Evidence 6: Help is Coming
Kantor pusat Lentera Damai tidak terlalu jauh dari UI. Termasuk macet, perjalanan hanya tiga puluh menit. Revan awalnya tidak percaya tempat ini adalah kantor pusat organisasi sosial yang bakal membantunya. Ayolah, tempat ini terlihat terlalu sederhana! Dia membayangkan tempat ini akan sangat berlawanan dengan rusun kumuh tempat tinggalnya selama ini—markas organisasi penolong ini pastilah besar, megah, bersih, dan penuh kehangatan.
Yah, oke, tempat ini masih jauh lebih baik ketimbang rusun kampret itu. Revan sebaiknya tidak protes lebih lanjut. Siapa tahu semesta malah kesal dan mengambil kesempatan ini darinya dengan cara yang tidak terduga. Dia diam saja saat mengikuti Sasha masuk ke dalam.
Mereka memasuki sebuah ruangan besar berisi dua sofa bermotif dan sebuah meja kayu di tengahnya. Sasha melewatinya begitu saja, berjalan menuju sebuah pintu yang terletak di ujung lain ruangan. Setelah mengetuknya dan mendapatkan balasan, Sasha memasukinya.
Revan mengikuti. Sekilas lihat, dia langsung tahu tempat ini berfungsi seperti ruangan bos kampret. Pria dengan kepala agak botak yang sedang duduk di balik meja kerja itu pasti bos Lentera Damai. Meski fungsinya sama, ruangan ini tidak mengintimidasi Revan seperti ruangan bos kampret. Ruangan yang didominasi warna putih ini begitu cerah dan menyenangkan.
"Hai, Natasha, apa kabar?" Pria botak itu berdiri dan menyalami Sasha. Dia lalu menoleh pada Revan. "Kamu bawa teman, ternyata. Apa kabar? Sepertinya nggak baik, ya, dilihat dari lukamu."
Revan menyambut uluran tangan pria itu. Tangan besar itu menggenggam tangannya erat. "Begitulah."
"Pak Tim, ini Revan, salah satu pengamen yang ingin ikut gabung ke Lentera Damai," ujar Sasha, dengan sukarela memperkenalkan mereka. "Revan, ini Pak Timotius, ketua dan pendiri Lentera Damai."
"Ayo, duduk di sofa saja sambil bicara."
Pak Tim menepuk pelan punggung Revan seraya mengajaknya duduk di sofa. Revan tidak meragukan jaminan Sasha tadi—sejauh ini, semua orang di Lentera Damai memang tidak ada yang kampret, meski dia baru bertemu dua orang relawannya. Sikap Pak Tim begitu terbuka padanya; tersenyum hangat dan tidak ragu menepuknya dengan cara yang bersahabat. Ragu yang bercokol di pikirannya seketika lenyap.
"Jadi, sekarang ini, kamu ngamen tiap hari?" tanya Pak Tim, terdengar sedikit retoris (mengingat gitar yang sedari tadi masih menempel di badan Revan, haruskah dia bertanya seperti itu lagi?).
Revan mengangguk. "Ngamen di jalan dan warung-warung makan, soalnya saya harus kasih setoran ke bos saya. Harus mencapai target. Kalau gagal, bos kampret itu nggak akan ragu buat ngasih hukuman."
"Seperti satu-dua tonjokan?"
"Tepat."
"Bos seperti itu memang kampret," balas Pak Tim dengan ekspresi serius yang justru membuat Revan ingin tertawa. "Karena itu kamu kabur dari dia. Itu keputusan yang sangat baik."
"Saya berharap Bapak bisa membantu saya."
Pak Tim tersenyum. "Tenang saja, itu tugas utama Lentera Damai. Kami memang berfokus pada menolong banyak orang yang membutuhkan bantuan kami, terutama orang-orang yang tinggal di jalanan. Pengamen, pemulung, supir bus—siapa pun yang mencari peruntungan di ibu kota dan belum menemukannya. Orang-orang sepertimu, Revan."
"Banyak kok, yang pada akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan yang baik," Sasha menimpali.
"Benar. Kami menyediakan tempat tinggal di belakang, yang bisa kamu gunakan untuk sementara waktu sampai kamu bisa mencari tempat tinggal sendiri. Selain itu, kami juga mengadakan beberapa pelatihan keahlian tertentu, yang bisa mempersiapkan kamu untuk dunia kerja. Kamu bisa pilih pelatihan yang kamu mau."
Revan menggeleng. Sambil menepuk gitarnya, dia menyahut, "Saya punya kemampuan yang saya inginkan. Saya hanya ingin punya kehidupan yang lebih baik. Kemampuan saya sia-sia kalau cuma dipakai mengamen."
"Ah, begitu," Pak Tim manggut-manggut. "Kalau begitu, kami bisa bantu kamu cari kerjaan sebagai musisi."
"Saya ada lowongannya, Pak," celetuk Sasha tiba-tiba. "Mungkin Revan bisa daftar di sana."
"Masalah pekerjaan sepertinya beres. Sekarang sebaiknya saya antar kamu ke kamarmu." Pak Tim kemudian berdiri. "Barang apa lagi yang kamu bawa selain gitar?"
"Tidak ada. Saya kabur, nggak sempet bawa barang apa-apa."
"Oke, nggak apa-apa. Ayo, ke kamar."
Revan mengikuti Pak Tim keluar dari kantornya. Sasha tidak mengikuti mereka, melainkan langsung pergi entah ke mana. Bagian belakang markas Lentera Damai ternyata digunakan sebagai indekos. Kamar-kamar besar di lantai satu biasanya digunakan untuk satu keluarga berisi empat orang, sementara lantai dua dan tiga adalah kamar-kamar kecil untuk satu orang.
Dari balkon, Revan bisa melihat ke arah jalan dan perkampungan di sekitar mereka. Lingkungan ini terlihat begitu teduh dan damai. Terdapat beberapa pohon rimbun yang begitu menyegarkan mata dan atap-atap cokelat menyembul di antaranya—semburat oranye matahari menambah kehangatan suasana. Perasaan yang ditimbulkan sungguh berbeda dibandingkan saat melihat ke luar dari depan kamarnya tadi siang.
Pak Tim membukakan kamar 302 untuk Revan. Ukuran kamar ini tidak jauh berbeda dari ukuran kamar Revan di rusun, hanya saja jauh lebih bersih. Dinding yang dicat biru muda membuat ruangan terasa dingin. Selimut dan bantal ditumpuk di ujung tempat tidur, dengan sebuah nakas putih di sampingnya. Terdapat lemari kecil di hadapan tempat tidur. Di sebelahnya, sebuah meja dan kursi kayu. Banyaknya perabot yang diletakkan di ruangan ini membuatnya sedikit kepenuhan, namun tidak mengurangi kenyamanannya.
"Kamu bisa pakai ruangan ini," ujar Pak Tim seraya menyalakan lampu. "Untuk pakaian, sepertinya ada beberapa sumbangan pakaian bekas di ruang cuci. Nanti saya antar ke sana. Ruang makan, dapur, dan ruang cuci ada di gedung depan. Kamar mandi ada di ujung—hanya ada dua, jadi harus gantian. Ada lagi yang kamu butuhkan?"
Revan menggeleng. "Saya rasa cukup."
"Oke. Makan malam bisa diambil sendiri di dapur. Kamu bisa beristirahat dulu." Pak Tim sudah hendak menutup pintu saat dia terdiam. "Oh iya, nanti saya ambilkan kotak obat."
Sebelum Revan sempat menolak, Pak Tim sudah menutup pintu. Luka-lukanya sebenarnya sudah mengering, tapi mungkin ada baiknya dia memplesternya. Revan meletakkan gitarnya di atas meja, lalu berbaring di atas tempat tidur. Kasurnya empuk, berbeda dengan kasur lamanya yang begitu tipis dan keras. Tanpa bisa dicegah, dia membandingkan indekos Lentera Damai dengan rusunnya dulu. Dia benar-benar ingin berterima kasih pada semesta (tanpa tambahan "kampret" kali ini).
Terdengar ketukan pada pintu. Revan berdiri dan membukanya. Sasha muncul dari baliknya, tersenyum sambil mengangkat kotak obat yang dibawanya.
"Pak Tim baru nyariin lo handuk dan baju, kalau lo penasaran." Sasha masuk sebelum Revan sempat merespons. "Lo bisa obatin sendiri? Perlu gue bantuin, nggak?"
Revan ragu sejenak. Haruskah dia minta bantuan Sasha? "Ng... gue aja."
"Yakin bisa?" tanya Sasha, menoleh padanya. "Gue mahasiswi kedokteran, inget? Kalau cuma ngobatin elo, gue masih sanggup."
"Bukan itu," Revan mendengus. "Ya udah."
Sejujurnya, Revan pun tidak akan tahu obat apa yang harus diberikan pada luka-lukanya—dia hanya tahu luka gores yang berdarah harus diberi obat merah. Dia tahu Sasha pasti bisa membantunya mengobati lukanya. Hanya saja, Revan tahu pasti akan canggung sekali berada sedekat itu dengan Sasha, seseorang yang masih asing, meski dia sudah berperan banyak akhir-akhir ini. Tapi pada akhirnya, Revan melepas bajunya, membiarkan Sasha membantunya sekali lagi.
"Wow, sepertinya bos kampret lo nggak cuma ngasih satu-dua tonjokan," gumam Sasha seraya membuka kotak obatnya. "Memangnya lo ngapain, sampai dipukulin gini?"
"Gue punya target-target yang harus dipenuhin setiap kali ngamen," jawab Revan, mendesis kecil saat pembersih telinga yang sudah dioleskan obat itu menyentuh kulitnya. "Minimal 250 ribu sehari. Nggak boleh kurang. Semingguan terakhir, gue nggak bisa mencapai target."
"Dan lo dibikin babak belur." Sasha mengusapkan obat tanpa memedulikan gerutuan Revan. "Satu pengamen 250 ribu, dikali entah berapa pengamen. Tiap hari, dia bisa dapet jutaan, dong."
"Ditambah penghasilan dari supir angkot, pencopet, dan bar kampret itu, gue rasa mungkin sepuluh juta juga ada." Revan mengangkat bahu. "Bos kampret itu cuma ongkang-ongkang kaki, tapi dia yang nikmatin duitnya. Bajingan kampret."
Sasha tertawa mendengar pisuhan ganda yang dipakai Revan untuk mendeskripsikan Dadan. "Bajingan kampret. Gue suka. Lo ngamen berapa jam sehari?"
Revan menghitung-hitung, selagi Sasha mengoleskan obat merah di ujung bibirnya. "Dari jam sembilan pagi sampai jam sebelas malem. Berapa lama?"
"Hmm... 14 jam? Astaga."
"Nggak sih, kadang gue selesai lebih cepet juga. Yang penting target gue tercapai." Revan mengaduh pelan saat Sasha mengoleskan obat di perutnya yang memar. "Pelan-pelan, dong."
"Makanya jangan kebanyakan gerak." Sasha terus mengusapkan obat tanpa memedulikan erangan Revan. "Jangan manja, ah."
Revan menggerutu. "Lo nggak pernah ditonjok aja."
"Yah, lo ada benernya." Sasha menarik tangannya. "Udah selesai. Lo mau makan? Malam ini menunya sop dan tempe goreng."
Perut Revan yang berbunyi sudah merupakan jawaban atas pertanyaan itu. Dia mengenakan bajunya selagi Sasha membereskan kotak obat, dan bersama-sama mereka turun. Seorang laki-laki, yang menurut sapaan Sasha bernama Arga atau apalah, melewati mereka dengan terburu-buru, mengaku sudah terlambat kerja.
"Dia kerja di night club gitu deh, jadi bartender. Makanya baru kerja jam segini," Sasha menjelaskan tanpa diminta.
"Kerja di mana?"
"Night club."
"Nait klep?"
"Kelab malam gitu. Semacam bar." Sasha terdiam sejenak. "Lo nggak bisa bahasa Inggris?"
Revan tidak ingin membalasnya, karena dia tahu betul jawabannya adalah tidak. "Menunya sop, kan? Gue udah laper."
"Nanti gue ajarin kalau lo mau. Biar bisa nyanyi lagu bahasa Inggris juga." Sasha menyeringai. "Eh, besok lo ikut gue. Ada kerjaan yang cocok banget buat lo."
Revan hanya mengiyakan. Semoga pekerjaan itu betulan cocok untuknya.
:::::
kepo, nih. menurut kalian, ending ceritanya bakal kayak apa? wkwk
ayo diramekan sebelum aku menyelesaikannya karena kayaknya aku nggak akan lama-lama deh ngepajang The Theory of the Universe heheh :D
bukan, bukan karena udah dikirim ke penerbit kok :( (doain aja deh ya amin) tapi aku nggak ingin aja lama-lama memajang cerita ini??? heheheheheh jadi ayo ramaikan!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro