CHAPTER 05
Leif terdiam di tengah ruangan yang kini sunyi. Pikirannya berputar seperti badai, merenungkan setiap kata yang baru saja didengarnya. Dia merasa terombang-ambing antara dua dunia, dunia yang dia kenal dan dunia yang baru saja diungkapkan padanya. Tubuhnya gemetar ringan, jantungnya berdebar kencang. Rasa takut dan kebingungan menyelimutinya, menekan dadanya dengan berat yang tak tertahankan.
"Apakah ini benar-benar nyata?" bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tak terdengar. Sebagian dari dirinya menolak untuk menerima kenyataan bahwa dia telah meninggal. Pikiran itu terasa begitu absurd, begitu tak masuk akal. Namun, sebagian lain dari dirinya tahu bahwa apa yang dia dengar adalah kebenaran. Kenyataan itu menyelinap masuk ke dalam kesadarannya, menembus lapisan-lapisan penolakannya.
Dengan tangan yang gemetar, Leif mengambil surat kontrak yang tergeletak di meja. Matanya menelusuri tulisan di atas kertas itu, mencoba mencari petunjuk, mencari kepastian. Tapi yang dia temukan hanyalah lebih banyak pertanyaan. Dia melipat surat itu perlahan, seolah kerapuhan kertas itu mencerminkan keadaan jiwanya yang rapuh. Leif mengantongi surat itu dengan hati-hati, seolah surat itu adalah satu-satunya pegangan yang dia miliki di tengah kekacauan ini.
Leif menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah keluar dari ruangan. Setiap langkah terasa berat, seolah beban dunia ada di pundaknya. Lorong yang dia susuri terasa panjang dan dingin, bayang-bayang di dinding seakan hidup dan mengikutinya dalam diam.
Akhirnya, Leif keluar dari lorong dan mendapati dirinya berada di sebuah restoran ayam yang ramai. Aroma gurih ayam panggang dan bumbu rempah memenuhi udara, suara tertawa dan percakapan riuh memenuhi ruangan. Restoran itu penuh dengan orang-orang yang sibuk dengan makanan mereka, pelayan yang berlalu-lalang dengan cepat, membawa nampan penuh makanan dan minuman.
Di sudut ruangan, Leif melihat dua sosok sebelumnya—Balthazar dan Juliet. Mereka sedang membantu para pelayan restoran, membawa piring dan gelas dengan cekatan. Wajah mereka berseri-seri, tertawa dan tersenyum seperti manusia hidup. Balthazar dengan mudah mengangkat nampan penuh makanan, sementara Juliet dengan lincah mengatur meja dan menyapa pelanggan dengan ramah.
Pemandangan itu terasa surreal bagi Leif. Bagaimana bisa mereka terlihat begitu hidup dan bahagia, sementara dirinya terjebak dalam kebingungan dan ketakutan? Hatinya berdenyut dengan rasa iri dan kesepian. Dia berdiri di ambang pintu, merasa seperti orang asing di dunia yang dulu dia kenal.
Di tengah keramaian, seorang wanita dengan rambut keriting pendek yang mengenakan seragam pelayan menyikut Juliet dan menunjuk ke arah Leif. Juliet awalnya terkejut, matanya melebar saat melihat Leif berdiri di sana. Namun, senyuman hangat segera muncul di wajahnya, menghapus keterkejutan sebelumnya.
Juliet meletakkan nampan yang dipegangnya dan segera berjalan menghampiri Leif. "Leif! Apa kamu lapar?" tanyanya dengan nada ceria, seolah berusaha membawa sedikit cahaya ke dalam kegelapan yang menyelimuti Leif.
Leif hanya menggeleng pelan, rasa lapar adalah hal terakhir yang ada di pikirannya saat ini. Juliet mengerti, melihat beban yang tergambar jelas di wajah Leif. Dia mengedipkan sebelah matanya, memberi isyarat rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu. "Ayo, ikut aku," katanya dengan suara lembut, seolah berusaha memberikan sedikit kenyamanan.
Juliet memberi isyarat kepada salah seorang pelayan lain di restoran, meminta izin untuk keluar sejenak. Dia melepas apron hitam milik restoran dan melipatnya dengan rapi sebelum menyerahkannya. "Aku akan keluar sebentar," katanya sambil melirik ke arah Balthazar.
Saat Juliet berjalan keluar bersama Leif, dia melambai kepada Balthazar dan membuat isyarat dengan tangan, 'tugas penjemput, aku akan menjelaskan, kamu tunggu di sini sebentar.' Balthazar, yang sedang sibuk membawa piring, menatap Juliet dengan ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk, meski masih tampak bingung.
Juliet membuka pintu restoran dan melangkah keluar, diikuti oleh Leif yang masih tampak bimbang. Udara luar yang segar menyambut mereka, sedikit membantu meredakan ketegangan yang Leif rasakan. Juliet menoleh ke Leif dan tersenyum lagi, kali ini dengan lebih lembut. "Ayo, kita bicara di tempat yang lebih tenang," katanya, suaranya penuh pengertian.
Leif mengangguk perlahan.
Mereka mulai melangkah menyusuri trotoar yang ramai dengan pejalan kaki. Mereka berjalan beriringan, suasana kota yang sibuk terasa kontras dengan kerumitan pikiran Leif. Juliet berbelok ke selatan, menuju arah taman di pusat kota yang dikenal dengan nama Fennel garden city.
Fennel garden city adalah tempat yang sederhana namun nyaman. Taman ini dipenuhi dengan pohon-pohon rindang yang memberi keteduhan, bangku-bangku kayu yang tersebar di sepanjang jalur setapak, dan hamparan bunga yang berwarna-warni. Beberapa orang lalu lalang, menikmati suasana tanpa memperhatikan Leif dan Juliet yang berjalan dengan tenang menyusuri jalan setapak.
Leif memandang sekeliling, merasakan ketenangan familiar yang perlahan meresap. Dia pernah ke sini, beberapa kali semasa hidup. Dan setiap kali Leif mampir itu selalu bisa menenangkan pikirannya.
"Juliet," panggilnya pelan, memecah keheningan di antara mereka. "Siapakah sebenarnya kamu dan Balthazar? Apa kalian juga hantu atau... malaikat lainnya?"
Juliet tertawa ringan, suaranya lembut dan menenangkan sangat berbeda dari senyum awal mereka bertemu. Mereka terus berjalan dengan santai di sepanjang jalan setapak. "Kami berdua adalah penjemput," jawabnya dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.
Leif mengerutkan kening, kebingungan semakin tampak di wajahnya. "Penjemput? Apa itu? Apakah maksud mu malaikat maut atau semacamnya?"
Juliet mengangguk, senyumnya melebar. "Kalian manusia menyebutnya begitu," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Leif terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Juliet. "Tapi, malaikat maut yang aku tahu... mereka seharusnya menakutkan, dengan cerurit besar dan awan gelap. Bukan seperti—kalian?"
Juliet tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Leif. Suaranya menggema di taman yang tenang, menarik beberapa pandangan penasaran dari orang-orang yang lewat. "Oh, Leif! Itu hanya gambaran dari cerita-cerita lama. Kami tidak perlu tampil menakutkan seperti itu," ujarnya sambil menepuk bahu Leif dengan lembut. "Tapi, kadang memang kita berpenampilan seperti itu. Jika sedang bosan."
Kemudian Leif mulai mengingat kembali saat-saat awal mereka bertemu di dalam gerbong kereta. "Yang di gerbong... apakah itu juga bohong?" tanyanya, matanya mencari jawaban di wajah Juliet.
Juliet tertawa lagi, kali ini dengan nada lebih hangat dan penuh pengertian. "Tidak, Leif. Itu bukan bohong. Kami hanya berusaha membuat transisi ini lebih mudah untukmu, untuk membantumu menerima kenyataan dengan cara yang paling lembut."
Leif mendumel, "Lembut? Aku hampir mati karena ketakutan!"
"Tidak mudah menemukan cara yang sempurna untuk memberitahu seseorang bahwa mereka telah meninggal. Kami mencoba berbagai pendekatan," Juliet tersenyum, namun matanya tidak memancarkan penyesalan sama sekali.
Leif menghela napas, masih merasa kesal, akan tetapi merasa sedikit lega mendengar penjelasan Juliet. Namun, rasa penasaran masih menggelayuti benaknya. "Jadi, apa sebenarnya tugas penjemput itu?"
Juliet berhenti sejenak, memandang Leif dengan serius. "Tugas kami adalah menjemput jiwa-jiwa yang telah meninggal dan membantu mereka menuju ke Neraka Administrasi. Kami memastikan bahwa transisi mereka berjalan dengan lancar dan, sebisa mungkin, tanpa rasa sakit atau kebingungan yang berlebihan."
Mereka melanjutkan berjalan, langkah-langkah mereka terasa lebih ringan seiring dengan percakapan yang mengalir. Juliet melanjutkan penjelasannya, "Kami juga membantu jiwa-jiwa yang tersesat atau yang memiliki urusan yang belum selesai di dunia ini. Kadang kami juga harus berburu roh liar yang merusak keseimbangan alam manusia dan roh."
"Terdengar sangat sibuk."
"Sejujurnya rasanya seperti aku ingin mati lagi."
"Kenapa tidak menolak? Maksud ku saat pertama kali diberikan surat kontrak 'itu'?"
Juliet menggeleng, "Memangnya aku punya pilihan."
Mendengar penjelasan Juliet, Leif menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Kenapa?" tanyanya, suaranya mengandung sedikit rasa ingin tahu yang mendesak.
Juliet memilih diam sejenak, pandangannya menerawang jauh seolah mencari jawaban di udara. Matanya kini tampak sedikit suram, seperti ada beban yang dia simpan sendiri.
Leif segera menyadari bahwa mungkin ada hal-hal yang lebih dalam di balik tugas Juliet dan Balthazar yang tidak bisa dijelaskan dengan mudah. Dia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh dan segera menambahkan, "Apakah semua penjemput seperti kalian?" tanyanya, penasaran, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Juliet kembali tersenyum, meskipun sedikit pudar, dan melanjutkan langkahnya. "Penjemput datang dalam berbagai bentuk dan karakter," katanya, mengulangi penjelasan sebelumnya dengan nada yang lebih ringan. "Ada yang lebih serius, ada yang lebih santai. Kami semua memiliki cara yang berbeda-beda dalam melakukan tugas kami, tetapi tujuan kami sama: memastikan setiap jiwa menemukan jalan mereka."
Leif mengangguk, mencoba mencerna semua informasi baru ini. "Jadi, kalian semacam pemandu untuk jiwa-jiwa yang baru meninggal?"
Juliet tersenyum, menyukai deskripsi itu. "Ya, bisa dibilang begitu. Kami adalah pemandu, teman, dan pelindung bagi mereka yang berada di ambang perjalanan baru mereka."
"Karena itulah kalian mengejarku sebelumnya," gumam Leif akhirnya mengerti. Dia merasa sedikit lebih tenang, meskipun masih ada banyak hal yang belum dia mengerti. Namun, rasanya tidak seburuk itu.
Juliet tertawa kecil, seolah menikmati situasi ini. "Kita tidak mengejarmu, Leif. Lebih tepatnya, kita membawamu ke tempat yang seharusnya. Ini semua bagian dari proses. Kamu akan terbiasa dengan semua ini seiring berjalannya waktu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro