2. Labolatorium
"Sudah kau kumpulkan semua berkas itu?" Solar bertanya memecah keheningan. Ia melirik ransel plastik transparan Halilintar yang berisi banyak kertas.
Halilintar menggeleng kepala. Menatap lurus ke depan, memimpin jalan. "Belum, sisa 3 dan satunya adalah tugasmu."
"Sebenarnya berkas-berkas itu untuk apa?" Taufan berniat mengambil berkas dari tas kawannya, namun duluan ditepis.
"Kepo," ketus Halilintar.
"Ck." Taufan melipat tangan. Apa hal ini terlalu penting untuk disembunyikan?
"Beritahu sajalah, kawan. Cepat atau lambat mereka akan tahu juga." -Solar.
Langkah Halilintar terhenti. Ia spontan menoleh ke Solar dengan tatapan tajam. "Kau tahu kita sedang dalam misi."
"Aku tak memintamu menjelaskan semuanya."
Blaze kian mengerutkan mukanya mendengar kalimat yang tidak jelas. Blaze gak ngerti sama sekali apa yang sedang dibicarakan dua orang pintar itu.
Namun, otaknya sontak tahu apa yang terjadi kala Halilintar menyerahkan sebuah berkas. 'Identitas para ahli pembangun kota'.
Blaze panik lantas mengambil benda itu dari tangan Halilintar sebelum Taufan. Hal ini menuai tanda tanya.
"Kenapa? Aku mau baca!" Taufan berseru tak terima. Sudah dari tadi ia mencoba membujuk Halilintar, masa hasilnya nol? Kalau Taufan belum boleh tahu rahasia antara Halilintar dan Solar, setidaknya biarkan ia tahu isi berkas yang mereka ambil.
Blaze kini bergelimpangan keringat dingin. Manik matanya gelisah melirik sana sini mencari alasan. "I-itu-"
Gempa menepuk pundaknya pelan, mengukir senyum kecil guna menenangkan kekhawatiran kawannya itu. "Kami udah tahu, kok. Tenang aja," bisiknya.
"Udah... tahu?" Blaze menatap Gempa sejenak, lalu beralih ke semua temannya. Semuanya memberinya senyum menyuruhnya tenang. Semuanya terlihat kalem, berarti Blaze tidak akan diusir, kan?
Akhirnya, dengan hati yang masih terbesit lega dan ragu Blaze mengembalikan berkas itu pada Taufan.
Taufan membuka lembaran pertama, mulutnya terbuka lebar. "Wow, tulisannya gak bisa lebih kabur apa?" Ia mendatarkan muka, tinta di kertas itu hampir pudar 30% karena terkena air. Tulisannya jadi tidak jelas.
Dalam diam Ice menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak habis pikir, Taufan rupanya sangat ketinggalan teknologi. Meski begitu Ice hanya berdiam diri, tidak berkata apapun.
Dengan kesal Taufan menyelak halaman seterusnya. Wah, tidak terisi tulisan. Hanya bercak tinta pudar. Good, Taufan tidak diizinkan membaca berkas itu.
"Haish, informasi yang kudapat di sini hanya nama wali kota. Apa sih gunanya?" Taufan mendengus.
"Dan kau tahu siapa wali kota kota Rintis?"
"Tahu, Balacke Flor," jawab Taufan seadanya. Siapa yang tidak tahu sosok berwatak keras tersebut? Taufan rasa tidak ada.
"Dialah ayahnya Thorn," terang Solar.
"Hah?" Blaze, Ice dan Taufan terkejut. Wali kota yang terkenal heartless yang selalu dicaci maki karena dianggap tidak peduli pada rakyat itu rupanya adalah ayah Thorn?
Solar terkekeh melihat reaksi mereka. "Sekarang kalian ngerti kan kenapa Thorn selalu datang dengan plester di muka?"
Ah, ya. Begitu rupanya. Selama ini mereka berpikir Thorn kerap dibully karena kepolosannya, ternyata ada sebab lain.
Taufan mengangguk mengerti sambil mengecek sekitar. Tak lama ia sadar bahwa mereka berada di komplek Dermai, komplek dimana Thorn tinggal.
"Lho? Kok kita ke sini?"
"Seberapa pendek sih pikiranmu? Thorn anaknya wali kota, pastinya ia diincar karena dia punya akses ke labolatorium ilmuan." Solar membagikan ucapan pedasnya.
Untung Taufan sudah kebal, jadi tidak tersinggung. Taufan akui, ia memang agak bodoh untuk teka-teki.
"Dan kenapa dengan labolatorium ilmuan?"
"Di sana banyak senjata dan alat terbaru buatan ilmuan. Dan jika para musuh mengambil alih semua alat baru itu, kita akan hancur tak bersisa." Kali ini Gempa yang menjawab.
Mereka bersembunyi di balik tembok tinggi rumah Thorn, mengintip ke dalam. Keadaan rumahnya sepi, seakan kosong ditinggalkan pemiliknya tapi pintunya terbuka dan lampunya masih menyala.
Curiga Thorn dalam bahaya, mereka langsung menerjang masuk. "Thorn?"
Aksessoris rumahnya masih rapi, semua terlihat baik-baik saja. Bukan membuat mereka lega, malah semakin khawatir.
"Thorn?!" Solar berteriak keras hingga seluruh penjuru lorong mungkin akan mendengar suaranya.
"Ya?" Seseorang menyahut panggilannya. Mereka menuju dapur dan menemukan Thorn yang sedang melamun di atas meja. Beberapa jenis barang mahal seperti kristal dan emas menumpuk di sana.
"Kau gak papa, kan?" Mereka berenam bertanya serentak.
Thorn memiringkan kepala. "Gak papa, kenapa memangnya?"
"Gak ada yang nyerang rumahmu, kan?" tanya mereka sekali lagi.
"Gak, Thorn sama rumahnya aman-aman aja kok!" Thorn menggembungkan pipi, bingung. "Kalian ngapain ke sini?"
"Untuk bunuh kau, ya untuk menjemput dirimulah besti~" celetuk Blaze merotasikan bola matanya.
"Jemput kemana? Sekolah?"
"Heh! Kota udah diserang teroris, malah mikir sekolah. Nyawa lebih penting dari pendidikan, Thorn."
Opp! Solar jelas menolak gagasan itu. Menurutnya, ilmu tetaplah nomor satu. Dan mulailah mereka berdua bertengkar.
"Mereka tinggal aja. Yok berangkat." Halilintar duluan berjalan keluar melewati pintu belakang.
"Yakin? Ntar gak ada yang back up." -Gempa.
Dor!
Belum genap menginjakkan kaki ke luar, Halilintar sudah disambut oleh segerombolan orang. Mereka memakai seragam hijau yang menandakan mereka pihak musuh.
"Kalau gak sekolah mau jadi apa kau? Pemulung?" -Solar.
"Masalahnya situasi kita lagi gak memungkinkan!" -Blaze.
"Ya jangan dibilang sekolah gak penting juga, dong!" -Solar.
Gempa menatap tajam ke arah mereka. Dasar, masih sempat-sempatnya beradu bacot saat dikepung musuh. Bentar lagi nyawa mereka ada di ujung tanduk.
Gempa tidak mau hidupnya berakhir sia-sia. "WOI!" jeritnya memperingatkan.
Mendengar teriakan dengan nada yang lumayan tinggi itu, barulah mereka berdua berhenti.
Blaze mengedarkan pandangannya. Baik pintu maupun jendela sudah dicegat musuh yang kini menodong senjata. "Eh? Eh? Eh? Sejak kapan mereka datang?"
Solar berdecak mendengar pertanyaan yang kurang penting itu. "Mereka musuh. Bisa datang kapan aja." Ia mengisi ammo snipernya.
Thorn baru ingin ikut bertarung, namun mereka melarangnya duluan. "Kau targetnya di sini, Thorn. Berlindunglah di belakang kami," kata kawan-kawannya.
Thorn memajukan mulutnya secenti. Tidak seru sekali. "Thorn juga pengin keren," cicitnya.
"Ntar aja Thorn, di akhir cerita."
"Nanti keburu mati."
"Solar, ada ide gak? Kita belum bisa lawan musuh sebanyak itu." Gempa berbisik pada Solar. Tanpa berpikir dua kali pun Gempa tahu seberapa banyak musuh yang mengantri di depan rumah Thorn. Sungguh ini di luar rencananya.
Sang jenius berpikir sesaat. "Ah, aku tahu!" Ia mengambil sebuah koin lagi dari sakunya, memanggil seluruh kawannya agar berkumpul.
"Genggam tanganku!"
Mereka semua berdiri membentuk lingkaran, saling berpegang tangan. Solar menekan koin tersebut, mengaktifkan benda ciptaannya itu.
Tit!
"Perangkat telah diaktifkan, menuju : labolatorium."
Pufff!
______________
Kelopak mata Taufan terbuka, sinar biru yang menyilaukan sudah tidak ada. Alat itu benar membawa mereka ke labolatorium.
"Ini..." Mulutnya terbuka lebar melihat seberapa megahnya labolatorium kota Rintis. Dari kiri sampai kanan dindingnya tersusun rapi gelas ukur kimia.
"Sudah kembali, Solar?" Diancel Fuel, ayahnya Solar berjalan ke arah mereka. Dengan jas dan sarung tangan putih, Beliau terlihat gagah berdiri.
"Seperti yang Ayah lihat," jawab Solar seadanya. Tanpa menyalam Ayahnya, ia langsung nyelonong masuk ke ruang senjata. Gerakannya tergesa-gesa.
Diancel menggeleng-geleng kepala. "Anak itu..." Raut mukanya berangsur dingin saat bertatap muka dengan mereka semua.
Taufan jadi segan untuk menyapa. "Om bapaknya Solar, ya?" Ia berusaha mencari topik. Sungguh, mending Taufan disuruh kayang dua jam daripada diam layaknya patung selama 5 menit.
Atmosfernya terasa gelap.
Diancel tampak mengabaikan ucapan Taufan, ia beralih menatap Gempa. "Bagaimana kalau kalian pulang saja?"
"Kami gak punya rumah, Om." Ice menyahut sambil menguap santai. Ia tahu Diancel berniat mengusir mereka.
Diancel mengangguk mengerti dengan jawaban Ice. Ia mengelus dagu. "Hm... benar juga. Bagaimana jika pulang ke neraka?" Ia membidik Gempa dengan pistol kecilnya.
Gempa membelalak. Jangan salah, meski pistolnya sekecil jempol namun ledakannya bisa berakibat fatal.
Taufan dengan berani berdiri di depan Gempa yang masih membeku. "Om, bercandanya gak lucu tau!"
"Minggir, anak nakal. Jangan menghalangiku," ketus pria berumur 45 itu. Beliau hampir menembakkan pelurunya jika Solar tidak segera menghentikannya.
"Ayah, apa yang kau lakukan?!" Solar mengarahkan pistolnya ke Diancel Fuel. Matanya memicing tajam di balik kacamata.
"Kenapa? Apakah salah jika Ayah membalas perbuatan Quake dahulu?" Sang Ayah menyahut tanpa ragu. Kini sepasang Ayah-Anak itu saling melempar tatapan tajam.
Quake? Siapa Quake? Taufan membatin heran. Ia ingin bertanya tapi situasi sedang tidak memungkinkan.
Semua hening menunggu respons Solar dan Diancel. Mereka tahu bahwa Solar memang tidak pernah dekat dengan ayahnya. Jadi, tidak heran.
Dor!
Hingga satu tembakan melayang di udara, menembus kepala seseorang. Badan Diancel oleng ke samping, rebah ke lantai tanpa ada yang menampung.
Tidak, bukan Solar yang melakukannya.
Halilintar.
Semua bahkan Solar mematung menyaksikan itu. Diancel Fuel, sang ilmuan terkenal Kota Rintis sudah menutup usia di tangan seorang remaja.
"Hali! Itu Ayahnya Solar!" Gempa duluan berteriak kalut. Melihat seseorang mati tepat di hadapannya merupakan mimpi buruk tersendiri baginya.
Walau Diancel berniat menghabisinya namun bukankah membunuh orang tua terasa tidak pantas?
Halilintar mendengus samar. Dia terpaksa, ok? Jika ia tidak membunuh Diencel, mungkin Gempalah yang akan ditembak duluan.
Halilintar hanya melindungi temannya. Karena 'melindungi' adalah misinya sekarang ini.
"Dia... mati?" Ice bergumam kecil. Berniat mendekati mayat orang dewasa itu namun Solar dengan suara serak menghentikannya.
"Stop, Ice. Biarkan aku mengurusnya."
Sebagai kawan yang perhatian, Ice mengangguk patuh. Ia menarik yang lain ke ruangan lain, memberi ruang pada Solar untuk meluapkan emosinya.
"-tetap saja Hali! Kau membunuh seseorang! Tidak adakah rasa bersalah dalam dirimu sendiri?!"
"Orang itu bahkan membunuh lebih banyak orang!"
Sedangkan Halilintar dan Gempa masih saja berperang pendapat.
Ice menoleh sebal. Tangannya acak mengambil senjata yang terpajang di sana. Mengarahkan benda itu ke duo Gentar. "SHUT UP YOU TWO! Berisik banget!"
Hening.
Dua orang yang barusan diteriaki itu saling menatap tajam. Tak lama datanglah Solar dengan muka datarnya. Bukan marah atau dendam, ia hanya mencoba menutupi rasa sedihnya.
Gempa merasa bersalah pada temannya walau ia tahu ia tidak salah sedikitpun pada hal ini. Gempa tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan ayah dua kali, tapi pasti menyakitkan.
"Sol-" Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, Solar menyela duluan. "Jangan sekarang, Gem."
Mereka kemudian disuruh memilih senjata terbaru ciptaan Diancel. Sebagai bentuk waspada, satu orang mengambil empat senjata.
Blaze membaca informasi tentang cakram yang katanya bisa mengeluarkan api itu. Menarik. Beruntung ada buku panduan di samping senjata, jadi ia tidak perlu bingung.
Sesudahnya Solar memasang granat di setiap sudut labolatorium. Mereka lantas keluar dan berlari jauh dari sana. Solar menekan tombol on dan meledaklah labolatorium umum milik ayahnya.
Ia menguatkan hatinya. Seluruh barang berharga dan mayat keluarga satu-satunya itu sudah hangus.
'Ini demi kesejahteraan bersama' batinnya.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah-tengah itu Taufan merungut dalam hati. Kenapa tidak ada temannya yang bertanya? Apakah semua temannya sudah tahu apa yang terjadi? Siapa Quake dan kenapa Diancel ingin menembak Gempa?
Kejam sekali mereka menutupi ini dari Taufan!
Ia mengambil snack dari ranselnya. Sembari berjalan, ia mengamati sekitar. Wah, masuk gedung lagi. Kali ini mereka berada di lobby mall.
"Woe, Upan. Bagilah~" Blaze meminta. Mendengar suara kerupuk yang renyah itu membuatnya pengin ngemil juga.
"Katanya kaya, kok minta? Udah bangkrut, ya?" sindir Taufan masih kesal.
Blaze kena mental :v
"Dalam... makan dalam." -Ice.
Ctik!
Mendadak lampu lobby mati. Menyisakan tujuh pasang kedipan mata. Thorn mengernyit. Ia menerawang ke depan, hanya hitam yang terlihat.
Ini aneh. Seharusnya lampu lobby mall sudah mati beberapa jam lalu karena para petinggi menghentikan aliran listrik di seluruh kota.
Tap!
Tap!
Tap!
Badan mereka merapat, melirik sana sini berwaspada. Ada langkah kaki yang mengarah ke mereka!
Kemudian suara tapak kaki itu terhenti berkisar 6 meter di depan mereka.
"Tak kusangka kita akan bertemu lagi," kata seseorang.
Halilintar, Gempa dan Solar merasa kenal dengan suara berat khas lelaki itu. Sembari membelalak, sebuah nama terlintas di pikiran mereka.
"Fang...."
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro