Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Algis

Luas kamar itu empat kali kamar kosnya. Kamar mandi di dalam, tak kalah rapi dengan kamar mandi IgGy di paviliun. Gemina sudah meminta kamar yang lebih kecil saja, agar tidak merasa terintimidasi dengan kemewahannya. Tapi IgGy malah tertawa. Katanya, semua kamar hampir sama. Dua di bawah, tiga di lantai atas. Radmila dan Sarah di atas. Jadi, IgGy yakin, Gemina pasti memilih di bawah. Dan sengaja dipilihkannya kamar paling depan, dengan jendela menghadap pemandangan taman agar mata leluasa beristirahat. Masalahnya, itu berarti juga menghadap paviliun IgGy, pikir Gemina dengan muka terasa seperti terpanggang.

Berulang-ulang, ia mengingatkan diri sendiri untuk bersikap profesional. Contohlah IgGy. Cowok itu bercerita apa adanya pada Oliva. Gemina sampai merasa malu sendiri karena sempat berpikir, IgGy akan mengarang cerita tentangnya. Dipikir-pikir, buat apa juga IgGy berbohong kepada tunangannya? Memang Gemina ada di sini untuk bekerja, kok.

Meskipun demikian, tak urung Gemina menangkap kilatan emosi di mata Oliva. Membuatnya tidak nyaman, tapi sangat memaklumi. Tentu saja Oliva terkejut melihatnya di paviliun IgGy. Cewek yang diminta mengakhiri hubungan kerja dengan sang tunangan malah direkrut nyaris full time dan akan tinggal serumah dengan IgGy.

Gemina hanya mengangguk sopan, menyalaminya, dan buru-buru menyingkir dari pasangan itu. Menunggu di dekat mobil, tapi tidak naik. Siapa tahu Oliva memutuskan ikut dan duduk di depan. Ternyata tidak. Oliva menyeberang jalan untuk pulang. Gemina tidak melihatnya lagi malam itu.

Atau ia yang terlalu sibuk menata barang-barangnya di kamar dan tertidur kelelahan sesudahnya. Esok paginya, Radmila, IgGy, dan Sarah, sarapan di meja yang sama. Gemina diajak bergabung dan melihat betapa kaku suasananya meskipun Sarah mati-matian mengajak mengobrol semua orang. Hanya Gemina yang dengan sopan meladeninya.

IgGy kemudian pergi mengantarkan Oliva ke kampusnya. Radmila dan Sarah lalu masuk ke ruang kerja di belakang. Gemina sendiri memilih ke kampus bersama Bisma. Lebih masuk akal ketimbang menerima tawaran IgGy untuk diantarkan bersama Oliva ke kampus.

Siang sepulang dari kampus, Gemina mendapati mobil IgGy di depan paviliun. Cowok itu ada di rumah. Entah sedang apa di dalam sana. Mungkin bekerja. Karena setahunya, IgGy adalah penulis lepas untuk beberapa media online. Gemina selalu merasa ada mata di seberang jalan yang mengawasinya, jadi buru-buru melewati paviliun tanpa menoleh dan masuk ke kamarnya, kunci pintu. Jantungnya yang berpacu liar baru bisa ditenangkan setengah jam kemudian, tapi untuk dikacaukan lagi oleh pesan WA dari IgGy.


"Baru pulang ya. Sudah makan? Mami makan di ruang kerja biasanya. Kalau kamu perlu apa-apa, bilang saja."


Ya, balikin saja kewarasanku, pikir Gemina kesal. Tapi ia balas formal saja, sudah makan di kampus, terima kasih. Ditambah laporan bahwa ia sudah selesai membaca ulang Algis buku kesatu dan sedang merancang karakternya. Runako sendiri beres, karena IgGy memilih rancangan yang sudah ada. Klien yang baik, tidak rewel.

Kontras dengan Radmila. Sore itu, Gemina menerima penolakan pertamanya. Empat rancangan karakter Algis hanya dilihat sepintas, lalu dicoret Radmila dengan tegas. Semua deskripsi Algis di buku sudah ia terapkan, tapi tidak seperti itu bayangan Radmila tentang Algis.

"Kamu mendesain empat karakter, tapi semuanya mirip." Radmila cemberut.

Karena begitulah Algis dalam bayangannya, pikir Gemina. Ia tidak rela mengubah banyak. Tapi sekarang sadar, ia harus keluar dari pola pikir seorang penggemar. "Oke, aku coba lagi buat yang baru." Gemina kembali ke kamar. Tapi ia memutuskan jeda dulu dari Algis untuk menelepon Abah, Kak Citra, dan Panji. Mengobrol bergantian sampai ponselnya panas dan mati. Akhir-akhir ini, ponselnya memang sering bermasalah.

Keadaan Abah sudah jauh lebih baik. Sudah bisa beraktivitas ringan. Kak Citra sudah mengajar lagi. Dan Panji dengan penuh semangat menceritakan capaiannya di sekolah. Gemina sendiri melaporkan kepindahan dan lingkungan barunya. Abah wanti-wanti berpesan agar Gemina selalu menjaga diri. Gemina adalah harapannya. Selama Abah mampu, semua biaya pendidikan anak-anak, akan ditanggungnya. Tapi kalau terjadi apa-apa pada Abah, maka Panji akan menjadi tanggung jawab kakak-kakaknya, terutama Gemina. Gemina memberikan janjinya pada Abah.

Selepas magrib, jendela kamarnya diketuk. Gemina terlompat kaget. Ia sengaja bekerja membelakangi jendela, menghadap tembok. Ternyata tidak bebas gangguan.

"Mau ikut makan di luar?" tanya IgGy, saat ia membuka jendela. Melihat ekspresinya, IgGy mengangkat ponsel. "Aku tadi kirim pesan, enggak kamu baca."

Gemina menghela napas. Itu namanya berkonsentrasi, Sir.

"Jangan terlalu diforsir, Gemi. Waktunya makan, makanlah."

Ya, tapi enggak bareng kalian, pikir Gemina sebal, mau jadi apa aku di antara kalian berdua? Botol kecap? Tapi ia tersenyum. "Terima kasih. Duluan deh. Mungkin aku pergi bareng Bisma."

"Mau kubawakan sesuatu nanti? Dimsum?"

Dimples. Oh, tidak. Gemina menggeleng cepat.

"Oke. Aku pergi dulu. Telepon saja kalau kamu berubah pikiran. Biasanya kalau kerja malam-malam, kelaparan kan?"

Gosh! Just go away!

IgGy pun berlalu. Pasti ke seberang jalan untuk menjemput Oliva. Lalu keduanya mungkin jalan kaki ke restoran terdekat. Gemina masih memandangi punggung IgGy. Dan cowok itu tiba-tiba berbalik. Tertawa kecil saat melewati jendelanya. Mengacungkan kunci mobil. "Aku lupa ...."

Astaga. Tawa Gemina tersembur. Bahkan setelah mobil IgGy lewat dan keluar dari pagar, ia masih cekikikan sendiri. Waktu jendela ia tutup, kaca memantulkan bayangan wajahnya yang memerah. Oh, Tuhan. Saatnya mengirimkan sinyal SOS kepada Bisma dan Loka. Tak disangkanya tempat kerja baru seberbahaya ini.

"Aku setuju. Occupational hazard; risiko kamu terpeleset, kesetrum, atau terbakar api cinta sangat tinggi. Padahal baru berapa lama kamu bekerja di situ? Belum juga dua kali 24 jam! Bagaimana kalau empat bulan?" Loka langsung mengoceh begitu ia muncul bersama Bisma. "Tapi kamu masih mending, Gem. Dia baru tunangan, kan? Masih belum ijab qabul. Lah, aku? Dia sudah beristri dan beranak."

Bisma memukulkan sarung tangannya ke kepala Loka. "Kamu belum move on juga dari Kak Juno?"

"Never."

"Selamat jadi jones selamanya deh. Tapi sorry ya, aku enggak ikutan kamu. Besok malam bakal resmi jadian."

"Bis, serius kamu? Enggak mempan ya aku diemin sepuluh hari sepuluh malam? Itu cewek bad news. I warned you. Gemi, kamu yang bilangin Bisma deh, jauhi Violeta!"

"Violeta anak Teknik Lingkungan?" Gemina terbelalak. Selama kesibukan semesteran, perselisihan kedua sahabatnya sempat tenggelam. Ia pikir Bismaloka sudah akur seperti semula. Sekarang mengemuka lagi dengan nama yang sangat populer di kampus sebagai laba-laba black widow, the male killer. Dipandangnya Bisma yang cemberut tapi tidak membantah. Gemina mendesah. "Sepertinya trio kita bakal lengkap dengan segala jenis kasus patah hati."

"Bisa dicegah kalau anak satu ini buka mata dan telinganya." Loka uring-uringan.

"Kalau kalian sahabat yang baik, doakan dong, aku berhasil besok. Setiap orang berhak dapat kesempatan untuk berubah! Vio juga." Bisma tak kalah bete. Untunglah pesanan mereka datang. Kebiasaan mereka saling mencicipi makanan masing-masing untuk sementara dapat meredam panas.

"Eh, Gemi, omongan kamu terakhir tadi, trio patah hati, apa artinya kamu mengaku punya rasa buat penulis berkepribadian ganda itu?" Loka mulai menyasarnya.

"IgGy enggak berkepribadian ganda," elak Gemi.

"Tapi benar kamu jatuh cinta?" Bisma menyempurnakan bidikan.

Gemina hanya mengaduk-aduk nasinya. Apa yang bisa ia katakan? Baru kali ini ia merasa tertarik pada cowok, ingin tahu lebih banyak, dan setiap pengetahuan baru tentangnya membuat ia lebih tertarik lagi. Seperti pusaran air, menjauhkannya dari pegangan dan pijakan, terus menyedotnya hingga ke dasar.

"Ya ampun, lihat siapa itu yang datang! Jangan menoleh, Gemi. Pura-pura enggak tahu. Stay cool." Loka menggenggam tangannya di meja.

"Kukira adegan ketemuan seperti ini cuma ada di sinetron," kata Bisma, terkekeh. "IgGy sudah melihat kamu. Menuju ke sini. Ya Tuhan, Gusti Nu Agung! Itu ceweknya cakep banget. Kamu enggak akan menang lawan dia, Gemi."

"Ya, thanks for reminding me."

"Tapi rasanya aku kenal deh." Bisma mengingat-ingat.

"Kenal di mana? Kalau benar, ini kebetulan paling enggak bermutu!" ledek Loka.

"Hush! Dalam hidup, enggak ada yang namanya kebetulan. Semua sudah diatur. Have faith, Loka."

"Gemi!" IgGy sudah sampai di meja mereka. Oliva di sampingnya, tidak terlalu gembira.

"Hei, Garin, Oliva! Baru mau makan?"

"Ya, tadi aku antar Oliva ke rumah temannya dulu, mengantarkan buku," sahut IgGy. Selalu mengatakan apa adanya, pikir Gemina, nyaris kekakanakan. "Boleh gabung? Semua meja penuh, sepertinya."

"Tentu." Gemina bergeser. Bangkunya bisa untuk tiga orang.

IgGy mempersilakan Oliva lebih dulu, kemudian dia sendiri duduk di ujung.

"Oh ya, kenalkan, ini Loka dan Bisma. Guys, ini IgGy dan Oliva." Gemina berhati-hati agar tidak bersentuhan dengan lengan dan bahu Oliva. Entah kenapa, kekhawatirannya menyinggung perasaan Oliva sampai terbawa ke tataran fisik.

"Aku baca Trilogi Runako. Lima bintang," kata Bisma menjabat tangan IgGy. "Hai Oliva, mungkin kamu enggak ingat aku. Tapi aku pernah mengantarkan kakak ke rumahmu beberapa kali, waktu kalian SMA. Ada tugas kelompok bikin roket waktu itu?"

Oliva memperhatikan Bisma beberapa saat dan senyumnya merekah. "Oh ya, kamu adik Saskia?" Saat Bisma mengangguk, Oliva semakin bersemangat. "Ah, sudah lama enggak ketemu dia. Terakhir yang aku tahu, Saski dapat beasiswa ke Jepang. Di mana dia sekarang? Masih lanjut master di sana? Hebat. Kamu beda banget sih, aku pangling."

"Dulu dia kayak cacing kering," kata Loka tertawa. Mendapat sikutan telak dari Bisma.

Gemina diam-diam merasa lega. Sahabat-sahabatnya menyelamatkan suasana. Oliva sedang berusaha menjelaskan siapa Saskia pada IgGy. Mereka satu angkatan di SMA, beda jurusan. Tapi IgGy menggeleng dan minta maaf pada Bisma karena tidak ingat sama sekali. Lalu beberapa kali mereka terpecah mengobrol sendiri-sendiri. Oliva dengan Bisma yang masih membicarakan Saskia. Gemina dengan Loka, membicarakan rencana liburan minggu depan. Dan IgGy hanya menjadi pendengar, sampai mereka selesai makan. Saat IgGy menawarkan untuk pulang bersamanya, Gemina menolak dengan alasan masih ada yang harus ia lakukan bersama Bisma dan Loka. Kedua sahabatnya hanya mengangguk-angguk. Mereka pun berpisah.

Dua jam berikutnya Gemina habiskan untuk menonton video animasi di rumah Loka. Loka dan Bisma menyebutnya sebagai piutang waktu dari mereka yang harus dibayar kapan-kapan. Gemina tertawa. Rela, katanya, kalaupun total yang ia bayarkan jadi empat jam.

Sudah pukul 22.50 ketika Gemina diturunkan Bisma di depan pagar. Dengan kunci yang diberikan kepadanya, Gemina leluasa untuk keluar masuk sendiri tanpa mengganggu orang rumah.

Mobil IgGy tidak ada di depan paviliun, mungkin sudah masuk garasi di belakang. Cahaya dari balik tirai paviliun tampak redup. Bagus. IgGy sudah tidur. Gemina masuk ke rumah dan nyaris menjatuhkan rangkaian kunci karena kaget. Di sofa di depan pintu kamarnya, IgGy tengah duduk membaca. Masih mengenakan pakaian yang sama. Melihatnya datang, cowok itu menutup buku, menurunkan kaki dari meja. Wajahnya keruh.

"Apa di tempat kos Ursula, kamu biasa pulang jam segini?" tanyanya, lembut tapi membuat jantung Gemina berdegup menyakitkan.

"Sesekali, kalau ada tugas kelompok." Suara Gemina nyaris seperti bisikan.

"Mungkin enggak ada yang menunggu kamu di tempat kos. Tapi di sini, ada aku yang memikirkan keselamatanmu. Kamu sama sekali enggak bisa dihubungi tadi."

Gemina tercengang. Buru-buru mengeluarkan ponselnya. "Maaf, sepertinya baterai habis. Atau mati lagi enggak jelas."

IgGy menghela napas. "Baiklah. Lain kali, pastikan selalu terisi kalau pergi. Lebih baik lagi, kamu kabari aku kalau mau pulang malam."

Gemina meletakkan tasnya di meja, dan duduk di depan IgGy. "Lepas dari Tante, aku punya bapak kos yang galak sekarang?"

IgGy tertawa. Memperbaiki duduknya dengan lebih santai. "Nasibmu, young lady. Lepas dari Ursula the Sea Witch, jatuh ke tangan The Beast."

"No, you are not. Tapi terima kasih sudah memikirkan keselamatanku. Aku di rumah Loka. Nonton beberapa film animasi untuk cari inspirasi buat karakter Algis. Diskusi dengan Bisma dan Loka membantu menjernihkan kepala." Gemina terkejut sendiri dengan apa yang dikatakannya. Apa adanya. Mencontoh IgGy. Tapi ia berhenti sampai di situ. Karena kalau dilanjutkan, jangan-jangan akan ia ceritakan pula bahwa sebagian besar topik diskusi mereka adalah IgGy.

"Mami sudah mulai rewel dan menyulitkanmu?" IgGy melempar kedua tangannya, frustrasi.

"Aku yang salah karena egois dengan imajinasiku sendiri." Gemina mengeluarkan buku sketsanya dan menunjukkan empat karakter Algis yang dicoret Radmila.

"Apa perlunya sih pakai spidol merah begitu?" kata IgGy sewot. "Kalau dia enggak suka, bilang saja, empat karakater itu bisa kamu simpan dan gunakan untuk yang lain."

"Enggak masalah. Sudah aku scan, kok."

IgGy mendesah lega. "Syukurlah. Sekarang kamu pasti lelah, istirahatlah dulu."

"Aku belum mengantuk. Ada beberapa ide dari animasi tadi yang mau aku coba."

"Aku temani kalau begitu. Mau kopi?"

Gemina mengangguk, tersenyum. IgGy membalas senyumnya sebelum beranjak ke dapur. Dan Gemina merosot ke karpet. Mendadak lemas. Menyandarkan kepalanya di tempat duduk, menatap langit-langit yang tinggi. Dari sini, ia bisa melihat pintu-pintu kamar di lantai dua. Ada orang lain di rumah. Kalau mereka keluar, akan langsung bisa melihat ke bawah. Jadi, harusnya ia tidak khawatir. Kenapa ia merasa bersalah? Apa yang sedang dilakukannya? Menggambar. Itu saja.

IgGy kembali dengan dua mug besar yang menguarkan wangi kopi menggoda. Cowok itu duduk di karpet di seberang meja. "Aku senang melihatmu menggambar."

"Pasti pengin menggambar juga," kata Gemina, menyodorkan tempat pensilnya. "Coba saja. Mungkin kamu punya bakat terpendam."

IgGy menggeleng. "Aku lebih suka mengamati. Mulailah."

Tangan Gemina bergerak pada halaman baru buku sketsa di atas meja. Tinggi badannya memungkinkan posisi yang nyaman dengan bersimpuh di lantai. Untuk sesaat ia terserap dalam sketsanya sampai mendengar napas lembut IgGy yang sudah maju. Ekspresinya sekarang mengingatkan Gemina pada pertemuan pertama di toko buku, saat cowok itu dengan kening berkerut menyatakan fan-art yang dibuatnya tidak mirip Algis sama sekali.

Ia berhenti menggambar. Lalu membalik-balik halaman bukunya dan menemukan sketsa Algis waktu itu. "Garin, kamu ingat komentarmu waktu melihat gambarku yang ini?"

"Waktu pertama kali kita ketemu di toko buku? Ya. Aku bilang, Algis enggak setampan itu. Mungkin karena rambutnya terlalu tebal. Hidung Algis enggak semancung itu, dan bibir harusnya melengkung ke bawah."

Gemina mengangguk. "Dan waktu itu aku merasa kesal karena kamu mencela imajinasiku. Tapi sekarang baru terpikirkan, kamu pasti punya imajinasi sendiri, Radmila juga punya imajinasi sendiri. Algis yang kita bayangkan jelas berbeda-beda meskipun dari deskripsi yang sama."

Tanpa disangka, IgGy malah terdiam. Seperti mempertimbangkan sesuatu. "Kupikir enggak ada salahnya kuceritakan sekarang. Mungkin akan membantu kamu merancang karakter Algis sesuai yang diinginkan Radmila. Nama Algis diambilnya dari nama RaKa, adikku. Runako Algis Kagendra."

"Oh ...." Seruan kecil terlepas. Buru-buru Gemina menutup mulutnya.

"Waktu itu, aku mencela sketsamu bukan karena aku punya imajinasi sendiri tentang karakter Algis. Terus terang, aku enggak baca serinya. Bisa dibilang, aku dan Mami enggak saling baca tulisan masing-masing. Jadi, aku membayangkan Algis yang asli, adikku. Aku baru sadar setelah melihat sketsa-sketsamu, Mami mendeskripsikan Algis berbeda dengan aslinya. Karakter Algis di buku jelas lebih ideal."

Gemina mengangguk.

"Tapi sekarang, Mami menolak semua sketsa idealmu. Dugaanku cuma satu, karena Mami sudah melihat lukisan realistik RaKa usia 12 tahun, karyamu. Itu juga yang membuat Mami ngotot minta kamu sebagai ilustratornya. Kamu membantunya mewujudkan RaKa. Aku sudah bilang kan, RaKa terus hidup di dalam kepala dan hati Mami?"

Gemina mengangguk dan dengan hati-hati menambahkan, "Di dalam kepala dan hatimu juga, Garin? Dalam wujud Runako?"

Garin meletakkan mug kopinya. Memandang Gemina. Matanya basah.



(bersambung)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro