Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

O1. God is Fair

•••

Saat akan melangkahkan kaki kananku ke depan, tiba-tiba sebuah tangan memeluk perutku dan menjatuhkanku ke belakang.

Kepalaku tidak langsung berbenturan dengan jalan karena ada tangan orang itu yang melindungiku. Mataku melebar, terkejut dengan apa yang sedang terjadi. Aku pun langsung menoleh ke belakang.

"Apa kau baik-baik saja? Apa ada yang terluka?"

Seorang lelaki berkemeja biru dengan raut wajah begitu terkejut menanyakan kondisiku dengan nada suara yang terdengar khawatir.

Ia pun membangunkan tubuhnya dan tubuhku sehingga kami berdua terduduk di pinggir jembatan sekarang.

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku tiba-tiba kembali menangis tersedu-sedu. Sesekali berteriak untuk meredakan rasa sakit yang ada di hatiku dan untuk menunjukkan pada dunia bahwa aku tidak baik-baik saja.

Lelaki tadi tidak berbicara lagi, ia diam sambil tangannya agak merangkul bahuku dan mengusapnya pelan.

"Kenapa Tuhan tidak adil padaku? Kenapa? Kenapa harus selalu aku yang merasakan sakit ..." ocehku di sela-sela tangisan.

Aku dapat merasakan tangan lelaki tadi berpindah dari pundakku menjadi menggenggam sebelah tanganku.

"Aku minta maaf jika kau merasa tidak nyaman, tapi ... aku harap genggamanku bisa membuatmu sedikit lebih tenang," katanya sambil menatapku sendu.

Aku menatap wajahnya balik, lelaki ini terlihat begitu pucat. Setidaknya itu yang terbesit di pikiranku.

Anehnya, genggaman tangannya serta usapan yang sesekali ia lakukan benar-benar membuatku lebih tenang. Ia bisa membuatku merasa bahwa aku tidak sendirian.

"Hidup memang selalu tidak adil bagi setiap orang, termasuk aku. Tapi, karena ketidak adilan yang kita semua rasakan lah yang membuat Tuhan itu adil," katanya dengan masih menggenggamku.

"Setidaknya kita tidak merasakan ketidak adilan itu sendirian, yaa walau bagimanapun rasanya tetap sakit."

Mendengar perkataanya membuatku menangis lagi, "Tapi aku sudah tidak kuat lagi ... aku tidak bisa menahannya lebih lama."

Ia mengeratkan genggamannya, "Bertahanlah sebentar lagi, kau tidak bisa mengakhiri nyawamu begitu saja. Kau tidak punya hak untuk mengakhirinya, kita ... tidak punya hak. Semua itu kuasa-Nya."

Lalu lelaki itu melonggarkannya kembali dan tersenyum kecil yang membuatku mengerutkan kening.

"Kalau dipikir lucu sekali ya, aku berusaha mati-matian untuk tetap hidup dengan melakukan kemoterapi dan meminum segala macam obat,"

Ia menatapku, "Sementara kau berusaha untuk mengakhiri hidupmu sekarang. Aku bukan berarti menyalahkanmu, karena kau juga punya alasan kan. Hanya ... rasanya lucu saja."

"Kau ... sakit?" tanyaku.

Lelaki itu mengangguk, "Aku mengidap kanker darah."

Tanpa sadar aku menutup mulutku karena begitu terkejut. Kanker darah ... penyakit itulah yang juga membuat ayahku meninggal dunia.

"Apa kau baik-baik saja?" giliranku, sekarang aku yang bertanya dengan nada khawatir.

Lagi-lagi lelaki itu tersenyum, "Bagaimana kelihatannya? Apa aku terlihat sehat atau terlihat seperti orang yang akan meninggal beberapa hari lagi?"

"K-kau tidak boleh bicara sembarangan seperti itu!"

Ia tertawa, "Kau juga tidak boleh mengakhiri hidupmu seperti itu, perjalananmu masih sangat panjang."

Lelaki itu mengeluarkan secarik kertas dan sebuah pulpen lalu ia menuliskan sesuatu di sana. Setelah selesai ditulis, ia memberikan kertas itu padaku.

"Ini alamatku, kau bisa berkunjung kapanpun kau butuh. Ah, mungkin ada kalanya aku sedang berada di rumah sakit. Datanglah berkunjung sesekali ya!" katanya.

Aku mengambil kertas itu ragu, "Baiklah."

"Itu ada taksi datang, masuklah."

Sampai aku masuk ke dalam taksi aku baru sadar bahwa kami belum berkenalan satu sama lain.

'Akh Zefanya kenapa kau bodoh sekali?!

***

Sudah tiga hari berlalu semenjak malam itu. Saat kembali ke rumah, ibu memarahiku semalaman. Tapi aku tidak mendengarkannya dan pura-pura tertidur. Dan untungnya, kegiatan sekolah begitu padat sehingga aku baru pulang sore hari dan jarang di rumah.

Setelah itu malamnya aku bekerja di kafe seperti biasa dan saat pulang ibu sudah tidur di kamarnya.

Setidaknya, sampai aku lulus aku bisa bertahan dengan kehidupan ini. Dan sekarang aku tengah bersiap untuk pergi menemui lelaki berkemeja biru yang kutemui tiga hari lalu.

Aku sengaja berdandan agak rapi lalu pergi menuju alamat yang dia berikan. Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin menemuinya untuk menceritakan tujuanku kedepannya.

Jarak rumah kami lumayan jauh, tapi tidak sampai harus membuatku pergi keluar kota. Setelah memakan waktu selama satu jam akhirnya aku sampai di daerah rumahnya.

Aku pun turun dan berjalan sambil mencari-cari nomer rumahnya. Akhirnya setelah beberapa saat akhirnya aku menemukannya. Tapi, satu hal membuatku terkejut.

Ada karangan bunga di depan rumahnya.

Bukan, itu bukanlah karangan bunga untuk ucapan selamat menikah atau semacamnya.

Itu adalah karangan bunga ucapan bela sungkawa.

'Tidak mungkin dia kan?'

'B-bisa saja itu keluarganya yang lain kan?'

Aku langsung berlari ke dalam rumah itu yang dipenuhi oleh orang-orang dengan berpekaian serba hitam. Khas seperti orang sedang melayat.

Suara tangis terdengar di seluruh penjuru rumah ini. Dengan susah payah melewati banyak orang aku akhirnya masuk ke dalam. Dan di sana, terpampang jelas foto lelaki itu dan sebuah peti di depannya.

Jahat. Jahat sekali.

Dia yang menyruhku untuk bertahan lebih lama lagi tapi kenapa malah dia yang lebih dulu pergi?

'Padahal kau salah satu alasanku untuk bisa bertahan lagi.'

Perlahan aku menangis tanpa sadar. Rasanya hatiku seperti diremas dengan kuat hingga napas pun terasa begitu sulit. Tuhan, sakit sekali rasanya. Benar-benar sakit. Untuk kedua kalinya aku ditinggalkan lagi.

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro