Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Dua Penulis Satu Ilustrator

Otak Gemina bekerja cepat membuat koneksi. IgGy serumah dengan Radmila. Warna rambut, bentuk mata dan bibir, serta pembawaan, mirip. Mereka berhubungan darah. Anak dan maminya. Karya seni Gemina dihadiahkan IgGy kepada Radmila. Entah apa yang terjadi, tapi hubungan mereka yang buruk menjadi semakin buruk. Meski begitu, Radmila tertarik pada karyanya. Sekarang mendesaknya mengerjakan komisi. Dan, di sinilah Gemina, di antara dua penulis yang saling berhadapan dengan sikap dingin.

Gemina ingin berteriak pada IgGy, 'kenapa tidak memberitahu?' Banyak kesempatan IgGy bisa mengatakan siapa Radmila. Apalagi setelah insiden artwork RaKa. Tapi tidak dilakukan. Lagi-lagi, ia merasa bodoh, sampai terperangkap pada situasi seperti ini. Gemina menahan diri. Lebih baik diam dulu, mengamati. Matanya saja yang melirik tajam pada IgGy. Membuat cowok itu menelan ludah.

"Gemi, perkenalkan Radmila, mamiku. Dia minta aku menunda Runako agar kamu mengerjakan komisinya lebih dulu. Aku bisa saja menolak, karena kamu profesional dan sudah lebih dulu menerima Runako. Tapi mempertimbangkan banyak hal yang sudah terjadi, kupikir, kamu sendiri saja yang memutuskan. Benar kan, Mami?"

Dengan kata lain, IgGy memastikan komitmennya untuk Runako, meminjam tangannya untuk menghadapi sang Mami, sekaligus melepaskannya dari jerat Radmila. Smart. Agak licik. Tapi masuk akal. Dan membuat Gemina kagum juga karena tanpa menyinggung insiden artwork RaKa secara eksplisit, IgGy membuat Radmila tidak berdaya. Hanya mengangguk dan memandangnya dengan harap-harap cemas.

Gemina menjadi waspada. Memilih Runako bisa berarti batal mengerjakan Algis, dan besar kemungkinan akan memperuncing perseteruan IgGy dengan sang Mami. Mendahulukan Algis, walau akan mengangkat namanya sebagai ilustrator, berarti ia menempatkan diri di bawah telunjuk Radmila. Gemina tidak bisa membayangkan prospek bekerja penuh dengan wanita itu, awalnya untuk satu buku, tapi sudah jelas serialnya ada tujuh. Itu pun kalau berakhir di ketujuh .... Lalu kapan ia akan bersenang-senang dengan Runako?

"Aku mau lihat dulu beban kerja masing-masing." Gemina mengambil buku catatan dan pensilnya. "Untuk Runako, apa yang harus kukerjakan?"

IgGy tersenyum. Sikapnya menjadi lebih santai. Ia mengempaskan diri di sofa di samping Gemina. "Setelah kupikir-pikir, aku tidak perlu membuat komik untuk seluruh buku pertama Runako. Cukup adegan pilihan saja. Sebagai promo dan teaser. Dan kalau cetak ulang, komik ini bisa disisipkan ke dalam novel, menggantikan teks bersangkutan."

"Jadi semacam nomik, novel-komik," sahut Gemina, dan pensilnya jatuh ke lantai. Sengaja, agar setelah membungkuk untuk mengambilnya, ia bisa bergeser, memperlebar jarak dengan IgGy. Paha mereka nyaris bersentuhan tadi. Parfum segar cowok itu pun sudah mengganggu konsentrasinya. "Berapa banyak adegan yang ingin dikomikkan?"

"Menurut perkiraanmu?" IgGy bertanya balik.

"Runako buku kesatu sekitar 30 bab kan, ya? Agar merata, mungkin setiap dua bab ada komik. Jadi 15? Panjang komik disesuaikan saja dengan adegan yang kita pilih."

"Setuju."

Gemina mencatat. "Deadline?"

"Terserah kamu. Aku tidak mau mengganggu kuliah dan tugas-tugas wajibmu. Lagi pula kamu bilang, art adalah pekerjaan hati. Ada etika dan estetika. Tapi yang lebih penting adalah kamu mengerjakannya dengan happy, enggak tertekan."

Gemina berani bertaruh, IgGy sengaja mengatakannya untuk menyindir Radmila. Ada kerlip bandel di mata cowok itu. Dan kepuasan di senyumnya saat terdengar Radmila mendecak tak sabar. Tapi tak urung nada suara IgGy yang lembut membuatnya tersentuh dan mendadak susah bernapas.

Radmila berdeham. "Untuk Algis buku kesatu, 15-20 ilustrasi realistik detail, full page. Untuk waktunya, jelas, aku tidak punya kuasa menentukan kalau begini."

Gemina mengangguk. Menekuri catatannya sesaat. Mengumpulkan kepercayaan diri untuk berbicara. "Ini usulan dan cara kerjaku. Runako dan Algis akan kugarap secara paralel. Bergantian tiap satu adegan. Pada tahap pertama, aku akan membaca ulang kedua buku, mendesain karakter, dan mendiskusikannya dengan penulis masing-masing. Tahap berikutnya, memilih adegan lalu sketching. Proses ini bisa lama kalau bolak-balik revisi. Jadi, perlu komunikasi yang baik dan cepat. Kalau penulis sudah oke, lanjut finishing. Tidak boleh ada revisi lagi, kecuali aku menganggapnya perlu. Sampai sini, jelas?"

IgGy mengangguk. Radmila menatapnya tidak puas. Gemina mengabaikannya dan melanjutkan, "Bu Radmila ingin manual. Untuk picture book berwarna, yang biasanya 24 halaman saja, bisa saja 100% manual. Tapi untuk novel, komik dan ilustrasinya lebih praktis dan cepat dibuat semi digital. Untuk Runako dan Algis totalnya mungkin perlu 4-5 bulan."

"Aku tidak berkeberatan," kata IgGy cepat.

Radmila mengerang. "Itu sebabnya dari awal aku enggak merasa perlu ada ilustrasi. Tapi penerbit memaksa. Katanya demi pembaca anak-anak. Lalu aku ditawari ilustrasi ala kadarnya yang biasa mereka pakai itu. Huh! Lebih baik tidak. Jadi, Gemina, apa bedanya ilustrasimu nanti dengan ilustrasi kodian itu?"

Gemina menahan diri untuk tidak memprotes istilah meremehkan yang dipakai Radmila. Memang ada ilustrator di luar sana yang mengabaikan kualitas, produksi banyak dan cepat yang dimungkinkan dengan digitalisasi. Tapi biasanya karena mereka terbentur fee dari penerbit yang ala kadarnya pula. Ilustrasi masih belum dianggap artwork. Keberadaannya di buku anak sekadar pelengkap. Tidak heran, ilustrator pun tidak diingat sebagai profesional dengan keterampilan yang diperoleh dengan susah payah dan mahal. Gemina tidak mau masuk ke dalam lingkaran setan itu. "Seperti yang Ibu minta, ilustrasiku dirancang khusus, lalu digambar manual, dengan latar belakang lebih mendetail. Pewarnaannya saja yang digital."

"Baik, kalau begitu. Aku percaya. Kerjakan saja mulai sekarang." Radmila menepuk kedua pahanya, hendak berdiri. Tapi urung melihat Gemina menggeleng buru-buru. "Apa lagi?"

"Maaf, Bu. Tidak bisa langsung, karena aku mau pindah kos. Tempat yang sekarang enggak memungkinkan untuk bekerja tenang."

Radmila terbelalak. "Pindahan kan enggak perlu lama. Sekarang pindah, besok mulai."

"Masalahnya, aku baru mau cari tempat kos, Bu. Mumpung libur seminggu ...."

"Astaga." Radmila menggosok dada. "Seminggu buat proyek. Seminggu cari tempat kos. Seminggu pindahan. Terus seminggu lagi menunggu kucing bertelur? Terus, kapan kerjanya?"

Mendengar omelan itu, Gemina bukannya ciut, malah tawanya meledak tiba-tiba. Di antara kikik gelinya, ia berusaha mengatakan bahwa gaya Radmila mengomel persis seperti karakter ibu angkat Algis di buku. "Bu Padmi kan bilang begini, Bu. 'Astaga, Algis! Sehari kamu pergi memancing. Sehari kamu berburu. Sehari kamu bengong. Terus sehari lagi menunggu anjingmu bertelur. Terus, mau kapan membereskan atap?'" Gemina menirukan nada Radmila. IgGy di sampingnya bergerak-gerak. Ketika Gemina menoleh, gelak IgGy pecah.

Wajah Radmila kembali kaku, bibirnya mengerucut.

"Sejak buku pertama, memang begitu watak Bu Padmi. Ibu ingat?" Gemina membela diri.

"Tentu saja aku ingat. Aku yang menciptakannya!"

"Oh, iya ya." Gemina terkikik. "Ibu keren. Karakter yang Ibu ciptakan, tak terlupakan semua. Tapi dari semua keluarga angkat Algis, yang paling berkesan ya Bu Padmi ini. Cerewet tapi hangat. Omelannya lucu. Tidak seperti Bu Walikota yang sok garang, sok tegas, menyembunyikan kelemahannya ...." Kalimat Gemina tidak selesai, begitu menyadari Radmila memandangnya dengan aneh. Bukan marah. Bukan terkejut. Seperti ingin menimbrung dalam pembicaraan tapi berubah pikiran di saat terakhir.

Gemina menoleh lagi pada IgGy, tidak yakin. IgGy malah tersenyum menenangkan. Dia tidak menyadari ekspresi maminya, pikir Gemina.

Sayang, Radmila sudah memasang wajah kakunya lagi. Bahkan suaranya melecut pedas. "Intinya, kamu terus mengundurkan waktu. Sebetulnya kamu niat ambil komisi, atau tidak?"

"Mami, Gemi sudah datang ke sini berarti memang sudah berniat bekerja. Tapi di tempat kosnya sekarang, Gemi harus selalu berurusan dengan Ursula the Sea Witch," kata IgGy, mendahuluinya menjawab. "Mami enggak boleh memaksa dia bekerja tanpa memperhatikan kondisinya."

Gemina meringis. Radmila memandang IgGy tercengang. Entah karena nama Ursula atau karena teguran IgGy yang terang-terangan. Kemudian wanita itu terdiam, sebelum berbicara lagi dengan nada suara tidak mau dibantah. "Pembuatan komik dan ilustrasi perlu komunikasi intensif di antara kita. Sudah jelas, bakal banyak diskusi, melibatkan artwork di atas kertas dan dalam bentuk file. Akan sulit kalau itu dilakukan hanya lewat email. Solusi terbaik adalah Gemina tinggal di sini selama pengerjaan." Radmila berdiri. "IgGy, pergilah, bantu Gemina pindahkan barang-barangnya ke sini. Pilih saja salah satu kamar di depan itu."

"Siap laksanakan, Mami." IgGy melompat berdiri.

"Tumben, kamu sigap menjalankan perintahku tanpa banyak membantah."

"Karena tumben juga perintah Mami masuk akal dan bisa dieksekusi."

Gemina masih duduk dan mengalihkan pandangan dengan cepat antara Radmila dan IgGy, tanpa menyadari implikasi dari percakapan mereka. Tapi IgGy meraih tangannya, menariknya berdiri.

"Ayo. Aku enggak tahu sebanyak apa barangmu di tempat kos. Tapi kalau kita bereskan sekarang, malam ini harusnya kamu sudah bisa tidur di sini."

Gemina terbelalak. Kata-kata IgGy mulai dikenali otaknya. Maknanya pun dipahami. Radmila sudah menjatuhkan perintah. Konsekuensinya jelas. Dua komisi akan segera dimulai. Satu ilustrator di antara dua penulis. Di lain pihak, masalah kos terpecahkan. Atau tidak? Karena ia tidak tahu, apakah ini berarti ia membayar kos pada Radmila dari fee ilustrasi? Berapa? Banyak yang ingin ditanyakan Gemina sambil mengikuti IgGy yang masih menggandeng tangannya. Tapi kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah, "Aku serumah denganmu?"

"Enggak tepat begitu. Aku tinggal di paviliun, kok."

"Berhenti, Garin. Berhenti dulu." Gemina mogok di ruang tamu, hanya beberapa langkah dari pintu keluar. Dengan halus, ia melepaskan diri dari genggaman tangan IgGy. Demi kesehatan jantung dan hatinya, demi kewarasannya, ia harus memproses soal kepindahan ini pelan-pelan. "Kenapa buru-buru? Mami kamu sepertinya terlalu impulsif. Bagaimana perhitungannya? Maksudku, enggak mungkin aku tinggal di sini gratis. Tapi kalau bayar sewa, aku pasti enggak mampu. Habis fee ilustrasiku nanti untuk membayar kemewahan di sini. Lagian kalau pindahan harus malam ini, apa enggak bikin rusuh? Barang-barangku sedikit sih, tapi kan perlu packing juga."

IgGy bersandar di kosen pintu, memasukkan kedua tangan di saku celana. Tertawa kecil. "Benar impulsif. Tapi Mami sekalinya memutuskan, akan berkeras menganggap keputusannya terbaik apa pun yang terjadi. Apa lagi ini pengaturan yang masuk akal, saling menguntungkan. Soal sewa kamar, jangan heran kalau Mami enggak memikirkan itu. Tapi kalau bikin kamu rikuh, silakan, samakan saja dengan tempat kos tantemu. Nanti urusannya sama Sarah saja. Nah, jangan khawatir lagi. Untuk packing, ada beberapa kontainer plastik di garasi yang bisa kamu pakai. Lihat dan pilih secukupnya. Aku siapkan mobil. Ayo!"

Gemina memandang IgGy lagi untuk memastikan. Tapi cowok itu membukakan pintu dan mempersilakannya jalan. Di luar, ia diantarkan ke belakang paviliun, ke garasi yang berisi dua mobil dan ruang perkakas. Gemina memilih dua kontainer besar beroda. Cukup untuk memindahkan seisi lemarinya. "Kenapa enggak bilang-bilang Radmila itu ibumu?" tanyanya sambil menarik kontainer ke mobil MPV yang disiapkan IgGy. Cowok itu sudah melipat kursi belakang untuk melapangkan tempat.

"Kapan? Waktu kita pertama kali ketemu di toko buku lima Selasa lalu?"

Gemina tercengang mendengarnya. Lima Selasa? Diam-diam ia menghitung, tetapi tidak yakin.

"Apa perlunya? Kamu pasti mengira aku ngaku-ngaku saja," lanjut IgGy, tertawa lagi. "Atau waktu kamu tanya apa aku kenal baik Radmila karena bisa minta pesan khusus untukmu?"

"Ya."

"Kamu terlalu sibuk fangirlingan. Tanya tapi enggak menunggu jawaban."

"Iya juga." Gemina mengakui. "Bagaimana dengan waktu di gang? Sehabis Radmila meneleponku. Astaga, aku malah ngomel-ngomel. Kamu enggak keberatan pula."

IgGy menyeringai. "Kalau aku bilang dia mamiku, apa kamu masih mau mempertimbangkan tawarannya saat itu? Orang yang merusak pigura karya senimu."

Gemina tertegun. Lalu menggeleng. "Pasti bikin canggung."

"Ya. Aku enggak mau urusan pribadi kami memengaruhi keputusanmu, Gemi. Insiden pigura itu memalukan. Tapi karena itu, Mami sadar bahwa artwork-mu luar biasa. Lalu ia bertekad mendapatkanmu. Enggak mau tahu waktu aku bilang, kamu sudah menerima komisi Runako. Ya, aku bilang sudah menerima. Untung saja, kamu sepemikiran. Terima kasih." IgGy memandangnya hangat.

Ada yang meleleh di dalam dadanya. Gemina memainkan tali tas, mencari-cari kesibukan.

"Kalau aku kasih tahu siapa Radmila setelah dia meneleponmu, aku pasti kena imbasnya. Padahal, aku masih ingin kamu menggarap Runako. Perasaanku kuat, kali ini Runako akan melejit dengan bantuan visual darimu. Aku masih belum menyerah. Trilogiku harus dikenal dan dibaca orang. Aku sudah janji pada Runako."

"Eh, Runako ada sungguhan?"

Tapi IgGy sudah naik ke belakang kemudi dan memberinya isyarat untuk masuk ke dalam mobil. Gemina menurut. IgGy lalu sibuk memundurkan mobil keluar dari garasi, dan memutar ke depan paviliun. "Tunggu sebentar. Aku ganti baju dan ambil dompetku dulu."

"Aku mau numpang ke toilet," kata Gemina, ikut turun. Daripada sepanjang jalan menahan desakan kandung kemih, pikirnya.

"Oh. Di tempatku saja." IgGy membuka pintu paviliun lebar-lebar.

Gemina sesaat terpukau melihat desain interior tempat tinggal IgGy. Seperti rumah induk, rapi dan efisien. Ruangan itu luas nyaris tanpa sekat, tapi dengan pembagian yang jelas, antara ruang duduk, ruang kerja, perpustakaan, tempat tidur, pantri, dan dapur.

"Silakan," kata IgGy menunjuk kamar mandi di balik pintu depan. "Take your time."

Gemina masuk dan mengunci pintu. Bersandar sebentar untuk menenangkan diri. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia memasuki kamar cowok. Bukan kamar, tapi rumah, ralatnya dengan jengah. Ya, tidak masuk kamar tidur, tapi masuk ke kamar mandinya. Astaga, jangan berpikir yang tidak-tidak. Tapi kamar mandinya kering, bersih, wangi, segar .... Keharuman yang mulai terasa familiar. Oh, shut up, Gemi! Lakukan saja apa yang perlu kamu lakukan, lalu segera keluar dari sini!

"IgGy!" Tiba-tiba terdengar suara perempuan bersamaan ketukan pintu.

"Ollie! Hai, kamu baru pulang ya?" IgGy menjawab. "Masuklah."

"Enggak usah. Di sini saja. Kita jadi pergi enggak nanti malam?"

"Oh, ya ampun!"

"Ha! Kamu lupa? Itu mobilmu menyala. Mau pergi?"

"Ya, maaf. Aku disuruh Mami ...."

"Oh, oke. Enggak masalah. Aku juga sudah capek banget sih. Tadi Pak Taslim nambah-nambah jam kuliah seenaknya. Padahal dia sendiri yang sering absen."

Percakapan itu jelas terdengar Gemina. Ia sudah selesai dengan urusannya tetapi ragu hendak keluar. Pertama, ia enggan bertemu Oliva sejak kiriman pesan yang menyudutkan itu. IgGy sudah meminta maaf atas nama tunangannya, tapi siapa tahu itu inisiatif IgGy saja. Kedua, ia tidak ingin terperangkap situasi canggung di antara mereka. Cewek, di dalam kamar cowok yang sudah bertunangan, apa yang akan dipikirkan tunangannya? Tidak ada yang terjadi, ia hanya menumpang pipis, tetap saja riskan. Ketiga, IgGy lupa janji pada Oliva karena hendak mengantar dan membantunya pindahan. Disuruh Mami atau bukan, tetap saja mengecewakan buat Oliva. Keempat, sepertinya Oliva hanya mampir sebentar. Keluar nanti saja kalau cewek itu sudah pergi.

"Aku ganti besok malam ya, Ollie."

"Enggak usah janji deh. Kalau memang bisa, kita pergi, kalau enggak ya sudah."

"Baiklah. Eh, tapi sebetulnya, kamu bisa sekalian aku antar saja sekarang, kalau mau."

Gemina melotot mendengarnya. Duh, IgGy, apa yang kamu pikirkan?

"Memangnya kamu disuruh Mami ke mana? Nanti kelamaan, Mami marah pula."

"Mami minta aku membantu Gemi pindah ke sini. Ambil barang-barang dari tempat kosnya."

"Gemina?!"

Gemina nyaris tersedak. Tapi ia tidak berani bergerak.

"Iya. Akhirnya Gemi mau mengerjakan Algis dan Runako sekalian. Mami pengin dia mulai segera dan kerja cepat, begitulah. Kamu tahu Mami kayak apa."

"Ya ...." Suara Oliva ragu.

"Kupikir, bagus juga Gemi tinggal di sini. Aku bisa menyaksikan langsung pembuatan komiknya. Menarik sekali lihat Gemi bekerja. Ollie, kamu juga harus lihat. Aku yakin, Gemi bisa memvisualisasikan adegan-adegan Runako yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Belum lagi ekspresinya. Aku merasa Runako benar-benar hidup. Untuk tahap pertama buku satu dulu, tapi siapa tahu aku malah keidean untuk menulis buku keempat. Kemarin saja, aku sudah membayangkan ...."

"IgGy, kamu enggak demam, kan?" sela Oliva.

"Eh, enggak kok. Aku sehat. Kenapa?"

"Terakhir kali aku lihat kamu excited kayak gini waktu pengumuman lomba menulis cerpen remaja dan kamu menang."

"Itu kan sudah lama."

"Ya. Sudah lama. Tapi aku ingat banget kamu bersemangat sekali sampai panas dingin."

Gemina membenturkan kepala perlahan ke dinding. Ini bakal tidak ada habisnya. IgGy mengoceh menunggunya keluar. Oliva menanggapinya terus, semakin lama semakin besar keterkejutannya melihat ia keluar nanti. Jadi, ia memutar keran wastafel sebentar, sekadar untuk peringatan awal. Pembicaraan di luar pun terhenti. Pelan-pelan, Gemina membuka pintu. Muncul tepat di depan Oliva dan IgGy.


(bersambung)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro