Evidence 8: New Friends
Menjadi pelayan ternyata tidak sesulit yang Revan bayangkan. Dia hanya perlu mencatat pesanan, mengantarkannya, dan membersihkan meja. Dia bisa melakukannya dengan cukup mudah, kecuali di bagian mencatat pesanan. Bukan, bukan karena dia tidak bisa menulis, tapi, ayolah, cappucino? Spaghetti aglio e olio? Kenapa mereka tidak menulis "es kopi" atau "mi ayam" saja sih, di papan menu?
Saat mengutarakannya pada Jericho, cowok itu tertawa terbahak-bahak selama kira-kira lima menit sebelum bisa kembali berbicara. Dirga saja sampai bingung kenapa tiba-tiba Jericho berjongkok sambil memukuli lantai dengan wajah merah. Untung saja belum ada pelanggan.
"Es kopi sama cappucino itu beda, Van," ujar Jericho kemudian, mengusap matanya yang berair. "Cappucino itu salah satu jenis minuman olahan yang terbuat dari kopi. Cara bikinnya bakal beda banget sama minuman lain, misalnya americano atau V60, walaupun sama-sama dibuat dari kopi. Sama kayak spaghetti aglio e olio, dia bukan mi ayam, tapi pasta!"
"Nah, itu, V60 udah kayak plat motor aja," Revan mendengus. "Apa lagi tuh, pasta? Gambarnya aja kayak mi ayam kering gitu."
Dirga akhirnya ikut tertawa, sementara Revan bersungut-sungut. Jelas-jelas Revan tidak datang untuk bekerja sebagai komedian.
"Lama-lama juga lo pasti tahu bedanya. Apalagi yang makanan. Kelihatan banget." Jericho menepuk pundak Revan. "Gue juga dulu lama banget nggak ngerti bedanya fettucine sama penne."
"Lo lihat ke papan menu aja, yang ditunjuk pelanggannya itu yang mana," usul Dirga. "Atau lo tulis aja sebisanya."
Mereka kemudian membahas beberapa menu Etimologi yang lain. Semua makanan dan minuman itu sebenarnya cukup bisa dibayangkan dalam bahasa Indonesia, seperti telur goreng (omelette, yang pada dasarnya memang telur goreng) dan "mi yang kebanyakan saus tomatnya" (spaghetti bolognese), atau "kopi dikasih es krim" (affogato) dan "kopi ijo" (matcha latte, padahal minuman ini bukan kopi). Revan tidak paham kenapa mereka harus mempersulit diri memakai bahasa asing kalau semua menu itu bisa dijelaskan dalam bahasa yang bisa dipahami semua orang.
Kedatangan dua orang pelanggan menyelamatkan Revan dari menamai ulang menu-menu Etimologi. Dirga menyuruh Revan memperhatikan Jericho, yang dengan sigap langsung membawa dua papan menu serta sebuah buku catatan kecil dan menghampiri kedua pelanggan tersebut.
"Selamat datang di Etimologi," sapa Jericho dengan senyum lebar. "Untuk berapa orang?"
"Dua aja, Mas," ujar cewek yang lebih tinggi di antara kedua pelanggan itu. "Sama meja yang deket colokan listrik di mana, ya?"
Jericho kemudian mengarahkan kedua cewek itu ke sebuah meja. Diletakkannya papan menu di hadapan tiap pelanggan. "Ini menunya, mau langsung pesan atau nanti dulu?"
"Garlic bread-nya satu, terus... matcha latte-nya satu." Cewek itu lalu mendongak dan bertanya pada temannya yang sedari tadi belum berbicara. "Lo mau apa?"
Revan memperhatikan Jericho hanya berdiam diri di sana dan mencatat pesanan mereka. Bahkan, meskipun cewek nomor dua membutuhkan waktu yang begitu lama untuk memutuskan apa yang akan dia pesan, Jericho tidak terlihat gelisah atau kesal—dia hanya menunggu dengan sabar. Revan sepertinya tidak bisa sesabar itu. Mau tidak mau, dia harus belajar kalau tidak mau dipecat gara-gara mengomeli pelanggan.
Jericho kembali dengan pesanan pelanggan pertama mereka hari ini. "Garlic bread, sausage roll, matcha latte, sama mango juice. Mangganya masih, kan?"
"Masih," balas karyawan lain—yang Revan ketahui belakangan bernama Farhan—dari dapur. "Siap laksanakan."
"Jadi," celetuk Revan, selagi semua orang di balik meja tinggi ini bekerja menyiapkan pesanan, "gue harus sabar nungguin mereka pesen."
"Kadang lo tinggal juga nggak apa-apa, kok. Nanti dia pasti manggil lagi. Atau lo samperin aja kalau mereka kelihatan udah mau pesen." Jericho meletakkan buku catatannya di atas meja. "Nggak usah grogi, lama-lama pasti gampang. Pertama kali kerja dulu gue juga grogi. Nggak tahunya, kerja di kafe kayak gini tuh agak gabut. Kebanyakan pesen, terus nongkrong ngerjain tugas sampai kapan tahu. Jadinya santai. Gue juga kadang bisa sambil baca buku juga."
Revan mengangguk. "Okelah. Gue lihat cara kerja lo aja. Omong-omong, lo pacarnya Sasha?"
Jericho langsung terbatuk-batuk. "Kami nggak pacaran. Kok lo bisa ngomong gitu?"
"Kalian berdua nih, masih sama-sama denial," Dirga nimbrung sambil menyiapkan pesanan. "Kayaknya seisi Etimologi udah tahu deh kalian deket. Tembak, sana. Nanti gue traktir menu apa pun di Etimologi buat first date!"
Jericho menggerutu, dan Revan hanya berusaha mengikuti pembicaraan mereka. Meski terkadang dia tidak memahami percakapan di sini, dia cukup bersyukur. Setidaknya, mereka semua menyambutnya dengan baik. Dia tidak mengharapkan apa pun lagi.
:::::
Selain mengamati pekerjaan Jericho, Revan juga membantu membereskan meja dan mencuci. Dirga juga mengenalkannya pada pegawai Etimologi di dapur setelah jam kerja berakhir. Beberapa di antara mereka juga mendapatkan pekerjaan di Etimologi berkat Lentera Damai, membuat Revan merasa memiliki teman senasib. Semuanya sangat asyik. Hari ini, seingatnya, dia tidak mengumpat sekali pun.
"Lo beruntung bisa ketemu Lentera Damai," kata Farhan sambil menepuk pundak Revan. "Hidup gue berantakan banget sebelumnya, tapi sekarang gue bahkan bisa ngirim duit ke orangtua gue sambil nabung buat ngelamar cewek gue. Masuk Lentera Damai adalah keputusan yang sangat tepat."
"Kapan nih, nyebar undangan?" tanya Dirga sambil menyeringai. "Ditunggu, lho."
"Sabar, Ga, gue masih nabung!" Farhan hanya tertawa. "Lo tinggal di mana, Van?"
"Di Lentera Damai," balas Revan. "Gue baru gabung kemarin."
"Kapan-kapan kita harus tukeran cerita. Mungkin gue bisa mampir ke sana kapan-kapan. Dan sebenernya gue kepo, muka lo kenapa?"
Revan segera menutupi luka di wajahnya. Bercerita tentang bos kampret itu sepertinya akan jadi begitu panjang, jadi dia dengan sengaja berbohong. "Berantem," ujarnya. "Udah hampir sembuh, kok."
Sedikit basa-basi tidak penting lain, dan semuanya keluar dari kafe melalui pintu belakang. Bagian belakang Etimologi adalah area kecil untuk membuang sampah dan parkir pegawai, mengarah pada sebuah gang kecil yang tidak terlalu terang. Berada di sini membuat Revan sedikit bergidik, tapi dia mengabaikannya. Mungkin akibat angin malam yang dingin.
Revan kembali ke Etimologi dengan menebeng Dirga. Seumur hidupnya, Revan tidak pernah belajar mengendarai motor atau mobil, sehingga dia harus berjalan atau menebeng orang lain untuk pergi bekerja besok. Dia tentu tidak mungkin mengharapkan pinjaman motor atau ponsel dari Lentera Damai—diberi tempat untuk tinggal saja sudah untung. Semoga saja nanti dia bisa mengumpulkan cukup uang untuk akhirnya membeli ponsel.
Lentera Damai sudah sepi. Tentu, sekarang sudah sangat larut. Dirga hanya menurunkannya di depan karena harus langsung pulang.
"Jangan lupa, besok lo harus dateng lebih awal. Jam setengah sepuluh juga nggak apa-apa. Nanti nyiapin gitar dulu," Dirga memerintah sebelum pulang. "Dan pakai putih, ya. Dress code hari Sabtu putih."
Revan hanya mengangguk saking lelahnya. Heran, kayaknya dia nggak bekerja banyak (apa lagi jika dibandingkan dengan "pekerjaan" sebelum ini yang mewajibkannya terus bergerak tanpa henti), tapi ternyata capek juga. Hari ini juga terasa aneh. Mungkin karena dia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, juga karena dia nyaris tidak bermain musik. Rasanya ada yang kurang, gitu.
Begitu Dirga meninggalkan Lentera Damai, Revan bergegas masuk. Terdapat pintu gerbang pendek di samping yang tidak pernah dikunci dan mengarah langsung ke area indekos. Hanya lampu-lampu di koridor yang menyala. Senyap malam menandakan sebagian besar penghuni Lentera Damai pasti sudah tertidur. Berusaha tidak membuat keributan, Revan berjalan perlahan menuju lantai tiga.
"Mas Joko, aya obat diare, teu?" (ada obat diare, nggak?)
Kalimat itu menyambut Revan di lantai tiga. Bartender bernama Arga itu sedang berbicara pada penghuni kamar 301, yang sepertinya bernama Joko. Revan berbelok ke balkon tepat saat Joko hendak menjawab. Kedua laki-laki itu menoleh padanya dan tersenyum. Revan balas tersenyum dengan canggung.
"Wah, ora nduwe (nggak ada)." Joko kemudian menyapa Revan, "Halo, Mas, penghuni baru kamar 302, nggih? Saya Joko."
"Revan," balas Revan sopan.
"Lu aya (ada) obat diare, Van?" tanya Arga. "Aduh, jigana salah dahar (kayaknya salah makan). Nyeri pisan (sakit banget) perut gua."
"Nggak ada. Cari di kotak obat aja, siapa tau ada."
"Iya sih, coba gua—ugh!"
Arga tidak menyelesaikan kalimatnya dan segera lari terbirit-birit ke toilet. Sekilas Revan mendengar pintu toilet dibanting, selagi dia memasukkan kunci kamarnya.
"Kowe ngerti, ora, kotak obat e ning ngendi?" tanya Joko kemudian. "Ameh tak golekke obate. Mesakke. Nganti ora mangkat nyambut gawe amarga lara." (Kamu tahu, nggak, kotak obatnya ada di mana? Mau kucarikan obatnya. Kasihan. Sampai nggak berangkat kerja gara-gara sakit.)
Revan mengernyit. Astaga, kalau Sasha dan Dirga suka memasukkan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari mereka. Bahasa alien apa yang dipakai Joko sedari tadi? "Hah? Maksudnya apa?"
"Eh, maaf, Mas. Anu, kotak obat e disimpen di mana?"
"Oh, nggak tahu. Mungkin di dapur." Revan membuka pintu kamarnya, tapi urung masuk. "Lo asli mana, sih? Gue nggak ngerti lo ngomong apa."
"Jogja, Mas," Joko tersenyum lebar. "Maaf, masih kebiasaan. Wis kepenak nganggo basa Jawa (udah nyaman pakai Bahasa Jawa)."
Revan hanya mengangguk, meski dia masih tidak paham. Dia baru saja hendak memasuki kamarnya saat Joko mengucapkan terima kasih. Sambil mengangguk sekilas, Revan menutup pintu kamarnya. Disambutnya tempat tidur yang empuk dengan bahagia.
Banyak sekali yang harus Revan sesuaikan hari ini. Tapi, semua penyesuaian ini, sesulit apa pun, akan dia lakukan. Demi mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Demi mimpi yang ingin dia kejar.
:::::
biasanya aku nabung lima chapter sebelum upload. Ini baru dapet tabungan 3.5 chapter aja udah upload. harus ngejar nih 😆. tapi yaudalah gapapa di-upload chapter baru :D
pengin bikin bab mid-survey tapi belum separuh bab ._. survei kecil-kecilan aja dah di sini~
1. Bagaimana pendapatmu so far?
2. Paling suka karakter yang mana? Kenapa?
bisa dijawab ya~ ayo baca terus biar aku semangat update-nya :(
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro