Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40. Pergi

Pattar mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Begitu tiba di depan rumah Hana, ia buru-buru mengetuk pintu lebih keras dari biasanya. Pattar bisa mendengar suara kaki melangkah mendekati pintu. Air mata sudah memenuhi pelupuk matanya seperti bendungan yang bisa jebol kapanpun.

"Pattar, bisa nggak sih ..."

Pattar langsung memeluk Hana. Wanita itu terkejut dan membutuhkan beberapa detik untuk memahami situasi.

"Pattar, lo kenapa?"

"Papa kecelakaan Hana." Pattar tidak melepaskan pelukannya dan menangis dengan keras.

Hana menepuk-nepuk punggung Pattar setelah memahami situasinya. Setelah Pattar cukup tenang, Hana melepaskan pelukannya, kemudian mereka duduk di sofa ruang tengah.

"Gue harus pulang."

"Sebentar lagi, lo harus tenangin diri dulu baru kita ke bandara."

"Tapi Papa kritis Hana." Mata Pattar kembali meneteskan air mata dan tangannya bergetar hebat.

"Pattar, denger gue, Papa baik-baik aja. Lo harus tenang." Hana menggenggam tangan Pattar sebagai bentuk dukungan. Sebenarnya Hana tidak bisa meyakini kata-katanya sendiri. Tapi, Hana harus membuat Pattar tenang, meskipun harus mengatakan hal yang bahkan tidak bisa ia pertanggungjawabkan.

Setelah Pattar tenang, Hana mencari tiket pesawat yang memiliki waktu keberangkatan tercepat.

"Oke, gue udah booking tiketnya. Kita ke bandara naik taksi aja."

Pattar yang tidak memiliki kekuatan untuk berdebat hanya mengangguk menyetujui ide Hana.

Sesampainya di bandara.

"Handphone lo mana?"

"Buat apa?"

"Gue harus telpon Bang Petra buat jemput lo di bandara. Kondisi lo gak stabil sekarang."

"Terima kasih, Hana."

"Papa lo, Papa gue juga. Inget gue juga anaknya."

Pattar menyerahkan handphone kepada Hana. Hana menyentuh angka 7, beberapa saat kemudian di layar muncul nama 'Bang Petra'. Meskipun mereka tidak begitu akrab, ternyata angka 7 masih menjadi panggilan cepat Pattar untuk satu-satunya saudara yang ia miliki.

"Halo."

"Halo Bang, ini Hana. Pattar sekarang ada di bandara, pesawatnya berangkat pukul 19.00. Tolong jemput dia di bandara jam 19.55 ya. Kondisinya nggak stabil, tolong ya."

"Kamu selalu sepeduli itu sama Pattar." Suara Petra terdengar lemah dan tanpa emosi.

"Bang, ini bukan saatnya untuk bahas tentang itu."

"Terima kasih, Hana." Panggilan singkat itu berakhir begitu saja.

Hana mengantar Pattar hingga pesawatnya berangkat. Meskipun tidak tenang, ia berusaha percaya kalau Papa baik-baik saja.

***

Hana berada di ruangan berdinding putih yang dipenuhi oleh alat laboratorium, mengenakan jas lab yang hampir setiap hari ia gunakan. Saat ia berada di ruang isolasi, suara ponselnya tidak berhenti berdering. Hana buru buru keluar dari ruangan itu untuk mengangkat telponnya.

"Halo, Bun."

"Hana, kamu bisa pulang hari ini?"

"Kenapa tiba-tiba minta aku pulang?"

"Papanya Petra dan Pattar meninggal dunia 10 menit lalu, ini Bunda sama Ayah lagi urus administrasi rumah sakit. Kamu bisa pulang kan?"

Lutut Hana melemas, ia merasa tidak mampu menopang tubuhnya sendiri "Iya, Bun. Aku pulang sekarang."

Hana segera melepaskan jas lab dan merapihkan tasnya, kemudian ia meminta izin kepada dosen yang risetnya sedang ia kerjakan. Hana segera menuju bandara, mencari tiket tercepat untuk penerbangan ke Lampung. Hana mengabari Reva setelah ia berada di taksi. Reva jelas terkejut tapi ia tidak mungkin tiba-tiba meninggalkan kewajibannya untuk piket hari ini. Kemungkinan besar Reva akan menyusul sore hari setelah piket UGDnya selesai.

Hana benar-benar mengkhawatirkan kondisi Pattar. Berita terakhir yang Hana terima sebelum naik ke pesawat membuat ia semakin resah. Pattar dalam kondisi yang sangat kacau, bahkan Petra tidak mampu menenangkannya. Pattar menangis dengan keras dan mulai menyalahkan dirinya sendiri.

Hana masuk ke rumah dengan bendera kuning yang berkibar di pintu pagarnya. Mata Hana sudah sembab, ia tidak berhenti menangis selama di pesawat. Hana melihat Bunda duduk di samping Mama dan Petra terus memegang tangan Mama. Hana tidak menemukan Pattar disekitar jenazah Papa. Setelah Bunda menyadari kehadiran Hana, Bunda langsung memberikan kode bahwa Pattar ada di kamarnya saat ini. Dengan langkah pasti Hana berjalan melewati beberapa kerabat yang ada di sekitar pintu kamar Pattar.

"Percuma Hana, kami udah coba bujuk Pattar keluar, tapi dia tetap nggak bisa terima kenyataan."

"Sudah berapa lama dia di dalam?"

"Setelah jenazah sampai di rumah, Pattar tidak mau mengganti bajunya dengan pakaian berkabung, ia malah mengunci kamarnya dan menangis dengan keras. Kami juga khawatir karena beberapa kali terdengar suara benda yang pecah." Salah satu kerabat yang dikenal Hana sebagai Bibi Pattar menjelaskan.

"Iya, Bang Petra udah bujuk juga tadi. Tapi, Bang Pattar gak hirauin." Kali ini sepupu Pattar yang menjelaskan.

"Oke, terima kasih. Semoga Pattar mau mendengar saya."

Hana mengetuk pintu pelan, terdengar dibalik sana suara Pattar yang sedang menangis. Hana kembali mengetuk pintu, kali ini lebih keras dari sebelumnya.

"Pergi, kalian semua bohong. Papa nggak mungkin meninggal. Papa sudah janji akan hadir di acara wisuda aku minggu depan." Terdengar suara benda yang terbuat dari kaca pecah dibalik pintu.

"Pattar, ini aku Hana."

"Reihana? Lo ngapain ke sini?"

"Pattar, aku boleh ngobrol sama kamu sebentar?"

Tidak ada suara yang menjawab dari balik pintu. Jeda beberapa menit kemudian terdengar langkah seseorang dari balik pintu. Suara kunci pintu yang terbuka membuat semua orang yang ada di dekat kamar itu menghembuskan napas lega. Pattar membuka pintu pelan kemudian menunjukkan wajahnya yang sangat kacau. Seumur hidup Hana, ia tidak pernah melihat sisi Pattar ini. Kehilanggan seseorang memang bisa menyebabkan kehancuran, hari ini Hana percaya kata-kata itu.

Begitu melihat Hana yang menggangguk, Pattar langsung memeluk gadis itu dengan erat.

"Hana lihat, Papa sudah pergi ninggalin aku."

"Papa nggak pergi ninggalin kamu Pattar."

Pattar melepaskan pelukannya dengan kasar. "Papa sudah meninggal Hana, sudah meninggal. Dia nggak akan bisa dengar cerita aku lagi. Dia nggak akan bisa bercanda sama aku lagi. Dia nggak bisa marahin aku lagi. Dia sudah pergi Hana. Pergi."

"Papa tetap ada di sini Pattar," Hana menunjuk dada Pattar, "Papa selalu ada dekat kamu. Kamu punya banyak kenangan bagus sama Papa. Bahkan kamu punya sesuatu yang selalu buat Papa bangga."

"Apa? Aku belum kasih apapun buat Papa. Aku belum jadi anak yang baik."

"Papa selalu bahagia lihat senyum kamu. Senyum kamu sama seperti Papa. Healing smile yang selalu kamu kasih untuk banyak orang dan itu buat Papa bangga." Pattar semakin tenang. Mendengar kata-kata Hana membuatnya tenang.

"Bagus Pattar, kita harus bersihin luka kamu sekarang." Tangan Hana bergetar saat ia meraih tangan kanan Pattar yang meneteskan darah.

Setelah mengambil tas P3K, Hana masuk ke kamar Pattar yang terbuka. Begitu Hana melihat pecahan kaca di lantai, ia menyadari dari mana luka Pattar berasal. Dengan hati-hati Hana membersihkan luka itu kemudian membalutnya dengan kasa. Tidak seperti Pattar yang selalu berlebihan jika lukanya diobati, kali ini Pattar tidak menunjukkan emosi apapun. Setelah selesai mengurus luka Pattar, Hana duduk di tepi ranjang tepat di samping Pattar.

"Kenapa diam? Biasanya kamu selalu cerewet kalo aku luka."

"Kamu luka atas keinginanmu sendiri, aku nggak berhak marah atas keputusan yang kamu ambil untuk dirimu sendiri."

"Aku bahkan nggak bisa rasain sakit di tanganku setelah meninju kaca itu berkali-kali."

"Kamu berusaha mencari rasa sakit yang lebih dari kejadian ini?"

"Ternyata memang sesakit itu."

"Waktu akan buat semua lebih baik. Kamu harus kuat buat Bunda dan Bang Petra."

Pattar menatap Hana beberapa saat kemudian ia kembali memeluk Hana. Pelukan yang lebih hangat dari sebelumnya. Hana merasa Pattar benar-benar melepaskan semua bebannya.

"Terima kasih, Hana."

Terima kasih sudah membaca.
Sempat galau mau pakai part ini atau nggak, tapi, aku memutuskan untuk mengikuti alur sesuai rencana.

Sedikit lagi kita akan sampai di akhir.

"Sampai ketemu di Gelembung Mimpi."
Zaivan Oktora Arkanayaka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro