
Chapter 10 : Medicine
Rainy Rusadi
Aku berlari menuju taman dan berhenti di dekat tiang lampu taman. Air mataku tak bisa kubendung, aku tak ingin menangis di depan Hyungsik. Jujur, sebenarnya aku sangat mengkhawatirkan dirinya. Dia tampak teramat menyedihkan dengan kondisi tertular virus. Otot di wajahnya sudah mulai membiru, dan iris mata sebelah kirinya sudah berubah warna menjadi hijau.
Mencari penawar atau obat untuk dirinya tentu saja sangat sulit, terlebih dengan kondisi seperti saat ini. Namun, aku tak boleh menyerah. Aku mungkin hanya bisa mengikuti kata-kata John Harderman. Mencari sampel cairan terinfeksi, kupastikan yang dimaksud Harderman adalah Big Guy atau Invicible Man. Sebab, terakhir Hyungsik berurusan dengan Invicible Man, pria itu bukan digigit zombie. Tidak ada bekas gigitan di leher atau di bagian tubuh manapun, aku hanya melihat bahunya yang ada bercak berwarna ungu. Warna ungu itu terlihat jelas meski Hyungsik memakai pakaian berwarna hitam.
Aku adalah gadis nekat, mahasiswi semester sembilan yang terjebak di kota virtual ini, dan bertualang di tengah bahaya hanya dengan membawa sebilah pisau dapur di tangan. Hal gila ini kulakukan tentu saja karena aku, aku sangat peduli dengan Hyungsik. Apakah aku jatuh cinta padanya? Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin ada gadis yang tidak jatuh cinta dengan pria loyal berwajah Taehyung BTS.
Aku berjalan dengan cepat, namun tetap hati-hati. Belum terpikirkan olehku jika Invicible Man menghadangku lebih cepat dari perkiraanku. Jangan sampai dia menghadangku di tempat ini, sebab aku tak bisa berbuat apa-apa. Sebaiknya dia menghadangku saat sampai di rumah sakit nanti. Aku butuh alat injeksi untuk mengambil cairan tubuhnya bagaimanapun caranya.
Aku sudah mulai terbiasa menghindari zombie, pada akhirnya aku sampai di rumah sakit, tempat pertama kali aku sampai ke kota ini. Begitu sampai, zombie-zombie yang kutinggalkan menyambutku. Jumlah mereka cukup banyak, aku pun bergegas mematikan saklar lampu lobi rumah sakit. Mereka merasa tak bisa melihat apapun karena gelap. Pelan-pelan sambil berjalan jongkok aku berhasil melewati mereka.
Sesampainya di ruangan lain aku menutup pintu dengan pelan. Aku melanjutkan perjalananku menuju ruangan farmasi. Di sana aku mencoba mencari alat injeksi yang kosong. Tak terlalu susah mencarinya, aku langsung mendapatkannya. Aku menyimpannya di ransel yang baru saja kutemukan di sudut ruangan ini.
Aku sendiri heran, untuk apa alat-alat medis ini ada di virtual city? Memangnya pengguna bisa sakit? Baiklah, kembali lagi saat aku baru datang ke tempat ini, bukankah aku di rumah sakit. Aku hanya berpikir lurus saja, obat-obatan di tempat ini sepertinya adalah sponsor produk obat di dunia nyata. Sama seperti pakaian yang kukenakan ini, sponsor produk agar pengguna memiliki pengalaman mengunakan produk.
Selanjutnya, aku mencari-cari racun atau bahan yang bisa kupakai untuk melindungi diri. Di ruangan itu kupungut beberapa spray pereda rasa sakit. Aku tidak banyak pengalaman, tapi dulu saat aku bermain vedeo game item-item pereda rasa sakit sangat berguna.
Aku juga memikirkan caranya mengambil cairan dari Invicible Man. Susah, dan pasti akan sangat sulit, bisa-bisa sebelum cairannya kuambil, aku sudah remuk duluan.
Setalah alat-alat kutemukan, sekarang adalah bagaimana aku mencingnya. Sebab aku tak tahu keberadaannya, dia hanya muncul saat anggota SFoC aktif, atau saat melihat anggota SfoC di depan penglihatannya. Sambil menyimpan peralatan medis yang akan kubawa, aku memikirkan cara memancing monster itu. semoga aku tidak terdesak.
Beberapa menit aku mencari-cari obat, tamu tak diundang akhirnya datang. Siapa lagi kalau bukan Invicible Man. Sepertinya kehadiranku menjadi pemancing dirinya, atau mungkin dia memiliki sensor untuk membunuh setiap manusia yang ada. Dadaku berdegup lebih kencang, aku makin ketakutan. Padahal dia adalah monster yang kucari-cari. Segera aku keluar dari ruang farmasi.
Dum! Dum! Dum!
Suara langkah kakinya makin terdengar jelas. Monster tak kasat mata itu mengejarku yang sedang berlari di koridor rumah sakit. Sambil berlari aku memikirkan cara mengambil cairan tubuhnya.
Brak!
"Augh! Brengsek!" umpatku.
Monster gila itu melempariku dengan pot bunga. Mengenai punggungku dan sakit sekali. Serangannya reflek membuatku mengurangi kecepatan lari. Aku segera naik tangga ke lantai tiga. Sementara bunyi hentakan kaki monster sialan itu masih terdengar jelas hingga bangunan terasa seperti diserang gempa bumi.
"Die!"
Aku makin merinding mendengar suaranya yang sangat keras, sementara wujudnya tidak ada. Beberapa langkah sepertinya aku akan tertangkap olehnya. Benar saja, dia memukul bahuku hingga aku tersungkur dan terseret beberapa meter.
"Argh!" rintihku.
Sakit sekali. Bahuku rasanya seperti patah meski tidak benar-benar patah. Sepertinya monster itu berjalan mendekat. Aku mengesot sambil memegangi bahu, rasanya sakit sekali. Masih dalam kejarannya aku berusaha mengesot lebih cepat hingga aku masuk ke dalam lift. Pintu lift tertutup otomatis. Aku tak kuat berdiri untuk menekan tombol pilihan lantai. Sementara monster tak kasat mata itu tidak bisa lolos sensor pintu lift hingga dia tertinggal di luar. Namun, kudengar dia menghantam besi stainless pintu lift menjadi penyok.
"Arrgh!" aku menjerit lagi.
Bruk
Beberapa kali tumbukan akhirnya pintu lift menjadi bolong. Aku yang masih dalam posisi mengesot mencoba meninggikan tanganku dan aku berhasil menekan tombol lantai B1 yang artinya aku mengarah ke basement. Lift akhirnya turun sementara tangan Atau bagian tubuh Invicible Man masih brusaha meraihku.
"Arrrrhggg!" pekiknya.
Jeritannya bergema seiring lift yang bergerak ke bawah. Lift sempat sedikit kesulitan bergerak ke bawah, tetapi akhirnya lift tetap bergerak ke bawah dan memotong bagian tubuh Invicible Man yang tadi berusaha meraihku. Dalam napas terengah-engah aku melihat sebuah tentakel raksasa berada di depanku. Tentakel itu putus dan terpisah dari tubuh Invicible Man karena terbawa lift yang bergerak ke bawah. Sepertinya sensor tak kasat mata atau sensor transparannya seketika rusak, dan aku bisa melihat dengan jelas tentakel yang bergerak-gerak sendiri.
Kesempatan bagiku untuk mengambil sampe cairannya. Kutunggu tentakel itu mulai bergerak lambat. Beberapa detik kemudian tentakel, itu berhenti bergerak. Dengan takut-takut aku mengambil alat injeksi dari dalam tas ransel dan mencoba mengambil sampel cairan. Setelahnya, aku memasukkan sampel cairan berwarna ungu itu ke sebuah botol kedap yang tadi sempat kupungut di ruangan farmasi. Sampelnya kuambil sebanyak dua botol ukuran masing-masingnya 10 mililiter.
Setelah mengambil sampel dan lift sudah membawaku ke lantai basement, aku masih belum berani membuka pintu lift. Pukulan Invisible Man di bahuku membuatku trauma berat. Aku tidak berani jika harus bertemu monster itu lagi. Masih bersembunyi di dalam lift, aku mencari-cari spray pereda rasa sakit di dalam ranselku dan langsung kusemprotkan ke arah bahuku. Ajaibnya, mendadak bahuku menjadi sembuh, aku menyesal hanya membawanya dua tabung.
"Hi, Lady. Are you alright?" tanya pria yang tiba-tiba membuka pintu lift.
"Hah!" aku terkejut sambil mengangkat kedua tanganku.
"Calm down, Lady. I'm not Zombie," ucapnya sekali lagi.
Aku hanya menjawab dengan anggukan melongo melihat pria yang ada di hadapanku ini. Dia berpakaian hitam yang sama dengan Hyungsik, dia adalah SFoC. Dia masih muda, tetapi rambut bob-nya berwarna putih. Tampan dengan hidung mancung sempurna seperti orang Eropa. Tubuhnya sepertinya atletis, meski aku tidak melihatnya secara langsung, tertapi kurang lebih begitu. Tingginya hampir dua meter, dia sangat mirip tokoh anime pendekar Jepang, lengkap dengan pedang yang kebetulan ada di sisi kanan pinggangnya.
"Bagaimana bisa kau bertahan sejauh ini?" tanya pria itu tidak percaya.
"Aku hanya bersembunyi dari satu tenpat ke tenpat lain, Tuan."
Sambil mencari kendaraan, kami saling berbasa-basi. Kuketahui nama pria itu adalah Dante Ackerman, dia adalah pria Jerman. Di dunia nyata, pekerjaannya adalah guru anggar, sesekali pria itu berlatih samurai. Aku juga memperkenalkan diriku sebagai mahasiswa semester sembilan yang kehidupannya sangat miris. Pria itu tidak bersimpati, mungkin karena di sini dia juga sedang terdesak dan terjebak dalam kota virtual yang dipenuhi zombie.
Dante mengajakku untuk meninggalkan tempat ini sebelum makhluk gila itu membunuh kami. Aku tahu yang dia maksud siapa lagi kalau bukan Invicible Man. Sebab, dalam percakapan basa-basi kami, pria itu sempat mengungkapkan kalau dirinya terpisah dengan teman-temannya karena monster tak kasat mata.
Namun semua tak seperti cerita kami, Big Guy mendadak muncul mendekati kami sambil berjalan tegang seperti robot. Big Guy kulihat benar-benar mengerikan, dengan pakaian jas panjang berwarna hitam dan kepala botaknya kulihat ada luka lecet, sepertinya wanita SFoC di kantor polisi sudah menembakinya.
Dum Dum Dum.
"Nona Rusadi, kita tidak ada waktu. Ayo kita ke luar dari basement ini," ajak Dante
Aku menurut dan mengikutinya dari belakang. Hingga di bagian pintu keluar basement kami menemukan jip yang kurasa memang Dante yang membawanya kemari.
"Ayo kita naik, kau yang mengemudikan jip. Aku akan menembaki makhluk itu dari belakang jip," sarannya.
"Tidak, Tuan Ackerman. Aku tidak bisa menyetir," jawabku sambil berlari.
"Baik lah. Aku akan menyetir. Kau yang menembaki monster itu agar dia tidak mengikuti kita, bisa?"
"Bisa," jawabku yakin.
Kami menaiki jip. Dante mengemudikan jip dengan kecepatan yang diusahakan tinggi. Sementara aku, aku berusaha berdiri di cabin belakang jip sambil berpegangan dengan senjata heavi machine gun yang menenpel di kabin belakang jip. Senjata itu hanya bisa digunakan di tempat, tidak bisa dibawa pergi. Tugasku hanya menembaki musuh dengan cara mengarahkan senjata itu seperti game atau film perang, lalu menarik pelatuknya agar senjata itu bekerja melumpuhkan lawan.
Dante menyetir mobil dengan kecepatan tinggi, sementara aku berdiri di cabin dengan keadaan tubuh yang miring-miring sesuai arah mobil yang dikendarai Dante. Aku berpengangan kuat pada senjata. Jika tidak, tubuhku bisa terlempar dari jip.
Big Guy berlari mengejar kami. Meski tubuhnya besar, monster itu ternyata bisa berlari dengan cepat. Dikejar-kejar seperti ini, aku menjadi teringat film terminator yang kutonton. Dikejar-kejar dengan keadaan yang teramat ketakutan. Tanpa rasa iba, aku menekan pelatuk senjata dan mencoba menembaki Big Guy agar dia mengurangi kecepatan berlarinya. Sebab tadi dia hampir-hampir menghentikan jip ini.
Dor dor dor
Aku menembaki Big Guy seperti sedang melakukan perang. Big Guy nampaknya tidak menyerah, monster berkepala botak itu berlari makin kuat mengejar kami, dia seperti akan menangkap jip ini dan mencekik kami. Aku mencoba menembakinya agar dia kesakitan dan mengurangi kecepatan berlarinya.
Dor dor dor
Peluru senjata mengenai dadanya. Monster itu berupaya menghindari serangan peluru dariku dengan berlari zig-zag. Sial, ternyata dia tahu caranya menghindar. Dia cukup pintar untuk menghindari serangan musuh.
"Sir, tolong lebih cepat lagi!" perintahku.
"Baik lah, tetapi apa kau tahu, itu monster apa?" tanyanya dengan kepala yang sesekali menoleh kebelakang.
"Copy dari invicible man!" ucapku sambil masih menembaki Big Guy.
"Hah!"
"Aku membacanya di sebuah data di kantor polisi," sambungku.
Jip masih bergerak membawa kami menjauh dari Big Guy yang sepertinya sudah mulai menyerah mengejar kami. Dante masih menyetir dengan tergesa-gesa. Meski Big Guys sudah menjauh, para zombie ada juga yang berusaha mengejar kami. Aku masih menembakinya agar mereka tidak terus-terusan mengejar kami.
"Sir, kita sudah sampai di mana?" tanyaku. Aku tidak sempat melihat peta. Aku harus selalu berpegangan dengan senjata agar tidak terlempar dari jip ini.
"Kita mengarah ke Distrik Lost Word. Satu-satunya jalan. Maaf, aku hanya bisa mengarahkan mobil ke arah ini," terangnya sambil masih menyetir.
Sebenarnya sebuah kebetulan. Aku juga harus ke distrik ini untuk mencari tanaman penetral, bahan pencampur obat untuk Hyungsik. Aku belum berterus terang kepada Dante tentang Hyungsik. Pengalaman bertemu dengan wanita SFoC di kantor polisi sudah menjadi pelajaran bagiku. Meski mereka rekan, belum tentu mereka saling peduli, sebab di sini hampir semua orang yang kutemukan berupaya menyelamatkan diri sendiri. Aku memutuskan tidak memercayai semua orang, meski Dante adalah pasukan SFoC sama seperti Hyungsik. Jadi aku hanya bercerita kalau aku adalah survivor.
"Hey, Nona. Ambil lah senjata pelontar geranat yang terikat di kabin. Kau bisa membawanya untuk menjaga diri," ucap Dante.
"Baik, terima kasih," ucapku.
Aku berjongkok dan berusaha mengambil senjata pelontar geranat yang dimaksut Dante. Lalu, senjata itu kupegang dengan tangan kiriku. Sementara tangan kananku masih setia berpegangan pada senjata jip ini.
Aku mulai berpindah duduk ke depan jip, di sebelah Dante yang masih menyetir. Sesaat kemudian, mataku menatap ke depan. Ada sebuah truk besar yang menghalangi jalan. Sepertinya perjalanan kami memang terhenti di sini.
"Mobil akan menabrak. Remnya sepertinya tidak bisa melakukan rem mendadak. Nona kau meloncat ke kiri dan aku akan meloncat ke kanan," perintah Dante.
"Tidak, aku takut!" tolakku.
"Tidak ada cara lain, ayo kita meloncat!" perintah Dante.
Belum sempat menjawab Jip akan menabrak truk besar. Mau tidak mau aku meloncat ke kiri. Sekuat tenaga aku meloncat ke kiri meninggalkan jip yang masih berjalan lurus.
"Arrhgh!" jeritku.
Tubuhku terhempas ke sebuah tanah yang dipenuhi rerumputan. Aku seperti sampai ke pinggiran hutan. Lagi-lagi punggungku sakit semua. Petualan di Virtual City benar-benar seperti nyata.
Duar!!!
Jip yang kami tumpangi meledak seketika saat menabrak truk yang memang terbakar di tengah persimpangan tiga. Aku dan Dante terpisah di daerah ini. Dante ke kanan dan aku ke kiri. Tepatnya ke jalan yang menuju Lost Word.
"Nona, kau mendengarku?" tanya Dante.
"Iya, Tuan," jawabku.
"Sepertinya, aku tak bisa melanjutkan misi dengan menjagamu. Sebaiknya kalu lanjut saja ke Distrik New Luv. Aku akan mencari beberapa kabel dan bahan bakar kereta. Kita akan bertemu di New Luv paling lambat empat puluh delapan jam," ucap Dante di balik truk terbakar.
"Baiklah," ucapku.
Setelahnya Dante sepertinya pergi, aku tidak mendengar suaranya lagi. kuputuskan untuk melanjutkan perjalananku menuju Distrik Lost World yang tak jauh dari sini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro