Chapter 61
Kembali cahaya merah keluar dari belati, lurus diarahkan pada musuh dari posisi Tang Yuan di bawah sana. Namun, lagi dan lagi serangan Tang Yuan tertahankan oleh perisai. Kala Ji Yu sendiri malah menyeringai, sepasang netra entah bagaimana malah terlihat nyala kehijauan. Dihentakkan sudah cambuk, terlepas dari aksi saling membelit yang dipertahankan sedari tadi.
Kesempatan. Benar, inilah kesempatan yang harus segera diambil secepat dan semampu yang mereka bisa. Yang mana Ji Yu membelit sudah kedua kaki musuhnya itu, menarik kemudian hingga terjerembap kuat menghantam permukaan tanah. Dan tanpa menanti-nanti lagi, sesegera mungkin Ji Yu menurunkan tubuh bertenggernya dari atas atap ini untuk kemudian mencambuk, menghantam tubuh sang musuh yang tak terlindungi perisai apa pun ini.
Akan tetapi, masih saja sang musuh mampu menghindar, termasuk pula membangkitkan diri dalam sekali saltoan sembari lesatan cambuk api kembali diarahkan pada Ji Yu sebagai serangan balasannya. Namun, gagal mengenai. Dan semua berkat serangan Tang Yuan yang mengecohkan.
Saat itulah, Ji Yu dengan beraninya melesatkan diri mendekati musuh, menduduki bahu, termasuk pula mengapit erat dengan kedua kakinya seraya membelit leher musuhnya ini dengan cambuk sekuat mungkin. "SEKARANG!" Terus Ji Yu berteriak, menarik lebih kuat lagi cambuk yang membelit ini jangan sampai berhasil dilepaskan. Tangan kian bergetar, tak sedikit pula darah kembali mengalir keluar dari luka menganga yang ada sebelumnya.
Kesempatan jarang mampu menangkap sang musuh, bagaimana bisa disia-siakan, bukan? Kalau kali ini sampai lepas, maka sudah dipastikan tidak akan ada kesempatan berikutnya lagi, yang ada hanyalah tubuh tanpa nyawa bergabung sudah dengan para mayat warga desa ini.
Oleh karena itu, Tang Yuan jelas paham betul kesempatan terakhir ini. Yang mana ia mulai mengarahkan belati es mata iblis, menyalakan batu permata merah untuk kemudian menyaksikan sendiri bagaimana tubuh sang musuh ini mulai memancarkan cahaya kemerahan, menyedot cahaya tersebut masuk ke dalam batu permata. Kala sang musuh sendiri tak lagi mampu berkutik, kian dan kian tubuh kuat yang sedari tadi sangatlah sulit tersentuh ini melemah sudah.
"Selamat tinggal."
JLEB!
Lengan kanan, tertikam sudah. Sesegera mungkin Tang Yuan mencabut kembali, dan seketika pula Ji Yu melepaskan jeratan seraya menyaksikan akan bagaimana penjaga desa nan menyulitkan ini berakhir menjadi kepingan debuan yang ikut terbawa embusan angin. Menyisakan jubah serta topeng tembaga hitam, tergeletak pada permukaan tanah bermandikan cahaya kemerahan dari purnama berdarah.
"Kerja bagus," ucap Ji Yu, terengah-engah sembari menepuk bahu Tang Yuan yang tersenyum lega. Namun, pandangan mereka edarkan kembali ke seluruh area desa ini. Hancur ... benar-benar hancur dengan hanya meninggalkan kerangka rumah saja. Tatkala gagak mulai berdatangan menyuarakan koakan khas yang sungguhlah memuakkan. Meskipun benar, koakan tersebut sukses menghilangkan kesunyian dan keheningan yang ada.
Lihatlah pula bagaimana kawanan gagak ini berpesta, menyantap dan menikmati santapan yang tersaji. Sungguh sangat memilukan untuk disaksikan, dan mengesalkannya lagi, kenapa harus tubuh penjaga desa itu yang melebur dan menghilang? Kenapa bukan tubuhnya saja yang menjadi santapan kawanan gagak ini? Kenapa pada akhirnya, tetap mereka yang tak bersalahlah yang masih harus menanggungnya?
"Waktu kita tak banyak, ayo," ajak Tang Yuan, melangkah pergi. Sedangkan Ji Yu masihlah terpaku di tempat, sebulir air mata meluruh di kala ia membungkukkan setengah bagian tubuhnya, memberikan penghormatan selayak yang mampu diberikan seraya mulut meminta maaf atas keterlambatannya. Barulah kemudian, ia dengan berat hati menarik diri, menyusul Tang Yuan yang jelas saja menanti. "Kita belum terlambat, masih ada kesempatan." Keduanya pun mengalihkan pandangan ke arah bulan, melihat banyaknya kelebatan gagak-gagak yang berkoak, berkumandang dalam kesunyian. Kesunyian yang kini teralihkan sudah ke suatu tempat.
Tak lagi ada hutan yang mengelilingi atau bahkan api unggun, yang ada hanyalah bebatuan dalam ruangan megah layaknya kerajaan dalam gua. Lihatlah akan bagaimana langit-langit yang menjadi atap, dipenuhi bebatuan berujung runcing menggantung. Belum lagi dinding yang ada berpermukaan tak rata, pijakan bertanah kecokelatan keras sekeras pilar-pilar besar nan menjulang tinggi menopang langit-langit yang seakan tidak akan pernah atau bahkan mampu diruntuhkan.
Dalam ruangan yang dicahayai oleh lilin serta obor yang menggantung inilah, Kwan Mei dan Hui Yan kini bertekuk lutut, tepatnya dipaksakan. Sedangkan pandangan terpaku akan sosok yang duduk pada singgasana batu yang terpampang ini, mengenakan jubah kehitaman, rambut panjang sepaha dibiarkan tergerai sepenuhnya, kulit putih pucat dengan bibir merah seterang darah, pun sepasang netra tajam. Kala di mana terdapat setitik tanda merah tepat di tengah antara kedua alisnya yang meruncing tipis.
Anehnya, sosok wanita yang terbilang muda ini memiliki tubuh yang sesekali akan menghilang, tertembus pandang. Tatkala A'Gui mulai memberi penghormatan padanya. "Aku membawa mereka," ucapnya, memberanikan diri memandangi tuannya yang diketahui Mo Shan ini. "Bulan berdarah, hari yang istimewa. Kubawakan pula ratusan jiwa kali ini untukmu." Mengeluarkan kembali bola gelembung dengan cahaya-cahaya putih kecil di dalamnya, dilayangkan kemudian pada Mo Shan yang tentu senantiasa menerima. "Bagus. Kau memang tidak pernah mengecewakanku seperti seseorang yang pernah kukenal."
"Dia ... tewas. Aku yakin kau sudah mengetahuinya."
"Bulan berdarah yang muncul di saat yang tidak seharusnya, siapa lagi yang bisa melakukan hal itu selain dirinya." Menyeringai, menggeleng-geleng meremehkan. "Sungguh dan sangatlah bodoh, menempatkan hidupnya dan memberikan kepercayaan penuh pada para manusia lemah ini untuk melawanku."
Manusia lemah kau bilang? Senyum pahit sontak saja Hui Yan tampilkan, lagian bagaimana bisa menahan, bukan? Saking geram dan tak terimanya dua makhluk gelap ini terus-terusan merendahkan manusia. Semacam, mereka dulunya bukanlah manusia. "Wu Mo Shan, kau jangan lupa. Manusia lemah yang kau katakan itu sudah berhasil membunuh dua penjaga desa. Ahhh! Tidak, melainkan tiga penjaga desa harusnya, bukankah begitu?" Mengarahkan pandangan pada A'Gui. "Setelahnya ... itu akan jadi giliranmu."
"Diakah orangnya ... kiriman langit?"
"Benar, itu dia," jawab A'Gui.
Sontak saja Mo Shan menyudahi sesi duduk santainya, menuruni pula beberapa anak tangga sembari pandangan menajam dengan sedikit seringaian itu terus dilekatkan pada Hui Yan yang juga dengan beraninya terus memandang balik. "Sungguh bagus, sungguh tepat waktu. Pertama, aku akan mendapatkan tubuh baru dan setelahnya ... kekuatanku akan sangat meningkat, menjadi tak terkalahkan."
"Jangan harap kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan."
Tertawa, itulah respons yang Mo Shan berikan akan ucapan Kwan Mei barusan. Tawa yang menggema dalam ruangan besar ini bersamaan dengan tangannya yang memegang gelembung bercahaya, melemparnya ke udara untuk kemudian melayang-layang. Pada akhirnya, dihisap sudah cahaya putih dari gelembung tersebut, menyatu dalam sekujur tubuhnya selama sesaat hingga gelembung semakin dan semakin meredup bahkan mengecil lalu menghilang. Saat itulah, tubuh Mo Shan yang sesekali akan terlihat tembus pandang, kini tak lagi begitu ... semua sungguh terlihat layak pada normalnya, bertubuh fisik padat.
Rambut yang tergerai pun kini tergantikan, terkuncir satu bagian. Memperlihatkan kedua daun telinganya, garis leher serta wajah yang penuh akan ketegasan, kekejaman, arogan, kebencian dan kemarahan. Jelas, tak ada hal baik yang terpancar dalam dirinya. Kegelapan sungguh sudah melahapnya hingga ke jiwa paling murninya barangkali. Tak heran jika dirinya dipanggil roh jahat, roh jahat yang jelas mengidamkan menjadi seorang iblis.
"Hmmm ... aku suka rasa energi ini. Cukup kuat, tapi tidak sekuat dari saat aku menghisap jiwa dari anak-anak." Tertawa kecil, mendapati pula akan bagaimana Hui Yan yang geram bangun dari posisi bertekuk lututnya. "Namun, tentu tidak akan kalah dari saat aku melahap jantungmu." Sebelah tangan terulur dengan cepat, tahu-tahu saja Hui Yan tercekik sudah dalam genggamannya.
"Lepaskan dia!" Kwan Mei berseru, tapi lihatlah bagaimana A'Gui telah menodongkan pedang tepat pada lehernya. Kembali memaksa untuk bertekuk lutut. Lalu, apa yang bisa dilakukan selain menuruti? Kala sepasang netra terus memerhatikan bagaimana kesulitannya Hui Yan yang bergelantungan dengan leher terus saja tercekik.
"Jika bukan karena jantungmu ... sudah kubunuh dan cabik-cabik tubuhmu, kutempatkan pada gudang mayatku, bersama para temanmu yang memilih tewas dengan bodohnya," kekeh Mo Shan, mencekik bahkan lebih erat lagi.
"K-kau ... ap-apa maksudmu? Ja-jantung?"
"Kiriman langit, kau adalah manusia suci yang tidak berguna bagi manusia, tapi akan sangat berarti bagi makhluk sepertiku atau dewa yang terhukum sekalipun. Memakan jantungmu, akan memberikanku kekuatan yang sangat besar. Menjadikan diriku seorang iblis tertinggi." Mo Shan mengulurkan sebelah tangan leluasanya, memperlihatkan bagaimana kuku-kuku menghitam tumbuh memanjang dengan sendirinya, meruncing pun ditempatkan didekat dari dada Hui Yan yang menahan cekikan. "Karena itu, akan kuambil dan mengunyah jantungmu secara perlahan-lahan." Bertindak seakan ia sudahlah mengunyahnya, menelan bahkan merasakan bagaimana setelahnya ia menjadi kuat.
"Tapi tidak sekarang. Aku harus menikmatinya saat mendapatkan cangkang baru, bukan cangkang saat ini yang telah rusak ... menunggu waktu yang tepat, tengah malam." Mengalihkan pandangan tajamnya pada Kwan Mei yang masihlah tertodong pedang A'Gui. "Kalian ... tidak perlu terlalu sedih. Kematian kalian akan sangat jauh berbeda dari kematian manusia-manusia tak bergunanya lainnya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro