Evidence 16: Let Me Help
Sasha berdiri di perempatan tempatnya bertemu Revan untuk pertama kalinya. Sekarang sudah melewati jam makan siang, jadi Revan seharusnya sudah ada di sini. Hanya saja, sejauh ini, tidak ada tanda-tanda keberadaan Revan di situ, atau bahkan pengamen lain.
Sasha bahkan sudah bertanya orang di sekitar sana—beberapa penjual toko kelontong dan seorang penjual bakso. Si penjual bakso yang begitu ramah malah bercerita panjang lebar mengenai interaksi mereka berdua beberapa waktu yang lalu, saat Revan menanyakan arah untuk menuju ke stasiun terdekat. Revan bahkan meminjam ponselnya untuk menelepon seseorang. Sepertinya dulu Revan menelepon Sasha menggunakan ponsel Mbah Kung, si penjual bakso. Sasha berakhir mengobrol lebih lanjut soal Lentera Damai dan nasib para pengamen jalanan sambil memakan seporsi bakso.
"Sebenernya memang kasian orang-orang seperti Revan itu," kata Mbah Kung sambil menyiapkan bakso. "Mereka sering nggak punya pilihan."
"Saya setuju," Sasha mengangguk. "Mereka hanya nggak beruntung."
Sasha berakhir berbicara banyak pada Mbah Kung tentang para pengamen, orang-orang yang hidup di jalanan, dan Lentera Damai. Setelah dia selesai makan pun, Mbah Kung setuju untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan Lentera Damai sebisanya. Sasha mendapatkan seorang sukarelawan lain, tapi tidak menemukan Revan.
Di mana Revan mengamen? Cowok itu memang tidak bercerita banyak, tapi seingat Sasha, Revan hanya mengamen di jalan ini. Tidak ada lagi yang Sasha ketahui tentang jadwal, jalur, atau informasi apa pun yang bisa membantunya menemukan Revan. Sasha sudah mengitari lingkungan ini, tapi nihil. Dengan perasaan kalah, dia meninggalkan daerah ini dan menuju Etimologi.
Begitu sampai di Etimologi dan mendekati konter, Dirga langsung menawarkan minuman, yang Sasha tolak dengan halus. Sejak Revan ditangkap oleh organisasinya beberapa hari lalu, Dirga selalu memberikan minuman atau makanan gratis setiap Sasha datang. Sasha tahu Dirga merasa bersalah, dan berusaha membayarnya sebisanya. Sejujurnya, hal ini malah membuat Sasha tidak nyaman.
Setelah meminta Dipta, salah satu barista Etimologi, untuk menggantikannya, Dirga mengajak Sasha ke gudang untuk berbicara. Gitar putih yang teronggok tak digunakan di pojok ruangan mengingatkan Sasha pada saat suara Revan mengisi sudut-sudut Etimologi. Harapan kental dalam suaranya.
"Ehm." Dirga berdiri di hadapan Sasha, menghalangi pandangannya dari gitar putih itu. "Jadi, apa ada kemajuan?"
Sasha menggeleng. "Gue cari ke tempat dia mengamen yang biasanya. Nihil. Antara dia pindah tempat mengamen, atau...." Perkataan Sasha terputus karena dia hampir-hampir takut ucapannya akan berubah menjadi kenyataan. Dia melanjutkan dengan lirih, "Revan belum... belum mati, kan? Bosnya kan...."
"Kita nggak boleh memikirkan kemungkinan itu," balas Dirga tegas. "Menurut gue, sekesal apa pun si bos sama Revan, dia nggak akan menghukum sampai membunuh. Kenapa mereka susah payah membawa Revan kembali kalau dia hanya akan dibunuh?"
"Bener juga," Sasha mendesah. Dia berusaha mengusir jauh-jauh pemikiran terburuknya. "Kalau soal organisasi ini, ada informasi tambahan yang berhasil lo dapatkan, nggak, Bang?"
"Setahu gue mereka beroperasi di Jakarta, terutama Jakarta Selatan dan Barat. Markas mereka ada di Jakarta Barat. Kalau nggak salah, mereka punya gabungan organisasi serupa di Jabodetabek dan beberapa daerah di Jawa Barat. Jadi, kalau lo pengin benar-benar menyelamatkan Revan, lo harus bawa dia ke luar Jakarta, bahkan kalau bisa di luar Jawa Barat." Dirga terdiam sejenak sebelum menambahkan, "Orang-orang mereka dipekerjakan sebagai pengamen, pencopet, atau PSK di kelab-kelab murahan."
Sasha bergidik. Banyak orang yang tidak seberuntung dirinya sehingga harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak sepantasnya hanya demi mendapatkan uang. Rasa-rasanya dia ingin menolong mereka semua. Ada kalanya dia berharap punya kemampuan untuk mengubah realitas hidup dan menjadikannya jauh, jauh lebih baik dari yang sekarang ada.
"Itu aja yang gue tahu," kata Dirga setelah berpikir lebih lanjut. "Nggak banyak orang yang bisa gue tanyai."
"Ah," Sasha memijat dahinya. "Gue nggak tahu harus nyari gimana lagi."
Dirga mengelus punggung Sasha pelan. "Usaha lo udah maksimal. Gue nggak akan nyuruh lo berhenti nyari Revan, tapi jangan lupa kuliah. Cepat atau lambat lo bakal ketemu dia."
"Iya, gue masih inget kok. Salah satu hal yang bikin gue frustrasi adalah karena kewajiban gue untuk belajar." Sasha memijat kepalanya. "Gue pulang dulu, Bang. Kalau lo ada info lagi, kabarin ya."
Sasha terpaksa pulang dengan tangan hampa. Perasaannya begitu kacau, dia bahkan tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikannya. Dia baru saja mendapatkan batu sandungan terbesar yang pernah dia hadapi dalam hidupnya. Siapa pun yang baru saja pertama kali tersandung pasti merasakan rasa sakit yang asing.
Semoga saja dia bisa cepat-cepat menemui Revan. Mungkin dengan begitu, perasaannya bisa membaik.
::::::
Informasi penting datang dari salah seorang relawan Lentera Damai. Dia mengenali Revan karena pernah melihatnya di Etimologi dan keheranan kenapa Revan sekarang mengamen di jalanan. Sasha segera pergi ke daerah itu sesegera mungkin—yang baru bisa dia lakukan hari Sabtu. Dua minggu lebih setelah Revan dipaksa kembali ke organisasinya.
Mengingat bagaimana Revan dulu mengamen—di dekat perempatan, mengamen di kala lampu lalu lintas berwarna merah—Sasha segera mengawasi median jalan, mencari keberadaan Revan. Sasha sebenarnya tidak tahu apakah dia sampai terlalu pagi, atau Revan memang tidak mengamen pagi ini, tapi dia tetap menunggu di sekitar sana. Kebetulan, ada kafe di dekat sana yang memiliki jendela besar. Sasha memasuki kafe, memesan minuman, lalu duduk di dekat jendela sambil mengawasi jalan raya.
Sasha mungkin menunggu kira-kira setengah jam sampai dia melihat sosok Revan. Dia nyaris tersedak lemon tea saat melihat penampilan Revan. Dari jauh sudah terlihat kalau dahi Revan diperban. Entah akan separah apa luka di tubuh Revan saat Sasha sudah bisa melihatnya lebih dekat. Dia buru-buru membereskan barangnya dan keluar dari kafe. Perlahan-lahan, dia mendekati Revan.
Revan baru saja selesai mengamen dan langsung melangkah menuju pinggir jalan. Sasha buru-buru menyeberang, berusaha menyusul Revan yang dengan cepat sudah berjalan ke arah lampu merah.
"Van! Revan!"
Revan berhenti sesaat mendengar panggilan itu. Sasha berhasil sedikit mempersingkat jarak, namun Revan malah berjalan lebih cepat. Apa Revan menghindarinya? Apa Revan kesal, atau hanya tidak ingin Sasha melihatnya dalam keadaan babak belur? Apa pun alasannya, Revan sekarang menulikan dirinya, berpura-pura tidak menyadari kehadiran Sasha.
Sebelum Sasha berhasil mengejarnya, lampu sudah berganti merah, dan Revan segera mengamen. Sasha sudah berusaha mengikuti Revan, namun cowok itu selalu berhasil menghindarinya saat lampu hijau. Sudah dua kali lampu berubah hijau, tapi Sasha belum berhasil juga. Astaga. Kalau begini terus, Sasha tidak akan bisa berbicara pada Revan.
Sasha akhirnya berhasil mengejar Revan saat cowok itu berjalan ke pinggir jalan dengan langkah terpincang. Dia tidak yakin apa yang terjadi—mungkin Revan terkilir, atau kakinya sakit akibat kekerasan yang dia terima—tapi Sasha sedikit lega karena dia bisa mendekati Revan tanpa harus bermain kucing-kucingan. Revan tampak pasrah, karena dia hanya duduk di halte bus sembari mengurut pergelangan kaki kanannya.
"Boleh gue bantu?" tanya Sasha pelan, sembari berlutut di sebelahnya.
Dari dekat begini, tampak jelas kalau luka Revan terpusat pada wajahnya. Dahinya diperban, hidungnya mengalami trauma, dan pipinya lebam. Sasha tidak berani membayangkan bagaimana wajah Revan seusai dipukuli—seberapa parah kondisinya, dan seberapa dekat Revan dengan kematian? Dia bergidik. Bagaimana seseorang bisa bertindak sekasar ini, dia masih tidak bisa memahaminya.
Revan tidak merespons. Tanpa menunggu balasan, Sasha menarik kaki kanan Revan dan memeriksanya. Tidak tampak bekas luka yang jelas. Sepertinya Revan memang terkilir. Sasha hendak memijat sedikit kaki Revan, namun sebelum dia bisa melakukannya, Revan menarik kakinya.
"Gue nggak butuh bantuan lo."
Sasha menghela napas. "Gue beneran tulus pengin ngebantuin lo, Van. Gue nggak tahu kalau Dirga ternyata bayar 'uang sewa' ke organisasi lo, sehingga lo—"
"Gue nggak butuh penjelasan lo." Revan berdiri dan berjalan pergi, tapi karena kakinya masih terkilir, dia tidak bisa bergerak jauh. Sasha bisa mendengarnya bergumam, "Kampret!"
Sasha mengikutinya, sesekali menarik tangan Revan supaya cowok itu mau menoleh dan berbicara dengannya. Revan selalu menepisnya sebisanya, tetap berjalan pergi tanpa menggubris Sasha sama sekali. Kesal dengan kelakuan Revan, Sasha menyelipnya dan menahan Revan agar cowok itu tidak bisa lagi melarikan diri. Revan menghela napas dan langsung berbalik.
"Astaga, demi Tuhan, lo bisa dengerin gue sebentar, nggak sih?" Sasha mengejar Revan lagi. Kali ini, dia mampu menarik tangan Revan dan menahannya agar tidak melarikan diri lagi. "Plis, Van, dengerin gue bentar."
"Lo mau ngasih pembelaan apa lagi?" tanya Revan ketus. Dia tetap tidak mau menatap Sasha. "Udah jelas kan, kalau keputusan gue buat minta pertolongan lo itu salah?"
"Gue minta maaf karena udah ngajak lo kerja sama Bang Dirga. Kalau gue tahu, gue nggak akan nyuruh lo kerja di situ."
"Ya, ya, terserah. Yang jelas, gara-gara lo, kesempatan gue untuk kabur hilang sama sekali."
Sasha mendesah. "Gue tahu. Biarkan gue membantu lo sekali lagi, Van. Gue udah bahas ini sama Pak Tim. Dia bisa minta tolong temennya yang di Surabaya. Lo pasti—"
"Jangan janjiin sesuatu yang nggak bakal bisa lo penuhi." Dengan itu, Revan menarik tangannya kasar dan menjauh. "Pergi."
"Nggak, Van, sampai lo mau terima bantuan gue," balas Sasha tegas. "Biarin gue nolongin elo."
"Lo nggak usah bantuin gue. Urus hidup lo sendiri."
"Van, gue serius. Gue bisa—"
"Astaga, Sasha, gue nggak butuh pertolongan lo!" Revan berbalik, membentak Sasha persis di depan wajahnya. "Lo boleh coba, tapi semuanya bakalan sia-sia karena gue cuma orang rendahan. Gue cuma properti orang lain." Revan tertawa sinis mendengar ucapannya sendiri.
Sasha nyaris tidak bisa mempercayai pendengarannya. Revan menyebut dirinya sendiri properti. Properti menyatakan kepemilikan; menjadi properti orang lain berarti melepaskan hak yang dia miliki. Dijadikan budak, yang tidak bisa melakukan apa pun selain menjalankan perintah pemiliknya. Tidak pernah ada orang yang cukup rendah untuk dijadikan properti orang. Jika ada orang yang memang rendahan, orang itu adalah dia yang mengklaim orang lain sebagai miliknya.
"Lo bantuin sekeras apa pun, hal itu nggak bisa diubah," lanjut Revan, berjalan mundur satu langkah. "Jadi buat apa lo buang-buang waktu? Urus hidup lo sendiri. Pergi."
"Lo nggak serendah itu untuk dijadiin properti orang," sahut Sasha. Kegetiran kental dalam suaranya.
Revan mengedikkan bahu. "Nyatanya, gue emang properti orang. Nggak ada gunanya lo nolongin gue."
Sasha terpaku di tempatnya, sementara Revan berjalan menjauh hingga tidak terlihat lagi. Lihat, bahkan semesta pun angkat tangan, menolak untuk menolong salah satu manusia yang tidak pernah berhak menerima perlakuan serendah ini. Dengan tangan terkepal, Sasha berjalan ke kafe tempatnya menunggu pertama kali dan meninggalkan daerah itu.
Semesta kampret....
Kali ini, Sasha sangat setuju dengan umpatan Revan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro