3. Little Fight
Ting nong~
Kamu menerima surat singkat dari penulis◇
[Hai, hai! Aku hanya ingin mengabarkan kalau buku ini akan update sebulan sekali]
Jangan lupa tinggalkan jejak~
Happy reading~
.
.
Sang pemilik nama tersenyum ketika mantan temannya itu mengenalinya. "Sudah kuduga kalian berada di sini."
Lain dengan tiga kawan mereka, Ice, Blaze, Thorn dan Taufan malah tidak tahu siapa pria yang dipanggil Fang tersebut.
Halilintar menatap tajam Fang. "Masih ingat pertemuan terakhir kita? Ingin sekarat, huh?" balasnya.
Fang tertawa. Pistolnya diangkat dengan muncung menghadap ke arah musuh. "Tidak, terima kasih. Mungkin sekarang giliranmu."
Dor!
Dor!
Solar mengaktifkan pelindung hologram di depan mereka. Ia berdecak sejenak, tiada pilihan lagi. Mereka harus melawan sampai titik darah penghabisan.
Ingatlah, kawan. Bahwa Fang tidak pernah bertarung sendiri. Gopal, Ying, Yaya, Sai, Shielda dan Nut sudah menyergap mereka dari segala arah.
Tangan Gempa sedikit bergetar. Situasi sekarang sangat mirip seperti dulu. Kejadian yang membuat semuanya hancur tak bersisa termasuk keluarga membuatnya khawatir.
Akankah usaha mereka berhasil?
Ataukah semuanya akan lenyap seperti dulu?
Gempa hanya bisa berharap sembari menatap wajah temannya satu-persatu. Ekspresi serius terpampang di sana. Firasat aneh tiba-tiba menyergap hatinya. Sesuatu akan terjadi, bisik sang hati.
Yaya melibaskan tali lasernya ke sembarang arah. Wajahnya yang tertutup masker itu mencetak senyum sinis apabila musuh sudah dalam posisi waswas.
Nut melangkah pelan mendekati Solar. Ia memainkan bom granat, melemparnya ke atas lalu menangkapnya. "Kami datang dengan maksud baik kali ini... cukup berikan senjata rahasia ciptaan dokter Diancel Fuel dan kami akan pergi."
Sorot mata Solar menajam. "Tidak akan pernah." Ia menekan tiga kata tersebut. Sungguh suatu kesilapan bila dirinya memberikan senjata berbahaya tersebut kepada Nut yang bernotabe musuh.
Sejak awal Solar sudah mengetahui siapa musuh mereka sebenarnya. Bukan Yaya ataupun Ying. Musuh mereka jauh lebih licik. Bahkan dulunya merupakan sandaran mereka bertujuh.
Sayang sekali Fang, Gopal dan lain-lain hanyalah pion kuda. Hanya bergerak, tidak bermakna pada rencana asli.
"Kalian memang lebih suka peperangan, ya..." Nut menghela napas.
Solar terkekeh. "Aku kasihan padamu. Dasar boneka payah, mau saja diperbudak Flame."
"Cih."
"Aku memeringatkanmu, Nut. Hitam bisa menjadi putih, dan putih bisa menjadi hitam."
Bukkhh!
Taufan menyentuh pipinya. Tatapan kagetnya tampak jelas di mata. Apa ini? Gopal, kawan baiknya menumbuknya?
Salahnya apa?
Srigghh!!
Taufan memiringkan kepalanya ke kiri, menghindari tumbukan Gopal yang semakin menjadi-jadi. Walau masih bingung akan apa yang terjadi, ia berusaha membela diri.
Di balik wajah riangnya itu terbesit sedih luar biasa. Wajah Gopal sungguh tidak bersahabat. Sangar dan penuh dendam. Tak cukup disitu, Gopal sepertinya hendak menikamnya.
Dengan kala lain membunuhnya.
Padahal dulu Gopal adalah sahabat karibnya selain geng elementals. Kini mereka berhadapan bukan untuk bergandeng bahu tetapi untuk saling membunuh. Tak Taufan sangka pertemanan mereka akan hangus seperti ini.
"Apa yang membuat kalian memusuhi kami?" tanyanya lirih.
Gopal yang kebetulan mengambil napas di hadapannya berdecih.
"Jangan pura-pura, Taufan! Kau pasti tahu mengapa keluarga kami tiada dibunuh Beliung."
Taufan mendengus. Lagi-lagi nama asing yang didengarnya. "Beliung itu siapa pula? Apa hubungannya dengan kami?" Ia menunjukan isyarat bahwa ia meminta penjelasan. Gopal hanya diam.
"Apa sebenarnya yang terjadi? Kupikir ini hanya persoalan tugas walikota." Dahi Taufan berkerut tak mengerti. Matanya menyipit kala Gopal menatap ke belakangnya. Mengikuti insting, Taufan melompat setinggi yang ia bisa.
Ia mengaktifkan hoverboard yang ia pilih tadi, lantas menapak dengan mulus di atas papan biru tersebut. Benar kata hatinya, ada yang berniat menyerang dari belakang.
Ying berdecih. Usahanya gagal.
Taufan mengarahkan hoverboardnya ke bawah. "Aku bertanya dan kalian hanya diam."
"Aku tidak mau menyebar aura marah, tapi kalian sungguh membuatku kesal."
Dia meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi ke arah Gopal. Ia menggenggam erat senjata miliknya, lantas mencoba mencari celah untuk menyerang.
Gopal waswas melirik Taufan, ia merasa aura di sekitar mulai berubah. Tahu Taufan sudah serius. Insan yang identik dengan topi biru dongker itu memang tidak pernah serius dalam sesuatu.
Namun bila ia sudah serius, bumi pun bisa ia isi dengan darah.
'Keren! Kalau gini mah aku bakalan jadi sahabatmu selamanya'
'Minta jajan punyamu, dong! Aku gak bawa bekal'
'Jangan punya sahabat lain, ya! Ntar ku santet online'
'Janji, deh biar kamu senang'
Mana bukti semua perkataan Gopal beberapa tahun lalu?
Kemana janji persahabatan mereka untuk selalu bersama?
Apa yang Taufan lakukan selama ini tidak cukup untuknya?
"Hyiaaa!!"
Taufan melontarkan sepuluh cakra biru, matanya mengilat emosi. Saat kesepuluh cakra itu mengalihkan atensi Gopal, ia langsung menghujam kepala Gopal dengan cakera tajam. Darah muncrat dari sana tak menyurutkan senyum lebarnya.
Taufan merasa puas melihat Gopal sudah tewas dengan jeritan mengerikannya. "Tidak berguna," gumamnya sembari mengendarai hoverboardnya ke atas. Sempat melakukan freestyle seraya menghindari lima peluru yang hampir menembus dadanya.
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya," monolog Fang datar melirik Taufan seraya menghadap Halilintar.
"Jangan pernah kau samakan mereka berdua," balas Halilintar penuh penekanan.
Fang tertawa. "Mengapa? Bukankah mereka berada dalam satu garis keturunan?"
Halilintar mengeram. "Lalu apakah bisa aku menyamakanmu dengan kakakmu?"
Jawaban itu sukses membuat Fang terdiam. Halilintar tahu. Kakaknya Fang- kaizo adalah mimpi buruk bagi mereka. Singkat kata saja Kaizo pernah menyiksanya dan Fang.
Ia ingat bagaimana Fang dipermalukan oleh saudaranya sendiri. Tidak heran Fang sangat membenci Kaizo meski orang itu sudah mati.
"Jangan kau sebut bajingan itu! Dia dan aku berbeda!" Fang melempar pedang ungunya ke belakang. Tak disangka senjata itu malah mengenai Taufan yang sedang melayang.
"ARGHH!" Taufan mengerang.
"Taufan!" Halilintar ingin menuju ke sana namun dihadang Fang. "Ck! Minggir kau! Biadap!" teriaknya.
"Langkahi dulu mayatku!" seru Fang tak kalah emosi.
"As you wish," bisik Ice tiba-tiba ada di belakang Fang, lantas menikam fang dari belakang.
Sementara itu, Blaze berlari menerjang Taufan. Dipeluknya sang sahabat. Taufan merintih samar, pedangnya dicabut paksa. Darah lantas mengucur namun tidak terlalu deras.
Blaze yang melihat Taufan sekarat itu jadi parnoan. "Fan, aku tahu kamu penasaran sama muka pencipta kita tapi jangan sekarang dong lihatnya!"
"Jangan mati dulu, utangmu masih belum dibayar."
"Uhuk- Cuma 5 ribuan e-elah." Taufan terbata-bata.
Thorn mendorong paksa Blaze menjauh, jelas kesal dan khawatir menjadi satu. "Kalian ini! Lukanya tolong disembuhkan dulu! Utangnya nanti!"
Kawan penyuka tumbuhan itu mengobrak-abrik ranselnya, mencari sesuatu yang sekiranya dapat digunakan untuk menolong Taufan. "Ish! Kemana hansaplast tadi?!" Gumamnya greget.
"Mana bisa hansaplast sekecil itu nutup luka 10 cm!-" Blaze komen secara spontan. Lalu terhenti kala Thorn menatap tajam dirinya.
"Blaze diam aja, deh! Gak bantu juga."
"Hyiat! Kau- EMANG SELALU BIKIN KESEL YAK?!" Solar teriak dengan emosi yang menggebu-gebu. Dirinya sedari-tadi tidak bisa melukai Nut sedikitpun!
Solar tahu gaya bertarungnya tidaklah secepat dan setepat Halilintar dan Ice. Solar cukup benci mengakuinya.
Ia menggenggam erat pedang laser kuning yang sempat menebas lengan sahabatnya sendiri. Bekas darahnya telah hilang menyisakan bau anyir yang samar.
Dahulu kalian menebas kami tanpa sisa... sekarang aku tidak akan membiarkannya! Sekalipun aku mati kali ini, aku lega bisa menyelamatkan kalian berempat. Monolognya di dalam hati.
Solar menitahkan rekan-rekannya agar mengungsi. Ia hampir saja mengaktifkan bom yang menempel di tubuhnya jika seseorang tidak menebas laser biru ke arah mereka.
Sring!
Solar menutup pandangannya menggunakan lengan. Laser itu rupanya tidak berefek apapun, hanya menyilaukan mata. Diam-diam ia bersyukur. Setidaknya usaha mereka bertiga tidak akan sia-sia karena kecerobohan Solar.
Tap! Tap! Tap!
Manik mata Solar melirik kanan kiri mengikuti suara tapak kaki itu. Ia dapat merasa orang misterius bertudung ungu tersebut berlari mengelilingi mereka.
Tatkala cahaya putih yang menghalang pandangan mereka hilang, Solar sontak mengecek sekitar. Kedua matanya membola kaget menyadari ketujuh musuh mereka tergeletak tak berdaya.
"A-apa?"
"Bagaimana...."
"Taufan! Jangan mati dulu!" Blaze menggoyang-goyangkan badan kawan satu trionya tanpa akhlak. Ia menarik kelopak mata Taufan setiap kali sahabatnya itu ingin menutup mata.
"Aku mau tidur," bisik Taufan lembut yang makin membuat mereka tak tenang.
Keempat orang yang habis bertarung itu cepat-cepat menghampiri mereka. Jari Gempa gemetar. Tidak, jangan lagi.
'Tuhan, kumohon jangan rebut sahabatku lagi! Cukup sekali ia mati dengan cara seperti ini.' Bayangan pedang biru milik seseorang terlintas di kepalanya. Lalu bayangan betapa mengerikannya kondisi mereka saat itu membuatnya tak sanggup berkata-kata.
Gempa tidak mau menyaksikan ulang hari bersejarah itu. Satu kali cukup mengguncang mentalnya.
"Kalian semua ngapain, hah?! Diam kayak patung, cepat cari bantuan atau apapun itu untuk nyelamatin Upan!" Thorn masih panik. Ia rela membiarkan baju gantinya terbaluri darah demi menutup luka Taufan.
Mereka bukan tidak panik, namun tubuh mereka seolah kaku untuk digerakkan. Syok akan keadaan.
Halilintar menggeleng-gelengkan kepala menyadarkan dirinya sendiri. Ia baru saja akan berlari ke pusat kesehatan yang jauhnya sekitar 3 Km, tapi sekotak peralatan teknologi yang tergeletak di sebelah kakinya mengambil atensi Halilintar.
Tangannya cepat membuka dan memeriksa apa saja yang ada di dalam kotak tersebut. Dan ia menemukan beberapa alat operasi canggih. "Solar! Aku perlu bantuanmu."
Halilintar mengusir duo troublemaker. "Kita harus menutup lukanya." Ia mulai mengambil alat laser penjahit kulit.
Solar menghentikannya. "Jangan gila! Hentikan! Taufan belum dibius! Kau pikir jahit baju dan kulit manusia itu sama?!"
"Lukanya juga belum diobati, kita butuh penanganan steril."
"Siapkan satu orang, kita perlu beberapa liter darah golongan AB."
Pikiran Halilintar tidak bisa diam. Bagaimana jika saat mereka membius Taufan, angin biru itu malah menghadap ke Tuhan Yang Maha Esa?
Solar yang tampaknya peka itu berdecak. "Serahkan semuanya padaku. Setidaknya aku berpengalaman dalam hal ini." Ia melirik Taufan yang mulai tidak sadarkan diri.
Penerus Diancel Fuel itu meraih suntikan dan obat bius. Menarik napas sejenak, Solar menusuk jarum itu ke lengan Taufan.
Ia mencubit pipi kawannya. Ketika Taufan tidak bereaksi, dari situlah Solar tahu bahwa obat biusnya sudah bekerja. Maka ia memulai proses operasi kecil ini.
Ice menarik Gempa, Blaze, dan Thorn menjauh sedikit dari area operasi. Pasien membutuhkan oksigen sebanyak mungkin, jadi sebisa mungkin hindari kerumunan.
Sahabat paling mageran ini berupaya menenangkan mereka seraya menoleh ke segala arah. Ia menghitung jumlah musuh yang tergeletak naas itu. Ice sudah memastikan bahwa mereka benar-benar mati dari napasnya.
Alisnya menukik tajam. Hanya ada enam. Jasad Fang tidak ada di sini. Tempat dimana Fang terdiam kaku saat ia tikam, kosong seakan tidak pernah dipijak.
"Sepertinya orang tadi berhasil mengamankan Fang, tch."
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro