Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. To Read or Not To Read

Gemina menunggu IgGy melanjutkan. Ia menduga bukan cuma rasa kehilangan yang membuat mata IgGy berkaca-kaca. Ekspresi terluka membayang saat IgGy menunduk untuk menghindari tatapannya. Ingin rasanya Gemina menjangkau tangan cowok itu di atas meja. Sekadar menyentuh untuk memberikan dukungan. Tapi akal sehatnya melarang. Jangan bermain api. Faktanya, waktu IgGy menggandengnya keluar dari kantor Radmila kemarin, efek panas genggaman itu masih terasa sampai sekarang. Aneh, tapi begitulah rasanya.

Karena IgGy masih diam dan tampak tidak nyaman, Gemina mengambil alih. "Runako Algis Kagendra. Namanya bagus," katanya ringan, sambil menulis di buku sketsa.

IgGy mengerjap. Senyumnya kembali. "Almarhum Papi yang memberinya nama. Juga namaku. Mami pencipta nama yang buruk. Semua diserahkan pada Papi."

"Oh, aku enggak tahu papimu sudah tiada. Maaf." Gemina tidak tahu bagaimana merespons selain itu. Ia tidak melihat foto keluarga di rumah ini. Entah siapa duluan yang wafat, jelas kepergian RaKa lebih mengguncang.

"Diambil dari tiga bahasa berbeda, setiap kata punya arti yang bagus. Runako, Swahili, tampan. Algis, Jerman Kuno, tombak. Kagendra, Sansekerta, raja burung." IgGy mengambil alih pensil dan buku sketsa Gemina, menuliskan arti nama yang disebutkan, beserta inisialnya. "Tapi Papi lebih memikirkan inisial yang bagus untuk panggilan ketimbang makna namanya secara utuh. RaKa. Juga untuk namaku, IgGy."

"Harusnya RAKa dan IgGY?"

IgGy tertawa. "Ya. Harusnya. Tapi panggilan dengan inisial sudah dimunculkan sejak aku baru belajar menulis, mencampuradukkan huruf kecil dan kapital. Aku cenderung menulis IgGy dan RaKa, Papi meresmikannya. Kemudian ada masa setelah Papi pergi – belum, belum meninggal waktu itu, hanya pergi – Mami mengembalikan panggilan jadi Ignazio dan Algis. Tapi aku tidak suka Ignazio. Lebih baik Garin."

"Apa arti namamu, Ignazio Garin Yudistra?" Gemina menaruh dagunya di meja. Larut dalam percakapan kecil yang menariknya lebih dekat pada sosok di depannya. Seperti mabuk candu, ia ingin mendengar lebih banyak lagi, mengamati ekspresinya, menikmati senyum dan tatapannya. Tuhan, tolong aku ....

"Ignazio, bahasa Italia, menyala, berapi-api." IgGy menggaruk dahinya, meringis. Rambutnya pun acak-acakan, luruh ke depan. Gemina terpana. "Garin, Jerman, penjaga. Yudistra, mungkin varian dari Yudistira, kukuh atau teguh."

"Penjaga yang teguh dan bersemangat. Bagus sekali." Gemina buru-buru mengambil lagi buku dan pensilnya, sebelum ia lupa bernapas lebih lama. Digambarnya Prabu Yudistira dengan tombak di tangan. Mirip IgGy karena ia tambahkan lesung pipit di pipi kanan kirinya. "Aku jadi ingat cerita si sulung Pandawa ini. Karakter yang lempeng, sedikit naif. Senjatanya tombak. Algis. Aku enggak heran kalau papimu terinspirasi tokoh ini waktu memberi nama kalian."

"Entahlah. Tapi kamu membuat aku merasa keren. Buatku, ya?"

Gemina terkikik. Membiarkan IgGy merobek gambar dan menyelipkannya pada buku yang ia baca tadi. Dibukanya halaman baru, mulai membuat sketsa lebih serius untuk karakter Algis. Kali ini dengan merujuk sketsa yang pernah dibuatnya berdasarkan foto RaKa usia 9 tahun.

Hanya terdengar gesekan pensil pada kertas. Napas halus mereka berdua. Dan sesekali sesapan kopi. Entah berapa lama waktu berlalu. IgGy sudah mengisi ulang mug mereka. Gemina bekerja seperti kerasukan. Tenaganya terbaharui setiap kali ia mendongak sebentar dan mendapati IgGy memandanginya. Ia merapatkan jaket karena tiba-tiba menggigil. Diletakkannya pensil, saat karakter Algis berusia 12 tahun menjelma sempurna. RaKa dalam balutan pakaian dunia fantasinya. "Selesai. Bagaimana menurutmu?"

IgGy mengangguk. "Aku suka. Kalau Radmila belum cocok juga dengan itu, berarti tidak ada ilustrator di dunia ini yang bisa memuaskannya."

"Oh. Aku jadi takut ...."

IgGy tiba-tiba mengulurkan tangan, mengacak rambut Gemina. Mengejutkannya. "Jangan khawatir. Aku dukung kamu. Nanti aku temani menunjukkannya pada Radmila."

Gemina menelan ludah. Sentuhan IgGy menghangatkan perasaannya sesaat. Detik berikutnya, istilah brotherly affection melintas begitu saja di benaknya. Dan sesuatu di dalam dadanya terjungkir tanpa ampun. Apa lagi namanya? IgGy kehilangan adik. IgGy seorang penjaga. Gemina hadir pada saat yang tepat untuk menempati posisi adik yang perlu dijaga.

Mata Gemina mendadak perih. "Aku mau tidur."

"Oh. Oke." Kalaupun terkejut, IgGy tidak menunjukkannya. Cowok itu membantu Gemina mengemasi alat tulis. Ketika Gemina hendak membereskan mug, IgGy menahan tangannya, yang membuat Gemina tersengat. "Biar aku saja. Selamat tidur, Gemi."

Gemina mengucapkan terima kasih dan bergegas masuk ke kamar. Membanting tubuhnya ke kasur. Memaki diri sendiri. Ia seperti kehilangan dirinya. Semakin tidak memahami perasaan dan pikirannya. Tidak, ia tidak mau menangis. Perkembangan hubungannya dengan IgGy beranjak ke arah yang tidak disangka, dari profesional ke brotherzone. Tapi sama sekali tidak buruk. Sudah seharusnya demikian. Kenapa ia merasa marah? Marah pada siapa? Konyol sekali. Apa jadinya kalau IgGy mengendus keanehan sikapnya tadi? Pasti akan membuat cowok itu tidak nyaman. Aaaah .... Gemina menyusup ke bawah bantal dan benar-benar menangis sekarang.

Mungkin ia akan menyesal dan nelangsa sampai pagi kalau tidak mendapati dirinya ternyata datang bulan. Pasti kekacauan emosinya akibat PMS. Ada alasan kalau IgGy mau tahu. Wajahnya di cermin memerah. Ia meredupkan lampu kamar dan pergi ke jendela. Dari celah tirai, paviliun masih tampak terang. Sepertinya IgGy tidak langsung tidur. Bayangan cowok itu bergerak di dalam sana, dan tiba-tiba mendekat ke jendela. Gemina langsung kabur. Mematikan lampu. Tidur.

Pukul 9.15, Sabtu. Gemina baru bangun. Langsung sadar, ini hari kedua di rumah Radmila, dan ia belum benar-benar menjadi bagiannya. Radmila dan Sarah ternyata hendak terbang ke Singapura untuk menghadiri konferensi penulis se-Asia selama seminggu. Jadwal rutin akhir pekan IgGy pun baru diketahuinya dari Sarah. Cowok itu pagi-pagi sekali sudah berangkat untuk berburu cerita ke pelosok daerah. Kalau perlu menginap satu atau dua hari. Ada lubang yang mendadak menganga di hati Gemina. Untuk beberapa saat ia ragu apakah akan menunjukkan rancangan karakter Algis sekarang atau menunggu Radmila pulang saja, biar ada IgGy di sampingnya. Tapi kenapa ia jadi tidak percaya diri begini? Sama sekali tidak profesional. Niat IgGy baik, bukan untuk membuatnya jadi ketergantungan, kan?

Maka, di antara seruan dan omelan Radmila mengatur Sarah untuk melakukan pemeriksaan akhir terhadap barang bawaan dan dokumen mereka, Gemina menyodorkan Algis terbaru. Lalu menunggu dengan tegang saat ruangan tiba-tiba sunyi. Radmila memakai kacamatanya, mencermati beberapa lama. Ekspresinya tidak terbaca. Tapi itu kemajuan. Tidak langsung dicoret. Dan Gemina nyaris bersorak saat Radmila meminta sketsanya untuk dibawa dan dipertimbangkan lebih lanjut.

"Aku kabari nanti. Sementara aku pergi, kamu kerjakan saja Runako dulu."

Dan Gemina benar-benar bersorak spontan.

"Senang amat sih. Sebagus itu ya, Runako?" tanya Radmila, geleng-geleng.

"Dibilang bagus saja enggak cukup, harus dengan kapital B. Menurut Ibu sendiri?" Sengaja Gemina pura-pura tidak tahu gerakan antibaca di antara penulis ibu dan anak ini. Wajar sekali kalau antaranggota keluarga saling dukung. Sudah biasa keluarga menjadi pembaca pertama. Keluarga yang normal tentunya.

Radmila menghindari matanya, menyibukkan diri memasukkan sketsa Algis ke dalam map. Dan map ke dalam tas tangan yang jelas-jelas lebih kecil.

"Bagaimana kalau Ibu baca ulang saja?" usulnya sambil lalu. "Mungkin Ibu bisa kasih saran dan pendapat dalam pembuatan komiknya nanti."

Radmila menatapnya heran. "Kamu perlu masukan dariku?"

"Ya, kalau Ibu berkenan. Kukira IgGy juga enggak akan keberatan. Runako perlu dukungan kita agar dapat bertahan di pasaran. Seharusnya trilogi ini bisa menjadi bestseller seperti Algis kalau tidak salah kelola dari awal."

"IgGy salah memilih penerbit. Itu saja. Tapi dia enggak mau mendengarku. Enggak mau bukunya diterbitkan oleh penerbit yang sama dengan Algis."

"Mungkin ia ingin membuktikan diri, Bu, enggak memanfaatkan nama Ibu."

Radmila menyemburkan napas. Menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari. Resah. "Aku harus segera pergi. Kamu punya Runako kesatu? IgGy menyimpan semua kopinya di paviliun dan dia sudah pergi. Aku akan baca di pesawat."

"Ada, Bu. Sebentar kuambilkan."

Pada akhirnya, Gemina berhasil menjejalkan tiga buku Runako ke dalam tas Sarah, dengan pesan, 'Pastikan dibaca semua.' Sarah mengacungkan jempol tanda konspirasi. Misi dimulai. Setelah mereka pergi, Gemina kembali ke kamar untuk mulai menggarap Runako. Dan tertegun. Tanpa buku, bagaimana ia tahu adegan dan dialognya secara mendetail?

Mungkin IgGy punya softcopy yang bisa diemailkan kepadanya. Ada alasan untuk menghubungi cowok itu sekarang. Satu lagi work hazard yang harus ia waspadai. Komunikasi lewat ponsel yang sudah mempercepat detak jantung sekalipun baru niat. Apalagi saat dilihatnya ada pesan dari IgGy beberapa menit lalu. Rasanya ingin bergelung lagi di tempat tidur dan membacanya berulang-ulang ....


"Gemi, maaf, semalam aku lupa pamitan, mau keluar kota, story hunting. Pulang paling lambat Senin pagi. Aku enggak tega membangunkan kamu tadi. Lupa juga kasih tahu, Radmila dan Sarah berangkat ke Singapura untuk konferensi seminggu. Tapi kamu enggak sendirian di rumah. Ada Mak Asih dan Pak Tatus, juga Oliva di seberang."


Ya, dibacanya berkali-kali kecuali beberapa kata terakhir.

Gemina mengetikkan pesan.

"Garin, aku perlu Runako buku kesatu. Punyaku dipinjam Radmila. Ada softcopy yang bisa kamu emailkan?"


IgGy meneleponnya, karena sedang mengemudi, lebih baik bicara dengan handsfree. File ada di iPad-nya, sayang koneksi internet buruk di tempatnya sekarang. Gemina dipersilakan mengambil buku di paviliun, kunci ada pada Pak Tatus. Kalau perlu softcopy, ada di laptopnya di meja kerja. Nyalakan saja. Password mudah ditebak.

"K-kamu enggak takut aku menggeratak?" Gemina sampai terbata.

IgGy tertawa lunak. "Kalau menggeratak, tandanya kamu pengin tahu. Aku tersanjung. Tapi, aku enggak yakin kamu bakal tertarik dengan rahasia yang kusimpan."

Gemina kehilangan kata. Apa maksud IgGy? Mendorongnya untuk menggeratak dan membongkar rahasianya? Bukankah jawaban normal seharusnya, 'Gemi, ambil yang kamu perlukan, jangan sentuh lain-lainnya!' Atau, 'Silakan saja kalau berani. Apa kamu pikir bisa dengan mudah menemukan apa yang kusembunyikan?' Gemina memutuskan untuk tidak melanjutkan topik itu. Pembicaraan ia alihkan pada Runako yang dibawa Radmila. Senang, Radmila akan tahu betapa kerennya trilogi itu.

"Gemi, taruhan yuk. Aku ajak kamu nonton dan makan malam kalau Radmila membaca benar-benar untuk menikmati bukuku."

"Maksudmu, ia pasti baca?"

"Ya. Tapi untuk mengkritisi. Mencari kelemahan, sampai kesalahan letak titik koma pun tidak akan luput. Dan caranya bisa bikin perut kamu mulas berhari-hari. Itu sebabnya, aku melarangnya membaca tulisanku selama ini."

Gemina mengerang. Ia telah salah paham, mengira kesibukan dan hubungan yang renggang menjadi penyebab. "Maafkan aku, Garin."

"Hei, enggak apa-apa. Aku sudah kebal. Nanti bisa kubalas dengan membaca Algis."

"Ya, Tuhan. Kalian akan bertengkar gara-gara aku."

"Kami selalu bertengkar meskipun enggak ada gara-gara. Don't worry too much. Lagian siapa tahu kamu memenangi taruhan ini. Aku malah berharap kamu menang."

IgGy berharap menonton dan makan malam dengannya? Oh, pasti dengan Oliva juga. Mereka kan sepaket. Gemina tertawa sumbang. "Kalau aku kalah?"

"Bertengkar dengan Mami selalu membuatku lapar sesudahnya. Kamu harus mentraktirku. Deal?"

Maksudnya tentu mentraktir Oliva juga. Gemina sudah merasa kalah, apa pun hasilnya nanti. Tapi di sisi lain, ia tiba-tiba merasa tertantang untuk mencegah pertengkaran Radmila dan IgGy. Caranya, tentu dengan mempromosikan Runako dan Algis kepada masing-masing. Kalau teks sudah biasa mereka hadapi dengan prasangka dan semangat membantai, maka ia akan mempresentasikannya secara visual. Di luar dugaan keduanya.

"Deal!" Gemina menyahut bersemangat. "Beri aku waktu."

"Itu yang aku enggak punya, Gemi. Radmila pembaca cepat. Mungkin begitu sampai di hotelnya di Singapura malam ini, ia akan mengirimkan email pedas kepadaku. Dan aku enggak bisa langsung membalas karena baru bisa baca Algis Senin nanti."

Gemina meremas-remas ujung rambutnya. "Garin, sudah dulu ya. Aku perlu menelepon seseorang." Ia memutuskan hubungan dan menelepon Sarah.

"Aku akan coba, Gemi. Banyak materi yang sebetulnya harus Ibu baca juga untuk presentasinya. Aku akan ingatkan itu. Dan menjauhkan Runako. Tapi kamu mungkin sudah tahu, sekalinya punya kemauan, enggak ada yang bisa menahan beliau."

Gemina mendesah. Mengucapkan terima kasih. Meletakkan ponsel sambil membenamkan muka di bantal dan menjerit. Sesudah itu, Gemina melompat ke meja kerja. Ia harus berpacu dengan waktu. Rencananya, ia akan membuat komik Runako pada adegan unggulan agar Radmila mengakui kelebihan karya IgGy, atau setidaknya mengurangi sinismenya saat membaca lebih jauh. Gemina yakin, artwork-nya akan membuat Runako tampil lebih berkesan. Ia sudah menuai banyak tanggapan positif dengan komiknya di DevianArt. Memang itu komunitas seni yang jelas-jelas menghargai seni. Bukan publik dengan segala macam latar belakang seperti facebook. Tapi Radmila juga orang yang punya selera seni. Dan Gemina tahu seleranya sekarang. Runako akan ia presentasikan sesuai seleranya. Ia akan bekerja lebih keras karenanya. Sampai Radmila pulang nanti, barangkali ia hanya bisa menyelesaikan satu adegan. Tidak apa-apa. Demi Runako. Demi IgGy.

IgGy sendiri tidak terlalu ia khawatirkan. Gemina percaya IgGy bisa lebih obyektif menilai Algis. Meskipun begitu, kalau ada waktu tersisa, Gemina akan membuat ilustrasi yang menunjukkan interaksi Algis dengan ibu angkatnya. Mungkin itu akan mengingatkan cowok itu pada kasih maminya. Dulu ... waktu kecil. Sebagaimana dikisahkan oleh lagu-lagu tentang kasih bunda.

Ya, dengan rencana matang, Gemina pergi mencari Pak Tatus untuk meminta kunci paviliun. Dan ia melaporkan setiap geraknya pada IgGy melalui WA, voice call saja. Ia terlalu malu untuk melakukan video call seperti yang disarankan IgGy sambil bercanda. Cowok itu baru sampai di tempat tujuan. Lebih santai menerima gangguannya.

"Bagaimana aku tahu kamu melakukan persis apa yang kamu bilang?" IgGy masih menggodanya. "Aku percaya kamu, Gemi. Enggak usah lapor begini. Tapi jangan diputus. Aku senang ada teman ngobrol. Orang yang harusnya menemuiku bakal telat datang. Jadi, lanjutkan saja."

"Aku masuk. Tumben kamarmu berantakan." Gemina berbicara melalui headset. Ponsel di dalam saku.

"Aduh. Semoga enggak ada barang yang enggak layak kamu lihat. Aku buru-buru, habis subuh langsung pergi. Eh, kok bisa bilang tumben? Kamu kan baru sekali masuk pav, itu pun cuma ke toilet."

"Profiling. Analisis."

IgGy tergelak.

"Oke, aku sudah ambil trilogi Runako dari rak buku. Oh, kamu punya satu set Algis. So sweet. Sekarang aku nyalakan laptopmu. Password nama seseorang, ya? Oke ... let's see. Oliva ... eh, kok salah? Hmm ... RaKa ... salah juga. Katanya mudah ditebak? Coba lagi deh .... Radmila .... Hush, jangan ketawa! Runako. Bingo! Aku masuk. Cari folder Runako .... Ini dia. File aku kopi. Jadi aku enggak harus ketik ulang dialognya."

Gemina melepaskan flash disk dan hendak mematikan laptop. Tapi daftar folder selain Runako tertangkap matanya. "Wow. NatGeoPeople dan BBCColumns. Kamu menulis untuk mereka? Keren banget. Untuk itukah kamu story hunting?"

"Ya, biasanya. Tapi kali ini aku napak tilas perjalanan Papi meriset budaya Sumedang. Ada media lokal yang tertarik memuat ulang tulisan serial Papi di koran lama. Sejak SMP, aku menyimpan klipingnya. Oh ya, dalam riset, Papi selalu ditemani fotografer yang jago membuat sketsa dan ilustrasi. Artikel Papi selalu disertai karya manualnya. Mau lihat? Ada di rak bawah dekat kakimu kalau kamu duduk di meja kerja."

Gemina berjongkok dan mendapati sederet folder. Ia mengambil salah satu dan membuka-buka. Matanya membulat. "Garin, nama fotografernya familiar. Pak Johanes Ingratubun kan dosenku. Sketsa dan ilustrasinya detail begini."

"Aku tahu kamu bakal tertarik. Gemi, sekali-sekali ikutlah aku. Mungkin kita bisa jadi tim yang kompak seperti mereka."

Gemina tertawa. Ajakan yang menggoda hanya karena itu keluar dari mulut IgGy. Maka ia tidak menjawab. "Aku sudah beres di sini. Tapi boleh aku lihat-lihat lagi klipingmu?"

"Be my guest. Sudah lama aku ingin sortir kliping berdasarkan tema alih-alih tanggal. Belum sempat. Eh, narasumberku datang. Dah dulu, Gemi. Oh ya, abaikan saja kalau kamu menemukan potongan berita yang enggak relevan."

Hubungan diputuskan. Gemina melepaskan headset, duduk bersila di karpet. Skimming artikel, mencermati ilustrasi. Dan menemukan apa yang disebut IgGy tidak relevan. Terselip di sana-sini, berita kecil tentang perceraian seorang jurnalis terkenal, gosip perselingkuhan, kematian putra bungsu sang jurnalis akibat penyakit langka muscular dysthrophy, kembalinya sang jurnalis ke media setelah melalui masalah kecanduan alkohol, perubahan karier dan kesuksesannya sebagai pialang saham, tapi tak lama kemudian wafat tanpa berhasil bersatu lagi dengan istri dan anaknya.

Bagi orang media, mungkin itu cuma pengisi kolom daripada kosong. Kalau ada iklan, tentu lebih berharga iklan. Bagi Gemina ini masalah besar. Emosinya teraduk. Ia tidak bisa membayangkan IgGy waktu kecil harus membaca dan mengumpulkan berita-berita seperti ini tentang keluarganya. Ke mana pun pergi, merasa semua orang tahu kisahnya, menatap kasihan atau mencemoohkan seolah dialah yang bersalah. Gemina pernah mengalami itu ketika berita kecelakaan Ambu disorot media. Untuk sekian lama, ia tidak berani menegakkan kepala. Matanya terasa panas sekarang. Ia menarik napas dalam-dalam.

"Sedang apa kamu di sini?" Suara tajam Oliva.



(bersambung)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro