Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Terulang Kembali

Saat petang, sampel yang datang ke laboratorium Hana semakin banyak. Ini tidak seperti biasanya. Apakah pekerjaannya yang bertambah banyak atau kecepatan mengerjakannya yang menurun? Mungkin opsi kedua menjadi jawabannya. Hana mau mengelak, tetapi begitu kenyataannya.

Telepon yang ada di laboratorium berdering dan Hana mengangkat panggilan tersebut. Setelah panggilan berakhir, Hana mengembuskan napas kasar. Rekan yang seharusnya berganti shift dengannya izin tidak dapat masuk karena anaknya sedang sakit. Bagian personalia meminta Hana untuk menggantikan rekannya dan itu artinya ia akan bekerja hingga tengah malam.

"Nggak pulang, Han?"

"Gue lanjut, anak-anak nggak ada yang bisa gantiin Kak Tina."

"Oke, gue cabut duluan ya. Suami gue udah jemput soalnya." Rekan Hana menggantungkan jas lab-nya dan ia berlalu sambil tersenyum tanpa rasa bersalah.

Hana kembali menghela napas. Penderitaannya tidak berujung. Bukan karena ia tidak menyukai pekerjaan ini, tetapi saat ini kondisinya sedang tidak siap untuk bekerja.

"Rei."

Hana menoleh ke arah pintu dan menyipitkan matanya. Bukan jadi kebiasaan seorang Jessy masuk ke ruangan Hana tanpa mengetuk pintu.

"Lo nggak balik?" Gadis mungil itu tidak masuk seperti biasanya. Hanya kepalanya yang terlihat menyembul di celah pintu.

"Lembur. Kak Tina nggak masuk." Hana menjawab sinis. Ia masih ingat dengan jelas kalau Jessy meninggalkannya di kantin tadi siang.

"Rei, eh Hana, maafin gue. Jangan marah ya. Besok gue bawain kue buatan Umi deh. Oke. Bye-bye." Pintu itu ditutup perlahan.

Wajah takut-takut Jessy sebenarnya sangat menggemaskan. Hana tersenyum begitu pintu itu tertutup rapat. Gadis itu tidak bersalah sedikitpun. Masalahnya ada pada hubungannya dan Orion.

***

Langkah kaki Orion terhenti ketika melihat gadis mungil di dekat ruang jaga melambai dan memanggilnya dengan gerakan tangan. Sebelum menuju ke tempat gadis itu berdiri, Orion melihat sekeliling terlebih dahulu. Begitu dirasa aman, laki-laki berjas putih itu berlari kecil menghampiri Jessy.

"Menurut saya, Dokter masih punya kesempatan. Hana masih ada rasa sama Dokter." Gadis itu sedikit berjinjit dan berbisik.

"Karena kejadian tadi, saya rasa juga iya." Orion menjawab juga dengan berbisik.

Gadis itu mengeluarkan ponselnya dari saku dan menyodorkannya pada Orion. Laki-laki berjas itu kelihatan sedikit kebingungan dan hanya menatap ponsel Jessy yang ada di hadapannya.

"Saya butuh nomor Dokter untuk kasih tahu informasi terbaru tentang Hana."

Meskipun sedikit bingung, Orion akhirnya mengambil ponsel itu dan mengetikkan nomornya di sana.

Jessy tersenyum puas. Ia senang karena setiap langkah yang diambilnya berjalan sesuai rencana.

"Terima kasih, Dokter." Gadis mungil itu segera pergi dari sana setelah mendapatkan nomor ponsel Orion.

Orion menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena tingkah gadis tadi.

"Nggak pulang, Dok?" Salah satu perawat menyapa Orion.

"Saya harus cek satu pasien lagi."

Mendengar jawaban itu, perawat tadi tersipu malu.

Orion segera berlalu untuk menjalankan kewajibannya untuk memerisa pasien.

***

Rasanya Hana ingin meninggalkan semua pekerjaan yang sudah menumpuk ini. Ia sudah muak dengan tube sampel dan kertas hasil analisa yang ada di meja kerjanya. Akhirnya, Hana memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar.

Saat berjalan di bangsal pasien yang berisi 10 orang dalam satu ruangan, Hana menemukan sosok yang sebenarnya sangat ia rindukan.

Laki-laki dengan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher itu menggenggam erat tangan kanan seorang kakek yang tangan kirinya dibalut perban.

Tanpa sadar, Hana berjalan mendekat untuk mendengar percakapan mereka.

"Kakek itu hebat, di usia segini masih berusaha keras untuk membiayai sekolah cucu. Kalau Kakek tetap punya semangat yang sama, saya yakin, Kakek pasti cepat sembuh."

"Dokter Orion lembut banget kalau sudah berhadapan sama pasien lansia. Padahal aslinya dingin banget, 'kan?" Salah satu perawat di ruangan itu berbisik pada Hana.

"Dia memang selalu sebaik itu." Tanpa sadar Hana menjawab perawat itu dengan fakta yang seharusnya ia simpan.

"Kamu kenal Dokter Orion?"

Kepala Hana berusaha mencari jawaban sebaik mungkin. Jawaban yang tidak memaksanya untuk berbohong dan jawaban yang tidak membuatnya terjebak dalam banyak pertanyaan lain.

"Dokter Orion itu satu kampus dengan saya." Hana menjawab dengan tenang.

"Oh. Beruntung banget ya yang bisa jadi pacarnya Dokter Orion?"

Hana hanya bisa terdiam. Tiba-tiba ia terlempar ke kenangan masa lalu.

"Kita mau ke mana, sih? Sampe aku wajib pakai topi dan jaket segala."

Laki-laki dengan jaket gelap itu menurunkan tudungnya dan tersenyum cerah. "Kita mau menyelesaikan misi rahasia."

Ini adalah salah satu hal yang membuat Hana selalu merasa penting. Orion selalu melibatkannya dalam hal-hal yang menurutnya penting.

Hana sepertinya bisa menebak apa yang akan dilakukan laki-laki ini jika sudah menggunakan kode 'misi rahasia'. Terakhir kali, misi rahasia mereka adalah memberi makan kucing di lima komplek perumahan.

Awalnya, Hana tidak terlalu senang dengan kegiatan itu karena ia harus berjalan kaki menyusuri banyak tempat. Namun, ia segera berubah pikiran ketika melihat laki-laki itu tersenyum sangat cerah saat kucing-kucing liar memakan makanan yang mereka berikan.

"Kali ini kita ke komplek mana?" Hana bertanya antusias.

"Kali ini kita ke restoran."

"Restoran?" Hana bertanya tidak percaya.

"Uang beasiswa aku baru aja cair. Jadi, kita harus makan-makan."

Hana mengangguk kaku karena masih belum paham. Ia sempat menduga kalau ia akan ditraktir makan oleh Orion.

Begitu tiba di restoran yang Hana tahu memiliki harga makanan yang lumayan mahal, laki-laki itu memesan 50 kotak makan siang. Hana sempat terkejut mendengar pesanan Orion.

Ternyata laki-laki itu berencana membagikan makanan tersebut kepada orang yang bekerja di jalanan, baik itu pemulung, pengamen maupun penjual koran. Hana tidak berhenti kagum pada laki-laki yang kini tengah sibuk merapikan kotak-kotak makanan yang ada di jok belakang mobilnya.

Saat semua kotak makanan itu sudah habis dibagi, Orion mengajak Hana minum es campur di pinggir jalan.

"Kayaknya Abang lebih sayang mereka daripada aku." Hana cemberut. Ia kecewa karena kerja kerasnya hanya dibayar dengan segelas es campur yang kini hanya tersisa es batunya saja.

"Kenapa? Es campurnya enak, 'kan?"

"Enak banget, tapi masa aku nggak dikasih makan siang juga."

Laki-laki itu tertawa lepas. Ia tersenyum hingga gigi kelincinya terlihat jelas.

"Yuk, makan."

Hana hampir saja bersorak gembira. Untungnya ia bisa menahan sorakannya karena kondisi yang cukup ramai.

"Bang, batagornya dua ya." Tanpa berajak dari tempat duduknya, Orion memesan batagor yang gerobak jualannya berada tepat di sebelah gerobak es campur.

"Bang." Hana ngambek betulan.

"Sekarang saatnya bersyukur, Hana. Kamu lihat wajah bahagia mereka tadi? Harusnya kamu juga nunjukin wajah yang bahagia ketika aku kasih batagor. Kenapa?"

Hana hanya terdiam dan melipat tangannya di dada.

"Karena senyuman dari rasa syukur itu berbeda. Ada rasa yang tulus dan ikhlas dibaliknya. Aku bersyukur karena bisa berbagi dengan mereka. Harusnya kamu juga bersyukur dengan apa yang sudah kamu punya. Contohnya, batagor ini." Kalimat Orion ditutup bersamaan dengan tersajinya batagor di hadapan mereka.

Hana jadi turut tersenyum.

Akhirnya kini ia mengerti alasan yang membuatnya sangat menyukai senyum laki-laki itu. Senyumnya berasal dari rasa syukur.

Hana kembali ditarik ke masa kini karena pundaknya ditepuk oleh perawat tadi.

"Kok malah melamun?"

"Nggak apa-apa."

Tanpa Hana sadari, laki-laki berjas putih dengan stetoskop di leher itu melewatinya dan tersenyum saat mata mereka bertemu. Senyum itu adalah senyum yang sama.

Sepertinya Hana harus segera bertemu Pattar untuk meminta kartu anggota rawa.

#30DayWritingChallenge #30DWCJilid28 #Day23

Aloha, senang bisa ketemu lagi sama Hana-Orion.

Kurang ajaib apa lagi coba Bang Ion?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro