Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Evidence 9: Hopes and Dreams

Etimologi masih sepi saat Revan membuka pintu belakang. Dia sengaja berangkat agak awal, takut tersesat, tapi dia dapat mengingat jalan menuju tempat kerjanya dengan baik. Butuh 20 menit untuk berjalan dari Lentera Damai ke Etimologi. Awan sedikit menutupi matahari, sehingga perjalanan tidak terasa begitu berat. Lagipula, Revan sudah terbiasa berjalan begitu jauhnya setiap hari. Berjalan 20 menit adalah hal kecil buatnya.

Baru ada Dirga dan seorang pegawai pendiam yang sedang sibuk di dapur saat Revan tiba. Dirga menyapa Revan dari tempatnya yang biasa-di dekat mesin pembuat kopi yang selalu dia bersihkan setiap pagi. Etimologi belum akan buka sampai setengah jam lagi-jam sepuluh pagi-tapi menurut pegawai lainnya, Dirga sudah siap sejak jam sembilan. Dirga mencintai pekerjaannya dan itu terlihat dari setiap tindakannya. Revan membayangkan, seperti itulah nanti dia kalau sudah mencapai cita-citanya sebagai penyanyi.

"Hei, Van, gitarnya ada di ruang penyimpanan," ujar Dirga. "Bentar, gue tunjukin, biar lo bisa nyiapin sendiri lain kali."

Tidak terlalu banyak sebenarnya yang harus disiapkan. Hanya mikrofon, penyangga mikrofon, gitar putih, dan dua kabel untuk mikrofon dan gitar. Dirga menjelaskan secara singkat mengenai persiapan. Revan hanya perlu menancapkan satu ujung kabel ke gitar dan ujung lainnya ke kotak hitam di panggung, yang Dirga sebut sebagai "monitor speaker", serta melakukan hal yang sama untuk mikrofonnya. Setelahnya, gitar listrik ini siap dipakai. Meski kemarin dia sudah memainkannya, Revan tetap saja terkagum-kagum dengan betapa kerasnya suara gitar ini.

"Lo kalau mau nyiapin lagu-lagu yang mau lo mainin sekarang juga boleh," ujar Dirga ketika melihat Revan sudah asyik memainkan beberapa kunci dasar, "tapi nanti nunggu agak ramai juga boleh. Biasanya gitu, sih. Biar agak ramai dulu, baru lo main."

"Oke."

"Dan, oh, pengetahuan lagu lo cukup luas, kan? Siapa tahu ada pelanggan yang pengin dinyanyiin lagu apa, gitu."

"Kebanyakan lagu pop Indonesia, sih, kalau pakai bahasa lain, gue nggak tau," Revan mendongak. "Gue cuma harus nyanyi aja, kan, nggak harus ngomong apa-apa?"

Revan mendadak panik. Jelas panik. Meskipun selama ini Revan sudah sering bernyanyi di hadapan publik, dia belum pernah harus berada di depan panggung dan mengajak penontonnya berbicara. Bagaimana jika dia harus mengatakan sesuatu selagi dia memilih lagu? Bagaimana jika ada pelanggan yang memintanya menyanyikan lagu yang tidak dia ketahui? Bagaimana jika ada pendengar yang membenci suaranya?

Baru disadarinya jika menyanyi di panggung jelas sangat berbeda dengan mengamen. Kepanikan seketika menguasai Revan.

"Jangan demam panggung gitu." Dirga menepuk bahu Revan. "Kemungkinannya kecil, sih. Kebanyakan pelanggan juga pasti nggak peduli lo ngapain di atas panggung. Mau nari, kek, manggil setan, kek, mereka semua bodo amat. Yah, mungkin kalau setannya beneran dateng, mereka takut."

Revan mendengus. Dirga hanya menyeringai.

"Lo pasti nangkep apa maksud gue," lanjut Dirga kemudian. "Tenang aja. Lo pasti bisa tampil bagus."

Benar, Revan harus tenang. Dia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Jika dia ingin jadi penyanyi terkenal yang akan menampilkan pertunjukkan keren di hadapan para penggemar, dia harus mulai membiasakan diri berada di atas panggung. Pekerjaan ini jelas akan sangat membantunya melatih kepercayaan dirinya.

Demi kariernya besok. Revan terus berusaha meyakininya. Dia akan mencapai mimpinya.

Setelah memastikan gitarnya itu bisa menyala dengan baik, Revan meninggalkan panggung dan membantu para staf di dapur untuk beberapa saat. Banyak pelanggan yang baru datang pukul setengah sebelas. Dengan adanya sekitar sepuluh orang dan empat meja yang terisi, Revan berjalan ke panggung kecil itu. Dia duduk di atas kursi tinggi, memeluk gitar, dan mengarahkan mikrofon ke arahnya. Dimainkannya beberapa kunci asal sebagai pemanasan.

Ditariknya napas panjang lagi, sebelum akhirnya dia mulai menyanyi.

:::::

Sasha sampai di Etimologi setelah jam makan siang. Tidak ada yang lebih baik daripada matcha latte dingin dan chocolate croissant untuk menyegarkan pikiran setelah mencicil sebuah laporan. Etimologi memiliki chocolate croissant terbaik di kota, sehingga tidak bisa dipungkiri, Sasha akan selalu datang ke sini, paling tidak sekali seminggu. Tidak ada salahnya mentraktir diri sendiri sekaligus membantu usaha kakak sepupunya.

Dari luar, dia bisa melihat Revan bermain di atas panggung. Entah lagu apa yang dinyanyikan Revan, tapi Sasha menyukai suasana kafe yang terasa begitu hidup dengan adanya live music seperti ini.

Rangkai dan bangun segera diwujudkan, apa yang menjadi mimpi dan rencana di waktu lalu...

Sasha menghampiri Dirga, yang tidak melakukan apa pun selain memainkan ponselnya. Jam ramai kafe memang sudah selesai beberapa saat lalu, meski para pengunjung masih asyik menikmati pesanan mereka. Dirga hanya tersenyum pada Sasha sekilas sebelum kembali berfokus pada ponselnya.

"Bang, gue pesen matcha latte sama chocolate croissant, dong," ujar Sasha tanpa basa-basi.

"Oke," kata Dirga sembari beranjak. "Lo pasti habis ngerjain laporan ya? Udah berapa lembar yang lo tulis tangan?"

"Banyak, sampai tangan gue pegel." Sasha tertawa. "Omong-omong, gimana Revan?"

"Sangat oke. Banyak pelanggan yang bilang ke gue kalau mereka suka pilihan lagunya. Ada yang bilang, 'Bagus, beda dari kafe lain yang selalu pakai lagu barat.'"

Sasha hanya menyeringai. Ini adalah pertanda bagus, karena artinya Revan diterima di sini. Sasha merasakan semangat dalam dirinya, mengetahui bahwa dia berhasil menolong seseorang mendapatkan pekerjaan yang baik. Biasanya, dia tidak bisa membantu mencarikan pekerjaan karena koneksinya memang belum seluas itu. Perasaan ini membuatnya ingin menolong lebih banyak anak muda yang tidak beruntung lainnya.

Dia mencari tempat duduk yang kosong. Revan masih menyanyikan lagu yang sama, meski terdengar sudah hampir usai.

Tapi tak cukup di situ, semua harus digerakkan. Tak hanya memilih, tak hanya menentukan jalan. Semua akan percuma jika tubuh ini diam; hanya mengeluh apakah selesai jika tak mencari jalan keluar? Ini kehidupan nyata, bukan hanya cerita hidup. Berdoa saja tak akan cukup. Ini kehidupan nyata, bukan hanya mimpi-mimpi. Teori saja tak akan cukup.

Entah kenapa, menurut Sasha, lagu ini sangat Revan.

Revan meletakkan gitarnya setelah lagu ini selesai. Sepertinya sekarang adalah waktunya untuk beristirahat. Di saat yang hampir bersamaan, pesanan Sasha sudah selesai disiapkan. Dirga pasti menyuruh Revan membawakannya pada Sasha karena, tak berapa lama kemudian, Revan sudah meletakkan nampan berisi dua chocolate croissant, segelas matcha latte, dan segelas air putih di depan Sasha. Cowok itu lalu duduk tanpa mengucapkan apa pun, mencomot salah satu croissant, dan menggigitnya.

"Gimana manggung pertama kali?" Sasha menyeringai selagi mengambil minumannya. "Grogi?"

"Nggak juga." Revan mengedikkan bahu. "Awalnya iya. Lama-lama biasa."

Untuk beberapa saat, mereka tidak berbicara. Revan hanya memperhatikan jalanan sambil terus memakan rotinya. Dalam benak Sasha tersimpan begitu banyak pertanyaan, tapi dia urung menanyakan semuanya. Pandangan Revan yang begitu terfokus menggelitik Sasha untuk mengeluarkan kalimat yang justru begitu sederhana.

"Kangen?" tanyanya.

Revan menoleh. "Kangen apa?"

"Kangen ada di jalan."

"Jelas enggak," balas Revan, sedikit terlalu cepat. "Gue nggak akan pernah mau balik ke jalanan dan menyiksa diri buat seorang bos kampret."

"Ah, seharusnya emang jelas, ya?" Sasha tertawa. "Nggak perlu lagi panas-panasan di jalan cuma buat dapet uang receh dari pengendara motor atau mobil. Nggak perlu lagi berkeliling dari warung ke warung. Nggak perlu lagi ditonjok bos kampret karena lo nggak mencapai target."

"Nggak perlu lagi mengutuk semesta karena kehidupan gue yang dulu bener-bener busuk," Revan mengangguk. "Jelas gue nggak kangen ada di jalan."

"Tapi jelas, lo suka nyanyi."

"Jadi pengamen jauh lebih mending daripada jadi pencopet, pekerja seks, atau tukang pukul di bar murahan. Tapi memang, gue suka nyanyi."

Pilihan pekerjaan Revan dulu tidak ada yang menyenangkan, ternyata. Sasha bergidik sendiri memikirkan seberapa busuk si bos kampret yang selalu disebut Revan ini. Hanya manusia hina yang memperlakukan manusia lain sama hinanya. Revan dan anak muda lainnya layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada sekadar menjadi pengamen, pencopet, pekerja seks, atau tukang pukul di bar murahan.

"Berarti, sejak dulu lo emang pengin jadi penyanyi?" tanya Sasha kemudian.

Ada jeda yang cukup lama sebelum Revan menjawabnya. Dia tampak sedang memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. Jawaban yang sepertinya jauh lebih rumit dari sebuah "ya" singkat. Seperti apa masa lalu Revan? Apa yang membuatnya menjawab begitu lama? Revan pasti punya cerita yang begitu menarik. Sasha penasaran, tapi dia tidak mengungkapkannya.

"Dulu banget, gue pengin jadi polisi," ujar Revan. "Agak terlalu muluk, emang. Tapi akhirnya gue sadar banyak polisi yang juga kampret. Setelahnya, ada masa gue cuma berharap bisa bebas dari organisasi kampret itu. Cuma itu. Setelah ketemu lo dan Lentera Damai, ya, mau nggak mau gue mulai berani berharap gue bisa jadi penyanyi. Karena akhirnya, gue bebas, dan gue bisa menentukan pilihan gue sendiri."

Sasha tidak bisa membalas untuk beberapa saat. Siapa menduga jawaban Revan akan seperti itu? Ini pertama kalinya Revan membuka diri di hadapannya. Jawaban Revan kembali memunculkan banyak pertanyaan. Sasha tahu ada banyak hal yang belum diceritakan Revan yang tersirat dari jawabannya-banyak kejadian yang mengakibatkan berbagai perubahan mimpi itu. Banyak hal memang sulit untuk diungkapkan, karena melakukannya hanya akan merobek lagi luka lama.

"Menarik," balas Sasha.

"Begitulah."

Setelahnya,Revan kembali pada pekerjaannya. Sasha membiarkannya. Banyak jawaban yang tidakbisa langsung diberikan karena terdapat luka yang mengiringinya. Revan hanyaharus dibiarkan sembuh.

:::::

lagu yang di mulmed adalah Tumbuh by Nosstress, lagu yang dinyanyiin Revan di sini!

anyway, aku ada ide buat menambahkan beberapa hal di cerita ini, tapi kayaknya nggak akan aku upload di sini deh. tambahannya nggak terlalu mengubah alur juga, cuma mungkin memperdalam karakternya(?) yagitude.

jika kalian bisa memberikan pesan pada Revan, atau Sasha, atau siapa pun tokoh TTotU, kalian akan kasih pesan ke siapa, dan isinya apa?

let me know! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro