Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Evidence 1: Free Food

Sudah sejak lama Pak Tim ingin membuat acara pembagian makanan gratis bagi para tunawisma. Acara ini sebenarnya dibuat sekaligus untuk memperkenalkan Lentera Damai pada masyarakat luas, terutama bagi masyarakat berkondisi ekonomi kurang mampu yang membutuhkan bantuan. Meski begitu, dana yang terkumpul selalu lebih sering digunakan untuk keperluan rutin atau mendadak lainnya, sehingga acara ini terus tertunda.

Berkat donasi dari Pak Susabda kemarin, acara ini bisa dilaksanakan. Sudah sejak pagi Sasha sibuk di dapur Lentera Damai, membantu sukarelawan lain mempersiapkan makanan. Menu yang dibagikan biasanya kering supaya mudah dibagikan. Pak Tim mengusulkan nasi langgi, yang disambut dengan senang hati oleh semua sukarelawan.

Sasha kebagian tugas mengisi tiap kotak kardus dengan kering kentang. Naya ikut membantu mengisikan telur dadar yang sudah diiris tipis ke dalam kotak-kotak tersebut. Selain kotak kardus, mereka juga menyiapkan kertas minyak yang lebih mudah dibawa.

"Nay, jangan makan telurnya, dong!" seru Sasha saat memergoki Naya memasukkan sebagian kecil telur ke dalam mulutnya. "Nanti habis, gimana?"

"Duh, maaf Sha, habisnya Tante Nandani pinter bikin telur," balas Naya sambil mengunyah.

"Ma, telurnya cukup, kan?" Sasha ganti bertanya pada ibunya, Nandani, yang masih memasak telur sedari tadi. "Dihabisin Naya, nih."

"Cukup, kok," Mama menyahut. "Masih dua lusin kayaknya. Nanti kalau Naya mau, Tante masakin yang lain buat kamu."

"Asyik!" Naya menyeringai lebar. "Sha, lo harus ajak gue makan siang bareng kapan-kapan."

Sasha memutar mata geli. Ibunya bekerja sebagai koki kepala di restoran Pak Tim, tentu masakannya enak-enak. Saat Pak Tim pertama kali mendirikan Lentera Damai, Mama turut menjadi sukarelawan pertama yang memberikan bantuan. Dirga dan Sasha sama-sama bergabung karena Mama.

Setelah selesai memasak, Mama bergabung dengan Sasha dan sukarelawan lain untuk segera menyelesaikan persiapan mereka. Sudah ada perkiraan 200 kotak kardus dan bungkusan nasi langgi untuk dibagikan.

Seluruh sukarelawan yang ada hari itu dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Kelompok-kelompok ini berpencar ke berbagai area yang sekiranya banyak didatangi pengamen, pemulung, atau tunawisma. Mereka segera bergerak ke area yang dimaksud, masing-masing membawa makanan yang secukupnya.

Di tempat Sasha berkeliling, kebanyakan targetnya adalah pengamen yang berjalan di tiap-tiap perempatan, berusaha mendapatkan uang dari kebaikan hati pengemudi. Sabtu ini begitu panas, berbeda dengan hari-hari biasanya yang agak mendung. Sasha mengikat rambutnya seraya membayangkan bagaimana rasanya harus memanggang diri setiap hari hanya untuk mendapatkan uang yang tidak seberapa.

Sasha tahu apa akibat paparan sinar ultraviolet yang berlebihan pada kulit—sinar matahari yang kejam bisa membakar kulit. Jika parah, bisa menyebabkan kanker kulit. Sasha tidak tahu bagaimana cara para pengamen itu bertahan hidup di jalanan. Tidakkah mereka ingin punya pekerjaan yang lebih baik? Mereka jelas layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari sekadar meminta-minta.

Itulah salah satu alasan Sasha bergabung dengan Lentera Damai: memberikan kesempatan kedua bagi orang-orang yang tidak seberuntung dia. Tidak ada manusia yang layak hidup dari belas kasihan orang lain. Semuanya layak mendapatkan kesempatan yang lebih baik, hidup dari usahanya sendiri, tanpa perlu menunggu iba orang lain.

"Enaknya berpencar aja kali ya?" tanya Mas Yoga, sukarelawan yang memimpin kelompok kecil Sasha. "Dibagi jadi dua orang satu tim."

Sasha dan Naya menjadi satu tim. Mereka segera bergerak ke arah timur dari titik awal. Tidak tampak pengamen atau tunawisma saat mereka menyusuri jalan itu hingga hampir mencapai perempatan berikutnya.

"Makasih banyak, Nay, udah mau ikut bantuin," ucap Sasha selagi mereka berjalan lamat-lamat.

"Santai aja, Sha, gue seneng kok." Naya tersenyum kecil. "Yah, walaupun tujuan gue ikut, kan, buat cari beasiswa. Bukan kayak lo, yang emang karena lo tergerak buat nolongin orang."

"Gue jamin, lo pasti ketagihan."

Naya tertawa. "Ah, semoga, ya. Soalnya, kadang, kalau ada waktu luang, gue milih buat tidur aja atau shopping ke mal. Volunteer kayak gini kan, capek."

"Emang, sih." Sasha mengedikkan bahu. "Kalau lo suka jalaninnya, pasti nggak kerasa, kok."

"Gue jadi bertanya-tanya. Kenapa sih, lo suka jadi sukarelawan?"

Sasha terdiam sejenak. Sejak awal, keluarganya memang berkecukupan. Ayah Sasha adalah salah satu dokter bedah terbaik di Jakarta, dan ibunya juga menjadi koki kepala di restoran yang ramai dikunjungi. Urusan finansial adalah hal terakhir yang perlu dikhawatirkan keluarga Widjanarko.

Meski begitu, sejak kecil, Sasha sudah dididik untuk tidak menjadi sombong karena kelebihannya. Sasha kecil sering diajak ke acara amal yang dihadiri orangtuanya. Dia juga beberapa kali melihat ayahnya memberikan konsultasi kesehatan gratis bagi masyarakat di kampung-kampung kumuh, dan turut membantu ibunya menyiapkan makanan untuk dibagikan. Sasha belajar, kelebihan mereka bukanlah untuk dibanggakan, melainkan digunakan untuk membawa kebaikan bagi banyak orang.

Karenanya, saat Pak Tim mendirikan Lentera Damai dan ibunya bergabung, Sasha sudah tahu kalau dia akan aktif menjadi sukarelawan saat kuliah. Ketika masih SMA, Sasha sudah sesekali ikut dalam kegiatan Lentera Damai di akhir pekan. Sasha memaknai hidupnya dengan membantu orang lain, dan menjadi sukarelawan di Lentera Damai adalah cara yang sangat baik untuk melakukannya.

"Gue emang suka nolongin orang," balas Sasha, berusaha merangkum hidupnya 20 tahun terakhir dalam sebuah kesimpulan. "Gue pasti punya tujuan saat gue lahir dan ditempatkan di Jakarta. Semesta nggak mungkin menempatkan seorang manusia di zaman dan lokasi tertentu secara sembarangan. Tujuan dan panggilan hidup gue adalah menolong orang banyak."

Naya mengangguk. "Kelihatan, sih. Gue inget banget. Lo pernah bilang kok, kalau alasan lo masuk kedokteran itu, buat nolongin orang nggak mampu."

"Terinspirasi dari bokap gue, kayaknya." Sasha meringis. "Gue pengin pergi ke pelosok-pelosok Indonesia, nolongin anggota suku-suku paling terpencil."

Naya menepuk pundak Sasha. "Gue cuma bisa ngedukung lo. Oh, iya, ada pengamen tuh, di sana."

Mereka segera berjalan mendekati dua orang pengamen yang sedang duduk di pinggir jalan. Naya memberikan dua kotak makanan pada mereka, yang langsung diterima dengan antusias sambil memberikan ucapan terima kasih berkali-kali. Sasha menjelaskan mengenai Lentera Damai pada mereka, serta memberikan nomornya jika kedua pengamen itu membutuhkan bantuan.

Begitu terus cara mereka membagikan makanan—Naya akan menyerahkan dus makanan itu, sementara Sasha mengajak target mereka bergabung dengan Lentera Damai. Mereka terus berkeliling, hingga tanpa sadar, makanan yang mereka bawa tinggal satu bungkus dan dua dus.

Dari kejauhan, Sasha melihat seorang pengamen yang sedang berdiri di median jalan, menanti warna lampu lalu lintas berganti. Cukup banyak kendaraan melaju kencang, berusaha melewati perempatan selagi warna hijau berpendar. Sasha menepuk bahu Naya, yang tidak menyadari kehadiran pengamen itu dan terus lanjut berjalan.

"Nay, itu ada satu," seru Sasha. "Gue ke sana dulu, ya."

Tanpa menunggu balasan Naya, Sasha segera menyeberang. Lampu sudah berganti merah beberapa detik yang lalu. Mobil-mobil memperlambat laju mereka, sementara motor meliuk mencari tempat kosong di bagian depan. Sasha menunggu pengamen itu, selagi dia menyanyi di sebelah jendela mobil sedan.

Berada di pelukanmu mengajarkanku apa artinya kenyamanan, kesempurnaan cinta....

Meski bunyi jalanan—mesin dan klakson, sesekali bunyi kendaraan mengerem—mendominasi telinga, Sasha masih bisa mendengar suara pengamen itu. Tidak seperti pengamen jalanan yang seringkali tidak punya bakat, hanya asal bunyi dan asal genjreng, pengamen yang satu ini betulan bisa menyanyi. Suaranya bertenaga, namun lembut dan tinggi. Suara pengamen ini mungkin bukan yang terindah yang pernah Sasha dengar, tapi dibandingkan pengamen lain, jelas pemuda ini juara.

Lampu berganti hijau, dan pemuda itu segera melompat ke median jalan. Sasha segera mengejarnya. Dia memanggil pemuda itu berkali-kali, tapi tidak ditanggapi.

"Hei," seru Sasha, seraya menepuk pundak pengamen itu. "Gue lagi ada acara bagi-bagi makanan dari organisasi sosial Lentera Damai, dan gue pengin ngasih lo makanan ini."

Cowok itu meliriknya sekilas, tapi lalu berpaling dengan cepat. "Nggak butuh."

Astaga, baru kali ini Sasha melihat ada pengamen yang menolak tawarannya. Dia memindai pemuda itu cepat. Sasha yakin pemuda itu adalah seorang pengamen, bukan mahasiswa yang sedang mencari dana atau apalah. Pakaian pemuda itu begitu lusuh, begitu pula dengan gitar kecilnya yang penuh stiker tidak jelas. Mungkin Sasha hanya menilai berdasarkan stereotipe pada umumnya, tapi dia sudah sering melihat pengamen, dan pemuda itu jelas memenuhi semua ciri-ciri yang biasa dimiliki seorang pengamen.

"Nggak baik menolak bantuan." Sasha belum menyerah, mengikuti pemuda itu berjalan ke area depan. "Ini gratis, kok. Lo nggak perlu bayar."

"Gue nggak butuh," balas pemuda itu tanpa menoleh.

"Yakin? Lo cari uang juga pasti buat makan, kan? Mending lo simpen uang lo dan terima makanan ini."

Pemuda itu belum tertarik. Dia lebih tertarik memperhatikan warna lampu lalu lintas yang sebentar lagi berganti hijau. "Gue nggak butuh makanan. Gue butuhnya uang."

Sasha berpikir cepat. Tanpa ragu, Sasha mengambil selembar uang di kantongnya, lalu bergegas mencegat pemuda itu sebelum dia kembali mengamen. Di hadapan pemuda itu, Sasha memasukkan uang ke dalam kresek berisi makanan, lalu mengulurkannya.

"Nih, makanan dan uang 20 ribu," ujar Sasha. "Ada nomor gue juga di sana, kalau lo butuh bantuan gue."

Pemuda itu tertegun sebentar. Dengan cepat ekspresinya berubah jadi jengkel, dan pemuda itu menyambar kresek dari tangan Sasha.

Dengan senyum penuh kemenangan, Sasha kembali ke pinggir jalan. Naya masih menunggu, memainkan ponsel dengan bosan. Mas Yoga berdiri di sebelahnya—tampaknya, kelompok Mas Yoga juga mengarah ke jalan ini. Sasha menghampiri mereka dengan senyum lebar.

"Ayo, ke daerah sana tadi ada yang butuh dua makanan," ujar Mas Yoga. "Kebetulan punya kalian sisa dua, kan?"

Sasha dan Naya mengangguk, lalu mengikuti Mas Yoga.

"Lo lama banget, sih," gerutu Naya. "Kalau gue gosong, gimana? Udah bosen, jadi item, pula."

"Maaf," sahut Sasha ringan. "Yang penting, misi kita berhasil."

Naya memutar bola matanya sebagai respons.

Misi hari ini berhasil dengan memuaskan. Seluruh makanan yang dipersiapkan sudah habis. Beberapa pengamen dan tunawisma berjanji untuk menelepon sekiranya membutuhkan bantuan.

Sasha pulang dengan hati yang begitu lega. Semesta membantu banyak hari ini. Sasha amat sangat bersyukur.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro