18. Resion
Pattar sengaja tidak bercerita pada siapapun mengenai acara perpisahan yang akan ia hadiri. Ia sempat berencana tidak ambil andil dalam acara itu. Ia memilih untuk menggambar di bawah pohon mangga di taman belakang. Ia tengah sibuk menggambar dengan pensil ketika sebuah bayangan muncul di depannya. Pattar menyibak rambut yang menghalangi matanya dan ia membeku. Tangannya berhenti menyibak rambut dan matanya terpaku pada sosok yang kini tengah berdiri di depannya. Pattar sempat mengira kalau itu adalah asisten rumah tangga mereka dan ternyata dugaannya salah.
"Pohon mangganya sudah sering berbuah loh."
Mata Pattar mengikuti gerak-gerik sosok yang kini duduk di sampingnya. Ia mengatakan pada dirinya sendiri kalau ia harus tetap tenang dan tidak melakukan hal tidak terduga, seperti memeluk mungkin. Tentu saja ia dapat menahan segala emosi yang kini ia rasakan. Egonya terlalu tinggi hanya untuk sekedar menyapa Petra.
"Pohon ini menghasilkan buah pertamanya saat lo pergi." Petra menatap lurus ke depan tanpa menoleh ke arah Pattar yang kini tengah memperhatikan Petra dengan seksama.
Petra menatap Pattar dan Pattar buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah buku sketsa yang ia pegang. Tangannya sibuk menggerakkan pensil dan menggambar abstrak.
"Hari ini kan acara perpisahan di sekolah, kenapa lo masih duduk di sini?"
"Malas aja." Pattar menjawab dengan nada ketus dan matanya tidak melihat ke arah Petra.
Mendengar jawaban Pattar yang ketus akhirnya Petra bangkit berdiri dan menyerahkan sebuah paper bag yang tidak Pattar sadari keberadaannya sebelumnya, "acara perpisahan SMA cuma sekali seumur hidup, lo akan menyesal kalau gak pergi sekarang."
Pattar mengabaikan kata-kata Petra. Ia menyibukkan diri dengan menambahkan goresan pensilnya di atas kertas. Petra menghela napas berat dan sebelum pergi, ia meletakkan paper bag itu tepat di samping Pattar, "gue dengar dari Reva, kalau Hana juga belum berangkat karena pacarnya gak bisa datang ke acara itu. Lo punya kesempatan untuk baikan sama dia sekarang."
Petra berjalan meninggalkan Pattar yang masih menatap paper bag yang ada di sampingnya.
***
Setelah Petra menghilang masuk ke rumah, Pattar membuka paper bag yang diberikan Petra. Satu alisnya terangkat saat menyadari bagian atas dari paper bag itu adalah sebuah wig berwarna putih. Pattar segera menggali lebih dalam untuk mengetahui semua isi paper bag tersebut. Ia menemukan sebuah apel, dan jubah hitam. Setelah mengamati tiga benda yang ada di dalam paper bag akhirnya ia mengetahui kalau kostum yang disiapkan oleh Petra adalah kostum nenek sihir pada film Snow White. Petra pasti sudah bertanya pada Hana mengenai tema pada acara perpisahan.
Pattar menatap pantulan dirinya di cermin. Ia berulang kali memasang pose layaknya seorang model. Ia tertawa pelan ketika menyadari hal konyol yang tengah ia lakukan. Pattar menelepon Dino untuk memastikan kalau Hana belum tiba di lokasi acara. Setelah mengetahui Hana belum tiba, Pattar langsung menuju rumah Hana dengan mengendarai mobil. Sebenarnya menggunakan motor tentu lebih praktis, namun Pattar enggan dianggap orang gila di siang bolong karena ia mengenakan kostum.
Pattar berhenti tepat di depan rumah Hana, ia menarik napas panjang sebelum meraih kunci mobil dan mematikan mesinnya. Pattar berjalan cepat dan mendorong pagar tua yang selalu berdecit ketika disentuh. Ia langsung mengetuk pintu keras-keras. Setelah mendengar suara pintu dibuka, ia mundur beberapa langkah.
"Cari siapa?" Reva membuka pintu lebar-lebar, "loh, Abang. Sudah berapa lama ya gak ke sini? Eh, kok pake baju begitu? Ini kan bukan Halloween."
"Hana ada?" Pattar menengok ke dalam rumah untuk mendapatkan informasi lebih cepat dari jawaban Reva.
"Kak Hana baru aja pergi sama Bang Sion." Reva menjawab santai.
"Sion?" Pattar memastikan pendengarannya yang mungkin melakukan kesalahan.
"Ia Abang, Bang Sion pacarnya Kak Hana itu loh." Reva menaik-turunkan alisnya tanda meledek.
"Kata Petra, Sion gak bisa jemput Hana." Pattar berkata pelan.
"Cie...sudah baikan sama Bang Petra nih ceritanya? Rencana baikan sama kakakku kapan?" Reva bertanya dengan nada mengejek.
Pattar menghela napas dan segera berbalik tanpa berpamitan pada Reva.
"Kak Hana sama Bang Sion lagi perang loh, sekedar info aja." Reva sengaja sedikit berteriak untuk menarik perhatian Pattar.
Usaha Reva sukses, Pattar menghentikan langkahnya dan ia menoleh dengan cepat bahkan lebih cepat dari gerak refleknya saat menerima operan bola.
"Bang Sion ketahuan selingkuh. Kalo Abang mau marahin Bang Sion, aku bakal jadi supporter paling depan." Reva memelankan suara layaknya seorang pengirim pesan rahasia.
"Gue gak ada niat buat berantem sama Sion." Pattar melanjutkan langkahnya.
***
Pattar terlambat 30 menit dari jadwal mulainya acara. Ia langsung bergerak menuju aula dan mencari Hana. Setelah berkeliling ke semua bagian ruang aula, ia tidak berhasil menemukan Hana. Pattar melihat Dino tengah sibuk membagikan gulungan kertas yang tidak Pattar ketahui isinya.
"Lihat Hana gak?" Pattar sedikit berteriak karena aula dipenuhi oleh suara band yang sedang tampil.
"Hana?" Dino balik berteriak.
"Ia Hana..., Reihana."
"Oh, tadi sama Sion keluar. Di taman mungkin." Dino melanjutkan kegiatannya setelah melihat Pattar mengangguk.
Pattar berlari kecil keluar aula. Ia mengabaikan sapaan dari beberapa teman-temannya. Ia hanya menatap lurus pada pintu keluar. Pattar terburu-buru mencari Hana, ia berhenti ketika melihat Hana yang berdiri berhadapan dengan Sion.
"Lo yang selingkuh lebih dulu." Sion mengarahkan telunjuknya pada Hana.
"Aku gak pernah selingkuh, Sion." Hana menatap mata Sion.
Pattar dapat melihat kalau Hana bersungguh-sungguh dengan apa yang ia katakan. Pattar tidak terima melihat Hana diperlakukan tidak adil. Ia langsung menghampiri mereka dan berdiri tepat di depan Hana, "cukup, lo gak lihat dia sudah menangis."
Sion tersenyum pahit. Senyum yang selama ini membuaat Pattar merasa tidak nyaman. Sion menatap Hana dengan tatapan hangat, amarahnya seperti telah disiram oleh air mata yang terus menetes dari mata Hana. Suara Sion bergetar, "awalnya gue kira lo sudah membuka hati, tapi lama-lama gue sadar kalau lo memanfaatkan gue. Lo datang ke setiap pertandingan sepak bola bukan untuk melihat gue. Mata lo cuma tertuju ke Pattar. Lo mulai menghubungi gue lebih dulu setelah lo ribut sama Pattar. Gue gak tahu lo sadar atau enggak, tapi lo sudah lebih dulu selingkuh dari gue." Suara Sion bergetar.
Hana terkejut dengan pernyataan Sion. Ia benar-benar tidak menyadari hal itu. Ia telah menyakiti Sion tanpa ia sadari.
Pattar yang berdiri di depan Hana turut merasa bersalah. Ia menoleh menatap Hana.
"Sion, maaf." Tangan Hana hendak meraih ujung baju bajak laut yang dikenakan Sion.
Sion menarik tubuhnya menjauh. Ia mundur beberapa langkah, "gue gak menyangka kalau gue akan kalah oleh dua orang sekaligus. Dan lucunya mereka adalah saudara. Salam buat Abang lo. Gue tahu lo gak salah. Gue yang salah karena menipu diri gue sendiri.
Pattar berdiri kaku menatap Sion yang pergi begitu saja setelah menepuk pundaknya dengan cukup keras.
#30daywritingchallenge #30DWCJilid24 #Day26
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro