Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7.2



Selamat membaca


Jangan lupa taburan bintang dan komennya, Gaes.


DUA JAM berlalu, tetapi beberapa pertanyaan masih berputar di kepala Steven sejak melihat Rukma keluar dari kamar seperti dia akan melakukan kejahatan tingkat satu.

Bagaimana dia bersikap di depan Rukma setelah ciuman kedua? Apa yang harus dia lakukan kalau Rukma kembali melempar situasi mereka kembali ke awal?

Pertanyaan tersebut masih setia mengitari setiap sudut otaknya, tanpa mengizinkan satu pun jawaban yang terasa tepat muncul untuk mengakhiri segala kebingungan. Bahkan, saat dia sedang menuruni tangga--detik-detik bertemu Rukma dan Tita. Di anak tangga terakhir, Steven mengerang. Dia teringat cara Rukma membalas ciumannya, getaran tangan perempuan itu. Rasanya seperti perpaduan kelaparan dan ketakutan. Dua hal yang juga makin mengganggu pikiran Steven.

Dia berhasil kebal terhadap perempuan selama bertahun-tahun, tetapi kenapa saat bersama Rukma—menatap mata kelabu tanpa dasar itu, kerapuhan yang disembunyikan apik dengan kekuatan dan keceriaan, selalu membuat Steven hilang kendali.

Steven mencengkeram ujung pegangan tangga, lalu kenangan yang paling enggan dia ingat melambaikan tangan. Kesalahannya dulu juga dimulai dari ciuman, hasrat yang menggebu sampai dia percaya sudah menemukan pasangan yang hebat dan tepat, tetapi ....

Bagaimana kalau ini juga kesalahan? Apa-apa yang terjadi hanya gairah yang lama tak tersulut. Sialan. Dia benar-benar benci, begitu sadar kalau efek masa lalunya masih memengaruhinya. Dia sebal setengah mati karena apa yang dilakukan Laura masih bercokol dalam otaknya padahal bertahun-tahun sudah bejalan sejak perempuan itu meninggalkannya di altar. Padahal, perempuan itu berjarak 14.000 km darinya.

Suara pintu tertutup kencang, menghentikan pikiran Steven tentang Laura, dan ketika dia melewati anak tangga terakhir Tita muncul sambil tersenyum lebar.

"Om Tip! Om Tip! Nda, Om Tip." Tita benar-benar atusias melihatnya sambil menarik satu tangan, sementara tatapan Steven tertumbuk pada Rukma yang mucul beberapa detik setelah Tita.

Sebenarnya kenapa dia begitu terpikat kepada Rukma? Apa yang dimiliki perempuan ini sampai Steven berkeinginan keluar dari zona amannya?

Karena berjuang untuk anak ini, tanpa memedulikan apa pun?

"Pas tahu digantiin baju pergi, dia happy banget. Biasanya jam segini aku pakein baju bobo, eh, ini pake baju bagus. Udah gitu, makin antusias, setelah aku bilang mau diajak Om Tiv naik mobil," jelas Rukma, padahal Steven mengeluarkan satu kata saja belum. "Udah aku suruh tunggu dulu di kamar, aku mau ganti baju sama berberes barang-barang dia. Eh, dia langsung nyelonong keluar. Mau panggil Om Tiv." Rukma tertawa, dan Steven melirik Tita yang menggenggam satu tangan Steven. "Sok-sokan mau berani naik ke lantai dua. Dia tuh takut naik ke sana karena dari dulu Embun suka iseng bilang di sana ada yang serem-serem."

Meski mata Rukma fokus kepada Tita dan tatapan penuh sayang itu ditujukan untuk bocah yang memegangi tangannya, dada Steven tetap berdegup tak karuan—seakan Rukma sedang menghujaninya kasih sayang tak berujung.

Mungkin ini yang membuatnya tertarik, Rukma berbeda dari perempuan-perempuan yang pernah disodorkan kepadanya. Rukma yang berisik, tetapi menggemaskan. Rukma yang terlihat biasa, tetapi sama sekali tidak membosankan. Rukma tidak pernah repot-repot berusaha terlihat menyenangkan di depannya. Semua berjalan begitu natural.

"Kamu udah ganti baju?" tanya Steven.

"Menurut kamu?" Rukma bertanya, dan Steven tersenyum masam. "Aku baru urus ada barang masuk di kedai, sama bayar-bayar tagihan. Sori."

Dia menggoyangkan tangan Tita sambil menatap bocah itu, lalu bertanya, "Kita tunggu di mobil? Mau?"

Dengan mata berbinar-binar, Tita mengangguk dan terburu-buru menarik tangannya. "Ups, ada yang nggak sabaran lagi, nih."

"See!" Rukma menanggapi, dengan mendekat dan mengusap puncak kepala Tita. "Duduk manis sama Om Tiv di mobil, ya." Saat Rukma mengalihkan pandangan dari Tita kepadanya, seketika kehangatan memeluk Steven erat-erat.

Sudah lama sekali Steven tidak pernah dipandang penuh rasa terima kasih dan rasa syukur yang besar seolah dia baru saja melakukan sesuatu yang baik luar biasa--seperti baru menyelamatkan nyawa--semacam itu.

"Aku ganti baju dulu. Janji nggak lama-lama," kata Rukma, yang langsung berbalik saat Steven mengangguk.

Entah berapa lama Steven dan Tita menunggu di mobil, mendengarkan ocehan khas anak seumuran Tita. Menyalakan Youtube di televisi mobil, lalu menyetelkan channel Pinkfong dan menyanyi bersama Tita. Sampai Rukma membuka pintu dan terkejut melihat Tita sudah duduk dan memakai seat belt.

"Wah, terus aku duduk di mana?" tanya Rukma, dengan suara dibuat terdengar merajuk. Seperti biasa Tita terkekeh menanggapi kekonyolan suara Rukma, tetapi terlihat tidak mau memberikan tempat untuk sang bunda. Tita tetap duduk sambil fokus menoton channel lain yang sedang live, Cocomelon. Mengangguk mengikuti irama lagu, seolah-olah sudah memproklamasikan kursi bagian depan milik Tita. "Tita ...."

Menemukan ketegasaan di suara Rukma, membuat Steven sukarela berdiri di tengah ibu-anak itu.

"Kamu duduk di belakang aja," kata Steven, memaksa Rukma memandangnya. "Nggak apa-apa. Pintu itu udah aku setel aman buat anak-anak, nggak bisa buka dari dalam, cuma bisa dari depan."

Rukma melirik Tita dan Youtube, Steven sudah was-was Rukma akan mempermasalahkan jalan pintas yang diambilnya untuk menenangkan Tita. Dan sangat terkejut, saat Rukma bertanya, "Beneran nggak masalah aku duduk di belakang? Kok, rasanya nggak sopan ya. Kesannya sengaja memanfaatkan kamu jadi supir."

Steven merasakan lagi denyut aneh di dada, sebuah ide tentang kondisi mereka saat ini tercetus di otaknya—tidak berhubungan dengan supir—tetapi dia tidak berani mengutarakan itu kepada Rukma. Dia tidak mau apa pun yang sedang dijalani bersama Rukma berjalan dengan kecepatan seperti Shinkansen, lalu saat dirinya sudah sepenuhnya berharap dan percaya—dia harus dihadapkan keadaan seperti masa lalu.

Dia perlu mengenal Rukma lebih jauh, Rukma pun begitu.

"It's okay. Mari kita anggap ini demi menyenangkan Tita," sahut Steven, lalu memberi kode untuk Rukma segera naik ke kursi belakang.

Perempuan itu sempat terdiam selama beberapa menit, baru akhirnya naik dan duduk sambil mencondongkan badan di antara Steven-Tita. Dari jarak sedekat itu, Steven benar-benar bisa menikmati aroma pappermint dari tubuh Rukma. Dan setiap kali, dia melirik ... shit! Kenapa perempuan ini memilih pakaian dengan garis leher yang rendah lagi?!

"Kenapa nggak jalan?" Rukma tiba-tiba bertanya, yang sama sekali tidak dipusingkan Tita. Bocah itu benar-benar heboh sendiri mengikuti gerakan tari dari nyanyian yang diputar channel lagu-lagu anak Bahasa Inggris.

Steven sedikit memiringkan duduk dan mengedik. "Mau bagaimana lagi, aku harus mewaraskan otak dulu—mamastikan bisa menyetir dengan baik dan nggak terpengaruh sama kamu."

"Aku? Kenapa?" Sepersekian detik, Rukma bengong. Kemudian, tersadar ke arah mana matanya melirik. Rukma buru-buru menggeleng dan menyandarkan punggung ke kursi belakang. "Cukup kamu buat aku malu di depan Embun, jangan Tita."

"What?" Kali ini Steven yang berbalik dan melongok ke belakang, mendapati Rukma sedang melipat kedua tangan di depan dada. Lalu, Steven menggigit bagian dalam bibir bawahnya—teringat temuan pada dirinya sendiri saat kembali ke kamar dan berdiri di depan kaca lemari. "Dia sadar lipstik kamu—"

"Nggak usah diperjelas!" Mata Steven enggan mengalihkan pandangan, dia ingin berlama-lama menikmati ekspresi malu-malu Rukma, dengan kedua mata bulat melebar sedikit dan bercahaya.

Rukma memang cantik.

"Om tiv. Ayo! Nda udah duduk." Steven terpaksa melepasakan Rukma, membelai puncak kepala Tita sambil membalasa senyuman Tita.

"Let's go!"

Steven menjalankan mobil menuju restoran khas Sunda, yang dilihat dari review direkomendasikan buat membawa anak-anak. Selama mobil berjalan, Rukma kembali duduk mencondongkan badan—mengajak Tita bicara ataupun ikut bernyanyi.

Saat mobil berhenti di lampu merah, dan Steven sedang memperhatikan arah berlawan dari Tita ataupun Rukma, dia merasakan ada belaian lembut di bahu kirinya.

Sebelum Steven mencerna keterkejutan itu, Rukma berkata, "Terima kasih sudah buat Tita happy. Aku belum pernah lihat dia se-enjoy ini di perjalanan, bahkan diajak pergi Ghina dan Alfa pun—dia nggak begini."

Steven menoleh, dan Rukma menghadiahi senyum paling tulus yang pernah dilihatnya. Tanpa membalas dengan kata-kata, Steven mengambil jemari Rukma dari bahunya lalu menggenggam satu tangan itu erat-erat.


Terima kasih sudah membaca.


Untuk informasi naskah atau sekadar kenalan sama aku, kalian bisa follow ig

Flaradeviana
Atau
Coretanflara


Love, Fla!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro