Chapter 21
Berselimutkan awan gelap yang kian menebal, atap dari keseluruhan desa bernama Desa Weiji ini sukses menelan sang surya yang seharusnya telah mengambil alih dunia sedari tadi. Gelegar petir atau gemuruh terus saja bersahut-sahutan, pun hutan yang mengelilingi desa semacam ikut andil dalam situasi buruk ini.
Tak mengherankan jikalau warga mulai membawa diri keluar rumah, keheranan sampai melupakan senyuman dan sapaan pagi yang biasanya sudah menjadi rutinitas harian. Yang mana wajah menampilkan sebuah tanda tanya besar, membawa pula sepasang tungkai ikut serta dalam rombongan orang-orang yang tak tahu akan ke mana. Tak terkecuali di dalamnya bergabung pula Hui Yan dan Ji Yu, bertanya-tanya pada beberapa warga didekat mereka. Namun, tidak ada jawaban memuaskan yang didapatkan.
Oleh karenanya, Ji Yu pun membawa Hui Yan keluar dari barisan rombongan, mempercepat langkah ke depan sana sembari pandangan akhirnya menangkap sudah teman-teman mereka. "Jing Shin! Xia Chia!" seru Hui Yan, melangkah lebih dekat lagi untuk kemudian masuk kembali dalam barisan rombongan yang ada. Pun Azhuang serta Yue Ming, ikut hadir mendampingi pasangan masing-masing. "Ada apa sebenarnya? Apa kalian tahu apa yang telah terjadi?" tanya Ji Yu.
Jawaban yang didapatkan dari Azhuang pun begitulah mengejutkan, mendiamkan seketika Hui Yan dan Ji Yu untuk saling bertukar pandang. Tidak pula ingin menyimpulkan, lagian bisa saja kejadian atau mungkin kematian seseorang ini tak lain karena suatu sakit bawaan atau apalah itu, bukan? Dan akan lebih baik jikalau segera ke lokasi kejadian saja, yaitu sebuah rumah yang tampaklah kurang terawat ini.
Kerumunan warga sudah bagaikan kerumunan lebah, begitulah padat dan juga berisik apalagi kala lima penjaga desa baru saja membawa keluar tubuh yang terselimuti kain putih masuk ke dalam gerobak kayu, terbujur kaku. Ketika embusan angin kembali datang, kain sempat tersingkap, seolah untuk menunjukkan bahwa mayat yang terbaring itu adalah seorang pria tua yang bahkan rambut saja sudah hampir memutih sepenuhnya.
"Orang-orang desa memanggilnya Tuan Meng, dia yang paling lama menetap di desa ini. Mungkin ... sudah hampir 20 tahun," beritahu Yue Ming, mengalihkan seketika fokus Ji Yu dan Hui Yan padanya. "Sepuluh tahun lalu, Tuan Meng kehilangan istrinya karena suatu penyakit. Setelahnya Tuan Meng mulai kehilangan kewarasannya, dan lebih banyak menghabiskan waktu seorang diri atau sekadar duduk di teras rumahnya ini," tambah Xia Chia kemudian.
"Itu benar," ucap Jing Shin, terkesan menyela. "Tuan Meng suka membicarakan hal-hal aneh dan tak masuk akal, dan karena hal itu pula ia perlahan mulai dijauhi para warga," lanjutnya.
"Hal-hal aneh apa maksudnya?" tanya Hui Yan, mengedarkan pandangan pada empat temannya ini. Setidaknya satu di antara mereka akan ada yang bersedia memberitahukan, bukan? Meskipun memang tampak suatu keengganan-lah yang melingkupi mereka. Namun, apa mungkin Hui Yan akan berhenti begitu saja? Terus ia mendesak, sampai pada akhirnya bertemu pandang dengan Azhuang.
Pun Azhuang malah menjatuhkan pandangan pada Yue Ming, semacam mencari persetujuan dari pria itu yang kemudian mengangguk. Akan tetapi, Jing Shin menahan begitu pula dengan Xia Chia.
"Biarkan mereka tahu, Ji Yu dan Hui Yan adalah teman kita, bukan? Karena itu mereka pantas tahu, lagian hal itu hanya berupa rumor tak benar. Lantas apa yang kalian takutkan? Di saat kalian juga percaya kalau hal itu cumalah ucapan dari orang yang sakit jiwa," ucap Yue Ming, mendiamkan seketika Jing Shin dan Xia Chia. "Azhuang, katakan saja."
Yang mana Azhuang mengangguk paham, melekatkan pandangan pada Hui Yan dan Ji Yu. Lagi dan lagi ucapan yang keluar dari mulut Azhuang kembali mengejutkan, harus bagaimana pula Hui Yan mengartikan ucapan tak masuk akal ini, bukan? Tak heran apabila wanita yang dulunya bangsawan ini malah berakhir tertawa-tawa kecil, tapi tidak dengan Ji Yu yang malah mendapati jikalau ucapan Azhuang tidaklah bisa diartikan bercanda.
"Bukan hanya monster pelahap warga, bahkan Tuan Meng sering mengatakan hal-hal yang akan membawa kesialan bagi siapa pun yang mendengarkan ucapan tak masuk akalnya itu," ucap Azhuang lebih lanjut.
"Kalau begitu, adakah korbannya? Korban yang mengalami kesialan dari ucapan Tuan Meng ini?" tanya Ji Yu, keseriusan pun serta merta melingkupi Hui Yan yang siap menanti jawaban.
"Dulu, ada pasangan yang merasa prihatin dan tak adil dengan kondisi yang dialami Tuan Meng. Bahkan mereka tanpa ragu merawat Tuan Meng layaknya ayah mereka sendiri, menghabiskan waktu bersama dan sebagainya," jawab Xia Chia, mendesah seakan menyesal harus mengatakan hal-hal ini. Apalagi di kala Hui Yan sendiri mendesak ingin tahu siapa pasangan yang dimaksudkan itu, yang mana Xia Chia berakhir memandangi Yue Ming, pasangannya ini. "Itu tetangga depan rumah kalian, Tang Yuan dan Kwan Mei," ungkap Yue Ming. "Percaya tidak percaya, kalian pun tahu dengan cukup baik situasi dan kondisi mereka sekarang bagaimana. Kalian pun tahu apa yang telah pasangan itu alami, terkait kehilangan ...."
Hui Yan menyetop, tak lagi ingin mendengarkan ucapan Yue Ming lebih jauh lagi. Tahu betul arah pembicaraan Yue Ming ini akan ke mana, karena hal itu terlalu kejam dan menyesakkan untuk kembali didengarkan. Lantas, benarkah kejadian kehilangan itu ada hubungannya dengan ucapan tak masuk akal Tuan Meng? Bukankah pria tua yang bahkan mayatnya kini telah dibawa pergi menjauhi keramaian oleh lima penjaga desa ini hanyalah seorang pria tua tak waras? Dan kenapa pula rumah Tuan Meng dibakar begini? Menjadikan semua orang berfokus pada kobaran api alih-alih pada mayat Tuan Meng.
Namun, tidak dengan Hui Yan. Ia justru mengedarkan pandangan ke sekitar, seolah mencari keberadaan seseorang hingga matanya terpaku ke satu arah. Mendapati sosok seorang wanita, Kwan Mei yang sedang berdiri dalam kesendirian sembari pandangan dijatuhkan pada mayat Tuan Meng. Menyaksikan gerobak tersebut melintasinya pun kian dan kian menjauh setelahnya, dan jujur saja wanita ini terlihat seperti seseorang yang diliputi rasa bersalah serta penyesalan. Apalagi saat ketika pandangan Kwan Mei dialihkan ke rumah yang terbakar, bertemu pandang dengan Hui Yan yang cukup yakin jikalau memang benar wanita berkulit putih pucat ini sedang berduka pula. Yang mana akhirnya Kwan Mei memilih untuk menarik diri, menjauh, bertindak seakan tak peduli akan apa yang telah terjadi.
"Hui Yan, ada apa?"
Menggeleng, pun tersenyum. Barulah kemudian Hui Yan memandangi rumah Tuan Meng yang hampir terbakar habis sepenuhnya. Akan tetapi, siapa itu Ji Yu sampai tidak peka akan apa yang sedang dirasakan pasangannya ini, bukan? Meskipun Hui Yan benar tidak ingin memberi tahu, tapi Ji Yu sukses menangkap sosok Kwan Mei nun jauh di sana. Namun, apa ini? Apa maksud dari pandangan menilik yang dilemparkan wanita aneh itu? Dengan wajah tanpa ekspresi pula sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan langkahan pergi.
Apakah ada hal yang ingin disampaikan Kwan Mei? Apakah tindakannya barusan semacam kode, sinyal atau bagaimana?
"Entahlah, mungkin saja benar begitu, tapi bisa saja tidak, Ji Yu. Bisa saja wanita aneh itu sengaja membuatmu ataupun Hui Yan penasaran padanya, bukan? Lalu siapa yang tahu, apa rencana pastinya itu. Bisa saja semua hanya berupa jebakan."
Pun Ji Yu berakhir membuyarkan pikiran, berhenti pula memerhatikan Kwan Mei yang hampir tak lagi tertangkap penglihatan tepat ketika mendengar beberapa pertanyaan dilontarkan Hui Yan, setidaknya ingin tahu pula apa yang akan menjadi jawaban dari pertanyaan tersebut, terkait apakah benar pengurusan mayat sudah menjadi tanggung jawab penjaga desa? "Dan kenapa pula harus membakar rumah Tuan Meng?" lanjut Hui Yan.
"Benar, itu tugas mereka." Xia Chia, membenarkan. "Penjaga desa akan menguburkan mayat ke lokasi yang tak bisa dimasuki oleh orang-orang desa, tepat di sekitar lokasi gua di area terlarang dari Hutan Malam Abadi. Selain itu, rumah ini dibakar untuk memberi tahu bahwa kita yang hidup harus melupakan mereka yang meninggal, lalu membangun ulang rumah yang berarti kehidupan baru."
"Selama tiga hari, desa umumnya akan berduka dengan mengurangi aktivitas, tawa serta canda. Setelahnya para pria akan sibuk membangun kembali rumah terbakar ini, dan wanita akan sibuk memasak untuk merayakan suatu pesta pelepasan duka, sekaligus bentuk mengantarkan jiwa ke tempat yang lebih indah," tambah Yue Ming.
"Apa mungkin, lokasi rumah kami juga ...."
"Jangan khawatir, Ji Yu. Aku berani menjamin jikalau rumahmu saat ini benar-benar belum pernah ditempati siapa pun sebelumnya," potong Azhuang, tersenyum. Pun ucapan Azhuang menjadi pengantar akan bubarnya mereka semua termasuk para warga. Meninggalkan rumah mendiang Tuan Meng yang tak lagi berbentuk rumah melainkan hanya berupa puing-puing berbara api, menguarkan sejumlah asap untuk kian terbang ke atas sana.
Alhasil, hujan pun mulai mengguyur seisi desa. Angin kencang tak henti-hentinya mengamuk, gemuruh langit ikut serta pula. Mengurung semua warga berlindung dalam rumah mereka masing-masing, menanti sekiranya kapan cuaca buruk ini akan berakhir.
Udara dingin pun tak lagi bisa terhindari, setidaknya beruntung rumah bambu ini kokoh dan terbebas dari atap bocor. Yang mana Ji Yu menutup jendela, sibuk pula membuat sesuatu di dapur untuk kemudian dalam waktu taklah begitu lama ia menyodorkan semangkuk cairan kecokelatan dengan beberapa potongan jahe beruap-uap pada Hui Yan yang terduduk di kursi dari meja dapur rumah sederhana mereka ini. "Minumlah, hangatkan tubuhmu."
"Kau melihatnya, bukan?" Sembari menerima mangkuk pemberian Ji Yu, memegang dengan kedua tangan yang barangkali lebih dingin ketimbang tubuhnya sendiri. "Kwan Mei tadi. Bukan kebencian yang dia lemparkan pada mayat Tuan Meng, justru kehilangan, penyesalan dan kedukaan yang dia rasakan. Ji Yu, apakah menurutmu ini wajar? Tuan Meng jelas adalah orang yang membawa kesialan dalam hidup Kwan Mei dan suaminya, Tang Yuan. Lalu kenapa Kwan Mei tadi ... malah bersikap demikian?"
"Jelas itu bukanlah hal wajar, Hui Yan. Dari awal kedatanganmu dan Ji Yu ke desa ini, sama sekali tidak ada kewajaran yang terjadi. Kian lama di sini, di desa ini, kurasa kalian akan semakin dipusingkan bukannya mendapatkan kebahagiaan apalagi kedamaian."
Sementara Ji Yu mendudukkan diri bersebelahan dengan Hui Yan yang sibuk memerhatikan bayangannya pada mangkuk. "Aku bahkan tak tahu lagi harus senang ataukah waswas dalam desa ini, Ji Yu. Semua semakin terasa aneh dan hal itu membuatku kian khawatir."
Pun Ji Yu masih belum tahu harus bagaimana merespons, bergeming menjadi pilihannya sembari memeluk Hui Yan. Namun, siapa yang tahu apa isi pikirannya, bukan? Kala gelegar petir bagaikan siap meruntuhkan langit, membuka paksa jendela tertutup. Mengarahkan seketika pandangan pada rumah Kwan Mei dan Tang Yuan sembari tangan dikepalnya, sepasang netra ditajamkan pula.
Haruskah aku mengambil jalan ini pada akhirnya? Mengusut keanehan, menolak mengabaikan.
Yang mana dari sejak kasus kematian Tuan Meng ini sendiri, cuaca ataupun langit di luar sana memanglah selalu buruk dengan terus saja mendung, terkadang hujan dan terkadang pula akan berhenti. Membatasi aktivitas seluruh warga tanpa diminta sekalipun selama 3 hari masa berkabung desa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro