Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Evidence 14: Know Your Enemy

Sasha baru saja keluar dan melihat Revan dibawa pergi—diseret adalah kata yang lebih tepat untuk mendeskripsikan apa yang dia saksikan—oleh dua orang berbadan kekar. Dirga di dekat pintu belakang, bergeming, ekspresinya tidak terbaca. Dua orang berbadan kekar lainnya mengawal Dirga. Satu orang cewek berwajah arogan mengetikkan sesuatu pada ponselnya sambil terus mengawasi Revan.

"Revan! Apa-apaan?"

Jelas saja Sasha tidak terima. Siapa orang-orang sialan yang membawa Revan seenaknya ini? Sasha berlari, mencoba menolong Revan. Dirga mencengkeram tangannya, hendak menahan, tapi Sasha berhasil melepaskan diri. Revan, yang menoleh saat mendengar namanya dipanggil, menggerutu sambil melawan orang-orang yang menyeretnya.

Sasha sudah akan menolong Revan saat tubuhnya ditarik. Sebilah pisau tajam menyentuh lehernya. Cewek sialan tadi sudah membekap Sasha.

"Jangan melawan," bisik cewek itu dingin, membuat tubuh Sasha merinding. "Ada banyak hal yang bakal kena imbasnya—hidup lo, abang lo, Etimologi, atau bahkan Lentera Damai—kalau lo masih berusaha nolongin Revan."

Jika sudah begini, barulah Sasha sadar, seberapa buruk sebenarnya kondisi yang sedang mereka hadapi. Sasha mungkin tahu bahwa orang-orang yang memperdaya Revan adalah orang-orang jahat. Sasha mungkin mengerti kalau mereka akan menggunakan segala cara yang mereka bisa untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Tapi dia tidak menduga situasinya akan jadi sepelik ini. Dia tidak tahu, bahwa sejauh inilah anggota organisasi sialan itu bergerak hanya untuk mendapatkan Revan kembali.

Dalam 20 tahun hidupnya, baru kali ini Sasha dibuat kecewa oleh semesta.

"Gue ikut lo, tapi lo harus lepasin dia. Gue nggak akan kabur lagi."

Tatapan Revan yang mengarah padanya membuat Sasha tahu, cowok itu lebih baik menjalani kehidupan di neraka daripada melihatnya terluka. Dia tersenyum sekilas, sebelum diseret lagi menuju sebuah kendaraan yang telah menanti mereka. Sasha tidak yakin apa maksud senyum itu, yang jelas bukanlah terima kasih. Ada segelintir rasa pahit yang membumbui senyum Revan.

Kaki Sasha yang lemas tidak mampu menyokong tubuhnya saat cewek arogan itu melepaskannya. Tanpa mampu berkutik, Sasha hanya bisa memperhatikan mobil van itu pergi. Dirga langsung menghampirinya begitu semua orang meninggalkan tempat ini.

"Sash, lo nggak apa-apa?" Dirga segera mendekap Sasha.

Ada dorongan dalam diri Sasha untuk membantu Revan. Tapi, berteriak sekeras apa pun, dia tidak akan mampu. Lawan mereka terlalu kuat. Ditambah, cewek itu sepertinya mengumpulkan banyak informasi mengenai orang-orang di sekitar Revan. Sasha menyadari, dia sama sekali tidak tahu apa-apa soal masa lalu Revan, termasuk apa organisasi kriminal yang sering dia bicarakan itu.

"Kenapa lo biarin dia pergi?" seru Sasha seraya mendorong Dirga. "Lo harusnya berusaha nolongin dia! Suruh kabur atau gimana, kek. Kenapa lo malah bawa dia ke sini?"

"Sash, percayalah, gue udah suruh dia kabur selagi dia sempet," balas Dirga, terdengar putus asa juga. "Dia yang memutuskan buat menyerahkan diri, biar lo nggak kenapa-kenapa. Dan lo tahu sendiri mereka kayak apa. Gue nggak bisa ngelawan."

"Tapi ini nggak adil, Bang. Ini sama sekali nggak adil...."

"Dunia ini emang nggak adil." Dirga kembali memeluk Sasha yang masih gemetaran. "Gue minta maaf, Sash. I'm so sorry."

Sasha mengusap pipinya, membiarkan Dirga mendekapnya. Selagi memikirkan apa yang bisa dia lakukan berikutnya untuk menyelamatkan Revan.

::::::

Sasha sudah duduk diam di kantor Pak Tim siang itu. Peristiwa kemarin membuatnya tidak tenang. Sasha sudah bercerita pada ibunya, dan sepertinya memang lebih baik Pak Tim diberi tahu soal ini. Siapa tahu, Pak Tim pernah berurusan dengan organisasi serupa.

Peristiwa kemarin melebihi apa yang pernah Sasha hadapi selama ini. Dia belum benar-benar melakukan sesuatu untuk menolong orang lain. Yang bisa dia lakukan hanyalah memberikan uang receh saat ada pengamen atau pengemis. Dia hanya mampu ikut membagikan makanan untuk orang-orang yang kelaparan di luar sana. Mungkin mengumpulkan baju-baju bekas untuk dibagikan lagi, atau mencari donasi agar tujuan Lentera Damai dapat terus terlaksana. Tapi Sasha belum cukup mampu untuk melawan organisasi besar yang sudah bergerak sekian lamanya. Lagipula, dia tidak bisa melakukannya sendirian.

Pak Tim memasuki ruangannya, meminta maaf karena terlambat. Sasha hanya mengangguk seraya berdiri, menyalami Pak Tim. Urusan seperti ini memang selayaknya diberitahukan pada Pak Tim, selaku pemilik Lentera Damai dan orang yang sudah lama berkecimpung di dunia semacam ini.

"Saya sudah dengar sedikit dari ibumu," kata Pak Tim, memosisikan diri di sofa. "Bisa kamu ceritakan lagi? Saya ingin dengar ceritamu."

Sasha kemudian menjelaskan apa yang terjadi sedetail mungkin. Pak Tim mendengarkan dengan saksama. Tubuh Sasha bergetar pelan saat mengucapkan adegan demi adegan—tentang para tukang pukul, tentang gadis yang nyaris menusuknya, tentang ketidakmampuan mereka untuk melawan, dan tentang ancaman yang mereka buat. Sasha menarik napas panjang begitu ceritanya habis, berusaha keras untuk tidak menangis.

"Ah, ya, saya pernah dengar tentang organisasi seperti itu," ujar Pak Tim tenang—nyaris seperti tidak terkejut dengan kejadian yang baru saja didengarnya. "Sepertinya ada banyak tersebar di berbagai daerah. Mereka 'mempekerjakan' para pengamen, pengemis, atau siapa pun yang ada di jalanan. Terkadang juga punya bisnis lain seperti prostitusi. Ada juga yang menawarkan jasa untuk melakukan kejahatan, misal perampokan atau pembunuhan."

"Bapak terdengar tenang sekali," balas Sasha agak ketus. "Ini masalah yang berat, Pak. Hal-hal seperti itu nggak boleh terusan terjadi. Organisasi semacam itu seharusnya diberantas, bukannya dibiarkan hidup."

Pak Tim hanya tersenyum mendengarkan balasan Sasha. "Dulu, saya juga idealis seperti kamu. Semuanya harus sesuai gambaran hidup ideal yang saya punya. Organisasi jahat harus diberantas. Para kriminalis harus ditindak. Polisi harus bersikap tegas melawan kriminalitas. Semua orang seharusnya paham itu, kan? Toh berbuat baik bukanlah sesuatu yang berat. Mudah. Justru bingung, kenapa orang-orang berbuat jahat?"

Sasha terdiam, tidak bisa menyanggah. Ucapan Pak Tim tepat sekali menggambarkan dirinya.

"Tapi, Natasha, dunia seperti itu hanya bisa ada dalam pikiranmu. Dunia nyata tidak bisa dibuat seideal itu. Akan selalu ada orang-orang yang punya niat jahat. Akan selalu ada orang-orang yang melukai orang lain. Selamanya akan begitu. Dan itu bukan sesuatu yang bisa kamu ubah."

"Bukan berarti saya harus diam saja, kan?"

Pak Tim menggeleng. "Saya setuju. Tapi kita tidak punya kewenangan untuk memberantas organisasi semacam itu. Kita tidak punya kuasa. Yang bisa melakukannya? Mungkin saja pemerintah, polisi, dan penegak hukum. Dan sekarang ini, banyak orang-orang berkuasa yang tidak menjalankan kewenangannya dengan baik. Itu fakta yang menyakitkan, memang. Tapi hal itu tidak bisa diubah dengan cepat."

Sasha merasakan harapannya sedikit pupus. "Berarti, saya memang nggak bisa apa-apa?"

"Untuk memberantas organisasi Revan? Dengan mempertimbangkan posisimu sekarang?" Pak Tim kembali menggeleng. "Tapi, kalau kamu ingin membantu Revan, mungkin kamu—juga Lentera Damai—masih bisa mengusahakan sesuatu. Tidak mudah, tapi mungkin saja ada yang bisa kamu lakukan."

"Misalnya?"

Pak Tim tampak berpikir. Tentu ia tahu, menyelamatkan Revan dari situasi seperti ini bukan hal yang mudah. Sasha sendiri tidak punya ide, terlebih dia juga tidak punya koneksi yang luas. Koneksinya hanyalah Etimologi, yang jelas-jelas sudah dicoret dari daftar. Revan juga tidak mungkin lagi membuat video YouTube sekarang ini. Risikonya terlalu besar. Lagipula, ide itu hanya bisa dilakukan jika situasinya ideal.

Sasha benar-benar membenci situasi yang harus dia hadapi ini.

"Menurut saya," Pak Tim akhirnya bersuara, "lebih baik kamu mencari tahu dulu siapa lawanmu. Organisasi apa ini? Seberapa luas daerah kekuasaan mereka? Sejauh mana mereka bisa bertindak? Jika kita tahu siapa mereka, kita bisa mulai membuat rencana yang lebih baik."

Usul Pak Tim ada benarnya. Hanya saja, Sasha tidak benar-benar yakin ke mana harus mencari tahu. Satu-satunya informasi yang dia ketahui soal organisasi ini berasal dari Revan. Sasha bahkan tidak lagi tahu Revan ada di mana. Seperti apa kondisi Revan sekarang? Apakah Revan dipukuli lagi oleh bosnya? Astaga, bayangan Revan dipukuli oleh bosnya membuat Sasha bergidik. Semoga cowok itu baik-baik saja.

"Saya punya teman di Surabaya yang punya lembaga semacam Lentera Damai yang berfokus membantu orang-orang dalam hubungan abusive, kalau ini membuatmu merasa lebih baik," Pak Tim menyambung. "Saya bisa minta tolong pada dia. Kalau organisasi Revan hanya beroperasi di Jakarta dan sekitarnya, kemungkinan besar dia akan aman di Surabaya."

Sasha mengangguk. Informasi itu memang membuatnya lebih baik. Dia meninggalkan kantor Pak Tim sambil terus memutar otak, mencari cara untuk mendapatkan informasi. Apa mungkin Dirga mengetahui sesuatu? Biarpun begitu, Dirga terlebih dulu menemui orang-orang bejat itu, jadi mungkin dia tahu sesuatu.

Baru saja menutup pintu, ujung mata Sasha menangkap Dirga berjalan cepat memasuki ruang tamu. Pemandangan yang aneh, karena Dirga terlalu workaholic untuk meninggalkan Etimologi.

"Oh, untung gue masih ketemu lo di sini," ujar Dirga lega ketika melihat Sasha. "Gue harus bicara sama lo."

"Soal apa? Gue juga baru mau ke Etimologi, mau cari tahu soal organisasi Revan itu. Mungkin lo tahu sesuatu, atau lo bisa bantuin gue mikir."

"Memang itu yang mau gue omongin." Dirga lalu duduk dan terdiam. Kakinya diketukkan berkali-kali. Tingkat kepercayaan diri Dirga sudah melebihi skala, jadi seharusnya dia tidak gugup.

"Lo kenapa, deh? Tumben banget grogi."

Dirga menggaruk kepalanya. "Apa yang mau gue bicarain nggak bakal bikin lo seneng, dan gue minta maaf dulu untuk itu. Tapi gue lumayan bisa bantu lo."

Sasha duduk diam, menunggu penjelasan Dirga.

"Alasan cewek keparat itu tahu kalau Revan kerja di Etimologi adalah... karena dia...," Dirga kehabisan kata-kata. "Intinya, gue sering bayar 'uang sewa' ke cewek itu—namanya Nindi. Lo mungkin inget kalau gue pernah nanya, apakah lo percaya Revan atau enggak. Itu gara-gara Nindi bilang kalau Revan bisa membawa banyak masalah. Gue cuma nggak pernah menyangka kalau masalahnya bakal jadi separah ini."

Sasha terhenyak mendengarnya. Dirga memang bukan orang paling suci, juga tidak seidealis dirinya. Tapi fakta itu tetap saja mengejutkannya. Dirga, yang dulu juga sama-sama menjadi relawan di Lentera Damai? Dirga, yang selama ini Sasha jadikan role model? Apa yang membuat Dirga mau-maunya membayar sewa pada orang-orang seperti itu? Sasha tidak memahami apa yang dia rasakan sekarang ini.

"Bukannya gue mau, Sash, cuma lebih gampang buat mengiyakan apa yang mereka mau ketimbang menolak. Gue masih sangat pengin Etimologi bisa berdiri."

"Dan lo baru bilang ke gue setelah kejadian kemarin? Kenapa nggak sebelumnya, biar kita bisa cari cara buat nolongin Revan?" Sasha beranjak. Suaranya meninggi bahkan saat dia tidak merasa semarah itu. "Kalau sekarang udah terlambat, kan? Ini seharusnya bisa dicegah!"

Dirga hendak membalas, tapi tidak ada yang bisa dia katakan. Dia menghela napas. "Maaf, Sash. Sekarang emang udah terlambat, tapi gue bakal bantuin elo."

Sasha tahu, tidak ada gunanya dia marah. Semuanya sudah terjadi. Dia harus mencari solusi, bukan terus-terusan emosi. Lagi pula, karena Dirga telah lama berurusan dengan organisasi ini, dia seharusnya bisa membantu mencari tahu. Sasha memijat kepalanya, lalu kembali duduk di sebelah Dirga.

"Oke, lo bisa mulai dengan ceritain tentang organisasi ini," ujar Sasha. "Lalu, kita cari solusi untuk menyelamatkan Revan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro