Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Sisi Lain



"Ya, Radmila, the one and only," kata Juno, tertawa geli. "Seri Algis-nya fenomenal. Jarang-jarang novel anak lokal nge-hit begitu. Aku merancang sendiri sampul serial ini karena jatuh cinta pada konsepnya. Awalnya direncanakan untuk trilogi saja, tapi begitu dua seri menjadi bestseller, Radmila memperpanjang plot. Dalam tujuh tahun ini, cetak ulang berkali-kali. Jangan bandingkan dengan buku fantasi terjemahan dari Barat. Untuk buku anak lokal, bisa dibilang, Algis adalah seri pertama yang bisa bertahan selama ini dengan fanbase fanatik yang terus bertambah. Kalau lihat fan-art yang kamu buat, aku tahu, kamu salah satunya."

Gemina meringis. Rasanya masih tidak percaya, Radmila meminta nomor kontaknya pada Juno. "Terima kasih sudah merekomendasikan aku, Kak."

Juno mengangkat alis. "Eh? Kamu memang kompeten. Tapi bukan aku yang merekomendasikan kamu pada Radmila. Aku malah baru tahu akan ada versi Algis dengan ilustrasi."

"Kalau bukan dari Kak Juno, Radmila tahu namaku dari siapa, ya?" Gemina garuk-garuk pelipis. Kecil kemungkinan Radmila ingat namanya waktu diminta IgGy menulis pesan di buku untuknya. Tidak dikenal secara pribadi, paling namanya tak lebih menonjol dari semua fans yang berbaris saat penandatangan buku. Ah ya, ketujuh buku itu belum diambilnya pula dari Mbak Zara.

"Tidak penting dari mana Radmila tahu. Pokoknya dia sudah pegang nomor kontakmu."

Gemina mengangguk. Ia pun menikmati siang itu bersama Juno dan istrinya, tanpa beban urusan klien dengan keanehan mereka. Percakapan hangat di meja makan bahkan keluar dari topik seni. Gemina senang memancing "kakak iparnya" bercerita seputar kehamilan dan proses persalinan. Maya membuatnya banyak tertawa sampai waktunya pulang. Ia sudah mendapatkan cukup penyegaran untuk menghadapi kesibukan di hari-hari selanjutnya.

Di angkot, Gemina baru memegang lagi ponselnya. Sengaja ia bisukan selama bertamu di studio dan di rumah Juno. Ternyata banyak miss call dan SMS dalam satu jam terakhir. IgGy dan Mbak Zara seperti berlomba menghubunginya. Cuma ada satu kemungkinan, IgGy mengganggu Mbak Zara di toko buku setelah gagal menghubunginya langsung. Gemina heran sendiri, ia bisa begitu tenang menyimpulkan. Seolah telepon dari IgGy bukan hal besar. Mengingat semalam ia gelisah dan menangis gara-gara cowok itu, tentu saja ini merupakan kemajuan. Bukti bahwa ia telah kembali menjadi dirinya sendiri, Gemina yang berkepala dingin, yang memandang permasalahan berdasarkan fakta, sesuai skalanya. Tidak memperkecil atau memperbesarnya dengan emosi.

Jarinya menggeser daftar notifikasi. Tidak ada panggilan dari nomor asing. Syukurlah, berarti Radmila tidak menghubunginya. Untuk sebuah komisi besar dan serius, prosesnya pasti tidak instan. Kalaupun ditindaklanjuti, Gemina berharap, Radmila menelepon nanti saja, setelah semua proyek akhir semester beres.

Ia membuka pesan-pesan Mbak Zara lebih dulu. Setelah dua kali misscall, Mbak Zara mengirim beberapa pesan yang intinya:

Gemi, kamu di mana? IgGy bolak-balik nanyain kamu. Aku jadi enggak tenang bekerja. Tolong.


Gemina menyeringai. Tepat dugaannya. Ia kemudian membuka notifikasi dari IgGy.

10. 30 – Hai, Gemi. Aku terima pesanmu semalam. Lebih baik kujawab langsung. Bisakah ketemu?

10.45 – misscall

11. 05 – Gemi, kamu libur kan, hari ini? Sedang di mana? Apakah kamu ke toko buku?

11. 19 – Gemi, teleponku enggak diangkat. Pesanku enggak kamu jawab. Kamu baik-baik saja?

12.27 – misscall

12. 30 – Please, let me know that you're okay.

12. 47 – Gemi, aku sudah di toko buku. Tapi sepertinya kamu enggak ke sini. Sudah minta Mbak Zara bantu cari kamu.

13.05 – misscall

13. 19 – Okay, I am sorry. Aku yang salah. Aku tahu kamu marah dengan kiriman foto dari Oliva. Dia juga minta maaf. Tolong telepon aku kalau kamu baca pesan ini.

13. 39 – We need to talk. No, I need to talk with you. Please ....


Gemina menelan ludah. Membaca kali pertama: Rasakan itu, IgGy! Memangnya enak menunggu jawaban dengan waswas! Membaca kali kedua: IgGy baper banget sih. Kenapa? Membaca kali ketiga: Ya Tuhan. Kasihan IgGy. Pasti gelisah bukan main, berusaha minta maaf dan menjelaskan tapi diabaikan.

Jam ponsel menunjukkan pukul 14.40. Ia harus menelepon IgGy, bukan cuma mengirim pesan. Tapi tidak di angkot. Nanti, begitu sampai di kamarnya. IgGy perlu tahu, ia sudah tidak mempermasalahkannya lagi. Gemina menjadi tidak sabar dengan angkot yang merayap. Tapi lima menit kemudian, gang menuju rumah kos terlihat. Gemina buru-buru turun dan membayar, langsung berbalik pergi. Beberapa langkah, ia baru mendengar sopir dan penumpang lain berteriak-teriak memanggilnya. Lupa dengan kembalian padahal memakai uang dua puluh ribuan. Pak sopir pun memberikan uang sambil geleng-geleng. Gemina tersipu. Mentang-mentang sudah makan, ia tidak merasa perlu membeli makanan, dan karena itu tidak memperhatikan uangnya.

Oke, sejujurnya, itu karena IgGy tiba-tiba kembali menjadi focal point-nya. Matanya pun sekarang masih memandangi pesan IgGy di layar sambil berjalan masuk gang.

"Gemi!"

Dan telinganya seolah-olah mendengar suara cowok itu.

"Gemi! Tunggu!"

Gemina berhenti. Menoleh. Selain dirinya, tak ada siapa-siapa di gang selebar dua meter sepanjang 20 meter itu. Tapi detik berikutnya, terdengar langkah kaki. Gemina berbalik lagi, terbelalak. IgGy memasuki gang, berlari mendekat.

"Gemi, akhirnya. Kamu sudah baca pesan-pesanku?" IgGy sampai di depannya. Mengamati wajahnya. Lalu melihat ponsel di tangannya.

Tidak bisa berkilah. Mendadak wajah Gemina terasa panas. Jangan-jangan, IgGy bisa menduga bahwa ia memikirkannya semalaman dengan perasaan kacau balau. Jangan-jangan, sekarang pun, IgGy bisa melihat kakinya mendadak lemas dan tangannya gemetar. Ya Tuhan, aku kenapa? Gemina berusaha menekan keanehan reaksi tubuhnya. Ia balas memandang cowok itu. "Ya. Maaf, aku barusan baca. Sepagian silence, karena aku sedang di studio dengan dosenku."

"Oh." IgGy mengembuskan napas, tampak lega. "Kukira, kamu enggak mau jawab. Maaf, aku menghujanimu dengan pesan dan misscall. Kelihatan banget ya senewennya aku? Soalnya, dari pesanmu semalam, aku menduga ada yang enggak beres. Belakangan aku baru tahu dari Oliva soal foto yang dikirimkannya. Aku yang salah sih. Maaf sekali lagi. Silakan kalau kamu mau marah atau apa. Aku terima."

"Serius?" Gemina tersenyum. Kepercayaan dirinya pulih dengan cepat.

"Ya. Aku bisa membayangkan reaksi kamu. Sudah bekerja keras, karena aku buru-buru. Hasilnya diperlakukan buruk."

"Kamu benar." Gemina menurunkan ransel dari bahu, menyangganya pada paha dan mengeluarkan buku sketsa. Lalu ia sandang lagi ranselnya. Ia tunjukkan sketsanya pada tiga halaman terakhir. "Ini kubuat setelah lama enggak mendapatkan jawabanmu."

Gemina menikmati ekspresi IgGy saat melihat-lihat ungkapan kemarahannya. Pemuda itu terbelalak, lalu beralih memandangnya malu. Geleng-geleng, memandangnya lagi dan tersipu. Menatap sketsa untuk kesekian kalinya sambil mendesah. Lalu menutup buku, memandangnya pasrah. "Ya. I messed with an artist. Layak digituin. Terima kasih"

Gemina tertawa. "Sudahlah. Kamu hanya berutang penjelasan. Sebetulnya mudah. Tinggal kirim jawaban saja untuk pertanyaanku. Kalau itu kamu lakukan, kan enggak perlu repot-repot mengejarku ke sini. Mbak Zara yang kasih alamat, ya? Susah dicari enggak?"

"Bukan cuma kasih alamat. Tadi aku minta diantarkan ke tempat kosmu. Dia masih di rumah ibunya sekarang." IgGy menunjuk rumah Tante Vira di ujung gang.

Gemina tercengang. IgGy benar-benar baper. Sampai berhasil memaksa Mbak Zara keluar kantor, saking apanya? Dan sesuatu yang hangat menyelinap ke dadanya. Oh, tidak. Tidak. Tetap profesional, Gemi. "Nah, kamu sudah menemukan aku. Jadi?"

"Mau minum kopi? Ada kafe di ujung jalan sana. Biar enak ngobrolnya. Enggak di gang begini."

Hati Gemina bilang ya. Kepalanya menggeleng. "Maaf, Garin. Masih ada proyek buat besok untuk nilai semester. Bisakah dijelaskan saja sekarang dan di sini?"

"Oh." IgGy memasukkan kedua tangan di saku jaket. Tapi kemudian mengeluarkan lagi salah satunya untuk menggosok tengkuk. "Enggak apa-apa. Aku mengerti. Aku benar-benar minta maaf soal foto itu, mewakili Oliva juga. Dia salah paham. Mengira artwork kamu penyebab Mami marah. Padahal bukan ...."

Gemina menunggu IgGy melanjutkan. Tapi IgGy terdiam, sibuk dengan tangan di dalam saku jaket. "Sudah, cuma itu?" Nadanya menaik tanpa sadar. Kalau cuma itu, apa susahnya membalas pesannya semalam?

"Eh, ya. Mami menyuruhku memperbaiki piguranya. Ada di mobil kalau mau lihat. Mami minta pigura hitam, alih-alih warna kayu asli seperti yang kita pilih sebelumnya."

Gemina menatap mata IgGy penuh selidik. Entah bagaimana Ambu melakukannya dulu, dalam sekali tatap, langsung tahu anak-anaknya jujur atau tidak. Bahkan setelah IgGy membalas pandangannya, Gemina tidak yakin. Mungkin benar, gambar dan lukisan RaKa sudah dipigura lagi. Tapi apakah benar sang Mami yang meminta? Entahlah. IgGy juga tidak berusaha menjelaskan masalah sebetulnya dengan sang Mami. Seperti Oliva bilang, itu urusan keluarga. Yang penting, karya Gemina tidak rusak dan sudah diperlakukan layak. Harusnya kasus selesai. Lalu kenapa Gemina merasa nelangsa? Apa yang diharapkannya? Lagi-lagi, Gemina tidak memahami reaksi hatinya sendiri. Ia mendesah, dan menjawab datar. "Terima kasih."

Kening IgGy berlipat. "Gemi, kamu masih marah?"

"Enggak. Enggak, kok. Semua sudah clear. Selesai sampai di sini."

"Oh. Apakah artinya kamu enggak mau lagi menggarap Runako?" IgGy memandangnya kecewa. "Bodoh sekali ya, aku menyangka perbaikan pigura bisa langsung menyelesaikan masalah."

Gemina merasakan matanya memanas. Sungguh, bukan karena itu. IgGy salah paham. Tapi ia tidak sanggup menjelaskan. Ia sendiri tidak mengerti. Hanya apa pun yang dikatakan cowok ini mengocok segala emosinya sampai tercampur sempurna. Mudah sekali kehilangan arah berpikir realistis, logis, dan profesional. Mungkin ia harus menjaga jarak dulu. Ya, benar.

"Garin, soal Runako ... kita bicarakan setelah proyek semesteranku beres. Saat ini, aku belum bisa menerima atau menolak—" Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Nomor tak dikenal. Gemina mematikan suara. "Cuma seminggu lagi. Nanti aku telepon kamu—"

Si penelepon mendesak. Layar menyala lagi.

IgGy tertawa. "Jawablah dulu. Siapa tahu klien penting untuk komisi besar. Tapi kalau ya, dia harus antre sesudah aku."

Gemina mengangguk. IgGy mundur sedikit, menyandarkan punggung dan satu kaki pada dinding, menengadah seolah ada pemandangan sangat menarik pada atap rumah yang menjorok menaungi gang.

"Halo?"

"Gemina Inesita?" Suara wanita. Berwibawa.

Gemina mengiyakan.

"Ini Radmila. Aku mendapatkan nomor hapemu dari Juno. Kamu ilustrator, kan? Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

"B-bu Radmila penulis Seri Algis?" Mata Gemina membulat.

"Ya," jawab wanita itu, singkat, datar, di luar dugaan.

Gemina menutup mulut dengan tangan yang bebas, menelan lagi sorak kegirangan yang nyaris terlontar. Nada suara Radmila memberinya batas tegas antara menjadi profesional atau fangirl.

"Aku memerlukan ilustrator untuk Algis buku kesatu yang akan cetak ulang. Bisakah besok datang ke rumah?"

"Oh, maaf, Bu. Seminggu ini aku harus menyelesaikan proyek semesteran. Paling Kamis minggu depan, sore."

"Baik. Minggu depan. Tapi kalau kamu enggak datang, aku berikan komisinya pada ilustrator lain. Aku juga harus lihat dulu kualitas gambarmu. Jadi, nanti bawa portofoliomu. Yang gambar manual saja. Aku enggak suka digital. Oh, tinggalkan manga juga. Aku enggak suka. Aku SMS-kan alamatku sesudah ini."

"Baik, Bu. Kalau boleh tahu, kira-kira berapa banyak ilustrasi yang diperlukan dan untuk kapan?"

"Untuk buku pertama, sekitar 20 ilustrasi full page, black and white, waktunya tinggal sebulan kalau baru mulai seminggu lagi."

Gemina melongo. Sebesar apa pun passion dan minatnya menggarap Algis, itu misi yang nyaris mustahil kalau dikerjakan paruh waktu. Sementara ia masih harus kuliah dan ada Runako dalam pertimbangannya. Tapi pantang baginya mengatakan mustahil di depan klien sebelum jelas benar beban kerjanya. "Masih bisa dilonggarkan waktunya ya, Bu?"

"Kenapa? Apa kamu enggak sanggup? Aku bisa cari orang lain sih."

Kening Gemina berkerut. Tidak menyangka, dan tidak suka, mendengar kata-kata itu keluar dari Radmila. "Kalau aku hanya mengerjakan Algis, mungkin bisa, Bu. Tapi Ibu tahu kan, aku masih kuliah. Sering ada tugas juga. Jadi, kita lihat nanti ya, Bu."

"Ya. Kalau kerjamu bagus dan aku suka, fee yang kamu terima jauh di atas rata-rata. Jadi kamu leluasa mengalihkan tugas kamu, apa pun itu, untuk dikerjakan orang lain agar bisa berkonsentrasi di sini."

Gemina tercengang. Untuk sesaat kehilangan kata. Ia bergerak resah dan menangkap pandangan IgGy padanya. Cowok itu tersenyum. Baru kali ini Gemina melihat senyumnya begitu lebar. Merekah spontan, bertahan lama, terpancar hingga ke mata, menularkan semangat. Bukan senyum tipis sinis yang menyebalkan itu. "Aku akan tetap kerjakan tugas yang jadi tanggung jawabku, Bu. Sambil berusaha menyelesaikan komisi sesuai komitmen. Karena itu, nanti kita lihat beban kerja dari Ibu dan waktunya kusesuaikan dengan kemampuanku."

Terdengar Radmila mendesah. "Baik. Sampai ketemu Kamis minggu depan."

Beberapa detik setelah hubungan diputuskan, Gemina masih termangu-mangu. Satu lagi klien yang akan menguras kewarasannya. Padahal yang satu itu masih di depannya, mendekat dengan mata berpendar jenaka. Apa yang dipikirkan cowok itu?

"Maaf, enggak sengaja menguping. Tapi kedengaran juga. Radmila?"

Gemina mengangguk. Dan begitu saja ia menceritakan percakapannya tadi. Lalu bersungut-sungut. "Kenapa orang kaya dan berpengaruh merasa bisa membeli semuanya dengan uang? Karena bisa kasih fee besar lalu minta aku bekerja cepat dengan mengabaikan kewajiban lain, tapi hasilnya harus tetap bagus. Padahal ini artwork, bukan kerjaan masal. Perlu hati tenang, kepala jernih. Ada etika dan estetika."

IgGy meringis. "Kamu terima?"

"Aku belum tahu. Lihat situasinya setelah proyek semesteranku beres."

"Semuanya kamu janjikan setelah proyek semesteran beres. Kalau enggak bisa paralel dikerjakan, bagaimana nanti kamu memilih? Runako atau Algis?"

Gemina memandang IgGy. Sadar dengan implikasinya kalau ia harus memilih. "Aku akan mempertimbangkan keduanya baik-baik. Besaran fee memang penting, tapi bukan segalanya."

"Baiklah. Follow your heart, Gemi. Aku ikut saja."

"Eh? Kok tumben. Biasanya suka maksa juga."

"Aku ganti strategi." IgGy mengedip dan tertawa. "Kapok."

Gemina tersenyum. Saat IgGy terlongo, Gemina pura-pura tidak melihatnya. Alih-alih ia melemparkan pandangan ke jalan raya, merasakan desir lembut di dada, yang ia kira akibat aliran angin melintasi gang.

"Gemi ...."

"Ya?"

"Boleh aku minta sketsaku? Kalau nanti kamu memilih Algis, paling tidak, ada artwork dari kamu. Peringatan buatku, agar lain kali, aku menawarkan komisi secara beradab begitu kamu ada waktu."

Gemina tertawa. Merobek tiga halaman terakhir dan menyerahkannya pada IgGy. "Sebetulnya kamu enggak jahat, kok. Aku senang mengerjakan komisi buatmu. Aku suka Runako. Bisa dibilang jatuh cinta padanya."

"Sungguh? Wow. Terima kasih, Gemi." IgGy memandangnya lekat, seperti ingin berkata lebih banyak. Tapi akhirnya hanya mengacungkan jempol. Dan tiba-tiba melompat tinggi, mempantomimkan slam dunk.

Gemina tertawa lagi ... untuk dipotong tiba-tiba oleh panggilan Tante Vira. Wanita itu berdiri di teras, bersedekap, menunggu.


(bersambung)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro