada IgGy. Jangan tanya pula apa yang dipercayakan kepadanya.



(bersambung)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro