Evidence 20: Disappearance
Butuh beberapa minggu untuk mempersiapkan diri, terutama setelah Revan membulatkan tekad untuk mengajak Leah bersamanya. Uang yang dibutuhkan dua kali lipat, juga rencana untuk melarikan diri harus dipikirkan sesempurna mungkin. Lama sekali Revan merancangnya. Dia bahkan memastikan terminal keberangkatan mereka ada di luar daerah kekuasaan si bos kampret.
Ada sebuah celah yang dimanfaatkan Revan dalam rencananya. Siang hari, Leah biasanya pergi untuk mencari bahan makanan. Kadang Leah hanya pergi ke pasar di dekat markas, kadang harus dua kali ganti angkot. Kadang bersama gadis Virginia lainnya, seringnya sendirian. Revan meyakinkan Leah untuk melarikan diri di saat dia sedang berbelanja. Jika semuanya berjalan lancar, Leah seharusnya sudah pergi dari toko bahan pangan ke terminal.
Revan sendiri baru saja diturunkan di tempat mengamennya yang kedua. Revan sengaja bilang kalau dia akan memutari daerah ini supaya dia tidak dijemput sampai malam hari. Waktu yang dia punya cukup banyak untuk mengamen sebentar, lalu menaiki bus TransJakarta menuju terminal. Revan berharap Nindi atau manusia kampret di organisasinya tidak ada yang bisa melacaknya.
Saat dia tiba di sana, Leah sudah menunggunya dengan dua melambaikan dua tiket. Di sebelahnya, Arga dan Joko. Mereka datang untuk membantu Revan melarikan diri sekaligus membawakan tas berisi barang-barang Revan yang ada di Lentera Damai—kebanyakan baju yang diberikan padanya, gitar lamanya yang tertinggal, serta sebuah buku catatan yang diberikan Dirga untuk mencatat lirik lagu. Ada dua tas di samping Joko. Revan jadi bertanya-tanya, apa barang-barangnya di Lentera Damai sebanyak itu?
"Oh, itu baju buat Mbak Laksmi," jawab Joko saat Revan bertanya. "Saya ndak tahu Mbak Laksmi udah bawa barang apa belum, jadi saya ambil aja asal beberapa. Semoga bener yo Mbak."
"Bentar," Revan berpikir sejenak. "Nama asli Ibu itu Laksmi?"
Leah tertawa, lalu mengangguk. "Kamu tahu kan kalau semua Virginia's Angel dikasih nama baru? Dadan kasih nama Leah. Aku nggak pernah suka nama itu."
"Gua udah ngasih tau ke saudara gua kalau lu mau cari kerja di sana," kata Arga, mengabaikan percakapan lainnya. "Katanya dia bisa nerima elu, tapi masih bantu-bantu gitu. Gua juga kagak ngerti. Lu bahas sendiri aja lah ya."
"Makasih, Ga." Revan mengangguk. "Makasih juga, Pak Joko. Yang lain nggak ada yang tahu, kan?"
Joko menggeleng. "Mas Arga udah tak suruh diem, soalnya dia ndak jago bohong. Saya ndak bilang siapa-siapa. Baju buat Mbak Laksmi aja saya bilangnya buat saudara saya."
"Oke. Jangan sampai ada yang tahu, ya. Termasuk Sasha."
"Emang e kenapa tho, Mas? Bukannya Mbak Sasha yang udah sering bantuin Mas Revan?"
Itu benar. Revan hanya ingin memastikan kalau Sasha tidak perlu lagi dipusingkan karena dia. Mungkin si bos kampret akan mengirim orang untuk mencarinya, termasuk ke Lentera Damai. Sasha akan jadi tersangka utama, dan kalau ketahuan bahwa dia membantu Revan kabur, tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan si bos kampret. Revan tidak mau Sasha disangkutpautkan lagi dengan kepergiannya.
"Biar aman," kata Revan. "Busnya bentar lagi kan, Bu? Mending kita naik sekarang."
Tak lama, bus yang dinaiki Revan melaju menjauh. Meninggalkan Jakarta di belakang. Menuju daerah baru, yang semoga saja, bisa menjanjikan masa depan yang aman untuknya dan ibunya.
Revan berdoa ekstra kencang. Semesta tidak boleh kampret kali ini.
::::::
Sasha sudah jarang pergi ke Lentera Damai, tapi sore ini dia berencana pergi ke sana untuk membantu mempersiapkan acara rutin yang mereka selenggarakan. Dia tidak boleh membiarkan kekecewaannya menghentikannya berbagi pada orang lain. Mungkin dia tidak bisa menolong Revan, tapi ada orang lain di luar sana yang membutuhkan bantuannya. Dia tidak boleh berhenti.
Dirga menjemputnya sekaligus ikut persiapan acara. Sejak peristiwa Revan dipaksa kembali ke organisasinya, Dirga mulai sering aktif di Lentera Damai. Dia memang beralasan kalau karyawan Etimologi sudah bisa ditinggal tanpa pengawasannya, juga bahwa dia sudah terlalu lama tidak melibatkan diri dalam kegiatan Lentera Damai dan dia mulai kangen, tapi Sasha tahu Dirga sebenarnya merasa bersalah. Hubungan mereka belum benar-benar pulih, tapi mereka sudah baikan.
Markas Lentera Damai tampak lumayan ramai. Acara rutin yang diadakan di akhir pekan ini adalah mengadakan bakti sosial ke panti asuhan dan panti wreda. Donasi berupa pakaian layak pakai, buku-buku bacaan, dan perkakas rumah tangga sudah dikumpulkan selama dua minggu terakhir. Beberapa relawan tambahan juga sudah dikumpulkan. Sore ini mereka harus mendata ulang semuanya dan memastikan bakti sosial terlaksana dengan baik.
"Oh iya, kemarin Jericho sempet nanyain elo," kata Dirga saat mereka sudah tiba. "Dia kangen lo kayaknya."
"Padahal gue udah nge-chat dia tiap hari," Sasha menggelengkan kepala.
"Belum lanjut-lanjut?" Dirga bergerak turun dari motor. "Gue udah berusaha membujuk Jericho buat nembak elo, tapi dia masih ragu-ragu."
Sasha hanya mengedikkan bahu. Dia tidak terlalu yakin bagaimana perasaannya pada Jericho. Lagipula, apa pun yang terjadi di antara mereka, Sasha tidak ingin orang lain terlalu ikut campur. Toh dia masih merasa nyaman berteman dekat dengan Jericho.
Sebelum Sasha sempat mencari topik percakapan baru untuk mengalihkan pembicaraan, Pak Tim sudah keluar dan memberikan tugas masing-masing pada mereka. Barang-barang yang disumbangkan harus dibagi agar mereka bisa memberikan barang yang tepat untuk tempat yang tepat. Sasha segera menyortir baju-baju yang tersedia. Sekilas dia melihat Naya mendata buku-buku bacaan bersama Dirga.
"Sha, lo udah tahu belum kalau ada penghuni baru di sini?" tanya Mayang, salah seorang sukarelawan, sembari melipat baju anak.
"Belum." Sasha menoleh penasaran. "Siapa?"
"Bapak-bapak tua homeless yang dulu ngemis di pasar. Gue lupa namanya. Dulu dia tukang bangunan, tapi pernah kecelakaan sehingga tangannya udah nggak bisa mengangkat barang-barang berat. Kayaknya Pak Tim berencana mengajari dia naik motor biar bisa daftar ojek online."
"Bukannya kamar-kamar di sini udah pada penuh, ya?"
Mayang menggeleng. "Kamar 302 kosong, kok. Tadi udah gue bersihin."
Sasha mengingat-ingat. Kalau tidak salah, kamar 302 adalah kamar Revan. Bukankah barang-barang Revan masih ada di sana? Seharusnya masih ada gitar dan sebuah buku catatan, serta beberapa pakaian. Dia menoleh pada Dirga, yang sekarang sedang menatapnya. Sepertinya Dirga juga mendengar ucapan Mayang.
"Terus, barang-barang yang ada di sana diapain?" tanya Sasha.
"Barang apa?" Mayang mengernyitkan kening. "Nggak ada barang apa-apa, kok."
Begitu Mayang menjawab, Dirga langsung berdiri, mengambil kunci yang digantung di dekat pintu, dan meninggalkan ruangan. Sasha mengikutinya berjalan ke kamar 302. Ucapan Mayang benar. Tidak ada barang apa pun di dalam sana. Tapi jika memang barang-barang Revan sudah diambil, kapan dia mengambilnya?
Penghuni Lentera Damai lainnya, yang kalau tidak salah bernama Joko, keluar dari kamarnya. "Lho, Mbak Sasha?"
"Pak, Revan sempet ke sini ambil barang-barangnya, ya?" tanya Sasha langsung.
"Wah, seingat saya sih ndak pernah, Mbak. Tapi kalau siang-siang saya kerja, tho. Mungkin Mas Revan datengnya pas saya kerja."
Belum sempat Sasha bertanya lagi, terdengar keributan di bawah. Sasha mendengar namanya disebut-sebut oleh seseorang—suara itu terdengar familier. Dirga mengumpat sebelum berlari meninggalkan kamar 302. Sasha mengikutinya. Tampak seorang perempuan sedang bertanya pada Naya tentang keberadaan Sasha sambil mengancam-ancam. Tubuh Sasha gemetar. Perempuan itu Nindi.
"Lo ngapain ke sini?" tanya Dirga.
Nindi segera menoleh. "Ah, di situ lo rupanya, sama sepupu lo yang manis itu. Bukannya gue udah bilang? Gue bisa mengacaukan hidup lo kalau lo masih berusaha menolong Revan."
"Gue nggak tahu dia di mana." Dirga pelan-pelan mendorong Sasha ke belakangnya. "Sia-sia lo ke sini. Gue sama Sasha nggak ada hubungannya sama kepergian Revan."
"Masa, sih? Bukannya dia ada di sini?"
"Kalau lo mau cari dia, silakan," Sasha berseru. "Lo nggak akan menemukan dia di sini. Dan mungkin gue bisa menuntut lo karena udah mengganggu ketenangan tempat ini."
Nindi tertawa. "Emang lo berani? Lo yang udah gangguin gue duluan, tau? Cukup bilang di mana Revan, dan gue nggak akan gangguin lo."
"Tidak akan ada akan yang mengganggu siapa pun," ujar Pak Tim. "Nona, siapa pun Anda, saya harap Anda segera meninggalkan tempat ini. Revan tidak ke sini lagi sejak Anda membawanya beberapa bulan yang lalu."
"Gue nggak bakal pergi sampai gue nemuin Revan."
"Lo harus booking kamar, karena lo bakal di sini selamanya," balas Dirga. "Nggak ada dari kita yang mau itu terjadi."
"Dan jika Anda mengganggu atau mengancam Dirga, Sasha, Etimologi, atau Lentera Damai lagi," sambung Pak Tim, "saya akan melaporkan Anda dan kelompok Anda ke polisi. Jadi, Anda bisa langsung angkat kaki dari sini."
Nindi hanya menatap semua orang dengan kesal, lalu meninggalkan tempat itu. Sasha merasa kakinya lemas. Dirga segera merangkulnya, dan Pak Tim memastikan dia akan menghubungi polisi supaya aman. Meski begitu, satu pertanyaan masih tersisa. Di mana Revan?
"Mbak Sasha ndak usah khawatir. Mas Revan baik-baik saja." Joko menepuk bahu Sasha, memberikan pernyataan—juga penghiburan—yang tidak terduga.
"Pak Joko tahu di mana Revan?" tanya Sasha segera. "Dia di mana, Pak?"
"Saya ndak tahu dia sekarang di mana, Mbak, tapi dia ndak apa-apa. Mbak Sasha ndak perlu khawatirkan dia. Mbak Sasha sudah menolong dia. Sekarang giliran dia menolong Mbak Sasha."
Sasha ingin mempercayainya—bahwa Revan baik-baik saja, di manapun dia sekarang. Namun, jika dia tidak bisa memastikannya sendiri, bisakah dia meyakininya? Semesta tidak pernah berbaik hati pada Revan selama ini. Kenapa Sasha harus percaya kalau kali ini, semesta tidak akan menyakiti Revan?
Walau begitu, Sasha tidak punya pilihan lain. Dia harus percaya kalau semesta tidak akan mengacaukan semuanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro