Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Evidence 15: A Property

Suasana di dalam van begitu sepi. Baguslah. Revan tidak repot-repot meramaikan suasana, karena dia tahu persis apa yang akan dia hadapi begitu sampai di rusun. Melarikan diri juga merupakan pilihan yang mustahil karena Mped dan Barga duduk mengapitnya. Lebih baik dia menyimpan energinya.

Sebagian dirinya menyesal kenapa tidak lari saja. Dirga sudah menawarkan kesempatan itu, kan? Revan seharusnya bisa lari lewat depan, mencoba kembali ke markas Lentera Damai dengan hati-hati. Setelahnya, dia bisa menyusun rencana untuk kabur sejauh-jauhnya. Mungkin ke kota lain. Atau pulau lain. Tempat asing memang, tapi lebih baik daripada kembali lagi ke kondisi yang sebisa mungkin dia hindari.

Meski begitu, Nindi dan cecurut-cecurut Dadan lainnya pasti akan mencarinya ke mana-mana. Dan mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan demi mendapatkan apa yang mereka mau. Revan tahu, mereka pasti akan melukai Sasha hanya untuk mencari tahu di mana dia. Revan lebih benci membayangkannya—melarikan diri dan tidak bisa membantu Sasha kalau-kalau para bajingan ini melukainya.

Kampret. Kalau bisa, Revan ingin menghajar semesta kampret yang sudah membuat takdir kampret seperti ini. Kenapa hidupnya kampret? Kenapa Revan tidak bisa hidup bahagia sebentar saja? Pertanyaan itu tidak akan ada habisnya dan tidak akan bisa dijawab.

Revan menghela napas saat lingkungan jalanan jadi semakin familier. Jalan inilah yang selalu dia lewati setiap pulang mengamen. Jantungnya berdegup semakin cepat dan keras. Seluruh tubuhnya terasa kebas. Luka-lukanya kembali memerih meski sebagian sudah mengering. Tanpa sadar, Revan menggertakkan gigi, berusaha menahan sakit yang bahkan belum dia rasakan.

"Takut?" tanya Nindi—nada suaranya justru terdengar bahagia. "Serius, Van, gue sebenernya kasian sama elo. Biar gimanapun, lo adek gue. Masalahnya, lo emang pantes dihukum. Ini semua akibat dari kesalahan yang lo perbuat. Dadan nggak bakalan ngehukum lo kalau lo nggak bandel."

"Dihukum beda dengan dipukuli hingga nyaris mati," balas Revan dengan segala kepahitan yang dia punya. "Lucu, tau. Gue dibawa balik ke sini cuma buat dibunuh."

"Lo nggak akan mati, Sayang." Nindi tersenyum. "Dadan masih terlalu sayang sama lo."

Meski begitu, Revan ingin berdoa supaya dia mati saja. Toh, mengingat betapa jahatnya semesta padanya, mati bukanlah akhir yang ditentukan untuknya. Setidaknya, bukan akhir yang bisa dia dapatkan hari ini. Sepertinya tulang retak atau patah adalah akhir yang paling memungkinkan dari hukuman itu, jika mengingat hukuman yang dulu dia dapatkan setelah mencoba kabur.

Satu yang tidak dapat Revan pahami: kenapa Dadan menginginkannya kembali? Revan sangat yakin dia bukan pengamen terbaik—yang, sebenarnya, tidak dia ketahui pasti, karena Dadan tidak membuat penghargaan bulanan seperti Pengamen Bulan Ini atau apa. Apakah karena statusnya sebagai anak? Sepertinya tidak, karena jika status itu penting, Dadan tidak akan memperlakukannya dengan semena-mena.

Apa pun alasannya, Revan bisa menanyakannya langsung. Rusun sudah di depan mata. Van ini berhenti persis di depan jalan masuk untuk menurunkan penumpangnya. Mped dan Barga memperlakukan Revan seolah narapidana—kedua lengan Revan dipegangi erat, mencegahnya untuk kabur. Kekuatan dan langkah-langkah lebar mereka membuat Revan tersandung berkali-kali, susah payah menyamai langkah mereka saat menaiki tangga.

Tak dinyana, Revan takut. Meski begitu, dia tidak bisa mengelak. Jam di dinding tiba-tiba saja berbunyi begitu keras, menghitung detik-detik yang berlaku. Seakan mengejek Revan. Tik. Waktumu sudah dihitung. Tik. Kau akan mati. Tik. Waktumu sudah habis. Revan mengalihkan pandangan, berusaha mengabaikan suara itu.

Nindi mengetuk pintu ruangan Dadan. Mendengar lagi suara Dadan membuat bulu kuduk Revan berdiri. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang mendorongnya untuk melarikan diri. Mungkin seperti kambing yang tahu kalau sebentar lagi dia akan mati. Revan ingin memberontak—siapa tahu berhasil, kan? Siapa tahu dia bisa lepas. Tapi dia tahu, Mped dan Barga terlalu kuat. Dan sama seperti kambing itu, Revan tidak bisa lari.

Setidaknya, kambing terasa enak kalau sudah mati. Kalau Revan yang mati? Entahlah, mungkin seluruh eksistensinya di dunia ini akan dihapus musnah. Revan siapa? Tidak pernah ada Revan di sini. Kau mungkin salah orang.

Nindi membuka pintu, dan Revan dilemparkan masuk. Revan tidak siap sama sekali dan jatuh. Lengannya yang langsung bersentuhan dengan lantai semen terasa berdenyut. Tak lama setelahnya, dia mendengar pintu tertutup di belakangnya. Hening. Hanya Revan dan Dadan di sini.

Revan berdiri, mengusap lengannya. Kain kaus yang cukup tebal berhasil melindungi lengannya, meski sekarang sedikit terkoyak. Dadan masih duduk di balik meja, menghitung uangnya hari ini. Revan melirik pintu lain di sebelah kanan Dadan yang tertutup. Dari lampunya yang menyala, Revan menduga seorang gadis menunggu di dalam sana. Tidak mengejutkan. Hari Dadan baru lengkap kalau dia bisa menonjok salah satu bawahannya dan menggauli seorang gadis.

Revan teringat ruangan ketua Lentera Damai—dia lupa siapa namanya. Ruangan itu bersahabat. Ruangan ini dingin dan mengintimidasi.

"Kabur untuk kedua kalinya. Ganti tempat ngamen di kafe di lingkungan kekuasaan organisasi. Kurang goblok apa sih, lo?" Dadan tetap lanjut menulis di bukunya. "Mau kabur tuh yang jauh sekalian. Kalau cuma di Jakarta mah, gue masih bisa nyari lo."

"Iya, emang gue harusnya kabur lebih jauh," balas Revan menyetujui. Dengan sepenuh hati.

Dadan berhenti menulis. Dia berjalan cepat menghampiri Revan. Otak Revan menyuruhnya lari, tapi perintah itu tidak dihiraukan kakinya yang seakan tertancap di lantai. Revan hanya mengepalkan tangannya, memikirkan kemungkinan untuk membalas tonjokan Dadan. Meskipun tinggi mereka tidak jauh berbeda, tubuh Dadan jauh lebih berotot.

"Ke mana aja lo?" tanya Dadan.

"Bukannya lo nyuruh anak buah kampret lo buat ngawasin gue? Harusnya lo—"

Sebelum kalimat Revan selesai, Dadan sudah mengayunkan tinjunya. Kali ini menghantam pipi kiri Revan, membuatnya terhuyung menabrak dinding. Begitu keras, Revan sampai bisa merasakan giginya goyah. Mulutnya seketika dipenuhi darah. Dia meludahkan sebagian ke lantai. Revan berusaha berdiri lagi, yang gagal karena Dadan keburu mendekatinya dan menghantamnya berkali-kali.

Revan ingin melawan, tapi gerakan Dadan terlalu cepat. Sebelum dia akhirnya bisa menggerakkan tangannya, Dadan sudah mendaratkan beberapa hantaman lagi. Mulut Revan tidak hanya diisi darah, tapi juga giginya yang patah. Hidungnya berdenyut parah dan dagunya basah. Yang dipikirkan Revan hanya satu: di pukulan keberapa dia akan mati? Sekarang? Berikutnya? Yang kelima?

Saat Dadan akhirnya melepaskannya, mata kiri Revan tidak bisa dibuka, hidungnya sepertinya patah, dan seisi ruangan berputar. Revan berusaha bangun, tapi dia menyerah. Dia berbaring di lantai, menunggu kapan waktunya dia mati. Bunyi jam berdetik bergaung di otaknya. Pada detik keberapa dia akan mati? Sekarang? Setelahnya? Yang kesepuluh?

Sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, Dadan meraih kausnya dan menariknya bangun. Kepala Revan berdenyut hebat; mata kanannya tidak bisa melihat dengan jelas. Hanya telinganya yang masih berfungsi dengan baik, karena perkataan Dadan begitu jelas diterimanya.

"Lo properti gue, ngerti? Lo punya gue. Gue nggak bakal biarin lo kabur lagi."

Setelahnya, kegelapan mengambil alih seluruh indranya.

::::::

Mata Revan mengerjap saat dia akhirnya terbangun. Semuanya masih berputar dan bagian belakang kepalanya seperti dihantam berulang kali, karenanya dia kembali memejamkan mata. Sinyal-sinyal mulai berdatangan dari seluruh tubuhnya—tidak ada bagian tubuhnya yang tidak sakit. Meski begitu, Revan berhasil menggerakkan tangannya untuk menyentuh kepalanya. Sesuatu membebat kepalanya.

Ah, lagi-lagi dia belum mati. Seharusnya itu tidak mengejutkan.

Revan berusaha membuka matanya. Hanya kelopak kanannya yang bisa dibuka; mata kirinya mungkin masih bengkak. Pelan namun pasti, matanya bisa mengenali di mana dia sekarang: kamar lamanya. Sejauh matanya bisa memandang—yang begitu terbatas, karena hanya bola matanya yang bisa digerakkan—Revan tahu kalau ruangan ini ditutup. Telinganya mulai menangkap suara kipas angin.

Tanpa berusaha keras mengingat apa yang terjadi sebelumnya, Revan tahu Dadan memukulinya. Jika kepalanya harus dibebat seperti ini, pukulan itu pastilah parah. Dia beruntung—atau malah sial?—bisa tetap hidup. Dan jika dia lagi-lagi harus terkurung di tempat ini, pasti usahanya melarikan diri gagal. Takdir memang tidak pernah berpihak padanya.

Pintu dibuka, dan siapa pun yang masuk kemudian adalah perempuan. Dari suaranya yang mengandung panik, Revan menduga ini Leah. Wanita itu mencoba membantunya minum, tapi Revan menolak. Selain karena kepalanya masih sakit dan tidak mampu digerakkan, dia tidak benar-benar haus. Tidak, dia sebenarnya haus, tapi dia tidak ingin menerima bantuan Leah.

"Kamu harus minum," ujar Leah kemudian. Nadanya lembut tapi penuh pemaksaan. "Ini, pakai sedotan. Biar kamu nggak perlu bangun."

Tidak dalam keadaan sanggup menolak, Revan akhirnya meminumnya. Setidaknya, mulutnya kini tidak selengket tadi. Lidahnya dapat merasakan salah satu giginya hilang—di bagian kiri bawah, dekat pipi. Sialan. Dia ingin mengumpat, tapi keberadaan Leah dan lebam di rahangnya membuat Revan menahan diri. Dipejamkan lagi matanya. Tidur akan terasa begitu enak sekarang, tapi dia sudah lelah tidur.

"Kamu masih ngantuk? Kamu udah tidur selama dua hari. Ibu...," Leah terdiam sejenak, "yah, kukira kamu koma. Atau bahkan sudah sekarat."

Mereka jarang berbicara, jadi saat Leah menyebut dirinya sendiri "Ibu", telinga Revan terasa tidak nyaman. Dia tidak pernah menganggap Leah ibunya. Hanya wanita yang melahirkannya. Ibu biologis. Tapi bukan yang bisa dipanggil ibu karena keterikatan emosional. Meski begitu, sikap Leah yang lebih lembut dibandingkan Dadan membuatnya lebih bisa dihormati.

"Dan aku tetap dibiarkan di kamar ini," balas Revan akhirnya, setelah rahangnya bisa digerakkan. "Nggak sekalian dipesenin lahan pemakaman?"

"Revan!" hardik Leah. Wanita itu menghela napas sebelum menyeret kursi mendekat. "Kalau tadi kamu nggak bangun, aku mau bawa kamu ke rumah sakit. Biar bagaimanapun kamu anakku. Seburuk-buruknya aku jadi ibu, aku tetap sayang kamu."

Revan membiarkan Leah menyibak rambut yang menutupi dahinya. Dia belum pernah berada sedekat ini dengan Leah. Belum pernah merasakan kulit mereka beradu—tangan Leah yang menyentuhnya terasa agak hangat. Leah sekarang menggenggam tangan Revan dan menciumnya pelan. Revan ingin menolak, tapi dia sungguh ingin Leah terus membelainya. Dia ingin Leah menunjukkan rasa sayangnya, bukan hanya menyebutkannya.

"Aku nggak pernah disayangi," balas Revan, lirih.

Air mata Leah jatuh. "Aku tahu. Maaf, Revan. Kamu nggak seharusnya hidup seperti ini."

Lama sekali mereka terdiam. Leah menangis dalam diam sambil mengelus punggung tangan Revan. Dengan sisa kekuatan yang masih dia miliki, Revan balas mencengkeram tangan Leah. Tingkat intimasi mereka meningkat satu garis, dan ini sudah cukup bagus. Sesekali Leah bertanya bagian mana saja yang masih terasa sakit, atau apakah Revan sudah lapar.

"Aku buatin bubur dulu, ya," ujar Leah. "Kamu istirahat dulu. Jangan kabur lagi dalam waktu dekat, badanmu nggak akan kuat. Aku akan bantu kamu cari waktu yang tepat, oke?"

Revan menatap mata hitam Leah. Tatapan itu mengingatkannya pada mata Sasha—bentuknya tidak mirip, namun ketulusan yang mewarnainya benar-benar serupa. Tidak ada alasan baginya untuk tidak mempercayai ucapan itu. Revan akhirnya mengangguk pelan. Dengan lembut Leah mengecup kening Revan yang tertutup perban, lalu keluar dan menutup pintu.

Revan kembali memejamkan mata. Semoga saja, pada kali ketiga nanti, semesta ada di pihaknya.

::::::

my heart is nyut-nyutan when i wrote this. :"(

btw halo! maafkan lama tidak update, dateng-dateng bawa bab angsty lagi :(. aku ditawan skripsi dan dipaksa fokus ke sana, but thank God it's all done (saya sudah S.E.!!)! semoga setelah ini bisa nulis lancar yaa. bab cadangannya udah abis nih. nulis bab Evidence 16 belum kelar-kelar. :")

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro