Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 15

Deruan napas kian terdengar, jangan tanyakan lagi seperti apa peluh membanjiri masing-masing wajah memucat mereka yang tersudutkan kini. Belum lagi embusan angin yang meramaikan suasana hutan terasa kian mencekam dan kian menciutkan semangat. Semacam, hutan ini sedang berbicara pada mereka yang berputus asa jikalau satu-satunya jalan kabur memanglah hanya ada tepat di belakang mereka.

Jurang abadi.

Yang mana bahkan langit sama sekali tidak membantu, malah menghilangkan sinar purnama dengan menjadikan awan-awan tebal nan hitam menghadang seraya petir menyala-nyala mengundang gemuruh. Pun area dari jurang ini diterangi sudah oleh obor-obor api para pengejar, dan tepat di antara pengejar tersebut tertampilkan pula Tuan Muda Da Lin beserta Chiang Man, teman dekat Ji Yu sebagai sesama pelayan rumah di kediaman Hui Yan.

Hanya saja, luka lebam apa itu di wajahnya Chiang Man? Apa mungkin Da Lin, atau justru pelayan pribadi Da Lin, Afeng-lah yang malah memukul hingga babak belur begitu? Dan jikalau memang benar, lantas kenapa harus sebegitu parahnya memperlakukan Chiang Man yang jelas tidaklah tahu apa-apa terkait pelarian ini? Lantas bagaimana dengan Aching sendiri? Apa yang telah terjadi dengan wanita pelayan itu di kala hanya ia satu-satunya yang tahu akan kaburnya mereka? Apa mungkin wanita itu kembali mendapat penyiksaan berupa cambukan seperti waktu lalu?

"Kalian tidak akan bisa kabur lagi!"

"Ji Yu! Menyerahlah, kau tidak akan bisa bersama dengannya!" teriak Chiang Man disela-sela dari gemetarnya. Entahlah karena gemetar ketakutan ataupun karena menahan sakit, di kala tubuh sendiri tidak bisa berdiri dengan benar jikalau tidak dipapah oleh pria pengejar lainnya yang diketahui bawahan Da Lin. "Jangan membuat seseorang kian kesal padamu," lanjutnya, sedikit melirik ke arah Da Lin selaku seseorang yang dimaksudkannya itu.

"Aku tidak akan!"

"Ji Yu, kau sudah gila rupanya!" seru Chiang Man lagi, tapi kali ini suara gemetarnya jelas diisi oleh semacam tangisan yang tak diketahui apa sebabnya. "Apa kau tahu, berkat kegilaanmu ini ... Aching ... Aching, dia harus menyerahkan nyawanya!"

DEG!

Bukankah harusnya Aching hanya mendapat siksaan belaka? Kenapa harus berakhir seperti ini? Apa mungkin Chiang Man sedang berbohong dikarenakan Da Lin yang meminta demikian? Namun ... namun ... kenapa malah terlihat tidaklah demikian adanya. Yang mana Hui Yan mulai risau, sepasang netra seakan pedih hingga memanggil buliran air meluruh begitu saja tanpa dibiarkan berkedip sedikit pun.

"Barusan ... apa maksudmu, Chiang Man?"

"Xiaojie, Aching telah tewas. Dia mengorbankan nyawanya hanya demi melindungi kalian, memberi waktu bahkan jika itu hanya beberapa saat saja agar kalian mampu jauh dari pengejaran." Tenggelam dalam tangisan, Chiang Man bahkan merobohkan diri ke dalam keterpurukan duduk pada tanah lembap nan dingin hutan ini. Mengarahkan pandangan penuh air mata tersebut pada Ji Yu, temannya. "Menyerahlah, dan memohon ampun. Siapa yang tahu jikalau Tuan Liu akan mengampuni nyawamu, Ji Yu."

Namun, bagaimana bisa Tuan Liu mengampuni nyawanya, bukan? Di kala saat ini di hadapannya adalah Da Lin, bukanlah Tuan Liu yang kala ini tak sadarkan diri dalam tidurnya. Jelas menyerahkan diri bukanlah cara terbaik, di mana Hui Yan sendiri yang begitulah kesulitan menerima kabar duka ini terus berada dalam papahannya. Apa pula jadinya wanita ini jikalau harus kehilangan ia yang juga tewas di tangan Da Lin? Tepatnya Da Lin yang membawa pedang berlumuran darah segar. Mungkinkah darah Aching?

"Seorang pelayan rendahan membiarkan majikannya kabur bersama pelayan prianya, bahkan tidak bersedia memberi tahu aku yang akan segera menjadi suamimu ke mana kau pergi ... apa menurutmu dia pantas hidup, Hui Yan?!"

"Itu adalah nyawa," sela Ji Yu, melemparkan pandangan nyalang penuh kemarahan lurus pada Da Lin seakan tidak lagi peduli jikalau hal itu tidak boleh dilakukan terlebih pada tuan muda ini. "Bahkan hewan sekalipun tidak sepatutnya diperlakukan seperti itu!"

"Pelayan sepertimu bahkan lebih rendah dari hewan, beraninya kau membawa kabur Hui Yan! Terlebih beraninya kau memandangku seperti itu tanpa izin dariku!"

JLEB!

"Tidak ... TIDAK!!!"

Teriakan Ji Yu begitulah menggema, semacam seluruh kota nan jauh di sana barangkali mendengar. Namun, burung-burung bersayap hitam bukannya menjauh malah mulai berdatangan seakan menonton pertunjukan berdarah-darah ini. Apa mungkin ingin memakan bangkai? Tepatnya bangkai dari tubuh yang telah terbujur kaku pun sepasang netra terbuka lebar, yang mana terus saja cairan merah mengalir keluar dari luka menganga tepat di lehernya itu.

Chiang Man ... pria itu telah berpulang, menyusul Aching, pun kian membuat Hui Yan terisak dalam tangis seraya kian mengeratkan diri dalam papahan Ji Yu yang bahkan sudah tidak paham lagi dengan perbuatan Da Lin. Apa ini semacam gertakan? Atau pula ancaman? Jikalau inilah satu-satunya nasib bagi mereka orang rendahan yang berani melawan seorang tuan muda dari keluarga bangsawan.

"Bunuh diri, bahkan nanti akan dicap sebagai pelaku penculikan. Ji Yu ... jikalau kau benar adalah diriku di masa lalu, maka kuakui kehidupan kita sungguhlah suatu candaan besar. Tak mengherankan pula jikalau kau memilih melompati jurang bersama Hui Yan, setidaknya hal itu memampukan wanita itu terbebas dari kesengsaraan yang ada."

"Hui Yan, kemarilah. Ikut denganku dan mari kembali, aku akan melupakan semua kesalahanmu hari ini seolah tidak pernah terjadi. Kemarilah, besok adalah hari pernikahan kita."

"Ji Yu ... bagaimana dengan Ji Yu setelahnya? Akankah kau mengampuni nyawanya?"

"Masihkah kau harus menanyakannya? Masih belum jelaskah jawabannya bagimu, Hui Yan?"

"Kemarilah, jangan memancing amarahku lebih lagi."

Pun Ji Yu tersenyum pahit. Benar, amarah seorang tuan muda bangsawan adalah amarah yang mengartikan jikalau apa pun perbuatannya akan dibenarkan. Bahkan membunuh sekalipun, karena hal itu akan dianggap sebagai suatu pendisiplinan bagi kaum rendahan. Lantas, jikalau kaum rendah yang mengalami kemarahan, mereka hanya bisa menahan dan menahan seraya menganggap jikalau semua kesalahan kaum atas adalah salah mereka.

Sudah cukup Ji Yu hidup dalam dunia yang seperti ini. Bukan hanya tidak adil, melainkan tidak ada pilihan. Setidaknya sekarang tempat untuk mengakhiri segala kehidupan menyedihkan telah ada. Bukankah cara ini jauh lebih baik? Ketimbang tewas di tangan pria bernama Da Lin. Tidak akan pula membiarkan Hui Yan hidup dalam penderitaan seumur hidup, layaknya terkurung dalam penjara penuh siksaan tiada henti.

Oleh karenanya, pandangan nyalang yang dilemparkan pada Da Lin mulai melunak. Tepatnya diarahkan kemudian pada Hui Yan, memandang dalam seakan sedang mengirim maksud pikiran atau keputusan bulatnya itu. Berharap saja Hui Yan paham dan mampu memberikan jawaban melalui gerak-gerik atau setidaknya balasan lewat pandangan pula.

Alhasil, Ji Yu sungguh mendapatkannya.

Pun angin kembali berembus kencang, awan mendung tersingkirkan sudah dari pandangan rembulan. Memancarkan terangnya purnama semacam setuju akan keputusan sepasang kekasih terpojokan ini. Semacam keputusan mereka adalah hal terbenar dan terbaik yang pernah ada. Dan dengan sepasang netra berkaca-kaca, Hui Yan mengangguk penuh keyakinan yang diikuti pula oleh Ji Yu dalam senyuman.

"Jangan lupakan aku, Liu Hui Yan."

"Akankah kami kembali ke dunia asal setelah ini?"

"Jangan lupakan aku, Huang Ji Yu."

"Akankah kami kembali ke dunia asal setelah ini?"

Kekosongan, hanya itu yang menjadi jawaban bagi He Ting dan Xue Jing sendiri. Menghabiskan beberapa hari lamanya dalam tubuh sepasang kekasih ini hanya untuk kemudian mengalami kejatuhan dari jurang nan tinggi seraya mendapati Da Lin, pria pembunuh itu hanya berteriak menyuarakan keterkejutan dan ketidakterimaan akan calon istrinya yang lebih memilih kematian ketimbang hidup dalam kemewahan dengannya.

Menyaksikan pula bagaimana Ji Yu dan Hui Yan berjuang melawan terjangan ataupun tekanan udara, berusaha tidak ingin terpisahkan seraya netra di antara mereka mengeluarkan semacam buliran cairan bening yang sukses mengundang tangisan langit dalam jumlah banyak, menghujani mereka bersamaan akan hadirnya kilatan demi kilatan bersahut-sahutan menggelegar seakan sedang memanggil sesuatu.

Mungkinkah Dewa Kematian? Di kala Ji Yu dan Hui Yan sendiri tak lagi ingin membukakan sepasang netra, dan hanya memilih berada dalam pelukan satu sama lain saja. Menanti saat-saat tubuh terjatuh mereka ini akan mendarat dan menghantam keras apa pun yang menanti di bawah sana. Apa pun itu, sebelum akhirnya di antara hujanan tangisan langit yang ada, tertampilkan sudah akan sesosok bayangan gelap layaknya asap pun bermatakan merah meluncur dalam kecepatan hanya untuk kemudian menabrak, menembusi tubuh dari sepasang kekasih yang siap kehilangan nyawa ini untuk tertidur dalam suatu ketidaksadaran.

Lantas, benarkah ini suatu jenis bantuan bagi mereka? Semacam langit tidak ingin mereka tewas dengan merasakan kesakitan, bahkan permukaan yang siap menghantam tubuh terjatuh mereka tak lain berupa kedalaman air. Kian menenggelamkan mereka yang masih berpautan tangan seiring akan datangnya kemunculan cahaya kemerahan berpendar terang bagai menyelimuti keduanya, membawa tubuh mereka kembali ke permukaan hanya untuk kemudian hanyut terbawa arus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro