Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 33 "Eksekusi Rencana"

Istana ini masih sama bentuknya sejak aku terbangun di tubuh Pangeran Pertama Quon, Ho Fengying. Pilar-pilar berwarna merah masih berdiri kokoh menopang Aula Matahari, yang merupakan tempat yang sering digunakan untuk pertemuan, juga merupakan Ruang Takhta Raja Quon, Ho Hongli. 

Jajaran pilar merah itu mengingatkanku pada para pelayan yang tak melakukan salam hormat pada Feng–aku. Mereka sibuk menggantungkan lampion di atap. Padahal aku sedang melewati lorong tempat mereka memasang lampion. Feng benar-benar dianggap sampah oleh kerajaannya.

Kereta kuda berjalan ke sisi barat Aula Matahari. Memperkecil jarak antara kami dan pilar-pilar besar. Beberapa prajurit berdiri di setiap pilar Aula Matahari. Mereka memakai baju besi yang menutupi dari batu hingga bagian perut para prajurit. Tombak panjang setia menemani tugas mereka berjaga.

Kami tiba di sebuah lapangan yang penuh dengan prajurit. Bermacam peralatan latihan fisik sedang dipakai oleh mereka. Sekelompok prajurit ada yang sedang memanah papan sasaran di area panahan. Yang lainnya ada yang berduel menggunakan pedang. Ada juga yang bertarung dengan tangan kosong, saling menyerang menggunakan jurus kultivasi yang dimiliki masing-masing prajurit.

"Ini adalah Barak Prajurit." Lan membuyarkan konsentrasiku saat hendak mengamati sebidang lapangan yang dikelilingi pepohonan rimbun ini. "Istana Pangeran Kedua tak jauh berada disini."

"Mengapa kita pergi ke sini?" tanyaku. Agak aneh saat kereta kuda berjalan menuju ke tempat pelatihan prajurit ini. Bukankah Lan berkata bahwa rampasan perang ini akan dikirim pada Wei?

"Ini adalah jalan ke Istana Harimau, kediaman Pangeran Wei." Pantas saja kereta ini berjalan ke Barak Prajurit. Ini merupakan jalan menuju istananya Wei. Cukup masuk akal jalan menuju istana Wei ini melewati Barak Prajurit. Wei adalah seorang jendral kerajaan. Jarak yang dekat antara Barak dan kediamannya mempermudah pergerakan prajurit saat ada perintah dari Baginda Raja.

Kereta kuda berhenti saat kami sudah sampai di sebuah istana yang dipenuhi para prajurit. Aku, Lan, dan empat bawahanku langsung menurunkan barang bawaan dari kereta kuda. Beberapa prajurit yang berjaga sigap membantu kami mengangkut semua peti dan alat-alat perang di gerobak ke dalam Istana Harimau kediaman Wei. Ternyata, sang pemilik sudah menyambut kami di pintu masuk istananya.

"Selamat datang, Urusan Jendral Gong." Wei berdiri di balik pintu yang sudah dibuka prajurit penjaga istana. Ia merentangkan kedua tangannya, menunjukkan sikap ramah pada kami. Senyuman lebar terpampang di wajah yang biasanya cemberut itu. Seakan ia sudah menunggu kedatangan emas dan berlian ini.

Aku, Lan, para bawahanku, dan para prajurit meletakkan peti dan gerobak di hadapan Wei. Para prajurit kembali ke tempatnya semula. Yang tersisa adalah kami yang sedang membungkuk hormat pada Jendral Quon itu.

"Salam, Yang Mulia Pangeran Kedua." Lan berucap hormat pada Wei. "Maafkan keterlambatan kami."

"Tidak usah khawatir, Lan." Kami semua bangkit kembali setelah Wei berucap. Aku menatap wajah Wei langsung. Ekspresi senyumnya masih belum luntur. "Aku bisa bersabar demi emas dan berlian."

"Sesuai dengan perjanjian, Jendral Gong mengirimkan ini sebagai pertukaran dengan makanan."

"Bersabarlah sebentar, Lan. Beras dan sayuran akan segera dikirimkan."

"Kami harap kiriman sumber daya makanan dari Quon dikirim secepatnya." Lan mendongak, menatap Wei lansung. Ia berani sekali menatap mata seorang jendral di istananya sendiri. Wei yang ditatap langsung oleh Lan tidak langsung marah. Ia malah mempertahankan kontak mata dengan utusan Jendral Gong itu.

"Aku akan mengatur skenario yang masuk akal untuk alasan pada Baginda Raja." Wei menatap Lan sengit. Tatapan yang sama saat ia menantangku di Aula Matahari hingga sebuah kekacauan terjadi. Namun Wei mengalihkan pandangannya ke arah lain. Lebih tepatnya ke arahku yang sedang memperhatikan percakapannya dengan Lan. "Siapa orang-orang ini?"

Mendapat tatapan tajam dari Wei, aku menundukkan kepala. Tidak boleh gegabah dengan menatap mata cokelat Wei yang sedang berkilat. Sekarang di matanya, aku hanyalah orang asing.

"Mereka adalah sekutu kita, Pangeran." Lan menjawab pertanyaan Wei. "Aura mereka samar-samar. Saya tidak bisa mengukur kultivasi mereka. Terutama Iza." Ia menatapku.

"Menarik." Wei bergumam.

"Dia ingin mengikuti pencarian artefak Dewa Kegelapan, Pangeran."

"Pencarian artefak?" Wei merespon dengan nada yang agak tinggi.

"Maafkan saya, Yang Mulia Pangeran Kedua." Aku membungkuk dengan menaruh tangan kanan di dada kiri. "Lan menawarkan hadiah yang banyak untuk misi pencarian." Aku berkata jujur sesuai apa yang dijanjikan oleh Lan dahulu.

"Mengapa aku dan Jendral Gong harus memberikan banyak koin emas jika kau tidak berguna?!" Wei membentak. Suaranya menggelegar di Istana Harimau kediamannya ini. Beberapa prajurit di sekitar tidak bereaksi apapun. Mereka pasti tak mau kena omelan jendral yang terkenal pemarah ini. Lan dan para bawahanku terdiam, tidak merespon bentakan Wei. Namun aku harus tetap menjawab pertanyaannya. Aku tidak boleh menyembunyikan makanan dari singa yang sedang mengamuk.

"Saya merupakan kunci keberhasilan Anda dalam merekayasa kematian Pangeran Feng." Aku menjawab tanpa keraguan.

"Bagaimana bisa?"

"Saya menyimpan hanfu penuh darah milik Pangeran Wei."

"Bangkitlah." Aku menegakkan badan saat Wei memerintahkan. Mata coklatnya menatapku tajam. Aku menatapnya balik tanpa ada ketakutan sedikitpun. "Siapa kau sebenarnya?"

"Saya hanyalah penduduk dari desa di Hutan Terlarang." Aku menjawab dengan mempertahankan kontak mata padanya.

Wei mengalihkan pandangan ke arah Lan.

"Tugas kalian selanjutnya cukup berat," ucap Wei, tidak membalas perkataanku sebelumnya. "Pastikan rekayasa kematian berjalan lancar."

Aku, Lan, dan keempat bawahanku sontak membungkuk seraya meletakkan tangan kanan di dada. "Baik, Yang Mulia Pangeran Kedua!" Kami serentak berucap.

"Pergilah. Segera lakukan tugas kalian." Kami bangkit dari posisi bungkuk setelah Wei berucap. "Waktu kalian tujuh hari."

Kami segera keluar dari Istana Harimau kediaman Sang Pangeran Kedua Quon itu. Kembali menaiki kereta kuda yang sedari tadi menunggu.

***

Ini kali pertama aku berjalan di pusat keramaian Ibukota Kerajaan Quon. Kereta kuda sibuk berlalu lalang di jalanan yang sudah berlapis baru halus yang tidak menimbulkan guncangan. Kios-kios dipenuhi pembeli yang hendak memenuhi kebutuhannya masing-masing. Beberapa orang berpakaian lusuh dan kotor berjalan sambil memanggul karung maupun beberapa kebutuhan yang cukup banyak. Mereka semua bercampur di area bernama Pasar Ibukota ini.

Lan berkata bahwa ia akan menjalankan tugas khusus dari Jendral Gong, tidak bersamaku. Aku menggunakan kesempatan ini untuk menemui Tetua Luo.

Aku dan keempat bawahanku menerobos kerumunan orang dengan menyenggol siapapun yang menghalangi jalan. Alhasil kami dihadiahi teriakan dan makian. Terpaksa kulakukan demi mempercepat perjalanan ke Kedai Luo yang berada di Pasar Ibukota.

Berjibaku melewati keramaian di pasar, kami telah sampai ke tujuan kami. Sebuah papan kayu bertuliskan "Kedai Luo" menggantung di atas pintu kedai yang cukup lebar itu. Aku dan para bawahan langsung masuk ke kedai, berjalan ke lantai atas tempat kamarku dan kamar Tetua Luo berada.

Aku mengetuk pintu ruangan sebelah kamarku. Tak lama kemudian, sang pemilik ruangan membukakan pintu sambil tersenyum.

"Anda sudah kembali, Tuan Sky?" Tetua Luo bertanya ramah.

"Tentu saja, Tetua." Aku membalas pertanyaan Tetua ketua Serikat Dagang itu. "Ada berita penting dari penyelidikanku."

"Kita harus membicarakannya di dalam. Hanya empat mata."

"Baiklah."

Aku masuk ke kamar milik Tetua Luo ini. Para bawahanku masih menunggu di luar, tidak ikut masuk karena ini adalah pembicaraan pribadi. Tak lupa aku mengeluarkan energi qi murni untuk membuat lapisan peredam suara agar tidak ada orang lain yang mendengar percakapanku dengan Tetua Luo.

"Peredam suara." Kabut tipis seketika menyebar ke seluruh penjuru kamar. Sedetik kemudian, kabut itu sudah menyatu dengan warna sekitarnya. Sekarang, tidak ada orang yang bisa mendengarkan dari luar.

Aku dan Tetua Luo duduk di kursi di tengah ruangan. Teh hangat telah tersaji di hadapan kami. Aku menyesap teh itu sebagai penghormatan pada orang yang telah menyediakan.

"Pangeran Kedua Quon telah melakukan perjanjian dengan Jendral Kerajaan Qing." Aku berucap tanpa basa basi setelah meneguk sedikit teh dari cangkir.

"Perjanjian apa, Tuan?" tanya Tetua Luo.

"Perjanjian dimana Jendral Qing akan memberikan emas dan berlian pada Pangeran Kedua, dan Pangeran Kedua akan memberikan sumber daya makanan bagi Qing."

"Anda mengatakan bahwa Pangeran Kedua telah berkhianat?" Tetua Luo mengernyitkan dahi.

"Ya. Pangeran Kedua akan melakukan sebuah skenario dengan Jendral Qing untuk menjadikannya sebagai Putra Mahkota." Aku menerangkan hasil penyamaranku.

Tetua Luo menggelengkan kepala. "Ini berita yang besar. Kepala Desa harus mengetahui hal ini."

"Aku akan menghubungi Tuan Qui setelah ini."

"Apa pengkhianatan ini berkaitan dengan hilangnya Pangeran Feng?" Tetua Luo bertanya sambil menyesap teh di depannya.

"Tidak mungkin Pangeran Kedua akan menjadi Putra Mahkota jika orang yang paling berhak masih hidup."

"Kita harus segera bersiap, Tuan." Tetua Luo menaruh cangkir tehnya di saucer tanah liat. "Kerahkan anggota Black Lotus Assassin untuk memata-matai mereka."

"Mengetahui kekuatan musuh adalah setengah kemenangan, ya?" Aku tersenyum. Perkataan Tetua ada benarnya. Aku tidak boleh gegabah sebelum melakukan rencana lagi. Ini langkah yang paling aman.

Tunggu saja, Wei. Setelah aku menemukan artefak itu, aku akan mengakhirimu segera.

_______________________________

Makin dekat ke konfliknya nih. Gimana pendapat kalian soal cerita ini? Jangan malu buat komentar kalo misalnya ada saran yang mau disampaikan. Setiap saran itu bisa bikin cerita ini makin baik.

Bogor, Jumat 27 Januari 2023

Ikaann

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro