3 - 2
Dari jauh Kryssa melihat sebuah rumah yang dindingnya terbuat dari kayu, dengan atap kayu dengan lubang besar di banyak sisi. Rumah itu dikelilingi oleh pagar logam sebatas pinggang dengan pintu kecil yang engselnya telah rusak termakan usia. Jendela yang telah lama pecah dan berdebu menghiasi sisi kanan dan kiri pintu yang tampak lapuk. Lubang berbagai ukuran juga menghiasi atap rumah yang terbuat dari kayu. Begitu juga dengan dindingnya yang keropos termakan usia dan menjadi santapan rayap.
Pintunya berderit keras saat Kryssa membukanya. Aroma debu dan kayu lapuk menyambutnya dan Grimmar saat mereka melangkahkan kaki ke dalam rumah. Kryssa menutup hidungnya dengan tangan, berusaha mengurangi aroma tidak sedap yang memenuhi penciumannya sambil melangkah dengan sangat hati-hati agar ia tidak menambah jumlah lubang di lantai kayu yang lapuk ini. Sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu – yang kini sudah terbelah menjadi dua – serta dua buah kursi yang lebih kecil dan sebuah meja ada di ruangan tempat kami berada. Di ruangan yang berada di sisi kanan rumah terdapat dua buah ranjang kecil, tampaknya milik anak-anak yang usianya belum sampai sepuluh tahun. Di samping ruangan itu terdapat sebuah ranjang ukuran dewasa dan lemari pakaian yang usang. Aku tidak ingin tahu apa yang ada didalam lemari itu. di bagian belakang rumah, peralatan memasak yang terbuat dari logam berserakan di dekat tungku.
Sebuah keluarga dengan dua orang anak pernah tinggal disini. Mungkin mereka pindah sebelum anak mereka beranjak dewasa.
"kau suka tempat ini?" tanya Grimmar.
Kryssa mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari dinding lapuk dan sarang laba-laba di setiap sudut ruangan.
Grimmar mengangkat tangan kanannya hingga setinggi matanya – seolah sebuah tembok tak kasat mata ada di hadapannya saat ini – dan dalam sekejap rumah ini kembali seperti baru. Dinding kayunya kokoh – tidak lapuk dan tidak ada rayap. Pintunya tidak lagi berderit keras dan Kryssa tidak perlu melangkah dengan ekstra hati-hati.
"terima kasih, Grimmar.." kata Kryssa antusias.
Kryssa melangkah keluar melalui pintu belakang dan melihat taman kecil di belakang rumah dengan serpihan bebatuan putih yang tertata rapi menuju pintu yang tingginya hanya sebatas pinggang di antara pagar logam yang kini mengkilat ditimpa sinar matahari.
sedikit cemberut Kryssa menatap pagar logam yang mengelilingi rumah barunya. ia tidak suka dikelilingi logam. ia mengbeberapa detik kemudian, semak mint muncul dari dalam tanah, hanya sedikit lebih tinggi dari pagar logam itu tapi cukup untuk membuat pagar logam itu menghilang dari pandangan matanya.
Kryssa tersenyum kecil. ia mengangkat tangannya, mengayunkannya perlahan sekedar untuk menyingkirkan rumput liar, lalu menumbuhkan fennel, basil, rosemary di kebun belakang rumah barunya itu, dan mungkin tomat? lalu wortel, seledri, timun, kentang.. ah, jangan lupa dengan labu kuning dan selada.. tiga buah pohon apel dan peach muncul di luar pagar, tidak terlalu jauh dari pintu logam yang kini tampak baru.
jangan lupa dengan silvergrass, rainbow bell dan unicorn hair, pikir Kryssa
"aku selalu suka melihatmu melakukannya.." Grimmar menghampiri Kryssa dan memperhatikan silvergrass – rumput yang tingginya tidak pernah lebih dari lima sentimeter yang tampak seperti batang perak, rainbow bells – tumbuhan yang tingginya tidak sampai lututku dengan bunga menyerupai lonceng berwarna pelangi serta unicorn hair – rumput berwarna putih sehalus bulu unicorn yang tingginya tidak sampai dua puluh sentimeter.
Dulu ketiga tanaman sangat mudah ditemukan di kerajaan ini. Tapi sekarang ketiga jenis tanaman ini terancam punah dan harganya di pasar – andai kau bisa menemukannya di pasar – semua yang kau punya mungkin tidak akan cukup untuk membayarnya.
"tidak ada berry?" tanya Grimmar.
"ah, benar juga.." Kryssa mengangkat tangannya lagi dan rumpun strawberry yang ranum muncul di bawah pohon mint – menjadi bagian dari pagar yang mengelilingi rumah ini.
"lalu.. tiger grass, lady's breath, dragon claw, bawang jagung, wood anemone–"
"cukup.. kau mau mengundang para bandit dan pencuri untuk datang kesini dan mencuri tanamanmu?" potong Grimmar.
"mereka tidak akan berani," tukas Kryssa, "ah, aku lupa, tomat, bawang, bawang putih, daun bawang, paprika, sage, thyme dan blueberry.."
"Kryssa.." panggil Grimmar, "sebentar lagi kebun belakang rumahmu jadi hutan!"
Ah, benar juga, kata Kryssa dalam hati. ia selalu lupa diri saat menumbuhkan tanaman seperti ini. satu dari sedikit hal yang ia sukai sepanjang ia membuka mata dan bernafas di dunia ini. tanpa pikir panjang ia berjalan santai ke bagian depan rumah, berniat memenuhinya dengan aneka tanaman yang nyaris punah sementara Grimmar merapikan hasil karyanya di kebun belakang.
Kalau di kebun belakang penuh dengan tanaman obat, bumbu dan buah-buahan, mungkin sebaiknya aku menanam bunga di depan rumah, pikir Kryssa.
Bunga kesukaannya – dandelion.
Dalam sekejap mataku penuh dengan warna kuning cerah khas dandelion yang sedang mekar.
Sempurna, kata Kryssa dalam hati.
"Kryssa, apa tidak sebaiknya – kenapa hanya ada dandelion disini!?" protes Grimmar saat Kryssa sedang mengagumi hasil karyanya sendiri.
"sudah selesai?" tanya Kryssa santai.
Grimmar mengangguk, "ayolah Kryssa, kau tumbuhkan bermacam tanaman di belakang dan sekarang kau hanya memunculkan dandelion disini? Setidaknya tumbuhkan anyelir juga..'
Anyelir salem, salah satu kesukaan Grimmar.
Dalam sekejap kuncup anyelir muncul diantara dandelion yang mekar. Tapi kuncup anyelir itu tak kunjung mengembang.Grimmar mendengus kesal. Tapi ia tidak membuat bunga itu mekar saat ini juga meski ia bisa melakukannya. Bagi Grimmar, membuat buah matang lebih cepat atau membuat benda kembali baru – bukan seperti baru – adalah hal yang sangat mudah, seperti membalikkan telapak tangan.
"aku akan menunggu bunganya mekar," kata Grimmar, masih dengan senyuman di wajahnya.
'sebenarnya kita ada dimana?' tanya Kryssa sambil memperhatikan hutan pinus yang berada puluhan kaki di belakang rumah dan sungai yang mengalir di depan rumah. Hanya memerlukan beberapa langkah untuk sampai di sungai itu. Grimmar mengangkat tangannya, mengayunkannya ke segala arah. Potongan kayu melayang dari arah hutan pinus, menata diri mereka sendiri menjadi jembatan yang tidak jauh dari rumah ini.
"kita berada dua ratus kaki di barat daya Lancaston, desa yang tergolong kecil, penduduknya hanya delapan puluh orang," kata Grimmar. Ia mengikuti Kryssa berjalan santai kearah sungai. Airnya berkelip memantulkan cahaya matahari. Dari atas jembatan yang Grimmar buat, Kryssa bisa melihat ikan kecil berkejaran dan bebatuan di dasar sungai. Tampaknya sungai ini tidak terlalu dalam – meski cukup lebar.
"itu adalah gunung Cirth, bagian dari kerajaan Kalevia. Kita ada di kaki gunung Cirth, tepat di ujung perbatasan Fedora," Grimmar menunjuk gunung tinggi dengan bebatuan terjal yang puncaknya tertutup awan, "Tenang saja, jalur perdagangan ada di selatan. mereka tidak mau melalui gunung ini dengan membawa barang dagangan mereka. Terlalu berisiko. Banyak bandit disini. Dan kalau dilihat dari Gunung Norhm, tempat para penyihir berkumpul, kita ada di arah sebaliknya. Mereka akan memerlukan segala daya dan upaya hanya untuk sampai di tempat ini. dan mereka tidak akan menemukan apa-apa, seperti biasa.'
"ada tanda penyihir di dekat sini?" tanya Kryssa datar.
"sejauh yang aku lihat.." Grimmar diam sejenak, pandangannya kosong, "tidak ada. Hanya ada warga biasa di desa. Sebagian besar petani, ada juga tukang roti, tukang daging dan pandai besi. Mungkin ini tempat yang kau cari selama ini, Kryssa.."
'entahlah.. bagaimana dengan Hunter?"
"tidak ada sama sekali. Hanya ada beberapa penjaga tapi mereka tidak bisa diandalkan. Banditlah yang berkuasa disini," Grimmar terdiam, "tapi saat ada bahaya, Hunter dari Bast akan segera bertindak. Biasanya hanya satu atau dua orang Hunter yang berjaga di Bast.. tetap saja, tempat ini yang terbaik.. mau ke Lancaston? Sekedar melihat-lihat?"
Kryssa menggeleng pelan, "mungkin lain kali.." saat ini ia hanya ingin menikmati rumah barunya dengan semua yang ada didalamnya.
Kryssa kembali memasuki rumah barunya itu, melangkah masuk ke dalam kamar tidur dengan sebuah ranjang besar di tengahnya – berlapis sprai putih bersih dan selimut abu-abu. Empat buah bantal berlapis kain yang senada dengan selimut yang tampak sangat lembut. Di sisi kanan ranjang, terdapat sebuah kayu berbentuk bulat yang tampaknya hanya cukup untuk meletakkan secangkir teh. Aroma lavender yang ada diatas meja itu – dengan vas kaca tanpa ukiran – membuat kamar ini dipenuhi wangi lavender.
Di sisi kanan pintu, ia melihat sebuah lemari yang hanya sedikit lebih tinggi darinya dengan sedikit ukiran di keempat ujungnya. Lemari itu kosong. Tidak ada bau apek dan tidak sedap yang keluar dari lemari itu saat aku membukanya. Daun jendela di sisi ranjang terbuka lebar, menghembuskan angin yang sejuk dan lembut. Tirai putih berkibar lembut terbawa hembusan angin.
Di sisi yang berseberangan dengan ranjang, terdapat sebuah meja kecil dengan cermin yang hanya berjarak beberapa senti dari meja tersebut. cermin oval dengan ukiran di setiap sisinya – ukiran yang tampak seperti lidah api – yang cukup besar untuk memantulkan bayangannya saat ia duduk – lengkap dengan sebuah kursi di depan meja tersebut.
bahkan dari tempatnya berdiri saat ini, ia bisa melihat bayangan gadis berambut merah ikal sebatas pinggang dengan mata ungu tua. Kulitnya yang pucat dan tidak terawat tampak jelas, begitu juga dengan lingkaran hitam dibawah matanya. Noda coklat mengotori bagian bawah gaun biru muda yang ia kenakan. Kryssa menepuk noda itu beberapa kali, berharap noda itu akan hilang begitu saja seperti debu.
Baginya, sprei putih dan empat bantal yang berjejer itu begitu menggoda.
Gontai ia berjalan mendekati ranjang dan merebahkan dirinya diatas sprai putih yang sangat bersih dan menggulung tubuhku di bawah balutan selimut. ia benar-benar menikmati sprai lembut dan bersih, selimut yang hangat serta ranjang dan bantal yang sangat empuk.
Rasanya seperti di rumah.
tempat ini memang rumah baginya, setidaknya untuk saat ini..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro