Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Evidence 13: The Past Is Calling

Ketika Magda bilang ada yang menunggunya di parkiran belakang, perasaan Dirga seketika memburuk. Tidak pernah ada yang menunggunya di belakang kafe kecuali Nindi dan preman-preman sialan itu. Apa lagi yang mereka butuhkan? Kenapa mereka datang lagi?

Kali ini, Nindi tidak sendiri. Bersamanya empat orang berbadan kekar yang tampak begitu garang. Badan Dirga menegang, dan dia mencengkeram pintu lebih erat. Dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Tidak akan ada apa pun yang terjadi. Etimologi akan baik-baik saja.

"Ada apa?" tanya Dirga, mendekat satu langkah seraya menutup pintu di belakangnya. "Gue udah bayar uang sewa bulan kemarin dan belum jatuh tempo pembayaran bulan depan."

"Revan, dia ada?"

Dirga terdiam mendengar pertanyaan Nindi. Tentu saja Revan ada, tapi untuk apa Nindi menanyakan soal cowok itu? Tapi, tidak butuh waktu lama bagi Dirga untuk menghubungkan hari ini dengan terakhir kali Nindi datang dan menyinggung soal Revan. "Masalah" yang dimaksud Nindi dulu pastilah dirinya sendiri dan organisasi kriminal yang menaunginya.

"Ada apa dengan Revan?"

"Gue ada urusan yang belum selesai dengan dia."

Otak Dirga tidak bisa merespons dengan cepat. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Di satu sisi, jika memang benar Nindi tergabung ke dalam organisasi kriminal yang dulu memanfaatkan Revan, Dirga tidak ingin menyerahkan Revan kembali begitu saja. Biar bagaimanapun, Revan telah berjuang untuk bisa bebas dari cengkeraman bos kampretnya.

Namun, Dirga juga tahu, Nindi bisa dengan mudah membuat hidupnya jadi berantakan. Tidak, Dirga tidak bisa membiarkan Etimologi jadi korbannya.

"Saran gue, jangan bela dia." Nindi membuang puntung rokoknya sembarangan, lalu melumatnya dengan kakinya. "Inget, kan, gue bisa menghancurkan lo semudah gue menghancurkan rokok ini?"

Dirga hanya membisu. Apa yang harus dia lakukan?

Nindi meliriknya, lalu tersenyum. "Omong-omong, lo punya saudara sepupu, ya? Sasha, kalau nggak salah?"

"Orangnya ada. Gue panggilin dulu."

Dirga berbalik, masuk lagi ke dalam kafe. Dia benar-benar menyesal saat akhirnya dia membuat keputusan.

::::::

Revan belum sempat membalas ucapan Sasha tadi karena Dirga keburu memanggilnya. Meski begitu, selagi dia berjalan mengikuti pemilik Etimologi itu, dia mulai memikirkannya. Apa benar, memaafkan adalah cara mendapatkan kedamaian? Kedamaian apa yang dimaksud Sasha?

Bagi Revan, damai adalah ketika dia bisa melakukan apa yang ingin dia lakukan tanpa dilabeli properti oleh siapa-siapa. Kedamaian adalah hidup tanpa ketakutan—takut dipukuli jika pulang tanpa memenuhi target; takut hasil kerja kerasnya diambil pencopet-pencopet kampret; takut akan menghabiskan seumur hidupnya mengamen dan mengamen, tanpa kesempatan untuk hidup lebih baik. Hidup yang dipenuhi dengan kebebasan dan kebahagiaan. Itulah kedamaian bagi Revan.

Revan tidak ambil pusing soal balas dendam. Dia tahu membubarkan organisasi kampret Dadan adalah hal yang mustahil di dunia ini. Dia hanya ingin berfokus pada dirinya sendiri. Pada rencana-rencana yang akan dibuatnya untuk memperbaiki kehidupannya. Energinya hanya akan terbuang sia-sia kalau harus mengurusi orang-orang kampret itu. Lagipula, Revan yakin semesta tidak akan terima kalau dia malah memakai waktunya untuk balas dendam.

"Pertama-tama, gue mau lo tahu apa yang bakal lo hadapin di belakang sana." Dirga berhenti begitu mereka sudah cukup jauh dari banyak orang.

Pernyataan itu membuat Revan gelisah. "Ada apa?"

"Sedikit latar belakang, selama ini gue selalu 'membayar sewa' ke preman lokal yang sering gangguin gue. Penagih sewa itu adalah seorang cewek bernama Nindi. Dan sekarang ini, dia dan empat orang kacungnya ada di belakang sana, nyariin elo."

Begitu nama Nindi disebutkan, jantung Revan berdebar begitu cepat. Otaknya berhenti bekerja untuk beberapa saat, dan satu-satunya yang terlintas di pikirannya adalah betapa sia-sianya usahanya selama ini. Dia telah bersusah payah kabur, mencari Sasha jauh-jauh ke kampusnya, tinggal dari belas kasihan sukarelawan Lentera Damai, hingga bekerja di kafe tanpa mengerti setiap kata di menu, hanya untuk kembali tertangkap.

Sebegitu bencinya kah semesta padanya?

"Gue nggak mau ngebiarin lo pergi sama mereka," lanjut Dirga akhirnya. "Gue tahu betapa susahnya lo berusaha buat kabur dari organisasi itu. Gue—"

"Apa yang jadi taruhannya?"

Dirga menghela napas, lalu menjawab, "Etimologi. Dan Sasha."

Kampret. Benar-benar kampret. Dadan kampret. Nindi kampret. Semesta kampret. Kenapa harus Sasha? Jika bukan Sasha, rasa-rasanya Revan tidak akan peduli dan memilih untuk kabur saja. Meski dia akan merasa bersalah jika Dirga harus kehilangan Etimologi, Jericho tidak lagi bisa bekerja paruh waktu untuk membiayai hidupnya di Jakarta, Farhan tidak bisa lanjut menabung untuk menikahi pacarnya, dan entah berapa banyak orang kehilangan pekerjaannya. Revan akan menjadi egois.

Tapi jika Sasha yang menjadi taruhannya, Revan tidak akan egois. Sasha, yang sudah dengan tulus dan kekeh menariknya ke Lentera Damai. Sasha, yang langsung membawanya ke kafe Dirga untuk bekerja. Sasha, yang tanpa ragu dan jeda menolongnya, seseorang yang asing. Yang dijauhi orang-orang. Yang dipandang dengan sorot mengasihani. Yang tersingkirkan dan terlupakan.

"Seneng bisa kerja buat lo, Bang." Revan menepuk bahu Dirga.

Dirga terkejut mendengar balasan itu. "Van, dengerin dulu. Gue bisa ulur waktu buat lo. Lo bisa lari lewat pintu depan. Nanti biar gue—"

"Sasha bakal kena getahnya. Lo mau dia kenapa-kenapa?"

Dirga tidak bisa membalas. Dia melirik sekilas ke bagian dalam kafe. Revan akhirnya berjalan duluan menuju pintu. Telapak tangannya berkeringat, namun dicengkeramnya gagang pintu dengan kuat. Keputusan ini terasa begitu salah, apalagi mengingat risiko yang harus ditanggungnya. Walau begitu, Revan membuka pintu kampret itu, dan langsung bertatapan dengan lima wajah yang dia kenali.

Revan membenci seringai yang Nindi tunjukkan sekarang ini. Nindi selalu menyeringai seperti itu setiap kali dia melihat Revan pulang dengan langkah gontai karena tidak berhasil mencapai target. Tanpa sadar Revan menggertakkan giginya, berusaha menahan kekesalan. Bisa-bisanya Nindi menemukannya.

"Wah, wah, bosen ngamen di jalan, lo sekarang ngamen di kafe?"

"Bukan urusan lo."

Nindi berdecak. "Yah, yang jelas, acara kabur nggak jelas lo ini udah selesai. Lo udah dicariin Bos."

Dua dari tukang pukul yang dibawa Nindi—kalau tidak salah sih, Mped dan Barga—mendekati Revan dan menariknya. Revan memberontak, ingin melepaskan diri, tapi mereka mencengkeramnya kuat. Salah satu dari mereka bahkan menendang kaki Revan, membuatnya nyaris jatuh, jika saja kedua lengannya tidak dicengkeram oleh para tukang pukul. Setengah diseret, Revan dibawa menjauh dari Etimologi.

"Revan! Apa-apaan?"

Kampret. Revan menoleh, mendapati Sasha berlari ke arahnya. Dia seperti mendapatkan kekuatan entah dari mana untuk menghentikan Sasha, yang sekarang sedang bertindak bodoh. Ditendangnya Mped dan Barga sekuat tenaga, yang cukup untuk membebaskannya. Dia kemudian berlari, namun kakinya ditahan, dan dia jatuh menghantam tanah dengan keras. Mped dan Barga langsung mengerumuninya.

Revan terpaksa meladeni mereka dengan segenap tenaganya. Dikeluarkannya seluruh pengetahuan berkelahinya untuk melawan Mped dan Barga. Pertarungan ini sangat tidak seimbang—satu pengamen melawan dua tukang pukul, yang benar saja—tapi Revan tidak peduli.

"Hei, Van."

Revan sudah akan menghajar dua orang yang ada di hadapannya saat Nindi memanggilnya. Dia segera menghentikan tangannya saat matanya menangkap adegan paling terkutuk dalam hidupnya: Nindi menahan Sasha dengan sebilah pisau melintang di depan leher Sasha.

Kampret. Sungguh kampret.

"Jadi ini yang namanya Sasha." Nindi menatap Revan lekat seraya mengatakannya. "Sepertinya kita sama-sama setuju, kalau dia terlalu... apa, ya? Terlalu baik untuk mati? Terlalu cantik? Gue nggak bisa milih."

Revan sudah akan menyalahkan Dirga karena tidak menolong Sasha saat dilihatnya salah satu kroco Nindi sudah memiting cowok itu. Dilihat dari sudut manapun, pilihan terbaik yang bisa dibuat Revan adalah berhenti dan menyerah. Kampret, kenapa Sasha harus ikutan keluar, sih?

"Gue ikut lo, tapi lo harus lepasin dia," ujar Revan. Tatapannya beralih pada Sasha, yang meski jelas-jelas terlihat ketakutan, masih menatapnya dengan tajam. "Gue nggak akan kabur lagi."

Mped dan Barga langsung menahan kedua tangan Revan, kali ini lebih erat dari sebelumnya. Nindi tersenyum, lalu menyuruh dua kroconya yang lain melepaskan Dirga. Sasha dijatuhkan begitu saja dari rangkulannya. Yang terakhir Revan lihat dan dengar, sebelum akhirnya dia diseret paksa menjauhi Etimologi, adalah Sasha yang ambruk; tidak mampu bergerak dan hanya bisa menatapnya kosong.

Semesta sungguh-sungguh membencinya. Bahkan Sasha pun tidak dapat membantu Revan mengubah nasibnya.

::::::

i'm so sorry :(( sesungguhnya judul chapters yang udah ada di bagian table of contents itu sangatlah menggambarkan apa yang terjadi sih(?) jadi untuk spoiler just go ahead to see it wkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro