Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Evidence 17: Impossible Changes

Sasha tidak menceritakan pada siapa pun pertemuannya dengan Revan karena dia masih kesal. Dia kesal hampir pada semua orang—pada Dirga, yang ternyata tidak seperti yang Sasha kenal selama ini. Pada dirinya sendiri, yang tidak mencoba merencanakan jalan keluar bagi Revan yang lebih aman. Terlebih, Sasha kesal pada Revan, yang hanya pasrah menerima keadaan tanpa mengupayakan sesuatu.

Kekesalannya muncul pada setiap kegiatan yang dia lakukan. Sasha yakin, dia tidak fokus saat pelajaran dan tidak maksimal dalam mengerjakan tugasnya, karena siang ini, Naya menyeretnya ke perpustakaan. Hanya mereka berdua, tanpa Yasmin atau Mikaela. Yang artinya, Naya mengkhawatirkan Sasha. Begitu mereka bisa mendapatkan tempat yang cukup sunyi, Naya segera meminta penjelasan Sasha.

"Lo lagi nggak fokus," Naya menegaskan, alih-alih meminta konfirmasi. "Kenapa?"

Sasha tidak mungkin bisa menyembunyikan masalahnya dari Naya—kemampuan Naya mendeteksi sesuatu yang salah tidak tertandingi oleh siapa pun yang pernah Sasha temui. Sasha merasakan tenggorokannya tersumbat meski dia ingin mengeluarkan perasaannya.

"Ini soal Revan?" tanya Naya. "Gue tahu akhir-akhir ini lo lagi ada masalah sama dia."

Sasha mengangguk. "Gue udah ketemu dia. Sabtu kemarin."

"Terus?"

"Terus.... Oke, lo harus tahu kalau semesta itu kampret." Sasha merasakan sumbat di tenggorokannya tercabut begitu dia mengucapkannya. "Bang Dirga kampret. Revan kampret. Semua orang kampret." Sasha diam sebentar sebelum melanjutkan, "Kecuali elo. Makasih udah nanya."

Naya sepertinya sedang berusaha memproses keadaan. Sasha hanya tersenyum tipis. Wajar saja Naya kaget. Sasha tidak pernah mengumpat sebelumnya—setidaknya, tidak secara verbal. Butuh sesaat sebelum Naya berhasil memberikan balasan.

"Masalah apa yang bisa membuat lo, manusia paling lurus yang pernah gue kenal, mengumpat kayak gitu? Yah, walaupun umpatan lo masih tergolong kalem menurut gue."

"Revan marah sama gue. Dia nyaris nggak mau ngomong sama gue, dan dia juga menolak bantuan gue. Bisa dipahami, sih, berhubung gue merusak harapan dia untuk bisa keluar dari organisasi jahat yang selalu dia bilang itu. Tapi harusnya dia tahu kalau gue cuma ingin menolong dia."

Naya menepuk tangan Sasha. "Iya, lo nggak mungkin dengan sengaja menjerumuskan dia."

Balasan Naya membuat Sasha lanjut bercerita panjang tentang masalahnya. Naya adalah orang yang akan Sasha datangi jika dia butuh mengeluarkan unek-uneknya karena Naya paham. Dia membalas tanpa menghakimi, mendengarkan tanpa menyela, dan menghiburnya tanpa berusaha menyelipkan ceritanya sendiri. Benar-benar apa yang Sasha butuhkan saat emosinya sedang membeludak seperti saat ini.

Saat cerita Sasha usai, Naya mengangguk dalam pengertian. "Terus, sekarang, apa yang akan lo lakukan?"

"Entahlah," Sasha menghela napas. Naya memang membantu Sasha menguraikan emosinya dan menata pikirannya, tapi bukan orang yang akan Sasha mintai nasihat untuk masalah seperti ini. "Mungkin nanti gue tanya Pak Tim. Atau nyokap gue."

"Tapi lo tahu kan, Sha, kalau ini bukan salah lo?" Naya berhenti sejenak, menatap Sasha penuh selidik. "Lo udah melakukan yang terbaik. Bukan salah lo kalau ternyata semesta mengacaukan rencana lo. Ada maksudnya rencana lo harus dirusak."

"Gue tahu, tapi... kenapa?"

Naya mengedikkan bahu. "Entahlah. Mungkin Revan harus cari jalannya sendiri. Mungkin kalian berdua harus belajar sesuatu dari kejadian ini. Banyak alasan—dan kita mungkin nggak akan pernah tahu apa alasan sesungguhnya."

Sasha memikirkannya. Perkataan Naya ada benarnya. Segala sesuatu di dunia ini terjadi untuk alasan tertentu. Manusia seringkali terlalu terfokus pada rencananya sendiri sehingga tidak bisa memahami alasan lain ini.

"Oke. Sekarang lo tenangin diri dulu aja. Solusinya pasti bakal dateng kalau lo pikirin dengan kepala dingin." Naya kemudian berdiri. "Mending sekarang kita ke kafe aja. Nyari kopi sama makanan apa gitu. Gue stres sendiri liat laporan buat besok."

Sasha menyusul Naya yang sudah berjalan terlebih dahulu. Naya benar. Sasha terlalu kalut untuk memikirkan apa pun. Jangankan masalah Revan, tugas-tugas kuliah yang seharusnya menjadi fokus utamanya saja berantakan. Dia tidak boleh membiarkan itu terjadi. Mereka berjalan ke kafe di perpustakaan. Selain menghemat waktu, Naya juga pasti tahu Sasha sedang tidak ingin ke tempat Dirga.

Dihabiskannya sisa hari itu di kafe bergosip dengan Naya. Membicarakan apa pun kecuali masalah yang sedang dia hadapi. Apa pun, sampai kepala Sasha cukup dingin untuk melihat permasalahan ini dengan jelas.

::::::

Saat Sasha tiba di rumah sore harinya, ibunya sudah ada di ruang keluarga, menyetrika sembari menonton televisi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan ayahnya—mungkin masih bekerja. Jam kerja ayahnya sering tidak terduga dan tidak di jam yang sewajarnya.

Sasha langsung menjatuhkan diri di sebelah ibunya. "Ma...," panggilnya sambil bergelayut.

"Kenapa?" Nandani langsung mengecilkan suara televisi. "Tumben manja. Ada masalah, ya?"

"Ma, kenapa ada orang baik dan orang jahat?"

Sasha menyadari kalau pertanyaannya sulit dijawab. Ibunya saja, yang dia anggap ahli dalam memahami cara semesta bekerja, memilih untuk mematikan televisi dan setrika sebelum bisa menjawab. Sasha tidak bisa memikirkan pertanyaan itu seusai bertemu dengan Naya.

Semesta punya caranya sendiri dalam mengatur dunia ini. Sasha tahu itu. Ada banyak hal yang terjadi di dunia ini, tidak ada satu manusia yang bisa tahu semuanya, termasuk alasan di balik setiap kejadian. Mungkin sesuatu terjadi untuk kebaikan yang lebih besar—the greater good, keuntungan yang hanya bisa didapat jika sesuatu lain, yang dianggap lebih tidak penting, dikorbankan. Sasha tahu itu.

Hanya saja, dalam kasus ini, mengetahui dan menghadapinya adalah dua hal yang sangat berbeda. Pasti karena Sasha begitu ingin rencananya terlaksana, sehingga dia tidak terima kalau rencananya dianggap bisa dikorbankan untuk the greater good.

Dalam pikirannya, semesta akan memakai orang jahat untuk menggagalkan apa direncanakan orang baik. Sasha tahu kalimatnya sendiri membuatnya terdengar seperti orang yang tidak pernah tahu dunia yang sebenarnya, tapi mungkin dia memang begitu. Hidup dalam gelembung kecilnya yang bahagia tanpa pernah diajari cara memahami dunia bekerja. Sasha takut gelembung ini mulai rapuh dan bisa pecah kapan saja, dan dia dipaksa belajar dengan cara yang sangat tidak mengenakkan.

"Ada orang yang jahat karena cara mereka dibesarkan," Nandani memulai lamat-lamat. "Kondisi memaksa mereka melakukan apa saja, termasuk kejahatan, untuk bisa selamat. Dan lama-lama, mereka merasa kejahatan itu adalah kebenaran mereka—sesuatu yang menurut mereka normal."

"Kejahatan itu jadi kebenaran yang mereka punya?"

"Iya. Dalam banyak kasus, kebenaran bukanlah sesuatu yang absolut. Kebenaran bisa jadi relatif, berbeda-beda tergantung budaya dan perspektif masing-masing orang. Karena itulah orang-orang bisa saling berargumen dan memiliki pendapat berbeda akan sesuatu."

Sasha tidak membalas, berusaha memahami apa yang dijelaskan ibunya.

"Selain kebenaran yang relatif, moral tiap orang, atau budaya, juga bisa berbeda. Sekali lagi, budaya dan cara seseorang dibesarkan berpengaruh sangat besar pada apa yang dipercaya orang tersebut sebagai sesuatu yang 'normal dan benar.' Apa yang dianggap benar berdasarkan ajaran moral tertentu bisa saja dianggap salah oleh yang lain." Nandani menepuk tangan Sasha. "Itu yang sulit, kan? Begitu banyak hal di dunia ini yang tidak absolut dan sangat bergantung pada kondisi-kondisi yang mengarah pada kejadian itu."

"Tapi... kenapa?"

"Mama nggak tahu jawaban aslinya. Tapi memang begitu cara dunia bekerja, Sha. Kita nggak bisa mengubahnya."

"Kalau Mama tahu Mama nggak bisa mengubah dunia, kenapa Mama gabung Lentera Damai?"

"Karena Mama nggak berusaha untuk mengubah dunia. Lentera Damai ada bukan untuk mengubah seluruh dunia, tapi untuk membuat perubahan berarti dalam hidup orang-orang yang bisa dia jangkau." Nandani menatap Sasha lekat. "Ada masalah di Lentera Damai?"

Sasha kemudian bercerita tentang Revan. Ibunya mendengarkan dengan begitu saksama tanpa memotong. Setiap selesai berbicara dengan ibunya, Sasha akan selalu merasakan sepercik rasa lega—setidaknya, ada satu orang dewasa yang bisa menolongnya. Sasha tidak yakin dia cukup dewasa untuk itu. Entah apakah dia akan cukup dewasa untuk apa saja. Bagaimana orang dewasa menjadi dewasa? Mungkin dia harus bertanya pada ibunya soal itu juga.

"Sepertinya kapan-kapan Mama harus ngobrol sama Dirga," respons Nandani, membuat Sasha tertawa pelan.

"Iya, harus."

"Soal Revan, Mama setuju kalau dia memang harus ditolong. Tapi kamu harus paham dulu kalau nggak selamanya kita bisa menolong orang lain. Bahkan dengan pertolongan Mama, Pak Tim, atau anggota Lentera Damai lain."

Harapan Sasha yang sempat meninggi langsung terpatahkan. Seharusnya Sasha memang tidak berharap setinggi itu—toh, ibunya belum menjanjikan apa-apa. Namun, memikirkan bahwa Revan mungkin tidak akan bisa dia tolong membuat Sasha kehilangan harapan pada semesta. Dan dia baru berusaha menyelamatkan satu orang. Seberapa kecewa dia jika dia harus menyelamatkan lebih banyak orang?

"Ini bukan salahmu," ujar Nandani sembari menarik Sasha ke dalam pelukannya. "Pekerjaan yang dilakukan Lentera Damai memang nggak pernah mudah. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Oke?"

Sasha hanya mengangguk, sebelum dia beranjak ke kamarnya. Terduduk di sana sambil mencoba meresapi apa yang baru saja ibunya katakan.

Semesta memaksa Sasha menghadapi kenyataan bahwa beberapa perubahan memang mustahil dilakukan. Hanya saja... bisakah Sasha percaya kalau rencana-rencana semesta tidak akan kampret? Bahwa memang ada sebuah kebaikan yang akan datang dari semua ini?

Semoga saja. Sasha berharap semesta tidak akan mengecewakannya untuk urusan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro