Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Theory 1: A Good World

Sasha mencatat materi yang sedang dijelaskan oleh dosennya. Selagi mencatat, dia melirik ponselnya yang tergeletak di atas buku catatannya. Sedari tadi, pesan yang dia tunggu-tunggu belum tiba.

Sasha tidak bermaksud bermain ponsel saat kelas. Biasanya, dia tidak melakukan itu. Hanya saja, sekarang, dia menunggu pesan yang sangat penting. Ada seorang pengusaha yang ingin memberikan donasi pada Lentera Damai. Pengusaha itu bilang dia akan mentransfer dananya siang ini, maksimal jam satu siang. Sekarang sudah jam dua dan belum ada tanda-tanda donasi itu sudah dikirim.

Dosennya menanyakan sesuatu pada seisi kelas dan Sasha mengalihkan pandangan. Materi hari ini agak susah dipahami, jadi dia harus fokus.

Semenjak bergabung dengan Lentera Damai dua tahun yang lalu, Sasha menjadi sangat sibuk. Dia harus pintar-pintar membagi waktu antara kuliah, belajar, dan membantu di organisasi tersebut. Seringkali dia kelabakan karena punya banyak tenggat waktu di saat yang bersamaan. Dia nyaris saja menyerah dan ingin keluar dari organisasi semester lalu kalau saja dia tidak ingat apa alasannya bergabung pertama kali.

Ponselnya menyala. Sasha melirik ke bawah. Pengusaha tadi sudah mengirimkan donasi. Sambil tersenyum kecil, Sasha membalas pesan pengusaha tersebut dan mengecek tabungan. Hatinya tenang setelah itu.

Sasha kembali memperhatikan materi. Berada di kelas ini sama pentingnya dengan bantuan yang dengan sukarela dia berikan lewat Lentera Damai. Dia harus belajar dengan baik.

:::::

"Sha, tungguin!"

Sasha menoleh. Naya menyelinap di antara para mahasiswa yang bergerombol di lorong sambil mengobrol. Sasha menunggu hingga teman dekatnya itu mendekat, baru lanjut berjalan ke parkiran. Langit tampak agak mendung. Semoga hari ini tidak hujan.

"Lo mau ke Etimologi, nggak?" tanya Naya, mengikuti langkah Sasha. "Gue kangen nih sama abang lo."

"Mending lo daftar jadi barista atau waitress di sana, biar ketemu Bang Dirga tiap hari." Sasha memutar bola matanya. Meski begitu, mulutnya membentuk senyuman geli.

Etimologi merupakan kafe sekaligus coworking space yang didirikan dan dikelola oleh Dirga, kakak sepupu Sasha. Sebagai laki-laki lajang, mapan, dan punya tampang lumayan, Dirga menjadi magnet yang menarik para perempuan, termasuk Naya. Untung saja, Naya cukup tahu diri dan tidak mengejar Dirga secara berlebihan.

"Lo bisa bayangin gue bikin kopi?" Naya menggerutu. "Bisa bikin kopi instan tanpa masalah aja udah bersyukur. Kalau gue jadi barista, yang ada gue langsung dipecat begitu menyentuh biji-biji kopi pilihan."

Sasha tertawa. "Iya, gue ke Etimologi, kok. Tapi mau ke Lentera dulu. Mau ngabarin soal donasi."

"Siapa mau ke Etimologi?" teriak Yasmin seraya merangkul kedua sahabatnya. "Kalian nih, ninggalin gue. Gue kan, juga mau deket sama abang ganteng."

"Yas, lo malu-maluin di Etimologi, mending nggak usah ikutan," balas Naya.

"Ih, ngusir." Yasmin menggerutu. "Mik, gue diusir nih. Bantuin, dong!"

Mikaela, yang sedari tadi menatap layar ponsel selagi berjalan di sisi ketiga temannya, mengangkat bahu. "Bang Dirga terlalu baik buat lo. Lo tuh pantesnya nyari fuckboy kayak Donny Juan."

"Pertama, Donny nggak pantes jadi Don Juan. Kedua, gue ogah balikan sama mantan. Ketiga, gue juga pengin kali, dapet cowok baik-baik." Yasmin mendesah berkepanjangan. "Kalian jangan jahat-jahat dong, sama gue."

"Iya, iya, lo diajak, kok." Sasha menyeringai. "Tapi kalian duluan aja. Gue ke Lentera dulu."

Yasmin bergegas merangkul Sasha. "Sash, honey, lo yang paling mengerti gue."

Sasha tertawa sembari melepaskan diri dari pelukan kuat Yasmin. Tanpa ketiga sahabatnya, Sasha mungkin sudah sejak lama memilih satu dari dua pilihan yang tidak mengenakkan: melepaskan diri dari Lentera Damai atau keluar dari kuliah di salah satu universitas paling bergengsi di Indonesia. Berkat Naya, Yasmin, dan Mikaela, dia berhasil bertahan hingga memasuki semester keenam.

Naya berperan sebagai "ibu" bagi ketiga temannya. Dia yang selalu tahu setiap kali Sasha, Yasmin, atau Mikaela punya masalah, dan dia pula yang tahu cara menyemangati mereka. Yasmin adalah si penggembira, yang selalu bisa mencerahkan suasana ke manapun dia pergi. Mikaela pendiam, tapi teman-temannya selalu bisa mengandalkannya untuk menyimpan rahasia. Sasha sangat bersyukur memiliki mereka.

Segera sesudah berpisah dengan ketiga temannya, Sasha bergegas menuju Lentera Damai. Kantor pusat Lentera Damai dulunya merupakan sebuah indekos. Karenanya, selain menjadi markas organisasi, bangunan itu juga dijadikan tempat tinggal sementara bagi orang-orang yang membutuhkan—para tunawisma yang sedang mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka bebas tinggal di sana hingga cukup mampu berdiri di kaki sendiri.

Dari jauh, tempat itu terlihat sepi. Kebanyakan sukarelawan yang membantu di Lentera Damai sedang bekerja atau bersekolah. Meski begitu, Sasha tahu Pak Tim pasti ada di kantor pada jam segini. Tanpa ragu-ragu, Sasha langsung menuju kantor dan mengetuknya.

Pak Tim menggumamkan sesuatu saat Sasha masuk. Gagang telepon menempel di telinganya. Sasha menunggu hingga Pak Tim selesai menelepon.

Ruangan Pak Tim tidak besar meski ia adalah kepala organisasi—hanya terdapat sebuah lemari buku berukuran sedang, meja dan kursi tempatnya bekerja, dan area kecil untuk sofa putih serta meja kopi hitam. Sebuah tanaman pot menghiasi di salah satu sudut, ditemani lukisan abstrak di belakang kursi kerja. Tempat ini hangat dan terbuka, menerima siapa saja yang memasukinya.

"Hai, Natasha," sapa Pak Tim seraya berdiri. "Apa kabar?"

"Baik, Pak." Sasha menyahut uluran tangan Pak Tim seraya tersenyum. "Bapak sendiri?"

"Luar biasa."

"Restoran juga luar biasa?"

"Tentu," Pak Tim tersenyum. "Sebentar lagi saya berangkat ke sana. Malam ini tempat itu dipesan untuk sebuah acara ulang tahun."

"Oh, saya nggak lama, kok." Sasha segera mengeluarkan ponselnya. "Tadi siang, Pak Susabda sudah mengirimkan donasi yang minggu lalu dijanjikannya. Jumlahnya lebih dari cukup untuk membangun acara pembagian makanan yang Bapak bicarakan kemarin."

Pak Tim memperhatikan foto bukti transaksi dari ponsel Sasha. "Luar biasa. Terima kasih, Natasha. Maaf kalau kamu harus jadi perantara kali ini."

"Jangan khawatir, Pak, saya tidak keberatan. Kan, saya juga yang sudah membujuk Pak Susabda untuk memberikan donasi."

"Kamu memang luar biasa." Pak Tim menepuk pundak Sasha seraya mengulurkan ponselnya. "Mungkin besok-besok kamu bisa bantu cari lagi."

"Siap, Pak." Sasha menerima kembali ponselnya. "Kalau begitu, saya permisi dulu, ya. Mau ketemu temen."

"Jadi, kamu ke sini cuma buat ngabarin soal donasi ini? Kan bisa kirim pesan aja."

"Iya sih, Pak, tapi saya ingin bilang langsung. Bapak kan, sudah merencanakan pembagian makanan ini sejak lama. Lagi pula, tempat janjian saya nggak jauh, kok, cuma di Etimologi."

"Ah, tempat Dirga, ya." Pak Tim mengangguk. "Saya senang Dirga sudah merintis usahanya sendiri, tapi sedih juga karena dia jadi jarang ke sini."

Dulu, saat masih kuliah, Dirga aktif di Lentera Damai. Semenjak memulai bisnisnya dua tahun yang lalu, keterlibatan Dirga menurun drastis, meski dia masih mendukung secara finansial atau dengan mengirimkan kue-kue atau kopi gratis.

"Nanti saya suruh dia nyumbang makanan buat acara bagi-bagi makanan, Pak," balas Sasha, yang disambut tawa dari Pak Tim. "Saya duluan."

Pak Tim mengangguk. Sasha keluar dan bergegas ke kafe. Langit terlihat cerah, mendukung segala kegiatannya. Sasha mengulum senyum seraya meninggalkan Lentera Damai.

:::::

Etimologi terlihat ramai saat Sasha melangkah masuk. Bangunan dua lantai itu memang dipenuhi orang setiap sore. Mereka yang hanya ingin bercengkerama dengan teman, juga mereka yang ingin menyelesaikan tugas, berkumpul di sini. Selain menyediakan tempat yang nyaman, menu-menu Etimologi sungguh lezat, dan koneksi internetnya cukup kencang. Butuh dua tahun untuk menyempurnakannya, tapi hasilnya begitu memuaskan.

Dirga sedang berada di balik meja tinggi, menyiapkan kopi. Sasha mendekatinya. Dirga sedang fokus membuat latte art berbentuk bunga. Semua orang tahu, mengganggu Dirga saat membuat latte art adalah sebuah dosa besar. Karenanya Sasha diam saja, menunggu Dirga menyelesaikan pesanan itu.

"Hei, Sha." Jericho, salah satu pegawai paruh waktu Etimologi, berhenti di sebelah Sasha. "Temen-temen lo tadi udah masuk, kayaknya sih di lantai dua."

Sasha membalas sapaan itu dengan senyum. "Oke, nanti gue naik. Ada kekacauan apa tadi?"

"Oh, banyak. Temen lo yang paling genit melakukan Dosa Besar dan hampir membuat—"

"Jer, daripada ngegosip, mending lo anter pesenan," perintah Dirga pada Jericho, meletakkan kopi yang baru saja dia siapkan di atas nampan. "Lo pesen apa, Sash?"

"Nggak ada, cuma pengin menyapa abang ganteng gue."

Dirga menyeringai. "Sash, tolong jangan menyatakan sesuatu yang sudah gue tau. Gue bosen dengernya."

"Untung lo abang gue. Kalau bukan, udah gue tonjok dari kapan tau." Sasha tertawa. "Omong-omong, lo dicariin Pak Tim."

"Ah, iya, gue berencana mampir, sebenernya. Besok deh, gue ke Lentera. Lo beneran nggak mesen?"

"Gue minta matcha latte aja. Yasmin udah pesen kue, kan?"

Dirga mengangguk. "Tolong temen lo dikondisikan. Hampir aja art gue kacau gara-gara dia."

"Lo tau sendiri Yasmin kayak gimana. Susah dibilangin," Sasha tertawa. "Gue naik dulu, ya."

"Omong-omong," ujar Dirga, menahan Sasha yang sudah hendak pergi, "temen lo ada yang mau kerja di sini, nggak? Gue lagi nyari orang, nih."

"Butuh orang yang kayak gimana?"

"Gue lagi butuh waiter buat weekday dan penyanyi buat weekend. Jericho pengin pindah shift ke weekend aja, katanya sibuk kalau weekday. Sementara itu, gue juga lagi butuh orang buat ngisi panggung. Beberapa penyanyi yang dateng nggak sesuai sama kuping gue."

"Siap, Bang, nanti gue bantu."

Sasha lalu naik. Teman-temannya sudah ramai di atas. Yasmin, seperti biasa, mencerocos panjang lebar soal Dirga—rutinitasnya sepuluh menit pertama di Etimologi. Sasha bergabung, mendengarkan saja cerita Yasmin dan Naya sambil mencomot kue.

Matahari sudah hampir terbenam. Dari tempatnya duduk, Sasha bisa melihat cahaya matahari perlahan-lahan digantikan oleh terangnya lampu kota Jakarta. Hari ini benar-benar luar biasa—Sasha berhasil mendapatkan donasi untuk Lentera Damai dan, meski teramat sibuk, dia masih bisa bersosialisasi dengan teman-teman dekatnya.

Semesta memang baik. Sasha tidak pernah meragukan itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro