21. Valentine
Tanggal 14 Februari menjadi salah satu tanggal yang berarti bagi sebagian orang. Namun, tanggal tersebut juga bisa jadi sangat menyebalkan bagi beberapa orang. Tanggal 14 selalu diasosiasikan dengan hari kasih sayang. Padahal, menurut Hana, hari kasih sayang seharusnya dirayakan setiap hari.
Hari ini beberapa dokter membawa coklat untuk dibagikan ke pasien, terutama pasien anak-anak dan remaja. Hana bisa melihat Jessy yang sibuk membantu ketua tim mereka yang membawa sekardus penuh cokelat.
"Tumben banget, Pak Haris. Tahun lalu nggak begini?" Hana bertanya pada Jessy yang baru saja meletakkan dus besar berisi cokelat.
"Kata Pak Haris, ini harus dibagiin sama semua staff."
"Dalam rangka?" Hana membuka kotak besar itu dan cukup terkejut karena isinya tidak hanya cokelat tapi juga beberapa snack lain.
"Katanya ini titipan dari orang, ya nggak mungkin juga sih tipe Pak Haris bakal bagi-bagi hadiah begini, kita dikasih cuti aja udah bersyukur." Jessy terus mengomel sambil mengelompokkan cokelat dan snack sesuai dengan jumlah karyawan pada setiap divisi.
Hana yang sebelumnya sibuk dengan laporan, mau tidak mau ikut membantu Jessy. Mereka berhasil mengelompokkan semuanya dalam 5 menit. Jessy berinisiatif untuk membagikan ke staff yang ada di lantai mereka dan Hana ditugaskan untuk membagi ke dokter jaga.
Hana sih tenang-tenang saja karena ia tahu kalau Orion mengambil shift malam. Jadi ia tidak perlu khawatir bertemu laki-laki itu di ruang jaga dokter.
Hana mengetuk ruang jaga dokter dan tidak mendapat jawaban, mungkin mereka semua sedang melakukan visitasi. Gadis bergelang kuning itu membuka pintu dan berniat meletakkan sekotak cokelat di atas meja yang ada di dekat pintu. Ketika ia baru saja meletakkan kotak itu, seseorang tiba bersamaan dengan ia yang akan melangkah keluar.
Hana menabrak seorang pria yang lebih tinggi darinya. Begitu menyadari kalau ia menabrak seorang dokter jaga, ia langsung mundur beberapa langkah dan segera membungkuk meminta maaf.
"Maaf. Saya ditugaskan untuk membagikan bingkisan ini." Hana menunjuk kotak yang baru saja ia letakkan.
"Anda boleh pergi kalau sudah selesai." Laki-laki berjas putih itu berbicara dengan nada datar.
Suara itu, suara yang Hana kenali. Ia tidak berani menatap laki-laki yang dulunya selalu berbicara lembut padanya. Ia sangat ingin segera pergi dari sana, tetapi tubuhnya tidak mau diajak bekerja sama. Kakinya seperti tertahan.
"Dokter Orion, kenapa masih di sini?" Suara seorang gadis membuat Hana tersadar dan segera pamit dari sana.
"Saya punya pasien yang harus diawasi 24 jam."
Nada suara Orion berubah ketika berbicara dengan gadis itu. Hana menghentikan langkahnya hanya untuk melihat interaksi mereka. Orion tersenyum hangat pada gadis yang juga mengenakan jas putih itu.
"Rei." Jessy menepuk kedua pundak Hana.
"Berapa kali gue bilang, jangan panggil nama depan gue." Hana mempercepat langkahnya dan memilih kembali ke ruangannya.
"Hana, kamu kenapa sih?" Jessy tidak mengerti kalau Hana sedang dalam kondisi yang kacau.
***
Tanggal 14 Februari enam tahun lalu.
Orion, Petra serta Johnny tengah sibuk meniup balon secara manual. Hana sibuk menghias kue yang baru saja selesai mereka buat. Wajah Johnny sudah berubah merah ketika Hana mengecek pekerjaan mereka.
"Gue nyerah. Kenapa nggak beli balon gas aja sih? Ini penyiksaan tahu." Laki-laki blasteran itu meluruskan kakinya dan mengangkat tangan.
"Sekarang gue tanya, siapa yang punya ide buat kasih surprise buat tuh buaya darat?" Orion jadi sewot karena merasa turut jadi korban.
"Sudah. Johnny memang kasih ide ini, tapi kita semua setuju, kan?" Petra menengahi.
"Kalau sudah nggak mau tiup balon, lebih baik kalian rapihin meja tengah deh. Oh, iya. Jeff sudah dihubungi?" Hana bertanya seraya berjalan kembali ke dapur.
"Gue aja yang hubungi." Orion mengajukan diri dengan semangat. Hana dibuat gemas oleh tingkah Orion. Ia memang selalu semangat untuk hal-hal yang menurutnya menyenangkan.
"Gimana?" Petra bertanya setelah Orion menutup teleponnya.
"Jeff lagi di Bali sama keluarganya. Mungkin sampai di sini nanti malam." Orion kelihatan kecewa.
Tidak lama setelah itu, pintu indekos Petra diketuk. Mereka menduga kalau itu adalah kurir penghantar makanan. Orion berinisiatif untuk membuka pintu dan matanya membelalak ketika menyadari kalau Jeff berdiri di depan pintu sambil tersenyum dan membawa sekotak besar pizza.
"Surprise." Jeff tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit dan lesung pipinya terlihat sempurna.
"Siapa?" Johnny dibuat berputar otomatis karena melihat Jeff yang ada di depan pintu.
"Gue tahu kalian kumpul di sini. Jahat banget nggak ngajak gue." Jeff melenggang masuk ke rumah Petra.
Orion langsung memberi kode pada Johnny dan Petra untuk segera menyembunyikan balon yang sudah mereka tiup. Kedua laki-laki jangkung itu dibuat sibuk mendadak. Namun, tentu semua terlambat karena Jeff sudah melihat semuanya.
"Kalian mau ngadain party? Tanpa gue? Wah, ini namanya pengkhianatan." Jeff segera duduk di karpet dan membuka sendiri kotak pizza yang ia bawa.
"Dalam rangka apa nih?" Jeff menatap satu persatu wajah sahabatnya. "Eit, ada Hana juga. Tumben ikutan kumpul sama mereka."
Hana yang menyembunyikan kue di balik tubuhnya hanya tersenyum canggung. Ia meminta jawaban dari Orion dengan tatapan mata.
"Lo nggak ingat hari ini hari apa?" Orion bertanya hati-hati sambil memberi kode pada Hana agar segera membawa kue mendekat.
"Hari Minggu?" Jeff menjawab dengan polos.
Ketika Jeff sibuk mengunyah pizzanya, Hana datang membawa kue dengan lilin menyala. Dengan komando dari Orion, mereka menyanyikan lagu ulang tahun dengan semangat.
Jeff dibuat membeku. Ia tahu hari ini adalah hari ulang tahunnya, tetapi ia tidak menduga kalau mereka akan menyiapkan hal semacam ini untuknya. Biasanya mereka hanya makan bersama tanpa adanya kue serta lilin. Jeff bingung harus bereaksi seperti apa, tetapi ia menurut saat disuruh meniup lilin.
Mata Hana tidak beranjak dari Orion yang kini kelihatan sangat bahagia.
***
"Hana." Jessy mencoba kembali bicara pada Hana.
"Gue nggak apa-apa."
"Maaf. Gue sering panggil lo dengan nama depan."
Hana jadi merasa bersalah. Sebenarnya ia sama sekali tidak bermaksud untuk membuat Jessy salah paham.
"Rei. Mantan gue yang selalu pakai nama itu untuk panggil gue. Gue nggak nyaman saat lo panggil gue dengan nama itu." Hana menjelaskan dengan hati-hati.
"Maaf."
"Nggak apa-apa."
Pintu ruangan Hana dikuak tiba-tiba, ia bisa melihat kalau Petra berdiri di sana dengan napas terengah-engah. Peluh memenuhi dahinya. Mata mereka bertemu dan tanpa sepatah kata, Petra menarik Hana dalam pelukan.
Jessy yang menyaksikan hal itu hanya bisa menahan teriakannya. Matanya membelalak dan tangannya berusaha menutup mulutnya dengan rapat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro