34. Keputusan Terakhir
Setelah kejadian makan bubur ayam bersama, Hana merasa menjadi lebih dekat dengan Orion. Meski tidak seakrab dulu, setidaknya ia bisa berbicara dengan nyaman jika bersama laki-laki itu.
Gadis dengan tubuh tidak terlalu tinggi dan berlesung pipi itu berdiri di depan Hana. Ia menatap penuh selidik, tetapi senyuman meledek menghiasi wajahnya.
"Minggu lalu bubur ayam, kemaren ngeboba bareng, ntar lagi balikan nih." Jessy menaik-turunkan alisnya.
"Apaan sih?" Tidak seperti bisanya, Hana tidak marah. Ia malah tersipu malu.
"Kan. Kan. Muka lo udah kayak udang rebus." Jessy tertawa lepas melihat respon Hana.
Hana malah menutup wajahnya dengan kedua tangan dan ia menenggelamkan tubuhnya di balik meja.
Tawa Jessy semakin nyaring. Beruntung, rekan Hana lainnya sedang ada di ruang isolasi. Kalau tidak, Jessy pasti sudah dimarahi karena keras suaranya.
"Gue denger dulu yang bucin abis tuh Dokter Orion. Nggak nyangka kalau lo juga bucin parah." Jessy berbicara masih dengan tawa di sela-sela kalimatnya.
Suara ketukan membuat tawa Jessy berhenti dan kepala Hana menyembul dari balik meja.
"Kalian ngapain? Suaranya kedengaran sampai lorong." Laki-laki berjas putih dengan stetoskop mengalung di leher itu bertanya sembari memasukkan kedua tangannya ke saku bawah jasnya.
"Yang diomongin dateng. Panjang umur, Dok." Jessy berbicara dengan santai tanpa mempedulikan Hana yang wajahnya sudah memerah.
Rasanya Hana ingin punya kemampuan teleportasi. Ia ingin segera menghilang dari hadapan Orion.
Laki-laki berkaca mata itu hanya tersenyum. Ia malah melangkah mendekat dan menempelkan punggung tangannya di dahi Hana.
"Lo nggak panas, tapi muka lo merah banget." Orion berbicara dengan nada serius.
Tanpa sadar, Hana memekik. "Bang, ih."
Orion dan Jessy tertawa terbahak-bahak. Jessy sampai kehilangan kekuatan untuk berdiri. Ia bahkan sampai berlutut karena terlalu banyak tertawa.
"Lo lucu banget kalo malu." Orion menepuk pelan puncak kepala Hana. Sama seperti lima tahun lalu. Saat mereka masih bersama.
Hana sedikit terkejut. Ia menatap Orion dengan mata membulat sempurna. Laki-laki yang masih menumpangkan tangan di kepala Hana itu menghentikan gerakan tangannya. Ia balik menatap Hana. Tatapan mata mereka terkunci. Jessy yang menjadi saksi mata kejadian itu rasanya ingin mengabadikan momen langka ini. Namun, belum sempat ia mengeluarkan ponselnya dari saku, ponsel Hana malah berdering.
Orion segera menarik tangannya kembali. Hana segera meraih ponselnya dan meminta izin keluar untuk menerima panggilan tersebut.
Setelah pintu ditutup dari luar, Jessy mengangkat dagunya sebagai tanda bertanya.
Orion menjawab dengan suara pelan, "Petra."
"Ow, sorry. Gue kira yang lain. Dunia ini memang suka banget main-main sama kalian." Jessy menyunggingkan senyum pada Orion.
Senyuman itu disambut dengan helaan napas oleh Orion.
***
Satu jam setelah panggilan telepon sebelumnya, kini Hana dan Petra duduk bersama di salah satu kafe dekat rumah sakit. Kafe ini adalah tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama.
Hana tersenyum riang ketika Petra tersenyum menatapnya.
"Hana."
"Hmm."Petra memanggil ketika gadis itu menyuapkan sepotong cheese cake ke mulut.
"Kamu percaya sama aku?" Petra bertanya sambil menatap mata gadis itu dalam.
Hana menganggguk dan kembali menyuapkan cheese cake-nya ke mulut.
"Menurutku, hubungan kita nggak bisa diteruskan."
Hana berhenti mengunyah. Ia menatap Petra dan mengerjapkan mata beberapa kali.
"Abang, nggak lagi bercanda kan?" Gadis itu meletakkan sendoknya dan kini ia menatap Petra untuk menuntut jawab.
"Sayangnya enggak." Petra kembali menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya." Mungkin kamu sudah dengar ceritanya dari Johnny, tapi aku mau menceritakan kejadiannya dari versi aku."
7 tahun lalu di indekos Petra
"Lihat apa sih lo?" Petra tidak mampu menyembunyikan rasa penasarannya.
Jeff menunjukkan foto kiriman Hana. Sontak mata Petra membelalak. Ia mundur dari posisinya. Tangannya terkepal hingga buku jarinya memutih. Ia menghela napas kasar dan berusaha bicara setenang mungkin.
"Lo kasih jam buat Hana?" Petra merapatkan giginya setelah bertanya.
"Iya."
Tanpa menunggu lama, satu tinju dari Petra mendarat di pipi Jeff. Sepercik darah keluar dari ujung bibirnya, tapi laki-laki itu justru tersenyum. "Sudah gue duga lo akan melakukan ini."
"Gue sudah bilang, jangan main-main sama adik gue." Petra menarik kedua sisi jaket Jeff.
Jeff tersenyum dan menjawab dengan tenang, "Segitu nggak percayanya lo sama gue?"
Petra melonggarkan tangannya dan melepaskan Jeff, "Sorry, gue nggak bisa kontrol emosi."
"Tanpa ragu lo melayangkan tinju. Hal itu justru mengkonfirmasi sesuatu. Lo menganggap Hana lebih dari seorang adik."
Petra terdiam dan tidak mampu menatap mata Jeff. Ia justru kembali duduk ke posisinya. Jeff menarik selembar tisu dari atas meja. Ia mengusap luka yang terbentuk akibat tinju dari Petra.
"Gue awalnya memang tertarik sama Hana, tapi setelah lihat reaksi lo waktu itu, gue mundur. Tapi tiba-tiba gue penasaran sama sesuatu. Thanks, hari ini gue sudah dapat jawabannya."
Petra masih diam dan tidak menanggapi.
"Lo nggak akan bisa masuk ke sebuah rumah kalau lo nggak ketuk pintunya. Lo bisa tahu hanya kalau lo mencoba. Sekarang, lo bahkan bukan hanya nggak mengetuk pintu itu, lo malah berusaha menipu diri lo dengan bilang lo nggak lihat pintu itu. Gue sudah kasih lo intro, harusnya lo sadar. Dengan reaksi lo tadi, gue jamin 100% kalau lo naksir sama Hana." Jeff tersenyum puas meski harus ditambah sedikit ringisan akibat luka yang disebabkan oleh kejahilan dirinya sendiri.
"Gue nggak akan pernah punya keberanian buat ketuk pintu itu, karena adik gue suka Hana lebih dulu."
Jeff jadi terdiam. Ia tidak menduga kemungkinan itu.
"Gue nggak bisa memperkeruh hubungan gue dengan Pattar. Gue sadar itu sejak lama, karena itu gue nggak pernah berpikir untuk mengetuk pintu hati Hana."
"Oh, gue nggak menyangka kalau gue berteman sama orang yang kelewat baik. Lo mengorbankan perasaan untuk adik lo?" Jeff bertanya dengan sarkas karena masih tidak percaya dengan alasan Petra.
"Pattar lebih berharga dari apapun yang ada di dunia ini. Gue sudah terlalu sering buat dia terluka dan gue nggak mau melakukan itu secara sadar. "
Orion muncul setelah menyibak tirai pembatas. Wajahnya kusut dan rambutnya berantakan, ia menguap sebelum bertanya, "Lo ngobrol sama siapa? Ribut amat."
"Sama Jeff." Petra menjawab dengan nada datar.
Laki-laki yang masih mengantuk itu mendekati kedua sahabatnya dan ia terkejut ketika sadar ada luka di ujung bibir Jeff, "Buset, lo habis ngapain?"
"Coba tebak." Jeff jadi jahil.
"Jangan bilang lo? Astaga ini masih jam 7. Dimana lo berbuat?" Orion tiba-tiba berkacak pinggang.
Jeff malah tertawa terbahak-bahak.
"Pet, kayaknya nggak baik deh kita temenan sama Jeff, makin parah kelakuannya." Orion berbisik pada Petra.
"Lo nggak boleh ngomong gitu. Hidup dia adalah pilihannya dan kita nggak berhak menghakimi itu. Kita itu bagian dari hidup dia, lo jangan ngomong hal begini lagi deh."
"Eh, jam baru lo?" Orion tertarik dengan hal lain.
"Dari Jeff." Petra malah pamer seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan.
"Gue mana?" Orion melayangkan protes pada Jeff.
***
"Hal bodoh yang nggak aku sadar adalah Orion ada di sana. Saat itu dia ada di sana mendengarkan apa yang aku bilang sama Jeff." Petra menunduk dalam.
Hana tidak berkomentar. Ia hanya menatap laki-laki di hadapannya dengan tatapan tidak percaya.
Petra melanjutkan ceritanya.
"Lo semua dengerin gue." Belum juga meraih kursi, Orion sudah menarik perhatian ketiga laki-laki yang tengah sibuk dengan kopi dan ponselnya.
"Lo pucat, Yon. Diapain sama Hana?" Petra meledek seraya menggeser satu gelas kopi dingin yang kelihatannya memang dipesan untuk Orion.
Johnny dan Jeff kebingungan. Mereka cukup terkejut karena tiba-tiba nama Hana muncul.
"Hana mana nih? Biologi?" Jeff bertanya setelah menyeruput kopinya.
"Dengerin gue dulu." Orion menghentakkan tangannya ke meja. "Gue tadi ngaku sama Hana kalau gue suka sama dia dari SMA."
Petra kelihatan biasa saja untuk seseorang yang baru saja kecolongan. Jeff menatap Petra sengit begitu mengetahui fakta kalau Orion mendekati Hana.
Johnny malah mengangguk paham. "Terus masalahnya dimana? Lo ditolak?"
Jeff menggeser duduknya dan menghadap laki-laki pucat di sampingnya. "Ini bocah nggak kelihatan abis ditolak."
"Cerita yang bener supaya kita bisa kasih solusi."
"Intinya gue tuh nggak sengaja ngaku sama Hana, terus belum gue tembak. Gue nggak berpengalaman, Bro."
"Gitu doang. Mana HP lo sini." Jeff meraih ponsel Orion yang sudah dibuka kuncinya.
Jari-jari Jeff menari dengan lincah di atas layar ponsel sahabatnya. Tak lama kemudian, satu notifikasi pesan masuk. Orion dibuat membelalak karenanya. Pattar dan Johnny juga turut mendekat karena penasaran.
Bukannya membacakan isi pesan tersebut, Jeff malah mengoper ponsel itu ke Johnny. Johnny membaca pesan itu kemudian menunjukkan ekpresi prihatin. Setelahnya, ponsel berpindah ke tangan Petra dan laki-laki itu juga menghela napas dan menepuk pelan pundak sahabatnya.
Ponsel tersebut tiba juga di tangan Orion. Hanya satu baris kalimat dari Hana mampu membuat laki-laki itu bersorak dan menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
"Biasa aja. Awas kesambet lo."
"Jeff, mulut lo emang sampah," Orion menatap Jeff dengan tatapan penuh arti dan senyumnya mengembang, "Makasih sahabatku."
Jeff langsung menangkis tangan Orion yang membentang ingin memeluknya. "Gue yang nembak, berarti Hana pacar gue."
Orion batal senang. Ia melotot tajam ke arah Jeff.
"Bercanda gue. Selamat, Bro. Berakhir juga masa jomblo lo." Jeff menepuk pundak sahabatnya.
Johnny dan Petra tersenyum melihat Orion yang girang kelewatan. Ia bahkan mencium layar ponselnya. Kini Petra mulai khawatir kalau sahabatnya sakit jiwa.
***
"Jujur, aku sebenarnya nggak ikhlas saat itu, tapi Orion adalah satu-satunya teman terbaik yang aku punya. Dulu, aku bahkan bisa kasih nyawa untuk dia. Orion bukan sekedar sahabat. Dia sudah seperti saudara. Jadi, nggak ada alasan untuk mencegah hubungan kalian."
Hana meraih tangan laki-laki yang ada di hadapannya. Ia menggenggam tangan kanan Petra.
"Semua rasa percaya aku turut hilang waktu Orion menghilang. Aku nggak punya alasan untuk percaya sama dia setelah lihat kamu berubah kayak mayat hidup. Puncaknya adalah waktu kamu jatuh pingsan di kampus."
Pintu ruangan itu diketuk, kemudian seseorang yang Petra kenali muncul dari balik pintu. Laki-laki berkulit putih dan paras rupawan dengan lesung pipi itu mengenakan jas putih khas seorang dokter.
"Hana kenapa?" kata laki-laki itu dengan napas terengah. "Gue baru keluar dari ruang operasi." Laki-laki itu berjalan dengan buru-buru ke arah Petra.
"Stress dan kelelahan, begitu kata dokter. Gue nggak tahu harus hubungi siapa di saat kayak begini."
"Lo sudah hubungi keluarganya?" Jeff masih sibuk menyentuh alat pengatur aliran infus yang terhubung ke pembuluh darah Hana.
"Belum. Gue perlu pendapat lo. Bisa kita ngobrol di luar?" Petra berbicara setelah menghela napas kecil.
Setelah duduk di kursi yang ada tepat di depan ruangan yang ditempati Hana, Petra berkali-kali menghela napas dan kakinya terus bergerak mengetuk-ngetuk lantai.
"Sekedar informasi, shift gue masih berjalan. Kalau lo cuma nyuruh gue dengerin helaan napas lo doang, mending gue balik ke ruangan. Banyak kasus yang belom gue baca." Jeff jadi jengkel karena Petra tak kunjung membuka pembicaraan.
"Gue sayang sama Hana, bukan sebagai kakak tapi sebagai laki-laki. Menurut lo gimana?"
Satu kalimat pernyataan yang mampu membuat seorang Jeffry Narendra menganga lebar.
"Gue sadar setelah kejadian tadi. Saat lihat dia pingsan, dada gue sesak, seolah-olah seseorang lagi mencekik gue. Terakhir gue rasain hal ini saat bokap pergi. Gue benar-benar takut kehilangan dia." Petra menunduk dalam, menyesali semua yang sudah ia katakan.
"Sisa ceritanya akan sama seperti yang dijelaskan Johnny. Aku sengaja menghindari Orion dan memutuskan semua kontak sama dia. Setelah hari itu, aku nggak pernah mendengar kabar Orion selama 5 tahun terakhir. Sekarang dia muncul kembali dengan semua fakta yang membuat aku semakin merasa jahat. Aku mengambil kamu dari Orion. Aku yang mengkhianati dia. Aku adalah penjahatnya di sini. Hubungan kita nggak pernah benar."
Petra menarik tangannya dari genggaman Hana. "Karena itu, kamu harus menerima keputusan aku. Orion mengorbankan banyak hal untuk bisa sampai ke titik ini. Dia nggak seperti aku yang berjalan tanpa rasa bersalah di atas luka orang lain. Kamu nggak pantas mendapatkan laki-laki jahat seperti aku."
Hana menautkan kedua tangannya yang gemetar. Kepalanya turut menunduk dalam. Isaknya mulai terdengar. Ketika ia mengangkat wajah, Petra bisa melihat dengan jelas kalau air mata gadis itu mengalir deras.
"Kamu nggak perlu nangis. Maaf, aku yang salah. Maafin aku." Petra dibuat bingung oleh sikap Hana.
Ingin rasanya ia menarik gadis itu ke dalam pelukan, tetapi ia merasa semakin jahat jika melakukan hal itu.
Akhirnya, Petra menunggu hingga tangis Hana berhenti.
Mata gadis itu masih sembab. Wajahnya merah dan bahunya masih bergetar. Namun, ia berusaha untuk bicara.
"Aku menerima keputusan Abang, tapi ada satu hal yang aku mau."
Hana melanjutkan kalimatnya setelah Petra mengangguk.
"Temuin Bang Orion. Kalian harus menyelesaikan masalah kalian sendiri."
Petra mengangguk kaku. Ia merasa bertanggung jawab karena membuat Hana menangis, tetapi ia tidak menduga kalau permintaan gadis itu begitu berat.
***
Aloha!
Terima kasih buat yang sudah membaca.
Gimana bab ini? Udah ambyar belom?
Aku yang nulis, aku yang nangis. Entah kenapa? Mereka yang putus, tapi aku yang nangis.
Dikit lagi sampai ending.
Extra chapternya mau request ceritain apa nih?
Lagu di atas mewakili curahan hati Bang Ion yaa. Abaikan visual buaya rawa yang mengalihkan perhatian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro