Chapter 42
Angin berembus, hutan berkesiur, mengusir kesunyian akan datangnya gemerisik dedaunan yang menari-nari. Kala lihatlah sendiri bagaimana cahaya hangat kekuningan menyusup masuk melalui celah-celah dedaunan, menyinari mereka semua yang masihlah tergeletak tak berdaya ini, semacam membangunkan, sukses pula mengerjap-ngerjapkan pasang netra terpejam masing-masing dari mereka untuk mulai melihat kembali dunia penuh akan warna dan keramaian ini.
Atau mungkinkah lebih cocok jika dikatakan dunia yang dipenuhi hujanan dedaunan bambu? Bahkan apa pula ini, gemeresak dari langkahan kian terdengar jelas dan jelas. Apa benar penjaga desa telah menyusul kemari? Jika benar demikian, kenapa tidak mengambil tindakan apa-apa? Dan kenapa pula malah datang seorang diri saja? Apa mungkin memandang remeh? Yang mana memanglah benar, mereka bertujuh tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan empat penjaga desa.
Namun, apa-apaan ini? Bukannya menyakiti ataupun berucap sarkas, malahan seseorang yang diduga penjaga desa malah membantu membangunkan Ji Yu, sembari mulut menanyakan bagaimana kondisi mereka semua yang perlahan membangunkan diri, mengarahkan pandangan seketika padanya ... orang asing.
Siapa sebenarnya ia? Dari mana asalnya? Kenapa membantu dan kenapa bisa di sini? Ataukah mungkin, pria tua yang tampak berusia 70an tahun ini adalah penduduk sekitar? Lantas, benarkah ada suatu desa lainnya dalam hutan bambu ini? Hanya saja, jika melihat dari penampilan kusam dan compang-campingnya, pria tua berkumis dan berjenggot bahkan berambut putih memanjang sepinggang ini tak pantas dikatakan penduduk, melainkan lebih kepada ... entahlah, mungkin seorang tahanan?
Meskipun begitu, tak menutup kemungkinan kalau pria tua bermata jernih ini terlihat cukuplah rupawan, bahkan aura tubuh yang memenuhinya tak bisa dikatakan biasa. Ada semacam aura bangsawan, pembudidaya, bahkan sampai pada aura dari seorang pembunuh pun dirasakan cukuplah kuat.
Haruskah merasa aman? Ataukah merasa waswas? Dan hal itu membuat tim pemberontak Desa Weiji ini terus-terusan memandanginya, tak berani berucap apalagi menanyakan. Kala pria tua ini terkadang terlihat bersahabat, tapi terkadang juga tidak. Semacam ada suatu bentrokan energi baik dan jahat dalam tubuh tua penuh keriputnya ini, bahkan terlihat santai pula meminum sejumlah air dari tempurung labu yang dibawanya.
Yang mana percaya tak percaya, air tersebut barangkali telah diberikannya pada masing-masing mereka bertujuh selama tak sadarkan diri. Oleh karenanya, Pak Tua ini pun membuang sudah sisa air tersebut, yang anehnya permukaan tanah tak sama sekali terlihat basah, seakan tak pernah tersentuh sedikit pun.
"Berhentilah melihatku seperti itu, aku jelas bukan musuh kalian," ucapnya lebih lagi, membawa diri menghampiri gundukan tanah yang entah sejak kapan ada di sana, mendudukinya dengan santai bahkan bersila tangan. "Lebih baik bertanya langsung, ketimbang berdiam-diaman seperti ini, bukan?" lanjutnya, pandangan satu demi satu dijatuhkan pada mereka bertujuh secara bergantian. Kala akhirnya, Yue Ming, kekasih Xia Chia ini berakhir memajukan beberapa langkah padanya. "Apa yang terjadi pada kami? Dan siapa pula kau, Pak Tua?"
"Pak Tua ...?" tanyanya terkejut, tapi detik kemudian malah tersenyum sembari mengangguk-angguk setuju. "Panggilan yang cukup baik, aku bahkan sudah lupa siapa diriku sebelumnya. Waktu berlalu sangat lama di sini," ucapnya yang seperti sedang bicara dengan dirinya sendiri. "Kalian sudah tak sadarkan diri hampir seminggu lamanya, kabut yang menyerang kalian sebelumnya jelaslah bukan kabut biasa ... itu semacam bius untuk menidurkan kalian selamanya, kematian."
Serta merta Azhuang mendekat, seolah tak lagi perlu menjaga batasan apalagi memandang curiga Pak Tua ini. Lagian seorang pria tua, apa yang bisa diperbuat? Jikalau ia bermaksud membunuh, maka sudah sedari awal dilakukan, tak ada alasan baginya untuk membangunkan mereka bertujuh, bukan? Tak perlu repot-repot pula mengajak mengobrol begini, apalagi menjelaskan kalau serangan kabut waktu lalu tak lain berupa serangan pertama hutan bambu ... strategi pembunuhan.
Bukankah itu artinya, hutan misterius ini masihlah merupakan cakupan dari Desa Weiji? Yang mana berarti, penjaga desa masihlah mampu memerhatikan mereka bahkan sewaktu-waktu barangkali akan bertemu. Dan sebab pemikiran tersebut, pertanyaan lainnya pun diajukan. Seperti misalnya, seberapa besar wilayah cakupan Desa Weiji? Dan bagaimana caranya untuk terbebas sepenuhnya dari desa terkutuk ini?
Namun, belum sempat Pak Tua menjawab. Serbuan angin kencang yang seakan dibuat pun menerjang, melayangkan sejumlah debuan serta dedaunan kering ke sekitaran, menyerang pasang netra berfokus masing-masing dari mereka. Kala di mana Pak Tua seketika menyudahi sesi duduk santainya sembari meminta mereka bertujuh untuk berdiri tepat di belakangnya, pun keheningan menguasai.
Nyanyian ini? Bukankah nyanyian dari Hutan Malam Abadi? Mengedarkan pandangan, Hui Yan dibuat panik kala satu persatu memerhatikan teman-temannya. "Apa kalian mendengar nyanyian ini?" Tentu kecualikan Ji Yu, pria ini sudah pasti mendengar. Lantas bagaimana dengan lainnya? Yang tampaklah tak mendengar jelas pertanyaan Hui Yan, melainkan berfokus ke satu titik nun jauh di hadapan mereka. "In-ini ... apa?"
Seekor kupu-kupu hitam, bukankah begitu? Apakah sebegitu menakutnya seekor kupu-kupu ini sampai mengharuskan Pak Tua sekalipun bereaksi begitu penuh kewaspadaan? Bukankah kupu-kupu ini terlalu indah untuk disaksikan, kala memang kian dan kian mengikis jarak dengan sayap indah mengkilapnya untuk berterbangan ke sekitaran mereka yang terdiam, terpaku. Berbeda dengan Pak Tua, kala di mana ia mulailah bergerak untuk kemudian mengambil sebuah ranting bambu yang tergeletak didekatnya, pun tanpa menanti-nanti dilemparkan ranting tersebut hingga menancapkan kupu-kupu hitam, terpaku kuat pada pohon bambu. Dan lihatlah yang terjadi, pohon bambu tersebut sukses dibuat mengering berikut dengan beberapa pohon bambu yang berdekatan lainnya.
"Lihat!" seru Xia Chia, menunjuk pula ke arah dari jalanan yang telah dilalui mereka sebelumnya malam itu. Mendapati kawanan kupu-kupu hitam menari-nari, pun embusan angin kembali mengencang seakan kepakan demi kepakan sayap dari kawanan kupu-kupu tersebutlah yang menciptakan angin buatan ini.
Alhasil, pertunjukan benarlah akan segera dimulai.
Pak Tua yang bahkan tidaklah diketahui apa namanya ini terus saja berdiri dengan gagah, terlihat seperti penampilan fisik tua nan rapuhnya ini hanyalah palsu belaka. Jikalau tidak palsu, lantas bagaimana caranya Pak Tua ini mampu bertindak begini? Membuat pasang netra siapa pun akan terbelalak penuh ketakjuban, menyaksikan bagaimana Pak Tua sungguhlah terlihat layaknya bukan lagi manusia. Bukan karena dirinya berubah wujud ataupun karena tubuhnya mengeluarkan sinar, melainkan hanya karena tubuh tuanya itu dibawanya melayang ringan seringan sehelai bulu tepat pada tengah area lapangan melingkar hutan bambu ini, menyamakan ketinggian dengan kawanan kupu-kupu yang ada.
Tak tahu pula apa yang hendak Pak Tua ini lakukan, kala kedua tangan dilebarkan, angin sukses mengamuk lebih kencang dari yang ada-ada sebelumnya. Dengarkan pula suara gemerisik hutan bambu ini, seakan sedang meraung kesakitan berkat sehelai demi sehelai dedaunan bambu kehijauan terlepas paksa dari tangkai. Yang mana dedaunan inilah yang Pak Tua layangkan, dikumpulkan, bahkan kemudian dibentuk menjadi sebuah jaring penjerat yang siap kapan saja dilontarkan.
Hanya saja, kenapa Pak Tua sama sekali tak melakukan apa-apa kini? Kenapa tak menangkap kawanan kupu-kupu? Malahan ia bertindak seakan sedang menyaksikan saja bagaimana kawanan kupu-kupu tersebut berusaha begitulah keras untuk menghancurkan jaring ciptaan tak biasa ini. Jikalau terus dibiarkan, bukankah jaring tersebut benarlah akan rusak?
"PAK TUA!" seru Ji Yu, menyadarkan. Namun, Pak Tua tetap masih terpaku pada pandangan di hadapannya, mata jelas memicing seolah sedang menanti, ataukah menunggu sesuatu? "PAK TUA!" Dan Tang Yuan menjadi satu-satunya orang yang menghentikan Ji Yu, meminta kekasih Hui Yan ini untuk memerhatikan baik-baik apa yang menyusul tepat di belakang dari kawanan kupu-kupu hitam. "Kurasa itu yang dinantikan Pak Tua sedari tadi ... lima ekor kupu-kupu merah."
Betul saja! Tanpa menunggu lagi, tepat sebelum jaring penjerat rusak, Pak Tua melontarkan jaringan untuk kemudian menyalurkan sejumlah energi dalam yang dimiliki, membakar habis tanpa bersisa kawanan kupu-kupu menjadi abu yang begitulah halus, terbang menghilang seakan termakan oleh udara. Barulah kemudian, Pak Tua menapaki kembali sepasang tungkainya ke permukaan tanah, limbung sembari napas memburu.
"Pak Tua, kau baik-baik saja?" Azhuang dan Yue Ming membantu, memapahnya duduk kembali pada gundukan tanah. Namun, Pak Tua tampak tak ingin berlama-lama berada di sini, tapi mulut seakan sulit untuk menjelaskan lebih. "Kita harus pergi sekarang. Ayo!"
"Sudah terlambat."
DEG!
Suara tak asing, penuh penekanan dan intimidasi. Yang mana dunia seakan sungguhlah berhenti kini, bahkan Pak Tua yang terengah-engah mau tak mau mulai bertingkah baik-baik saja. Mendirikan sepasang tungkai limbungnya, bahkan apa ini? Ia tersenyum? Kala empat penjaga desa berdiri tak jauh di sana, menjaga jarak sembari pasang netra menajam dan penuh kesinisan jelas terlihat dari balik topeng yang menutupi wajah. "Lihatlah apa yang kau lakukan pada hutan bambu ini, sungguhlah kacau ... Gao Zhan Hou."
Pak Tua malah tersenyum lebih lebar, memainkan pula jenggot memutih panjangnya ini. "Lama tak berjumpa, mungkin setengah abad lalu jika aku tak salah ingat. Tak kusangka, kau secara pribadinya akan kemari, A'Gui. Tampaknya kau memang sudah memainkan peranmu dengan sangat baik ... pemimpin penjaga Desa Weiji."
"Benar, semua berkat ajaran dan didikanmu sebagai penjaga desa yang agung, tapi lihatlah dirimu sekarang ... tua dan rapuh, juga terkurung di sini. Sangat disayangkan," kekeh A'Gui dari balik topeng hitamnya, yang mana netra kemudian dijatuhkan pada Azhuang. "Tidakkah kau ingin mendengar kabar istrimu, Jing Shin? Hidup atau tewas, tidakkah kau ingin bertanya itu?"
Yang mana Azhuang memajukan langkah, berdiri sejajaran dengan Pak Tua yang baru diketahui bernama Gao Zhan Hou. Tangan terkepal, geraham terkatup keras sembari sepasang netra terlingkupi panasnya amarah.
"Apa istrimu sedang hamil?" tanya Pak Tua.
"Benar, istrinya sedang hamil," jawab Ji Yu yang melangkah mendekat bersamaan Tang Yuan dan Yue Ming, mengambil posisi di sebelah kiri Pak Tua. Sementara para wanita hanya diam di belakang sana.
"Sebagai penjaga desa, harusnya kau berdiri di sisi kami bukannya di sana!" teriak A'Gui, jelas mengarah pada Tang Yuan. Sedangkan Tang Yuan sendiri, lihatlah bagaimana ia bersikeras jikalau sisi yang didukungnya kini jauh lebih dari pantas.
"Jadi dia pengganti penjaga desa yang kubunuh beberapa tahun lalu?" sela Pak Tua, memerhatikan Tang Yuan. "Tidak kusangka, pria muda ini masih punya hati nurani untuk memberontak. Sungguh mirip denganku."
"Dasar tak berguna! Manusia-manusia bodoh yang lebih suka mencari mati ketimbang hidup tanpa kesulitan, kalian semua memanglah bodoh!" geram A'Gui, menunjuk ketujuh dari mereka. Tak menyangka akan menyaksikan bagaimana seorang penjaga desa yang biasanya tak banyak bicara, tapi lihatlah kini, bahkan segala omong kosong dikeluarkan pula.
"Katakan padaku ... apa kalian membunuh Jing Shin?" sela Azhuang dengan beraninya di tengah-tengah pecahnya situasi memanas.
"Kau harusnya mengubah pertanyaanmu, bertanya pada diri kalian yang kabur malam itu ... meninggalkan seorang wanita hamil. Itu kalian yang menyudutkannya, bukan kami penjaga desa," tekan A'Gui.
"KAU! Katakan, apa yang terjadi dengannya?!" Napas Azhuang mulai memburu, jika tidak ditahan oleh Pak Tua, dirinya sudah dipastikan menerjang A'Gui dengan luapan amarah sulit terkendalinya ini.
"Malam itu, diriku hanya mengatakan hal dengan sejujurnya, karena istrimu bertanya maka aku pun sudah seharusnya menjawab, bukan?" tanya A'Gui, jelas saja memancing. Yakinlah pula jikalau ia sangatlah menyukai situasi saat ini, semacam ... kian terpuruk kalian, maka kian senang pula dirinya. "Kukatakan bahwa kalian tidak akan bisa keluar hidup-hidup, semua hanya mimpi belaka. Setelahnya ... jleb! Istrimu menikam jantungnya sendiri tanpa ragu dengan tusuk konde yang ditodongkan ke lehernya malam itu, dan kemudian ... wanita gila itu malah mentertawai kami!" Memejamkan sepasang netra, bahu bergerak naik turun tatkala embusan demi embusan napas memberat terdengar. "Apa kalian tahu, betapa besar hal yang harus kami lakukan dan urus hanya karena wanita bodoh itu?! Betapa murka dan marahnya tuan kami pada diriku yang dianggap tidak becus menjaga jiwa murni!"
Hui Yan dan Xia Chia sontak saja menutup mulut, netra bergetar terus saja meluruhkan cairan bening sembari kepala terus digeleng-gelengkan, tak terima, tak percaya dan tak ingin mendengar kabar duka seperti ini. Yang mana Kwan Mei sendiri, karena dirinya pernah mengalami rasanya kehilangan buah hati, sepasang tungkai sontak limbung, pun ia mendudukkan diri pada gundukan tanah, membiarkan kesedihan menenggelamkan ia sepenuhnya.
Sementara Azhuang, sungguh tak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan hancurnya ia sebagai seorang suami sekaligus calon ayah, mendengar hal itu tentu akan membuat pria mana pun akan sangatlah terpukul, atau lebih parahnya lagi kehilangan akal sehat untuk kemudian meluapkan segala emosinya, bukan?
Balas dendam, benar. Balas dendam tanpa berpikir jernih, singkatnya melakukan hal bodoh tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri. Dan apa jadinya jika Jing Shin melihat kini? Menyaksikan bagaimana Azhuang yang dengan mudahnya menyingkirkan tangan Pak Tua yang menahan, melajukan sepasang tungkai dalam larian kala netra dilekatkan pada satu penjaga desa yang ia yakini adalah A'Gui dengan begitulah tajam.
Namun, bagaimana bisa manusia biasa sepertinya mampu melawan A'Gui, bukan? Lihatlah pula bagaimana A'Gui tertawa-tawa, menggemakan suaranya hingga hutan bambu ini kembali menguarkan nyanyian. Kala lihatlah sendiri, bagaimana A'Gui, pemimpin penjaga desa ini mengubah sepasang netranya dari hitam menjadi bersinar kemerahan.
"Kemarilah ... KEMARILAH!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro