Evidence 10: Gotcha
Sudah dua minggu Dirga menerima Revan untuk menjadi waiter dan penyanyi di Etimologi. Pegawai barunya itu cepat belajar. Dalam tiga hari, Revan sudah mulai bisa menyebutkan menu-menu mereka, meski pelafalannya masih sangat buruk. Daya ingat Revan pun sangat luar biasa—dia begitu mudah menghafalkan menu pelanggan, sehingga tidak pernah salah mengantar pesanan.
"Sama aja kayak berusaha inget lagu yang didenger di radio biar bisa dinyanyiin pas ngamen," balas Revan, saat Dirga menanyakan soal itu.
Bagi Dirga, yang menggemari musik tapi tidak pernah mendalaminya, kemampuan Revan mencengangkan. Revan bahkan pernah mengikuti siulan Farhan dengan sempurna menggunakan gitar walaupun baru mendengarnya sekali. Revan sungguhan berbakat; nasibnya saja yang sial, menyebabkannya berakhir jadi pengamen jalanan dan bukan musisi beken yang karyanya mengisi tangga-tangga lagu.
Sedikit banyak, Revan sudah bercerita pada Dirga tentang organisasi busuk itu. Akibat keikutsertaannya di Lentera Damai, Dirga memahami bahwa memang ada orang-orang seperti itu di dunia ini. Bahwa kadang, begitulah cara dunia bekerja—kotor, tidak adil, dan kejam. Dan orang-orang seperti Revan, yang sebenarnya layak mendapatkan lebih dari yang sekarang diterimanya, menjadi korbannya.
Tidak, Dirga memang tidak bisa bilang kalau dia tidak pernah berbuat curang. Tapi, setidaknya, tidak separah organisasi ini.
"Suatu hari lo harus cari label rekaman," ujar Dirga kemudian. "Yakin, deh, lo pantesnya jadi musisi."
Revan hanya menyeringai sambil membawa chocolate milkshake dan americano yang dipesan pelanggan. "Siap laksanakan."
"Omong-omong, lo ngapain nganterin pesenan orang? Work station lo hari ini kan di atas panggung!"
"Iya, habis ini gue manggung."
Dirga kemudian membereskan tempatnya sendiri. Aroma kopi kental menguar di udara. Rasa-rasanya, saking seringnya berada di sini—lebih dari sepuluh jam sehari—bau kopi sudah melekat padanya. Namun, memang tidak perlu diragukan lagi, dia menyukainya.
"Ga." Tiba-tiba Farhan menepuk pundaknya. "Lo udah dicariin sama yang biasanya."
Dirga mendongak. "Mana? Belum dateng, tuh."
"Di belakang. Gue juga nggak ngerti kenapa dia ke belakang." Farhan mengedikkan bahu.
Meski bingung, Dirga tetap saja mengambil amplop yang sedari tadi diletakkan di samping kasregister. Setelah menyuruh salah satu waiter untuk menggantikannya, Dirga bergegas keluar melalui pintu belakang. Orang yang disebut "yang biasanya" oleh Farhan bersandar pada salah satu motor dengan rokok mengepul di tangannya.
"Tumben muncul di belakang," ujar Dirga, mengedarkan pandangan ke sekitar dengan was-was.
"Tumben ada acara musik di kafe lo." Nindi berbalik. Tatapannya tajam, membuat Dirga tidak nyaman. "Usaha lo kafe atau warung pinggir jalan? Ada pengamennya gitu."
"Rasa-rasanya warung pinggir jalan nggak perlu bayar sewa ke preman kayak lo."
Preman-preman seperti Nindi dan kelompoknya menguasai berbagai daerah di Jakarta. Siapa pun yang ingin membuat usaha di sana haruslah membayar "uang sewa" karena telah dibiarkan beraktivitas tanpa masalah. Dirga sebenarnya tidak setuju—hei, dia membeli lahan ini dengan legal, berbagai izin sudah diberikan, dan tidak pernah ada masalah apa pun dalam pembangunan dan pelaksanaannya. Namun, para preman sialan ini pintar mengancam. Jadilah, Dirga terpaksa menurut.
"Jangan salah," balas Nindi seraya mengisap lagi rokoknya, "mereka ada jatahnya sendiri."
Dirga tidak membalas. Dia hanya menyerahkan amplop yang tadi telah dia siapkan. "Semua udah di situ. Biaya sewa buat bulan ini."
Nindi menerimanya dan menghitung isinya. Dirga hanya memperhatikan dengan kosong. Keuntungan yang didapatkan Etimologi sudah semakin meningkat, jadi pengeluaran kecil semacam biaya sewa ini semakin lama akan semakin tidak signifikan. Selama Etimologi bisa dijalankan tanpa masalah, Dirga tidak akan protes.
"Sampai jumpa bulan depan," Nindi menyeringai seraya memasukkan amplop itu ke dalam tas pinggangnya. "Oh ya, kalau gue jadi elo, gue akan mengawasi pengamen baru itu baik-baik."
"Kenapa?" Dirga langsung was-was.
Nindi mengedikkan bahu. "Pengamen yang dipungut dari jalanan itu... biasanya bakal menimbulkan banyak masalah. Siapa yang akan tahu?" Lalu, dengan seringai menyebalkan, Nindi berjalan menjauh.
Dirga hanya termenung. Kalimat Nindi ada benarnya, tapi dia tidak ingin mempercayainya. Ayolah, untuk apa percaya pada preman kurang ajar yang seumur hidupnya selalu mengancam dan memanipulasi orang demi kepentingannya sendiri?
Hanya saja... entahlah. Dirga jadi tidak yakin apakah dia juga dapat mempercayai Revan.
:::::
Deskripsi pekerjaan Nindi sebenarnya cukup sederhana—tugas utamanya adalah sebagai pengawas, ditambah sejumlah pekerjaan lain seperti menagih utang atau sewa. Nindi sering berkeliling daerah kekuasaannya, mengawasi para properti Dadan melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Sesekali melayangkan tinju jika mereka tidak becus bekerja. Bisa dibilang, jika ada masalah yang terjadi pada para properti itu, Nindi-lah yang bertanggung jawab.
Karenanya, saat Revan menghilang begitu saja, Dadan langsung menyalahkan Nindi. Dan sama seperti caranya memperlakukan semua propertinya yang tidak bisa bekerja dengan baik, Dadan menghantam Nindi tepat di rahangnya. Nindi bersumpah akan membuat Revan membayar karena telah melukai bibirnya.
Sudah dua minggu ini Nindi menyelidiki ke mana Revan pergi. Petunjuk terbaiknya berhenti sampai ucapan seorang kernet angkot yang mengaku Revan sempat menaiki angkotnya. Daerah Revan pada akhirnya turun bukanlah area yang sering dikunjungi pengamen—tempat itu relatif sepi dan tidak ada tempat-tempat potensial untuk mengumpulkan uang. Namun, di dekat sana, ada Stasiun Pasar Minggu Baru. Revan mungkin berpikir dia cerdik, tapi Nindi mampu mengendus jejaknya.
Sayangnya, hanya sampai situlah penyelidikan Nindi sebelum akhirnya berakhir buntu. Dari stasiun, Revan bisa bergerak ke manapun dia mau—entah ke utara atau ke selatan—dan turun di manapun dia mau. Tidak mungkin Nindi bisa mengetahui dengan persis di mana Revan berada sekarang. Area pencariannya seluas Jabodetabek, bahkan seluruh Jawa, jika Revan nekat. Sialan, memang. Revan tahu benar kalau tempat terbaik untuk menyembunyikan diri adalah di antara kerumunan orang, dan dia memanfaatkannya dengan baik.
Dua minggu kemudian, di saat Nindi mengira Revan benar-benar sudah menghilang, dia melihat adiknya itu. Di kafe yang sudah diperas organisasi sejak pertama berdiri. Mengamen dengan gaya lebih mewah, di kafe dingin, dengan mikrofon dan peralatan lengkap. Revan bahkan tidak keluar dari Jakarta. Menyedihkan.
Jelas saja, ini sebuah keuntungan bagi Nindi. Dia jadi bisa menyeret Revan kembali ke organisasi. Ini kedua kalinya Revan kabur, dan Nindi jelas akan memastikan ini untuk yang terakhir kalinya. Revan akan merasakan akibatnya. Dan kali ini, dia akan kapok.
Sambil bersiul, Nindi memasuki ruangan Dadan. Pria bejat yang sayangnya merupakan ayah kandungnya itu sedang berbicara pada salah satu Virginia's Angels. Nada bicaranya yang begitu manis membuat Nindi muak. Hanya satu hal yang disepakati Revan dan Nindi: ayah mereka memang bajingan. Meski demikian, Nindi suka hidup di tengah para bajingan ini. Revan tidak.
"Astaga," Dadan menggerutu. "Carmen, masuklah dulu."
"Daddy, kamu harus menyusul nanti," gadis itu merajuk, menjawil ujung hidung Dadan dengan genit. "Aku menunggu."
"Tentu, sayang, tentu."
Carmen melemparkan tatapan tajam pada Nindi, sebelum kemudian masuk. Astaga, Carmen benar-benar tidak tahu malu. Padahal, saat Nindi masih mengenal Carmen sebagai Nina[1], gadis itu paling pendiam di antara semua gadis lainnya. Siapa bisa menduga gadis selugu Nina bisa jadi selacur Carmen?
"Gue udah menemukan Revan," lapor Nindi, seraya menyerahkan "uang sewa" dari Etimologi. "Tebak di mana."
Dadan melirik Nindi sejenak sebelum mulai menghitung uang di dalam amplop. "Di tempat lo nagih uang ini?"
"Sebuah kafe bernama Etimologi. Pemiliknya bernama Dirgantara Adipramana. Sejauh pengamatan gue, Revan kerja sebagai pemain musik di kafe ini."
"Ah, dia kira dia cerdik, ya?" Dadan menyilangkan jemarinya. "Dasar kampret. Di mana dia tinggal? Gimana caranya dia kerja di sana?"
Nindi mengedikkan bahu. "Belum tahu. Besok gue bakal cari tahu lebih banyak."
"Bagus. Sekalian aja lo pikirin gimana caranya kita bisa membawa dia balik ke sini. Pakai kekerasan kalau perlu. Atau ancam Dirgantara."
"Siap laksanakan. Biar gue yang bikin rencana."
"Kerja bagus. Jangan kecewain gue."
Nindi keluar dari ruangan Dadan, mulai merancang rencana untuk membawa Revan kembali. Dia tahu, menarik Revan kembali dengan kekerasan tidak akan berhasil. Jika gagal, Revan akan kabur, dan Dadan tidak akan bisa mendapatkan kembali propertinya. Nindi harus membuat rencana yang lebih baik.
Sepertinya, sekarang saat yang tepat bagi Nindi untuk mengawasi baik-baik kehidupan Dirga.
.
[1] Setiap gadis yang menjadi Virginia's Angel pasti diberi nama baru agar lebih menjual.
:::::
me so sorry :'D
yah
nggak sih, sesungguhnya aku nggak sorry HAHAHA it has to be like this, guys :")
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro