Bab 28 "Kamuflase"
Maaf mengganggu Anda, Tuan.
Desa telah didatangi oleh pasukan Quon. Mereka di bawah pimpinan Pangeran Kedua, Pangeran Wei. Saya hendak memberitahu Anda segera, namun tidak ada bayangan Anda di desa. Kedatangan pasukan Quon untuk mencari Pangeran Pertama, Pangeran Fengying yang telah lama hilang.
Saya rasa, Anda harus mengirim satu bayangan Anda ke desa untuk berjaga-jaga, demi mencegah kejadian tak terduga seperti hari ini.
Kepala Desa Hutan Terlarang
Qui
Kabar dari Tuan Qui sungguh tak terduga. Wei sudah mengendus keberadaan Feng di Hutan Terlarang. Buruknya lagi, keberadaan desa di timur hutan ditemukan olehnya. Kurang lebih satu tahun Feng—atau aku yang berpindah jiwa ke tubuhnya, belum ditemukan oleh mereka, dihitung dari waktu penculikan hingga keberadaanku di desa selama tiga bulan untuk mengurus rencana pencarian artefak. Namun, hari ini mereka sudah tiba di tempat dimana aku pernah singgah. Yang kupikirkan adalah mengapa Wei harus mencari Feng? Bukankah jika kandidat Putra Mahkota telah hilang, maka sebagai Pangeran Kedua, ia akan menggantikan posisi. Apakah Wei punya rencana lain?
Tuan Qui menyarankan agar aku mengirim salah satu klon ke desa. Sedangkan energiku masih belum pulih. Namun energi itu bisa dengan mudah dipulihkan dengan air dari Danau Qi. Sebelum membuat klon, aku meminum seteguk air Danau Qi di Ruang Dimensi Dewa Pengetahuan, yang seketika mengisi dantian dengan energi Qi yang melimpah. Aku siap mengirim klon ke desa.
"Jurus Pembelah Tubuh." Aku berucap lirih. Satu klon yang serupa denganku terbentuk dari energi qi, berdiri tegak di hadapanku. Kulitnya putih bersih tanpa jerawat. Mata Feng berwarna kecoklatan, berbeda denganku dulu yang berwarna biru.
"Cari tahu keadaan desa." Aku memerintahkan klonku untuk pergi. Ia mengangguk. Detik itu juga, melalui jendela, ia pergi secepat kilat.
Semenjak keluar dari Ruang Dimensi Dewa Pengetahuan saat di hutan dulu, aku menutupi wajahku dengan energi Qi agar identitas Feng tertutup, memakai wajah asliku saat masih belum berpindah dunia, tanpa mengubah warna mata Feng. Dengan energi qi juga kuubah suara Feng agar penyamaranku tidak diketahui oleh orang yang mengenalnya. Cara ini kudapatkan di salah satu gulungan ilmu jurus yang diberikan oleh Dewa Pengetahuan. Jurus ini bernama "Kamuflase Energi Qi."
Mengirim klonku ke desa tidak akan menimbulkan kecurigaan bagi Wei karena aku menyamarkan ciri khas Pangeran Feng. Rambutnya yang tak terurus menjadi pelengkap penyamaran. Semenjak diculik oleh para penyusup istana, aku tidak merawat rambut karena fokus berlatih. Lagipula aku tidak tahu bahan alami apa yang digunakan untuk merawatnya. Terlepas dari itu, semoga saja klon yang kukirim membawa kabar baik.
Kututup lubang botol keramik tempat ramuan untuk Jingmi dengan kain. Kutaruh di lemari agar aman. Nanti jika bertemu dengannya, aku akan memberikan ramuan ini.
***
Siang hari adalah waktu dimana Kedai Luo penuh oleh pelanggan. Meja-meja telah terisi orang yang hendak menyantap makanan di kedai milik Serikat Dagang ini.
Para juru masak yang bertugas di dapur sangat sibuk mengolah hidangan untuk para pelanggan. Bunyi-bunyian peralatan memasak seakan instrumen musik yang diputar melalui speaker.
Tanganku menggenggam pisau pemotong untuk bahan rujak. Kupotong ubi dan bengkuang yang telah dikupas, perlahan agar tidak mengenai tangan. Setelah kedua bahan telah siap, kumasukkan keduanya ke wadah penumbuk rujak yang sebelumnya telah diisi garam, asam, dan gula aren. Suara tumbukan di wadah bersahutan dengan suara pisau para wanita di dapur yang sedang memotong bumbu untuk ayam pengemis. Rujak hasil dari searching iseng ini telah siap untuk disajikan. Kutaruh di piring, membawanya ke depan meja pemesanan untuk diantar oleh pelayan lain.
"Seharusnya Anda tak perlu repot-repot menjadi koki, Tuan. Biarkan kami yang mengurus ini." Pelayan pria itu berucap saat aku menyerahkan seporsi rujak padanya.
"Tujuanku disini selain membantu kedai, yaitu mencari informasi yang penting." Aku berbisik padanya agar tidak ada orang lain yang mendengar. Pelayan itu langsung mengantarkan pesanan setelah aku berbisik padanya untuk menghilangkan kecurigaan orang lain jika ada yang memperhatikan.
Seorang pria dan wanita melewati pintu kedai, berjalan menuju meja kosong di ujung ruangan. Sang pria memakai baju besi keperakan dengan motif ikan yang terukir di bagian dada. Perempuan yang mengantar sang pria memakai hanfu coklat muda yang tak memiliki corak, polos dan agak kumal.
Wajah mereka seperti tak asing.
Wajah sang pria menampilkan ekspresi ramah. Ia tersenyum ke arah wanita yang menemaninya. Sedangkan perempuan itu malah mengerutkan dahi, dan bibirnya cemberut.
Seorang pelayan menghampiri mereka untuk menanyakan makanan apa yang akan pria dan wanita itu pesan. Tak lama kemudian, pelayan itu kembali ke meja pembayaran dan mengatakan pesanannya padaku.
"Dua ayam pengemis dan dua teh, Tuan," ucap pelayan itu.
"Tunggu sebentar." Aku kembali ke dapur tempat para koki wanita sedang memasak. "Ada pesanan dua ayam pengemis dan dua teh."
"Baik, Tuan."
Salah satu koki menyiapkan dua piring untuk ayam. Satu yang lainnya menuangkan teh ke dua cangkir. Mereka menaruhnya di nampan berukuran besar.
"Terima kasih." Aku membawa nampan berisi pesanan dari pria baju besi dan wanitanya ke depan. Ini sudah menjadi kegiatanku di kedai ini. Membuat rujak, berjaga di meja pembayaran, dan mengantarkan pesanan ke para pelanggan. Ini merupakan pengalaman baru bagiku, bekerja sebagai waiter. Namun tetap saja, para koki dan pelayan selalu memintaku untuk beristirahat dan tidak membantu mereka. Memang melelahkan, tapi dengan begini aku bisa melihat siapa yang datang yang kemungkinan mempunyai informasi artefak Dewa Kegelapan, seperti pria berbaju besi itu.
"Aku akan mengantarkannya." Aku tak memberikan nampan berisi dua ayam dan dua cangkir teh ini pada pelayan tadi. Kuantarkan makanan ini ke sang pemesan yang duduk di sudut ruangan.
Para pelanggan asyik berbicara dengan teman mereka. Ramai dan berisik. Untung saja di kedai ini tak ada perkelahian antar kultivator, seperti di drama China yang pernah kutonton. Jika itu terjadi, kedai ini akan rugi banyak karena barang dan peralatan dirusak oleh mereka. Itu membuatku bersyukur. Semoga jangan pernah terjadi di kedai ini.
"Permisi, Tuan dan Nyonya, ini pesanan kalian." Aku menaruh sepiring ayam pengemis di depan si perempuan.
"Silakan." Pria itu membalas ucapanku.
"Ramuan di toko ini memang murah, tapi itu belum bisa mengobati racunmu." Perempuan itu berkata.
"Yang Mulia Raja sudah membebaskanku dari tugas pengawalan." Pria baju besi menanggapi ucapan sang perempuan. Aku menaruh ayam pengemis di depan sang pria dengan lambat agar bisa menyimak pembicaraan mereka berdua. "Beliau memerintahkanku untuk menyembuhkan diri."
Aku kembali ke sisi sang perempuan untuk menaruh teh di sampingnya dalam gerakan pelan.
"Seandainya saja ada ramuan murah yang bisa menyembuhkan racun di tubuhmu, Jingmi." Aku tak bergerak mendengar ucapan perempuan ini.
Jingmi? Pria itu adalah Jingmi? Mengapa wajahnya agak berbeda?
"Aku tak bisa berhenti melakukan ini. Semuanya demi Yang Mulia Pangeran Feng, Jia." Pria yang dipanggil Jingmi itu membalas.
Jia? Apa dia Jia pelayanku dulu di Istana Koi?
Perasaanku kuat, mereka sepertinya adalah Jia dan Jingmi yang kukenal. Tapi mengapa mukanya agak berbeda? Apa karena tidak bertemu untuk waktu yang lama?
Jika benar mereka adalah Jingmi dan Jia yang kukenal, aku harus memberikan ramuan yang kubuat tadi malam.
"Maaf, Tuan dan Nyonya, saya ingin bertanya. Apakah Tuan ini memerlukan ramuan obat yang manjur?" tanyaku, memastikan dulu agar tidak salah sangka.
"Iya." Pria berbaju besi itu menjawab. "Aku terkena Racun Lotus Hitam yang sulit disembuhkan."
Hatiku serasa dihujani ribuan bunga saat dugaanku benar. Dia adalah Jingmi pengawalku, dan perempuan itu adalah Jia pelayanku di Istana Koi.
"Kalau begitu, setelah makan, datanglah ke lantai tiga kedai ini. Saya akan memberikan sesuatu pada Anda."
"Apa yang akan kau berikan?" tanya Jingmi.
"Informasi tentang Pangeran Feng." Aku pergi setelah mengantarkan pesanan. Namun aku kalah cepat. Jingmi bangkit, meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
"Katakan sekarang juga. Disini." Jingmi mengencangkan pegangannya.
"Saya tidak bisa mengatakannya disini. Lebih baik Tuan habiskan makanan Anda terlebih dahulu. Setelah itu naiklah ke lantai tiga kedai ini." Aku mengalirkan sedikit energi qi ke tangan, melepaskan tangan Jingmi yang mencengkeram erat. Ia terdorong hingga menabrak kursi.
"Sudahlah, ikuti saja keinginannya." Jia ikut bangkit, memegang pundak Jingmi yang kokoh. Aku segera pergi ke meja pembayaran setelah terlepas dari cengkeraman pengawalku saat di Istana Koi itu.
"Tolong jaga meja pembayaran. Aku akan ke kamarku sebentar," ucapku ke pelayan yang berdiri di dekat meja pembayaran.
"Baik, Tuan."
_________________________________
Jangan lupa vote dan comment yaa!
Bogor, Minggu, 8 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro