Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A Small House That Holds A Million Memories

"Oi! Bangun!" Teriak sebuah suara yang terdengar samar-samar. Yume mengerang pelan, dan memeluk gulingnya dan tidur kembali. Sedaritadi, suara itu tidak berhenti-berhenti meneriaki kata-kata yang sama. Tetapi dirinya yang keras kepala tidak mau mengalah--dengan cara bangun.

"BANGUN!" Yume tidak menghiraukannya.

"BANGUN! BANGUN! BANGUN! BANGUN! BANGUN! BANGUN! BANGUN! BANGUN! BANGUN!" Yume semakin mengacuhkannya.

"BANGUN!! BANGUN!! BANGUN!! BANG--" Kali ini suara itu semakin membesar saja.

"IYAA!!" Pekik Yume dengan jengkel. Ia baru saja melupakan fakta bahwa si lebar ini tipe manusia yang ngotot dan cerewet. Ia ingat sekali si lebar tanpa kenal putus asa menelponnya terus-menerus sampai kupingnya pengang saat itu.

Yume menuruni tangga dengan menghentak-hentakkan kakinya. Tiba-tiba saja tubuhnya menerosot turun, dan tubuhnya terjepit.

Yume menjerit kesal. Ia lupa kalau ada anak tangga yang bolong.

Astaga, mengapa pagi-pagi ia sudah harus pikun, sih?

"Pak lebar! Ini masih jam dua subuh!" Jerit Yume ketika matanya tak sengaja menangkap jam yang menunjukan masih jam dua subuh. Pantas saja rasanya rumah itu gelap. Dan pantas saja matanya masih sangat berat. Apalagi rasanya baru saja ia tertidur.

Yume berjengit lalu meringis kesal ketika menyadari apa yang baru saja ia katakan. Ck, kenapa pula ia harus keceplosan?

Yume menatap lurus ke depannya, dan meratapi nasibnya. Tinggal tunggu waktu, dan dia akan didatangi maut.

Ugh, sepertinya pagi ini dia sedang sial.

Si lebar tiba-tiba muncul dan berjalan mendekati Yume (yang sedang meneguk ludah dan melototi si lebar dengan ngeri) dan menatapnya horor.

"Ini, nih. Karma kalau anak kecil diperkenalkan dengan hitam." Desahnya--berbicara dengan diri sendiri. Yume yang merasa dirinya tidak akan dimarahi, menyengir.

"Nah, Apa maksud anda membangunkan saya saat pagi-pagi buta begini, pak ...." jeda sebentar. "Eum .... Matthew?" Tanyanya sambil tersenyum manis, sok sopan. Si lebar mendelik ke arahnya.

"Dih, kau ini jadi pindah tempat tinggal tidak, sih?! Heh, awas kau dihukum alam karena mengatai pagi itu buta!" Sahut si lebar, ngegas. Yume memutar bola matanya dan melengos.

Sok polos, rutuk Yume.

"Kenapa pagi-pagi, sih?!" Tanya Yume, ikut ngegas. Sengaja, ceritanya ia mengajak si lebar bertanding tinggi-tinggian suara.

"Heh, anak tidak tahu terima kasih! Kami harus kembali kerja nanti! Kau pikir, kami berhenti kerja?!" Pelototnya. Yume merasa malu, tetapi ia tutupi dengan menatap si lebar dengan dingin.

"Loh, si hitam aja tidak ada!" Serunya, keceplosan (lagi).

"Nah, sekarang kau ikut memanggilnya 'hitam'. Tanpa 'pak', pula," Desah si lebar lagi, lalu mengusap wajahnya. Yume tersenyum lebar--sehingga menampilkan deretan gigi putihnya. "Pak Blacky itu sudah di depan rumahmu. Ia terlalu bersemangat karena sudah lama tidak mengendarai perahu. sampai-sampai ia sudah berdiri di depan situ dari jam dua belas malam." Celetuknya.

Yume mendengus ketika si lebar menekan kata 'Pak Blacky', lalu mengernyit heran dan menggeleng-gelengkan matanya ketika si lebar mengatakan kalimat selanjutnya.

"Cepat ganti pakaianmu. Pakai pakaian tebal. Hari ini sedang satu derajat minus delapan celcius, apalagi kalau subuh-subuh begini lebih dingin." Perintah si lebar. Kali ini, Yume mengangguk patuh. Sebenarnya ia juga sudah tahu tentang hawa hari ini karena kekuatannya yang muncul saat barusan ia menuruni tangga.

Yume mengangkat tubuhnya dengan paksa dari lubang anak tangga. Ia berjalan menaiki tangga dengan terseok-seok. Ia masih sangat mengantuk.

Setelah sampai di kamar, ia membanting pintunya kuat-kuat--melampiaskan kekesalannya kepada pintu kamarnya (yang sama sekali tidak bersalah).

Ia mengganti pakaiannya dengan baju lengan panjang dua lapis, dan sweater hangat berwarna biru buatan Neneknya dulu--yang bercorak bunga-bunga. Ia memakai celana legging dua lapis (juga) yang berwarna nila polos--senada dengan sweater warna birunya. Ia juga memakai kaus kaki tebal. Sesudah itu, ia mengikat rambutnya dan mengepangnya menjadi satu. Sekarang, ia terlihat sangat manis.

Yume kemudian terdiam dan berdiri mematung di tengah-tengah kamarnya.

Ia menghela nafas dan menatap sekelilingnya. Kamar yang sudah ditempatinya dari belia. Kamar yang tidak pernah berubah sedikitpun sampai sekarang. Ruangan ternyaman yang pernah ia tempati untuk beristirahat.

Sekarang, ia harus meninggalkannya.

Yume menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Ia sedih dan tertekan sekali. Mau bagaimana lagi? Ia tetap harus melewati hari-harinya. Padahal, ia yakin sekali banyak hal-hal yang lebih menyedihkan yang akan menimpanya suatu hari nanti.

Ia kembali terdiam dan mengenang semua kenangan-kenangan yang dilakukannya di kamar ini dulu-dulu.

Dan kamar itu menjadi sunyi. Ia hanya berdiam terus di tempatnya. Lama sekali ia berdiam. Mungkin sekitar 30 menitan.

"Cepat, dong! Ganti baju saja seperti tidur! Lama sekali!" Teriak si lebar dari bawah. Yume melenguh dan segera menyeret dirinya menuruni tangga, sambil membopong kopernya.

Si lebar sudah menunggu sedari tadi di bawah. Ia menggunakan jaket tebal yang berbulu, celana panjang, serta sepatu bot kulit. Ia sedang memeluk diri sendiri kuat-kuat. Sepertinya ia kedinginan.

"Mana Pak Blacky?" Tanya Yume dengan enggan ketika memanggil si hitam dengan embel-embel 'pak' dan nama aslinya segala.

"Dia masih diluar. Aduh, hari ini dingin sekali. Uhh, untung saja kita sudah memakai baju tebal." ujar si lebar. Yume hanya mengangguk setuju.

"Tunggu .... " Yume menatap si lebar dengan mengerutkan alisnya. Rasanya ada yang janggal.

Tiba-tiba saja ia mengetahui apa yang janggal bersamaan dengan si lebar. keduanya saling bertatapan dan memasang wajah ngeri, lalu menggeleng histeris

"PAK HITAM!" Pekik Yume. Ia dan si lebar segera tergesa-gesa menghambur keluar dan mendapati si hitam sudah membatu dan tidak bergerak sedikitpun seperti patung di luar. si hitam hanya memakai kaos dan celana selutut.

Si lebar dan Yume memekik histeris dengan kompak--ketika menatap si hitam. Keduanya cepat-cepat berlari ke si hitam.

Keduanya menatap horor ke hitam yang berkulit hitam kini sudah berwarna putih kepucat-pucatan. Pertemuan antara gigi atas dan gigi bawahnya sangat berisik. Ia menggigil disitu.

Yume dengan panik cepat-cepat mendorong si hitam kuat-kuat--memastikan bahwa si hitam tidak membeku--sampai si hitam jatuh. Si hitam meringis kesakitan.

"Aduhh, sakit tahu!" Sahut si hitam sambil mengelus-elus kakinya yang tadi terjepit karena tertimpa dirinya sendiri. Yume menatapnya datar. Sangat datar. Sedangkan si lebar, disampingnya sudah menggertakan giginya dengan wajah yang merah padam.

"Kenapa, sih?" Tanya si hitam yang keheranan melihat tatapan kedua manusia disampingnya.

Si lebar mengumpat. "Kukira kau ini membeku! Sudah tau kedinginan kenapa tidak masuk!" ia mengumpati si hitam lagi. "Kalau kau mati kedinginan, nantikan aku yang dituduh!" Ia mengumpat lagi.

Si hitam hanya menatapnya linglung.

Yume disampingnya menatap mereka datar. Sumpah, sebenarnya mereka ini tidak membantunya sama sekali selama empat hari ini. Mereka hanya mengacau rumah. Mereka hanya duduk santai terus di sofa sambil menonton televisi. Mereka hanya menyeretnya masuk kalau keterusan menatapi kuburan, atau menyuruhnya tidur dan makan. Hanya itu. Setelah itu, mereka kembali mengobrak-abrik rumah Kakek dan Neneknya dan menjadikannya kapal pecah--tidak mempedulikan apa yang Yume lakukan lagi setelahnya.

Ia akui. Ia merasa menyesal berterima kasih kepada mereka karena mau merawatnya.

"Cepat sana ganti pakaianmu!" Omel si lebar. Sudah seperti bapaknya saja.

"Iyaa," balas si hitam. Ia berlari dengan kaku, lalu memasuki rumah. Beberapa menit menunggu, si hitam sudah keluar dengan pakaian yang hangat--yaitu jaket empuk (yang mungkin nyaman kalau dijadikan bantal), serta celana jeans, lalu sepatu kulit yang tebal.

Setelah si hitam mendekati Yume dan si lebar, ketiganya menjadi hanya diam. Yume larut dalam lamunan, si hitam cengar-cengir sendiri, si lebar sibuk menggigil kedinginan.

Yume yang sadar bahwa mereka tidak bergerak sedikitpun cepat-cepat menoleh heran kepada mereka.

"Apasih? Kok diam-diam? Oi, awas telat kerja!" Timpal Yume, memecah keheningan. Keduanya menoleh.

"Ya sudah ayo. Loh, perahunya saja tidak ada!" Ucap si lebar. Yume menengok ke kanan-kiri, lalu menggeram kesal.

"Ya, ambil dong! Masa aku yang ambil?! Berat, tahu!" Protesnya sambil melipat kedua tangannya. Si lebar memutar bola matanya dengan malas. Lalu segera memasuki rumah  sambil menyeret si hitam untuk ikut membantunya membopong perahu serta kayak.

Yume menunggu sambil terus melipat tangannya dan memasang wajah angkuh.

Si hitam dan si lebar datang lagi sambil membopong perahu. Si lebar memegang ujung perahu sebelah kiri serta satu kayak, dan si hitam memegan ujung perahu sebelah kanan dengan kayak yang satunya lagi.

Si hitam mengeluh dan mengatakan bahwa perahunya berat. Tiba-tiba saja ia menjatuhkan bopongannya. Perahu langsung tidak seimbang dan jatuh setengah.

Si lebar menunduk ketika si hitam menjatuhkan perahu. Si hitam cepat-cepat memijat telapak tangannya dengan tangannya yang satu lagi.

Hening.

Si lebar masih menunduk. Terlihat jari-jarinya--yang sedang mencengkram ujung perahu--memutih. Sangat putih. Sedangkan Yume, masih setia melipat tangan dan memasang wajah angkuh nan songong.

"Kapan ... " tiba-tiba si lebar bersuara. Si hitam menatapi si lebar, dan Yume hanya meliriknya lewat ekor matanya. "Kau tidak meyusahkan, hi-tam?" Si lebar memberatkan suaranya sambil mengangkat kepalanya perlahan dan menatap si hitam dengan geram. Ia sengaja menekan kata 'hitam' dan menyebutkannya dengan terputus-putus.

Yume mengernyit melihat si lebar yang mukanya sudah sangat merah. Kali ini lebih merah. Matanya terlihat sangat tajam dan menyeramkan--membuat semua orang pasti tidak akan berani melihatnya (kecuali Yume)--dan suaranya terdengar sangat mengintimidasi.

"Tidak tahu," celetuk si hitam dengan santai dan sama sekali tidak takut. "Mungkin saat kita sudah di dimensi lain. Kan nanti aku tidak bisa menyentuhmu."

Si lebar menatapnya garang dan mengepalkan tangannya dan bersiap meninju si hitam. Tetapi Yume cepat-cepat berlari kecil dan menahan tangan si lebar--yang tangannya sudah hampir mengenai si hitam. Percayalah, meskipun si lebar ini sangat kuat--terlebih lagi sekarang si lebar sedang sangat marah sehingga semakin kuat (karena sudah mengumpulkan tenaga)--tetap saja tenaga Yume lebih besar. Yume mungil-mungil begini kuat sekali.

"Jangan. Pernah. Ada. Perkelahian. Di. Depanku." Kata Yume dingin. Sekarang tatapan matanya lebih tajam dan lebih menusuk dari pada si lebar sebelumnya. Wajahnya datar.

Si hitam merinding di tempatnya, sedangkan si lebar menatapnya heran. Akhirnya, Si lebar menurunkan tangannya dan melempar tatapan membunuh kepada si hitam. Si hitam hanya mengangkat bahunya sekilas.

Hening lagi.

Yume menatap rumah yang berada tepat di depannya. Hatinya terasa sakit lagi.

Rumah ini ... terlalu banyak menyimpan memori. Tempat yang ia tinggali sejak kecil. Tempat yang menjadi tempat perlariannya dari rumah kedua orangtuanya. Tempat di mana ia menghabiskan setiap waktu bersama Kakek dan Neneknya. Tempat yang membuatnya selalu merindukan tempat itu ketika sedang di tempat lain, karena rumah itu memiliki aroma tersendiri.

Rumah itu kecil tetapi menyimpan sejuta kenangan.

Mulai dari kenangan terburuk sampai kenangan terindah.

Lagi-lagi semua kenangan yang ia lakukan di rumah itu samar-samar berputar di otaknya, seperti kaset yang sudah sedikit berbaret.

Dan sekarang, ia sedang dilimpahi banyak musibah.

Mulai dari kematian Kakek dan Neneknya, harus mengirit uang--yang ia ambil dari tabungannya untuk kebutuhannya--karena ia hanya memiliki sedikit uang, berpisah dengan teman baru, dan berpisah dengan rumah yang sudah ia tempati sejak kecil.

Dan yang paling terburuk adalah ...

Harus kembali ke tempat aslinya yang sudah seperti neraka. Kembali ke tempat dan orang yang sama dengan tempat dan orang yang membuatnya memiliki 'penyakit' yang disebabkan trauma. Tempat dan orang yang nyaris membuatnya sangat putus asa dan hampir melayangkan nyawanya sendiri. Tempat dan orang yang sama yang membuatnya menjadi broken home.

Dan sekarang, ia harus kembali ke tempat dan orang itu.

Tempat dan orang yang sama dengan tempat dan orang yang membuatnya menyimpan luka terbesar.

***

A/N

Helo!

Maap nih ye aku tunda-tunda terus perjalanan mereka di Grymc River:3

awalnya cuma mau nulis yang ngga penting-pentingnya dikit doang, terus baru nyadar kalau udah 1800+

Mueheheheh, kebablasan prend;-;

Btw aku tau kok kalian pada heran sama aku karena buat judul tuh panjang-panjang.

Aku juga tahu

Cuma rasanya susah aja gitu buat judul pendek. Kalau mau pendek, akunya ragu terus sampe nentuinnya semalaman, mau buat judul pendek atau ngga-_-

Astagaa, kapan ni penyakit hilaang!

Awalnya juga aku nulis judul cerita ini sebenarnya lebih panjang lagi. Cuma, setelah bertengkar dengan diri sendiri yang berada di pihak yang pengin ni judul pendek, yaudah deng aing buat itu judul pendek. (Pendek apaan'-'))

Cuma kalau judul part ini tuh, rasanya itu judul paling cocok, tapi kenapa tu judul mesti panjang, sih! //injek-injek judul //ditampol judul //nampol balik judul
//ditampol balik //nampol lagi

si judul mau nampol lagi tapi tiba-tiba Yume dateng terus langsung masang wajah dingin

(Spoiler: si Yume punya trauma dengan orang yang bertengkar)

//langsung pura-pura baik sama judul

pas Yume udah pergi, si judul nampol lagi terus langsung kabur. //auto babak belur.

Oke, oke ini kok lama-lama NGGA JELAS?!

Duh males ngetik author note lagi, capek ngetik.

See you in ne-- (//tiba-tiba si judul dateng lagi terus nampol lagi)

SEE YOU IN NEXT PART! (//Langsung pingasnin si judul)

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro