PROLOG
.
.
Leif merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berputar dengan cepat. Kepalanya terasa berat, dan penglihatannya mulai kabur. Objek-objek di sekitarnya tampak berputar-putar, seolah-olah dia berada di tengah badai yang tidak terlihat. Dia mencoba untuk fokus, tetapi semuanya tampak kabur dan bergetar. Suara-suara di sekitarnya terdengar jauh dan terdistorsi.
Dia mencoba untuk berdiri tegak, tetapi kakinya terasa lemas dan gemetar. Otot-ototnya, yang biasanya kuat, sekarang tidak mampu menopang tubuhnya lagi. Sensasi aneh seperti ribuan jarum kecil menusuk-nusuk kulitnya membuatnya semakin sulit untuk menjaga keseimbangan. Dalam usahanya yang sia-sia untuk tetap berdiri, Leif meraih meja di dekatnya untuk mencari penopang, tetapi tangannya gagal menggenggam dengan kuat. Jari-jarinya yang berkeringat tergelincir dari permukaan meja yang licin, dan tubuhnya kehilangan dukungan terakhir yang dimilikinya.
Dalam beberapa detik, tubuhnya terjatuh ke lantai dengan keras. Lututnya menghantam lantai terlebih dahulu, disusul oleh tubuh bagian atas yang terhempas dengan suara yang menggelegar. Suara tubuhnya yang jatuh menggema di seluruh ruangan, menghentikan semua aktivitas yang ada. Semua orang di sekitar terkejut, mata mereka melebar, dan beberapa orang bahkan tersentak mundur dengan kaget.
Ruang kerja yang tadinya dipenuhi dengan suara ketikan keyboard dan obrolan ringan mendadak sunyi. Setiap pegawai yang sebelumnya sibuk dengan pekerjaannya berhenti seketika, mata mereka tertuju pada tubuh Leif yang terbaring di lantai, menggeliat kesakitan. Kursi-kursi yang ditinggalkan terguling, dan beberapa dokumen berserakan di lantai akibat kepanikan yang mendadak.
Beberapa detik kemudian, suasana berubah menjadi kacau balau. Suara-suara panik mulai terdengar dari berbagai arah. "Leif, kau baik-baik saja?" tanya seseorang dengan nada cemas, mendekati tubuh Leif yang tergeletak. Seorang pegawai wanita, dengan tangan gemetar, segera merogoh tasnya mencari ponsel untuk menghubungi ambulans. "Tolong, cepat! Kita butuh ambulans di sini, segera!" teriaknya ke ponsel, suaranya bergetar karena ketakutan.
Sementara itu, seorang pegawai lain berlari keluar dari ruangan untuk mencari pertolongan medis dari lantai lain, langkah kakinya terdengar bergema di koridor yang sepi. Di sudut ruangan, seorang pria dengan wajah pucat berdiri mematung, tidak tahu harus berbuat apa, sementara beberapa pegawai lainnya mencoba membuat ruang di sekitar Leif agar dia mendapatkan udara yang cukup.
Leif merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya, seolah-olah ada palu besar yang terus-menerus memukulnya. Setiap gerakan kecil membuatnya merasa semakin menderita. Dadanya terasa sesak, napasnya pendek dan terengah-engah. Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya, membuatnya menggigil meskipun ruangan tidak dingin. Dia mencoba mengangkat tangannya untuk memberi isyarat bahwa dia masih sadar, tetapi tangannya gemetar hebat dan hampir tidak bisa bergerak.
Salah satu rekannya, Jenifer, berlutut di sampingnya, wajahnya penuh dengan kekhawatiran. "Leif, bertahanlah, ambulans sedang dalam perjalanan," katanya dengan suara yang bergetar. Dia menggenggam tangan Leif dengan erat, mencoba memberikan dukungan dan kenyamanan, meskipun dia sendiri merasa sangat cemas. Leif hanya bisa mengangguk lemah, matanya tertutup rapat karena rasa sakit yang tak terlukiskan.
Leif tahu bahwa ini bukan pertama kalinya dia merasakan pusing dan sakit. Selama beberapa bulan terakhir, dia telah bekerja lembur hampir setiap malam, mencoba menyelesaikan pekerjaan yang tampaknya tidak pernah ada habisnya. Tubuhnya sudah memberi isyarat lelah sejak lama, tetapi dia terus memaksakan diri. Sekarang, tubuhnya tidak bisa lagi menahan beban dan protes keras terhadap kelelahan yang melampaui batas.
Pegawai lain mulai berkumpul di sekitar Leif, beberapa memegang tangan mereka di mulut, terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Cepat, kita butuh pertolongan medis segera!" situasi menjadi semakin buruk ketika salah satu dari mereka melihat Leif terbatuk dengan keras hingga mengeluarkan darah.
Leif mulai menutup matanya, rasa kantuk yang mendalam mulai mendominasi kesadarannya. Suara-suara kekhawatiran teman-temannya masih terdengar, tetapi semakin jauh dan samar. Seperti mendengarkan dari dasar laut yang dalam, hingga menjadi gumaman yang tidak jelas ditelinganya.
"Leif, tolong bertahan...."
Kemudian dia merasakan tubuhnya diangkat, tangan-tangan yang kuat namun hati-hati mengangkatnya dari lantai. Sensasi dingin lantai berubah menjadi kehangatan selimut darurat yang melingkupi tubuhnya. Di kejauhan, sirine ambulans mulai terdengar. Suara itu mendekat dengan cepat, menggema di telinganya sebelum semuanya tiba-tiba hening.
Dia masih memejamkan matanya, namun rasanya dunia tiba-tiba berubah dalam sekejap. Sensasi dingin dan gemetaran yang biasa menyelimuti tangan dan kakinya lenyap tanpa jejak. Sesak nafas dan sakit kepala yang selalu menghantuinya seketika menghilang. Sebuah rasa lega tak terungkap menyelimuti seluruh tubuhnya. Untuk pertama kalinya, Leif merasakan dirinya ringan, bebas dari beban dan tekanan yang selalu mengganggu, yang membuatnya ingin lari dari kenyataan setiap saat.
Leif mulai bertanya-tanya, apakah dia benar-benar akan mati, saat kenangan dari masa hidupnya bergulir di depan matanya seperti film yang diputar kembali.
Dalam tubuh kecilnya yang kelaparan, luka fisik yang terus dia terima dari orang yang tidak pantas disebut ayah, dan kepergian sang ibu meninggalkannya dengan rasa sakit dan pengkhianatan yang dalam. Ketika dia agak dewasa, Leif harus bekerja dan belajar, mengorbankan masa remajanya, demi menutup biaya hidup ayah dan dirinya.
Leif tumbuh dalam bayang-bayang penderitaan. Meski demikian, dia selalu mencoba tidak pernah memperlihatkan kesedihannya. Dia ingat ketika kabar kepergian sang ayah mencapainya, tidak ada air mata yang mengalir, tidak banyak kata yang terucap, tetapi raut kesedihan yang rumit terpancar dari matanya. Namun untuk pertama kalinya juga bahunya mengendur, merosot, dan napasnya mengalir dengan tenang.
"Leif!"
Selama hidupnya, dia bertekad keras untuk tidak menjadi sampah masyarakat. Leif berhasil lulus dengan prestasi yang memuaskan, bertemu dengan kekasihnya, mendapatkan rekomendasi pekerjaan yang stabil, dan hidupnya tercukupi. Namun, seiring berjalannya waktu, rutinitas yang padat dan tekanan pekerjaan mulai menghimpitnya. Dia sering kali terpaksa bekerja lebih lama demi menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk, mengorbankan kesehatan dan waktunya.
"Leif!"
Kondisi kesehatan Leif semakin memburuk seiring dengan kelelahan yang terus-menerus dia alami. Dia sering merasakan sakit kepala hebat dan sering mimisan. Tubuhnya terasa lemas dan energinya semakin menurun. Meskipun Leif menyadari bahwa dia perlu istirahat, dia tidak bisa menghentikan dirinya sendiri untuk bekerja, takut akan kehilangan pekerjaannya atau mengecewakan dirinya sendiri. Takut dengan klaim yang akan diberikan orang lain bahwa dia sama seperti ayahnya yang tidak bertanggung jawab.
"Hei, apakah dia sudah meninggal?"
"Tentu saja, kau tidak melihat tadi? Darahnya mengalir seperti air terjun dari empat lubang!"
"Aku rasa, kita harus segera mengangkatnya sebelum direktur datang."
Leif tidak yakin apakah suara-suara itu hanyalah imajinasinya, namun pertengkaran di antara keduanya terus bergema dalam kepalanya. Semakin dia mendengarkan, semakin Leif merasa kebingungan. Sebelum pikirannya bisa menyusun sebuah jawaban, keseimbangannya hilang. Perasaan ringan yang sebelumnya dia rasakan lenyap, digantikan oleh tarikan kuat yang membuat tubuhnya menghantam tanah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro